Sebuah Pandangan Berimbang Mengenai Cairan Seimbang
Sebuah Pandangan Berimbang Mengenai Cairan Seimbang
Bertand Guidet, Neil Soni, Giorgio Della Rocca, Sybille Kozek, Benoit Vallet, Djillali
Annane, dan Mike James
Abstrak
Peninjauan tentang penelitian terapi cairan terbaru dengan menggunakan pendekatan cairan
yang seimbang dibandingkan dengan penggunaan cairan larutan garam fisiologis yang
bersifat isotonik (kristaloid dan koloid) bertujuan untuk mengatasi perdebatan mengenai hal
ini. Perubahan keseimbangan asam basa berdasarkan pilihan terapi cairan akan dijelaskan
lebih lanjut. Istilah-istilah kunci seperti asidosis hiperkloremik-dilusional (sebagai istilah
yang lebih tepat untuk menggantikan istilah asidosis dilusional atau asidosis metabolik
hiperkloremik merujuk pada persamaan Henderson-Hasselbach dan persamaan Stewart),
cairan garam fisiologis yang bersifat isotonik dan terapi cairan yang seimbang akan
dijelaskan lebih lanjut. Kesimpulan dari tinjauan ini menyatakan bahwa asidosis
hiperkloremik-dilusional merupakan sebuah efek samping, yang pada umumnya ditemukan
setelah pemberian cairan garam fisiologis yang bersifat isotonik dalam jumlah besar sebagai
contoh pada pemberian kristaloid. Efek samping ini bersifat sementara dan tidak terlalu berat
dan dapat diminimalisasi dengan melakukan pembatasan pemberian kristaloid melalui
penggunaan koloid (pada berbagai pusat layanan). Tidak ditemukan bukti yang meyakinkan
secara klinis mengenai efek samping yang merugikan dari keadaan asidosis hiperkloremik-
dilusional pada fungsi ginjal, koagulasi, kehilangan darah, kebutuhan transfusi, fungsi
gastrointestinal, atau kematian. Dalam tinjauan mengenai penggunaan cairan garam fisiologis
yang bersifat isotonik jangka panjang baik itu berupa kristaloid maupun koloid, kurangnya
pencatatan data yang menunjukkan efek kerusakan yang ditimbulkan oleh keadaan asidosis
hiperkloremik-dilusional dan keterbatasan informasi yang terpublikasi mengenai efek dan
hasil penggunaan cairan yang seimbang, kami tidak dapat merekomendasikan perubahan
terapi cairan pada penggunaan prinsip cairan seimbang dengan menggunakan preparat koloid.
Pendahuluan
Larutan garam normal telah digunakan selama lebih dari 50 tahun pada berbagai situasi klinis
seperti penggunaan intraoperatif, resusitasi, dan terapi cairan pemeliharaan. Bagaimana pun
juga larutan garam baik yang normal maupun yang fisiologis masih menjadi patokan
dibanding cairan lainnya yang telah diketahui. Banyak perhatian yang diberikan pada istilah
yang sekarang ini dikenal sebagai cairan seimbang seperti ringer laktat, dan berbagai
turunannya. Preparat koloid pada cairan dengan elektrolit seimbang juga telah dikembangkan,
disamping adanya koloid dengan komposisi garam fisiologis yang isotonik.
Seperti yang diharapkan, penggunaan larutan garam fisiologis yang berlebihan
diketahui menyebabkan terjadinya asidosis hiperkloremik yang telah diidentifikasi sebagai
sebuah efek samping yang potensial dari penggunaan cairan yang mengandung garam
fisiologis. Terdapat perbedaan pendapat mengenai morbiditas yang berkaitan dengan kondisi
tersebut, walaupun beberapa pihak menganggap morbiditas yang berkaitan dengan kondisi
tersebut mungkin masih dalam tahap yang rendah. Telah disarankan bahwa penggunaan
cairan yang seimbang dapat mencegah terjadinya efek samping tersebut.
Efek asidosis ini telah dikaji dan disorot pada Pedoman Konsensus Inggris mengenai
Terapi Cairan Intravena pada Pasien Dewasa yang akan Menjalani Pembedahan [1]. Pedoman
ini secara jelas merekomendasikan penggunaan kristaloid yang seimbang dibandingkan
dengan larutan garam fisiologis tetapi mereka tidak membuat rekomendasi yang lebih rinci
mengenai koloid, hal ini menyiratkan bahwa rekomendasi ini dapat dijadikan standar ataupun
sebagai penyeimbang. Publikasi pedoman ini telah menimbulkan reaksi keras. Dalam
editorial Jurnal Kedokteran Inggris, Liu dan Finfer memberikan komentar: Meskipun
pemberian larutan garam fisiologis normal dapat menyebabkan asidosis hiperkloremik, kami
tidak mengetahui apakah hal tersebut dapat membahayakan pasien. Jika berpatokan pada
pedoman tersebut maka keadaan tersebut tidak membahayakan pasien, tetapi mungkin juga
tidak memiliki keuntungan yang nyata [2].
Beberapa peneliti lain telah mengamati efek fisiologis dari terjadinya asidosis. Handy
and Soni mencatat bahwa Terdapat sedikit bukti yang menunjukkan bahwa dalam 50 tahun
penggunaan larutan garam fisiologis, terjadi morbiditas yang cukup nyata akibat penggunaan
larutan tersebut [3]. Liu dan Finfer melanjutkan: Bahaya dalam memberikan pedoman
konsensus yang didukung oleh para spesialis mengakibatkan para klinisi mungkin merasa
tertekan untuk mengadopsi langkah-langkah intervensi yang mungkin dalam jangka panjang
memerlukan biaya yang lebih tinggi dan memberikan lebih banyak bahaya dibandingkan
keuntungan pada pasien. Kami setuju terhadap pandangan terkini yang menyatakan bahwa
jika rekomendasi tidak didasarkan pada penelitian dengan data primer yang berkualitas
tinggi, kita dapat menghindari sepenuhnya penggunaan pedoman, dan klinisi lebih baik
membuat keputusan klinis didasarkan pada data primer yang ditemukan pada pasien [4].
Adanya perbedaan pendapat yang nyata dan terjadi akibat interpretasi pada informasi
yang tersedia, maka keseluruhan topik tersebut harus ditinjau kembali secara lebih jelas.
Untuk itu, peninjauan terhadap artikel terbaru dengan membandingkan kepustakaan yang
tersedia antara prinsip cairan seimbang dengan cairan garam fisiologis isotonik (termasuk
kristaloid dan koloid) dan menyelidiki dasar keilmiahan yang harus disertakan pada berbagai
pedoman atau rekomendasi di masa yang akan datang harus dilakukan.
Pada pH plasma normal, bagian dari kompleks albumin membawa muatan negatif, yang
karenanya dapat memainkan peranan sebagai larutan penyangga bagi ion-ion H +. Hal yang
sama juga berlaku pada fosfat, walaupun konsentrasi fosfat dalam plasma sangat rendah
untuk menjadi larutan penyangga secara bermakna. Oleh karena itu, pendekatan Stewart
menekankan peran albumin, fosfat, dan dan larutan penyangga lainnya dalam keseimbangan
asam-basa. Pendekatan Stewart dapat membedakan enam gangguan asam-basa utama
dibandingkan dengan persamaan Henderson-Hasselbalch yang hanya dapat membedakan
empat gangguan asam-basa. Pendekatan ion kuat ini juga memberikan penjelasan yang lebih
komprehensif mengenai peran klorida dalam keseimbangan asam basa.
Perbedaan ion kuat (PIK) / strong ion difference (SID) dari larutan garam fisiologis
isotonik adalah 0, pemberian cairan melalui infus dalam jumlah yang besar akan
mengencerkan SID normal dalam plasma dan menurunkan pH. Asidosis metabolik
hiperkloremik merupakan penurunan SID yang berkaitan dengan terjadinya peningkatan
klorida. Persamaan Stewart juga menunjukkan bahwa pemberian infus larutan garam
fisiologis isotonik juga akan mengencerkan albumin dan menurunan Atot, yang mana akan
cenderung menyebabkan terjadinya peningkatan pH. Dengan menggunakan persamaan
Stewart, cairan seimbang dengan SID fisiologis sebesar 40 mEq/l akan menginduksi
terjadinya alkalosis metabolik. Morgan dan Ventakesh telah menghitung bahwa cairan yang
seimbang harus memiliki SID sebesar 24 mEq/l untuk menghindari terjadinya induksi
tersebut [9]. Perlu dicatat bahwa cairan yang seimbang menggunakan anion organik (seperti
laktat, asetat, glukonat, piruvat atau malat) memiliki SID in vitro yang hampir mendekati 0,
mirip dengan larutan garam fisiologis isotonik. Secara in vivo, metabolisme dari anion-anion
ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan SID dan juga menurunkan osmolaritas dari
larutan tersebut.
Secara luas persamaan ini masih terlalu rumit untuk digunakan secara umum jika
ingin digunakan secara keseluruhan, tetapi pendekatan Stewart yang disederhanakan dapat
digunakan untuk membuat interpretasi grafis dari keseimbangan asam-basa. Pendekatan ini
memperhitungkan efek dari zat-zat yang paling memberikan pengaruh pada keseimbangan
asam-basa itu sendiri, yaitu: natrium, kalium, kalsium, dan magnesium dikurangi dengan
klorida dan laktat. Pada pendekatan ini, SID yang diamati didefinisikan sebagai berikut (lihat
gambar 1):
Definisi
Dalam artikel ini, dalam upaya untuk lebih memahami gangguan dan cairan, kami
menggunakan istilah-istilah berikut.
Asidosis Hiperkloremik-Dilusional
Istilah asidosis hiperkloremik-dilusional lebih digunakan dibandingkan dengan asidosis
dilusional atau asidosis metabolik hiperkloremik, dengan tujuan untuk menyeimbangkan
kedua teori yang telah dibahas di atas (Henderson-Hasselbalch dan Stewart). Pada
kenyataannya, banyak artikel mengenai asidosis metabolik hiperkloremik yang tidak
melaporkan perubahan SID dan hanya menjelaskan variasi-variasi kelebihan basa dan
konsentrasi klorida.
Gambar 2. Konsentrasi bikarbonat plasma dibandingkan dengan hemoglobin relatif
setelah hemodialisa akut pada kelompok pasien berbeda. Konsentrasi bikarbonat plasma
(HCO3-) (mmol/l) dibandingkan dengan hemoglobin relatif (Hb) (%) setelah hemodialiasi
normovolemik akut pada kelompok pasien berbeda. Perbandingan ditunjukkan oleh nilai
prediksi (persegi empat terbuka) dan nilai terlapor (lingkaran hitam) [18] dari konsentrasi
aktual HCO3- (kurva paling atas), terdiri dari perhitungan nilai HCO3- (segitiga hitam) dari
dilusi plasma, ditambah dengan kenaikan dari protein plasma (Pr), eritrosit (E), dan cairan
interstisial (interstitial fluid/ISF) dengan larutan penyangga yang berhubungan. Disadur dari
Lang dan Zander [12].
Cairan Seimbang
Pada umumnya digunakan untuk menggambarkan berbagai cairan dengan komposisi
elektrolit yang berbeda yang hampir sama dengan komposisi plasma, cairam seimbang dapat
berupa larutan fisiologis dan/atau plasma yang disesuaikan. Tabel 1 memperlihatkan
komposisi elektrolit dari kristaloid yang pada umumnya tersedia. Tabel 2 memperlihatkan
komposisi elektrolit dari koloid yang pada umumnya digunakan.
Efek kuantitatif dari infus cairan garam fisiologis isotonik pada keseimbangan asam
basa
Efek pemberian infus cairan garam fisiologis isotonik diilustrasikan oleh Rehm dan Finsterer
pada pasien yang akan menjalani pembedahan intra-abdominal [13]. Pasien memperoleh 40
ml/kg/jam cairan garam fisiologis isotonik 0,9%, dengan total 6 liter cairan garam fisiologis
isotonik dalam 2 jam. SID yang teramati menurun dari 40 menjadi 31 mEq/l, klorida
meningkat secara signifikan dari 105 menjadi 115 mmol/l dan ditemukan terjadinya
penurunan kelebihan basa sekitar 7 mmol/l. Data ini secara sempurna menggambarkan
terjadinya asidosis hiperkloremik-dilusional akibat pemberian infus cairan garam fisiologis
isotonik dalam jumlah besar dalam praktek klinis. Sebelum menentukan keterkaitan klinis
pada terjadinya asidosis hiperkloremik dilusional, sangat penting untuk mengukur kontrobusi
bermakna dari kristaloid dan koloid.
Tabel 1. Komposisi elektrolit (mmol/l) dari kristaloid yang pada umumnya tersedia
Elektrolit Plasma NaCl 0,9% Ringer Laktat, Hartmanns Plasma-Lyte Sterofundin
Natrium 140 154 131 140 140
Kalium 5 0 5 5 4
Klorida 100 154 111 98 127
Kalsium 2,2 0 2 0 2,5
Magnesium 1 0 1 1,5 1
Bikarbonat 24 0 0 0 0
Laktat 1 0 29 0 0
Asetat 0 0 0 27 24
Glukonat 0 0 0 23 0
Maleat 0 0 0 0 5
Plasma-Lyte dari Baxter International (Deerfield, IL, Amerika Serikat). Sterofundin dari B
Braun (Melsungen, Jerman)$
Tabel 2. Komposisi elektrolit (mmol/l) dari koloid yang pada umumnya tersedia
Voluven Hextend Volulyte Plasma
(maizena Venofundin (maizena (maizena Volume Tetraspan
lilin HES (kentang lilin HES lilin HES (kentang (kentang
Albumin Plasmion 6% HES 6% 6% 6% HES 6% HES 6%
4% Geloplasma Gelofusine 130/0,40) 130/0.42) 670/0.75) 130/0,40) 130/0,42) 130/0,42)
Natrium 140 150 154 154 154 143 137 130 140
Kalium 0 5 0 0 0 3 4 5,4 4,0
Klorida 128 100 125 154 154 124 110 112 118
Kalsium 0 0 0 0 0 2,5 0 0,9 2,5
Magnesiu 0 1,5 0 0 0 0,5 1,5 1 1,0
m 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Bikarbonat 0 30 0 0 0 28 0 0 0
Laktat 0 0 0 0 0 0 34 27 24
Asetat 0 0 0 0 0 0 0 0 5
Malat 6,4 0 0 0 0 0 0 0 0
Oktaonat
HES, hydroxyethyl starch. Gelofusine, Venofundine dan Tetraspan dari B Braun
(Melsungen, Jerman). Plasmion, Geloplasma, Voluven, dan Volulyte dari Fresenius-Kabi
(Bad Homburg, Jerman). Hextend dari BioTime Inc. (Berkeley, CA, Amerika Serikat).
PlasmaVolume dari Baxter International (Deerfield, IL, USA).
Beberapa penelitian telah melaporkan efek biologis akibat pemberian infus dari kristaloid
tunggal [14,15]. Boldt dan rekan-rekannya memberikan ilustrasi menarik dari efek pemberian
infus kristaloid dosis tinggi (larutan garam fisiologis isotonik dibandingkan ringer laktat)
[16]. Pada pasien yang menjalani pembedahan abdominal yang berat, mereka melaporkan
pemberian infus intraoperatif berupa 8 liter kristaloid, dilanjutkan dengan pemberian 10 liter
setelah pembedahan dalam waktu 48 jam (Tabel 3), dengan total dosis pemberian ringer
laktat atau larutan garam fisiologis isotonik sebesar 18 liter. Sebagaimana halnya yang
ditampilkan pada Tabel 3, pemberian larutan garam fisiologis isotonik dengan dosis yang
ekstrim ini berkaitan dengan efek menengah dan sementara pada keseimbangan asam-basa
yaitu berupa: penurupan kelebihan basa sebesar 5 mmol/l yang berlangsung selama 1 atau 2
hari.
Sejumlah peneitian juga telah melaporkan dan membandingkan efek dari pemberian
infus koloid dan kristaloid dalam jumlah yang besar disertai dengan larutan garam fisiologis
isotonik atau cairan seimbang [17-22].
Pada pasien yang menjalani pembedahan abdomen, Boldt dan rekan-rekannya
menggunakan koloid (HES 130/0,42) baik pada cairan seimbang atau pada cairan garam
fisiologis isotonik. Pada penelitian ini, keseluruhan terapi cairan seimbang (koloid dan
kristaloid) dibandingkan dengan keseluruhan lauran garam fisiologis isotonik [18]. Sangat
menarik untuk dicatat bahwa meskipun digunakan cairan dalam jumlah yang besar (> 6 liter),
perbedaan konsentrasi klorida adalah sebesar 8 mmol/l dan perbedaan kelebihan basa adalah
-5 mmol/l antara kelompok-kelompok tersebut (Tabel 4). Perubahan ini hampir sama atau
lebih rendah dibandingkan penelitian lain mengenai hal ini (Tabel 4).
ODell dan rekan-rekannya menetapkan bahwa terdapat hubungan linear terbalik
antara beban klorida dan kelebihan basa [23]. Berdasarkan hubungan ini, untuk menurunan
kelebihan basa sebesar 10 mmol/l pada pasien dengan berat badan 70 kg maka dibutuhkan
pemberian infus klorida sebesar 20 mmol/kg atau setara dengan 9 liter larutan garam
fisiologis isotonik. Dengan menerapkan hal ini pada konteks dosis maksimal koloid normal,
pemberian infus HES 130/0,4 sebesar 50 ml/kg akan menurunkan kelebihan basa sebesar
maksimal 3,5 mmol/l, yang secara luas sesuai dengan pengamatan pada penelitian-penelitian
yang terpublikasi. Secara keseluruhan, penelitian ini menyarankan bahwa ketika pasien
diterapi dengan kombinasi koloid dan kristaloid dengan larutan garam fisiologis isotonik,
maka efeknya terhadap keseimbangan asam-basa akan terbatas.
Tabel 3. Total jumlah cairan yang masuk dan jumlah urin yang dikeluarkan: efek pada
klorida dan kelebihan basa [16]
Setelah 5 Jam di Hari pertama Hari kedua setelah
Operasi ICU setelah pembedahan pembedahan (total)
Jumlah kumulatif cairan
masuk (ml)
Ringer laktat 7.950 950 9.070 920 14.150 1.150 18.750 1.890
Larutan garam fisiologis 8.230 580 9.550 880 13.970 1.650 17.990 1.790
Jumlah kumulatif urin
yang dikeluarkan (ml)
Ringer laktat 1.950 340 4.400 410 7.700 370 11.450 460
Larutan garam fisiologis 2.250 240 3.920 350 6.950 430 12.940 390
Cl- (mmol/l)
Ringer laktat 104 3 105 3 102 2 102 3
Larutan garam fisiologis 113 4* 111 3* 111 3* 106 5
Defisit basa (mmol/l)
2,0 0,5
Ringer laktat -0,5 0,6 -1,0 1,2 2,9 1,1
-2,8 1,1*
Larutan garam fisiologis -5,6 2,1* -4,2 1,9* 0,3 1,5*
*
ICU, Intensive Care Unit (Unit Pelayanan Intensif). P < 0,05 tingkat perbedaannya jika
dibandingan dengan grup lainnya. +P < 0,05 tingkat perbedaannya jika dibandingkan dengan
nilai rujukan.
Base dan rekan-rekannya menggunakan strategi terapi cairan yang berbeda pada pasien yang
menjalani pembedahan jantung. HES 130/0.4 diberikan baik dalam bentuk cairan seimbang
atau dalam bentuk cairan garam fisiologis. Kedua kelompok tersebut juga memperoleh
kristaloid seimbang, yaitu ringer laktat [17]. Konsentrasi klorida pada akhir pembedahan
adalah sebesar 110 mmol/l pada kelompok yang mendapatkan HES dalam bentuk cairan
seimbang, dibandingkan dengan konsentrasi klorida sebesar 112 mmol/l pada kelompok yang
memperoleh cairan dalam bentuk garam fisiologis isotonik. Perbedaan ini secara statistik
memiliki makna sedangkan secara klinis tidak relevan. Terjadi penurunan kelebihan basa
pada kedua kelompok tersebut, tetapi perbedaan maksimall antara kelompok pada berbagai
titik waktu adalah sekitar 2 mmol/l.
Peran kristaloid dan koloid pada keseimbangan asam basa secara sempurna
digambarkan oleh Boldt dan rekan-rekannya pada pasien usia lanjut yang sedang menjalani
pembedahan abdomen [24]. Tiga strategi berbeda digunakan, yaitu ringer laktat, larutan
garam fisiologis isotonik, dan HES 130/0,4 ditambah ringer laktat. Beban klorida dan natrium
dan efeknya terhadap kelebihan basa ditampilkan pada Gambar 3. Meskipun koloid yang
digunakan dalam penelitian ini dikemas dalam bentuk larutan garam fisiologis isotonik,
secara keseluruhan dampaknya pada kelebihan basa sama dengan pada penggunaan ringer
laktat tunggal dan tetap dalam rentang normal.
Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa volume larutan garam
fisiologis akan meningkatkan konsentrasi klordia dan menurunkan kelebihan basa dengan
cara yang bergantung pada dosis, dengan efek puncak terjadi beberapa jam setelah pemberian
infus. Efek ini bersifat sementara, dan kadarnya secara umum akan kembali menjadi normal
dalam waktu 1 atau 2 hari. Ketika terapi cairan didasarkan pada koloid dalam bentuk larutan
garam fisiologis isotonik, disertai dengan pemberian kristaloid seimbang seperti ringer laktat,
efeknya terhadap keseimbangan asam basa terlihat mengalami keterbatasan. Karena
kurangnya pengalaman klinis yang terpublikasi, maka masih harus terus diperhatikan apakah
pasien pasien dengan keadaan asidosis metabolik yang telah ada lebih diakibatkan oleh
karena penurunan kapasitas larutan penyangga atau tidak. Penurunan sementara dari
kelebihan basa yang diinduksi oleh pemberian larutan garam fisiologis isotonik harus
dipertimbangkan ketika menafsirkan status asam-basa pada pasien dengan kondisi yang tidak
stabil.
Dalam sebuah studi dengan beberapa relawan, Williams dkk menguji hipotesis bahwa
infus ringer laktat atau saline isotonik dalam volume besar mungkin memiliki efek yang
berbeda pada fungsi ginjal dan urin output [15]. Terdapat perbedaan signifikan dalam waktu
rerata berkemih (urination), larutan Ringer laktat dikaitkan dengan waktu yang lebih singkat
dalam hal keluaran urine pertama. Fakta yang muncul, dalam kelompok Ringer laktat
penurunan osmolalitas serum dapat menghambat pelepasan hormon antidiuretik. Hasil
diuresis urine hipotonik menyebabkan osmolalitas serum kembali dengan cepat ke normal.
Studi lain pada pasien usia lanjut yang menjalani operasi jantung juga melaporkan
tidak ada dampak yang besar pada fungsi ginjal[19]. Hingga 60 hari setelah operasi, tidak ada
perbedaan antara kelompok-kelompok tersebut berkaitan dengan kadar kreatinin plasma.
Tingkat neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL) juga diukur.Terdapat sedikit
peningkatan pada hari pertama setelah operasi pada kelompok berbasis saline isotonik, tetapi
kadarnya pada kedua kelompok mendekati normal pada hari kedua. Secara keseluruhan nilai
NGAL sangat rendah (sekitar 20 ng / ml), signifikan di bawah ambang yaitu berkisar 150 ng /
ml yang dianggap indikator cedera ginjal akut.
Akhirnya, sebuah studi yang menyelidiki efek dari dua koloid pada pasien yang
menjalani bypass jantung (dilaporkan oleh Boldt dkk) [20]. Albumin dalam karier saline
dibandingkan dengan Hkoloid jenis HES dalam larutan yang seimbang. Tidak terdapat
perbedaan signifikan dalam kreatinin serum setelah operasi; dan meskipun peningkatan
NGAL 15 ng / ml diamati pada kelompok albumin, nilai-nilainya tetap dalam kisaran normal.
Telah diklaim bahwa NGAL merupakan biomarker awal cedera ginjal akut [32], tetapi
nilai NGAL dapat bervariasi jauh bahkan tanpa adanya efek ginjal yang merugikan .
Menggunakan tes yang sama seperti yang digunakan dalam dua penelitian yang disebutkan
sebelumnya, Wagener dkk melaporkan kenaikan 165 hingga1.490 ng / ml pada pasien bedah
jantung dengan dan tanpa cedera ginjal akut [33]. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
nilai-nilai yang dilaporkan oleh Boldt dkk sangat rendah dan, meskipun jenis larutan secara
signifikan memengaruhi nilai-nilai NGAL, tidak ada indikasi penurunan yang signifikan
dalam fungsi ginjal. Kesimpulannya, telah diamati tidak ada perbedaan signifikan dalam
variasi kreatinin yang telah dilaporkan dan hanya sedikit perbedaan pada NGAL,
menjadikannya tidak relevan secara klinis. Dari hasil ini satu yang dapat disimpulkan bahwa
tidak ada perbedaan yang meyakinkan antara strategi pemberian saline isotonik dan strategi
balans dalam hal fungsi ginjal.
Tabel 4. Efek base excess dan konsentrasi klorida dari berbagai studi klinis
Data dari penelitian in vitro menunjukkan bahwa larutan yang seimbang mungkin
memiliki efek negatif lebih sedikit pada parameter koagulasi[34,35]. Para penulis mengakui
masalah inheren tersebut pada penelitian in vitro, bagaimanapun, yang mencakup efek
hemodilusi, dilusi kalsium dan tidak adanya komponen fisiologis seperti endothelium. Karena
keterbatasan ini, tidak ada kesimpulan yang relevan yang secara klinis dapat diambil dari
studi in vitro ini.
Studi klinis memberikan pandangan yang lebih relevan. Boldt dkk membandingkan
efek dari dosis ringer laktat dan saline isotonik yang sangat tinggi (Sekitar 18 liter dalam 48
jam) pada pasien yang menjalani operasi abdomen (Tabel 3) [16]. Tidak terdapat perbedaan
signifikan pada uji koagulasi dan kehilangan darah antar kelompok. Waters dkk
membandingkan Ringer laktat dengan saline isotonik pada pasien yang menjalani repair
aneurisma aorta abdominal dan thoracoabdominal (Tabel 5) [36]. Terdapat perbedaan kecil
tapi tidak signifikan dalam hal kehilangan darah yang tertuju pada kelompok ringer laktat
(Tabel 5).
Gambar 3. Chloride load dan base excess pada pasien lansia yang menjalani bedah
abdomen. Chloride load pada 3 kelompok pasien- kelompok ringer laktat (lingkaran hitam,
kelompok saline isotonik (kotak) dan HES 130/0.4 plus ringer laktat (segitiga). Variasi base
excess pada 3 kelompok ditunjukkan secara grafik. Terlihat jelas tidak terdapat perbedaan
antara kelompok ringer laktat dan HES 130/0.4 plus ringer laktat. *P,0.05. POD, post-
operative day. Diadaptasi dari Boldt dkk [24]
Tidak terdapat perbedaan signifikan dalam penggunaan packed red blood cells atau
fresh-frozen plasma antara dua kelompok. Satu-satunya perbedaan yang secara statistik
bermakna adalah volume transfusi trombosit yang lebih tinggi pada kelompok saline. Ketika
semua produk darah dijumlahkan, penggunaan produk darah secara signifikan lebih tinggi
pada kelompok saline. Kedua kelompok ini meliputi pasien dengan aneurisma
thoracoabdominal, bagaimanapun, yang dapat menjelaskan tingginya variabilitas berkaitan
dengan kehilangan darah dan kebutuhan akan transfusi.Tidak ada perbedaan bermakna dalam
hal morbiditas atau mortalitas yang dilaporkan.
Tabel 5. Kehilangan darah pada setiap studi dibandingkan strategi larutan seimbang (chrystalloid
only) dengan strategi berbasis saline
Hanya satu studi melaporkan adanya perbedaan antara koloid berbasis saline isotonik
dan koloid seimbang. Dibandingkan dengan HES 130 / 0.42 dalam larutan seimbang dengan
albumin dalam saline sebagai larutan standar dalam cardiopulmonary bypass, Boldt dkk
melaporkan perbedaan kecil tapi signifikan pada koagulasi (Rotem, Pentapharm, Munich,
Jerman) yang tertuju pada larutan HES seimbang. Observasi ini dikaitkan dengan kehilangan
darah yang lebih sedikit [20]. Demikian pula, penggunaan produk darah selama dan setelah
operasi secara bermakna lebih rendah pada kelompok HES(Tabel 5). Jumlah pasien di
masing-masing kelompok sangat kecil (n = 25), bagaimanapun, mengingat bahwa koagulasi
dan perdarahan pada operasi jantung mungkin sangat bervariasi. Sebuah studi terbaru yang
dilakukan oleh investigator yang sama dalam setting yang sama pula (operasi jantung),
membandingkan larutan HES seimbang dengan albumin, tidak mengkonfirmasi hasil-hasil ini
[22]. Kesimpulannya, ada sedikit bukti bahwa volume besar saline isotonik memiliki efek
merugikan pada koagulasi, kehilangan darah atau transfusi.
Gambar 4. Tingkat mortalitas di rumah sakit dikaitkan dengan tipe asidosis metabolik. Mortalitas
dikaitkan dengan keterlibatran ion major menyebabkan asidosis metabolik. Mortalitas di rumah sakit
dikaitkan dengan berbagai penyebab asidosis metabolik (standard base excess (SBE) <2). Persentase
mortalitas adalah mortalitas pada setiap subgrup, bukan persentase mortalitas keselurruhan. Adanya
laktat menandakan laktat berkontribusi sedikitnya 50% terhadap SBE; SIG: strong ion gap berkontribusi
sedikitnya
Efek50% terhadap
Asidosis SBE (dan bukan laktat);Pada
Dilutional-Hiperkloremik hiperkloremik, tidak adanya laktat atau asidosis SIG
Fungsi Gastrointestinal
dan SBE ,-2; none; tidak ada asidosis metabolik (SBE 2 mEq/l). P <0.001 pada empat kelompok
pembanding. Diadaptasi dari Gunnerson dkk [47].
Moretti dkk melaporkan hasil yang berbeda lagi. Pasien dibagi secara acak menjadi
tiga kelompok untuk membandingkan efek hetastarch dalam saline isotonik, efek hetastarch
dalam larutan seimbang dan ringer laktat terhadap outcome pasca-operasi [38]. Sementara
tidak terdapat perbedaan bermakna dalam kejadian mual dan penggunaan antiemetik diantara
kelompok-kelompok hetastarch, keduanya secara bermakna lebih rendah dibanding
kelompok ringer laktat (Tabel 6). Penulis menyimpulkan bahwa resusitasi cairan intraoperatif
dengan koloid, dibandingkan dengan kristaloid, meningkatkan pemulihan pasca operasi
berkenaan dengan gejala mual dan muntah pasca-operasi. Hasil-hasil ini menunjukkan
bahwa volume cairan mungkin lebih penting daripada komposisi didalamnya. Beberapa
penelitian lain menunjukkan bahwa pembatasan kristaloid intraoperatif mungkin dikaitkan
dengan peningkatan fungsi pencernaan dan penurunan komplikasi pasca operasi [39-41].
Kesimpulannya, tidak ada bukti memadai dari literatur yang tersedia yang
menunjukkan bahwa asidosis dilutional-hiperkloremik memiliki efek klinis yang relevan
terhadap difungsi pencernaan. Beberapa derajat pembatasan kristaloid intraoperatif dan
penggunaan koloid mungkin, bagaimanapun, berkaitan dengan peningkatan fungsi
gastrointestinal dan outcome-nya.
Asidosis metabolik sering dikaitkan dengan outcome yang buruk; Namun, penting
untuk membedakan antara efek asidosis itu sendiri dan kondisi yang menyebabkannya.
Dalam pengaturan klinis, asidosis metabolik timbul dari penyebab yang berbeda-beda, di
mana hiperkloremia mungkin memainkan peran. Setelah kejadian trauma, misalnya, asidosis
metabolik telah dilaporkan dalam kaitannya dengan hipovolemia berat, hipoksia jaringan dan
syok. Di dalam kondisi ini, sangat sulit untuk menentukan peran spesifik pemberian saline
isotonik dan dampak potensial mekanisme lain terhadap outcome pasien [42-45].
Noritomi dan rekannya melakukan studi observasional pada 60 pasien dengan sepsis
berat dan syok septik [48]. Dalam kelompok pasien ini, kematian secara bermakna terkait
dengan peningkatan perbedaan ion anorganik. Perbedaan konsentrasi klorida plasma antara
survivor dan non-survivor sangat minim (3 mEq / l). Dari catatan dalam studi Rivers,
perbedaan base excess (kelebihan basa) 5 mEq / l setelah 6 jam pengobatan diamati antara
pasien yang dioptimalkan dan kontrol, dengan penurunan angka mortalitas secara bersamaan
pada pasien yang menerima dosis tinngi koloid dan kristaloid (6 liter dibandingkan 4,5 liter)
[49]. Dalam studi mereka, bagaimanapun, beberapa variabel perancu mungkin telah
memengaruhi status asam-basa dan mortalitasnya lebih terkait dengan penyebab asidosis
daripada asidosis dilutional-hiperkloremik transien.
Dalam sebuah studi observasional prospektif yang diset dalam unit perawatan intensif
anak pasca-operasi jantung, Hatherill dkk menemukan bahwa asidosis dilusionalkloraemik
dikaitkan dengan berkurangnya kebutuhan akan terapi adrenalin [50]. Hal ini menandakan
bahwa asidosis dilutional-hiperkloremik adalah fenomena ringan yang seharusnya tidak
memerlukan ekskalasi bantuan hemodinamik.
KESIMPULAN