-
Gambar 4 Peta Administrasi Kabupaten Agam
57
Kabupaten Agam memiliki 15 (lima belas) kecamatan dengan 73 (tujuh
puluh tiga) nagari. Pembagian wilayah administrasi Kabupaten Agam dapat
di lihat pada Lampiran 4.
Hidrologi
Berdasarkan Daerah Aliran Sungai (DAS), Kabupaten Agam dilalui oleh
empat buah DAS yaitu DAS Gasan Gadang, Kinara, Kuantan dan Manggung.
Kabupaten Agam juga dilalui oleh tiga buah Sub-DAS yaitu Sub-DAS Masang
Kanan, Masang Kiri, dan Batang Antokan. Sungai yang melintasi daerah ini
terdiri dari sungai besar dan sungai kecil yang berpola dendritik, dengan total
jumlah keseluruhan 45 sungai. Sungai-sungai tersebut berupa sungai permanen
yang selalu mengalir setiap tahunnya. Sungai Batang Antokan yang berada
di wilayah timur Kabupaten Agam, selain dipergunakan sebagai sumber air untuk
pertanian juga dipakai untuk salah satu sarana pariwisata di bidang olahraga yaitu
arung jeram. Sumber air lainnya yang terdapat di Kabupaten Agam adalah sebuah
danau di bagian Tengah Agam, yaitu danau Maninjau. Kondisi hidrologi kawasan
Danau Maninjau ini secara umum dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu air
permukaan dan air tanah. Kedua faktor ini sangat dipengaruhi oleh iklim dan
curah hujan di kawasan tersebut.
62
Kependudukan
Berdasarkan hasil registrasi penduduk akhir tahun 2006, jumlah penduduk
di Kabupaten Agam tercatat sebanyak 439 611 jiwa yang terdiri dari 213 085 laki-
laki dan 226 526 perempuan, dengan luas wilayah sebesar 2 212.19 Km2. Dengan
demikian, kepadatan penduduk Kabupaten Agam adalah 199 jiwa/Km2. Untuk
konsentrasi penduduk, umumnya penduduk di wilayah ini bertempat tinggal di
Kecamatan Lubuk Basung yaitu sebesar 14 persen dari total jumlah penduduk
Kabupaten Agam, diikuti Kecamatan Ampek Angkek Candung (9 persen). Jumlah
dan distribusi penduduk di Kabupaten Agam menurut kecamatan dapat dilihat
pada Tabel 10.
Tanjung Mutiara 4.30 0.64 0.39 0.79 0.31 0.18 0.19 6.80
Lubuk Basung 9.40 1.10 0.86 0.09 1,10 0.10 8.40 21.05
Ampek Nagari 1.40 0.29 0.83 0.09 0.97 0.02 0.03 3.63
Tanjung Raya 2.70 0.17 0.21 0.07 0.05 0.02 0.23 3.45
Matur 1.20 0.12 0.04 0.13 0.03 0.07 0.09 1.68
IV Koto 2.30 2.30 0.28 0.34 0.13 0.50 1.67 7.52
Banuhampu 4.00 0.72 0.40 0.53 0.56 0.40 0.84 7.45
Sungai Puar 1.20 0.42 0.14 0.71 0.50 0.09 0.90 3.96
Ampek Angkek Canduang 4.60 0.34 0.36 0.14 0.02 0.35 0.46 6.27
Canduang 4.70 0.00 2.12 0.74 0.04 0.28 0.06 7.94
Baso 9.20 0.79 0.35 0.51 0.29 0.15 1.90 13.19
Tilatang Kamang 3.60 0.65 0.70 0.08 0.19 0.67 0.06 5.95
Kamang Magek 0.70 0.04 0.11 0.01 0.00 0.00 0.04 0.90
Palembayan 5.60 0.15 0.32 0.84 0.17 0.13 0.72 7.93
Palupuh 1.20 0.00 0.07 0.13 0.12 0.02 0.08 1.62
Total 56.10 7.73 7.18 5.20 4.48 2.98 15.67 100
Sumber : Dinas KB, Capil dan Kependudukan Kabupaten Agam Tahun 2006
Pertumbuhan Ekonomi
Berdasar level kabupaten, maka wilayah Nagari Lubuk Basung dan Koto
Tangah merupakan wilayah inti sedangkan nagari-nagari lainnya menjadi
hinterland. Secara konseptual antara wilayah inti dan hinterland merupakan suatu
wilayah yang saling terkait secara sinergis. Wilayah inti berfungsi mendorong
dan memfasilitasi perkembangan wilayah hinterland dengan menyediakan
fasilitas pelayanan yang dibutuhkan, sedangkan wilayah hinterland lebih
berfungsi sebagai kawasan produksi yang bisa menjadi suplai bagi wilayah inti.
72
Namun, karena pemahaman tentang keterkaitan antara wilayah inti dan hinterland
masih lemah, maka program pembangunan yang seharusnya ditujukan untuk
mendorong keterkaitan antar wilayah, seolah-olah lepas dari dinamika keterkaitan
sosial ekonomi yang sudah ada. Terkait konsep diatas, seharusnya fasilitas
pelayanan yang ada di Nagari Lubuk Basung dikembangkan dan diarahkan untuk
memfasilitasi perkembangan wilayah hinterlandnya.
Lubuk Basung dan Koto Tangah memiliki fasilitas industri dan pendidikan
yang lebih banyak dibandingkan nagari-nagari lainnya. Selain itu, fasilitas-
fasilitas lainnya yang cukup berkembang seperti toko, warung, pasar, bank,
hotel/penginapan, lembaga pendidikan ketrampilan, wartel, praktek dokter/bidan,
dan fasilitas kesehatan lainnya.
Pola spasial keterkaitan antar hirarki pusat-pusat aktivitas dan jalan yang
menghubungkannya mempunyai peran yang sangat penting dalam mewujudkan
75
keberimbangan antar wilayah dan membangun interaksi antar wilayah yang saling
memperkuat. Menurut Smith (1976), terdapat tiga jenis pola spasial yang
mengakibatkan suatu wilayah selalu berada dalam kondisi tertinggal, yaitu:
1) dendritic system, pola yang akan mendorong kearah terjadinya eksploitasi
sumberdaya perdesaan; 2) solar system, posisi tawar dari wilayah perdesaan
menjadi semakin lemah sehingga kehidupan masyarakat desa tidak banyak
mengalami peningkatan; dan 3) network system, berbeda dengan kedua sistem
sebelumnya yaitu membuat posisi tawar wilayah perdesaan semakin kuat karena
jalan-jalan yang dibangun harus bisa menghubungkan pusat produksi yang satu
dengan pusat produksi lain atau antara wilayah yang satu dengan wilayah yang
lain agar interaksi antar masyarakat di pusat produksi yang berbeda bisa
mendorong munculnya kelembagaan masyarakat yang memiliki posisi tawar yang
kuat. Sistem ini juga mengharuskan untuk membangun jalan-jalan yang bisa
menghubungkan pusat produksi dengan beberapa pusat pasar yang umumnya
berhirarki lebih tinggi.
Berikutnya, menurut Smith (1976), pola spasial yang bisa mendorong
pembangunan wilayah adalah pola spasial yang berhirarki di wilayah perdesaan-
kota kecil kota menengah kota besar, dan polanya tidak dendritik. Untuk
menghilangkan kontrol dari hirarki wilayah yang lebih tinggi, harus dibangun
jalan yang bisa menghubungi wilayah yang berhirarki lebih rendah dengan
beberapa wilayah lain yang berhirarki lebih tinggi. Wilayah yang berhirarki
rendah ini akan bisa memilih untuk melakukan transaksi dengan wilayah yang
berhirarki tinggi yang mampu menawarkan harga yang lebih kompetitif. Selain
itu juga akan terjadi kompetisi diantara wilayah yang berhirarki sama untuk
menyediakan pelayanan yang lebih baik. Selanjutnya, jalan-jalan antar desa juga
perlu dibangun untuk mendorong terjadinya transaksi antar desa, atau terjadinya
transaksi antar wilayah yang berhirarki sama. Kondisi ini akan mendorong
terbentuknya sistem cluster di perdesaan dan diharpkan mampu memperkuat
economic of scale, economic of scope, dan posisi tawar dari aktivitas ekonomi
wilayah tersebut. Semua ini membutuhkan suatu proses, karena investasi untuk
membangun jaringan jalan dan mengembangkan kota-kota kecil menengah juga
juga sangat mahal. Mengacu uraian diatas, maka pola spasial keterkaitan antara
76
hirarki pusat-pusat aktivitas dan keberadaan jalur jalan di Kabupaten Agam dapat
dianalisis sebagai dasar untuk membangun pola spasial yang lebih mendorong
perkembangan wilayah dimasa yang akan datang.
Berdasarkan hasil analisis, dimana posisi masing-masing hirarki dipetakan
melalui centroidnya, maka baik wilayah inti maupun hinterland terlihat ada yang
tepat berada di dekat fasilitas jalan dan ada yang jauh dari fasilitas jalan (Gambar
10,11, dan 12). Nagari-nagari yang berada jauh dari fasilitas jalan umumnya
wilayah yang termasuk hirarki III, IV, dan V. Wilayah yang memiliki fasilitas
pelayanan yang jauh dari jalan tersebut, umumnya yang terdapat di Agam bagian
barat dan tengah, sedangkan di bagian timur rata-rata berada di dekat fasilitas
jalan. Dengan demikian, perkembangan wilayah di bagian timur relatif
dipengaruhi fasilitas jalan. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan Kota
Bukittinggi sebagai kota wisata dan perdagangan. Kondisi ini menggambarkan
bahwa perkembangan Kota Bukittinggi sangat mempengaruhi perkembangan
fasilitas pelayanan terutama fasilitas perdagangan, sedangkan di tengah dan barat
aktivitas pembangunan di Kabupaten Agam relatif belum memberikan pengaruh
besar terhadap wilayah sekitarnya karena terkendala faktor fisik wilayah sehingga
fasilitas jalan tidak mempengaruhi secara langsung tumbuhnya fasilitas pelayanan
lainnya, akan tetapi polanya juga mendekati perkembangan fasilitas wilayah yang
ada di sekitar Kota Bukittinggi.
Untuk Nagari Lubuk Basung Kecamatan Lubuk Basung dan Koto Tangah
Kecamatan Koto Tangah, dimana keduanya merupakan wilayah berhirarki I
ternyata tidak berada di sepanjang jalan nasional, akan tetapi berada di dekat jalan
kabupaten. Meskipun tidak berada dekat jalan nasional, tetapi mutu jalan
provinsi dan kabupaten yang baik, maka sangat menunjang bagi perkembangan
kedua wilayah tersebut.
77
Berdasarkan pedoman di atas, karena nilai rataan seluruh faktor pada kluster
I berada di bawah 0.7 dan di atas -0.7, maka wilayah yang termasuk kategori ini
relatif memiliki faktor penciri sedang untuk semua faktor. Artinya, semua faktor
merepresentasikan perkembangan wilayah ini termasuk kategori sedang.
83
Tabel 19 Karakteristik Kluster Wilayah di Kabupaten Agam
Variabel Kluster 1 Kluster 2 Kluster 3
1. Kapasitas penunjang pariwisata -0.168870 0.69731 0.168508
2.0
1.5
1.0 Tinggi
0.5
0.0 Sedang
-0.5
-1.0
-1.5 Rendah
-2.0 Cluster 1
Faktor 1 Faktor 3 Faktor 5 Faktor 7
Cluster 2
Faktor 2 Faktor 4 Faktor 6
Cluster 3
Variabel-variabel
Wilayah yang termasuk tipologi I, II dan III (Tabel 23 dan 24) dicirikan
dengan nilai rataan masing-masing faktor penciri utama yang dibandingkan
dengan nilai jarak eucledian yaitu 0.70 dan -0.70. Tipologi I digambarkan dengan
nilai rataan faktor-faktor tersebut dibawah 0.70 dan di atas -0.70 dari nilai jarak
eucledian sehingga termasuk kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa
karakteristik wilayah yang termasuk tipologi ini relatif sedang berkembang.
Tipologi II, ada enam penciri kelompok yang paling berpengaruh yakni:
kapasitas penunjang pariwisata (2.4819), laju pertumbuhan penduduk (7.1372),
87
tingkat kesejahteraan (-3.7168), kapasitas fasilitas keuangan (-3.9489), kapasitas
fasilitas perdagangan (-4.0879), dan kapasitas sarana pertanian (-1.4638). Faktor
kapasitas penunjang pariwisata dan laju pertumbuhan penduduk adalah positif.
Artinya, pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini telah meningkatkan
kapasitas penunjang pariwisata dan laju pertumbuhan penduduk. Namun
demikian belum mampu meningkatkan kesejahteraan, kapasitas fasilitas
keuangan, kapasitas fasilitas perdagangan, dan kapasitas sarana pertanian, maka
tipologi ini memiliki ciri pembangunan wilayah dengan kapasitas penunjang
pariwisata dan laju pertumbuhan yang tinggi, namun masih belum mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Dengan demikian, wilayah yang
termasuk tipologi II relatif kurang berkembang.
Tabel 23 Fungsi Klasifikasi/Pengelompokkan Analisis Fungsi Diskriminan
No Variabel Tipologi I Tipologi II Tipologi III
p= .69863 p=.10959 p=.19178
1 Kapasitas penunjang pariwisata) -0.302593 2.4819 -0.31591
2 Tingkat kesejahteraan 0.397003 -3.7168 0.67766
3 Derajat kesehatan -0.647557 0.2946 2.19062
4 Laju pertumbuhan penduduk -0.351289 7.1372 -2.79871
5 Kapasitas fasilitas keuangan -0.614025 -3.9489 4.49333
6 Kapasitas fasilitas perdagangan 0.090331 -4.0879 2.00686
7 Kapasitas sarana pertanian -0.249014 -1.4638 1.74358
Constant -0.632611 -14.2244 -6.69354
Sumber: Data hasil olahan
Tabel 24 Nilai Rataan Hasil Analisis Diskriminan
Variabel Tipologi 1 Tipologi 2 Tipologi 3
1. Kapasitas penunjang pariwisata Sedang Tinggi Sedang
2. Tingkat kesejahteraan Sedang Rendah Sedang
3. Derajat kesehatan Sedang Sedang Tinggi
4. Laju pertumbuhan penduduk Sedang Tinggi Rendah
5. Kapasitas fasilitas keuangan Sedang Rendah Tinggi
6. Kapasitas fasilitas perdagangan Sedang Rendah Tinggi
7. Kapasitas sarana pertanian Sedang Rendah Tinggi
Sumber: Data hasil olahan
Tipologi III, ada lima penciri kelompok yang paling berpengaruh yakni:
derajat kesehatan (2.19062), laju pertumbuhan penduduk (-2.79871), kapasitas
fasilitas keuangan (4.49333), kapasitas fasilitas perdagangan (2.00686), dan
kapasitas sarana pertanian (1.74358. Faktor derajat kesehatan, kapasitas fasilitas
keuangan, kapasitas fasilitas perdagangan, dan kapasitas sarana pertanian adalah
88
positif. Artinya, pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini telah
meningkatkan derajat kesehatan, kapasitas fasilitas keuangan, kapasitas fasilitas
perdagangan, dan kapasitas sarana pertanian, dan hanya memperlihatkan laju
pertumbuhan penduduk yang rendah maka tipologi ini memiliki ciri pembangunan
yang relatif tinggi dibandingkan tipologi lainnya.
Sektor transportasi dikenal sebagai salah satu mata rantai jaringan distribusi
barang dan penumpang telah berkembang sangat dinamis serta berperan di dalam
menunjang pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan
keamanan. Pertumbuhan sektor ini akan mencerminkan pertumbuhan ekonomi
secara langsung sehingga transportasi mempunyai peranan yang penting dan
strategis. Keberhasilan sektor transportasi dapat dilihat dari kemampuannya dalam
menunjang serta mendorong peningkatan ekonomi nasional, regional dan lokal,
stabilitas politik termasuk mewujudkan nilai-nilai sosial dan budaya yang
diindikasikan melalui berbagai indikator transportasi antara lain: kapasitas,
kualitas pelayanan, aksesibilitas keterjangkauan, beban publik dan utilisasi.
Model sistem transportasi jalan untuk suatu wilayah studi terdiri dari dua
elemen model yakni sistem zona dan sistem jaringan jalan. Sistem zona terdiri
dari zona-zona yang membagi daerah studi ke dalam beberapa bagian sebagai
tingkat agregrasi terkecil pembangkit dan penarik perjalanan. Umumnya zona
dilengkapi dengan pusat zona atau centroid yang diasumsikan sebagai titik awal
atau akhir perjalanan. Jaringan jalan terdiri dari ruas jalan atau link yang
umumnya diberi atribut panjang, kapasitas, dan kecepatan operasinya. Pertemuan
antar ruas jalan disebut dengan simpul atau node yang dapat berupa persimpangan
jalan (dengan atau tanpa lampu pengatur lalu lintas), sedangkan untuk studi
jaringan transportasi regional antar kota simpul dapat berupa kota. Untuk kajian
transportasi multi moda simpul dapat berarti juga terminal (bus, kereta api, bandar
udara, pelabuhan) sebagai awal dan akhir perjalanan dengan menggunakan moda
angkutan umum atau angkutan yang tidak berbasis operasi di jalan.
Dari hasil analisis model interaksi spasial diperoleh hasil seperti pada Tabel
15 dan dapat dijelaskan bahwa secara spasial pola interaksi melalui pergerakan
orang dan barang berdasarkan hasil estimasi yang dibangun dari 2 model pada
Bab III, menunjukkan signifikansi parameter interaksi spasial pergerakan
orang/barang nyata mempengaruhi pola interaksi antar wilayah. Hal ini berarti
bahwa untuk pola pergerakan barang/orang secara umum memiliki hubungan
yang saling memperkuat antar wilayah, bila diamati secara langsung kondisi
91
pergerakan orang/barang di Provinsi Sumatera Barat cenderung menunjukkan hal
diatas, dimana Kota Padang sebagai pusat pelayanan tingkat propinsi karena
merupakan ibukota Provinsi Sumatera Barat, kemudian menyebar ke beberapa
wilayah kabupaten/kota lainnya.
60.000
50.000
Bangkitan Tarikan
40.000
30.000
20.000
10.000
-
t i
ng m an m an rat) ur
) n r g
ara ama Kota Data n jan lunto wl/s
jj l ok ya tan se
l ulu mb i au mu
t
da ia ia ( Ba ( Tim n B So asr a S ela Pes engk p J a op R S u
Pa Par Par a as 50 ah Pa a h b
S b Pr p
ng ot a gam gam s am ab P Kab Tan ang Saw Ka Ka har m ol ok Kab op B Pro Pro
da K A A Pa K b Pa
d D S Pr
Pa Ka
b b
Ka Kab Ka Ka
b
Ka
b
b
Ka
50.000
45.000
40.000
Bangkitan Tarikan
35.000
30.000
25.000
20.000
15.000
10.000
5.000
-
i
ng an n
m iam a a ra
t) ur
) rat an ta tar ng nto l/s
jj k a
ol o sray elata
n
ss
el ku
lu
mb i au mu
t
da im n B a s am 0 Ko h Da an ja ng J a op R Su
Pa ria
Pa a Pa
r (B (T a a 5 P h lu Sw b S a S Pe
Be op
am gam s am ab P Kab an
a
ng wa Kab Ka harm ol ok Ka
b
Pr Pr op
ng o t g T a Sa r op Pr
da K A A Pa K b Pa
d D S P
Pa Ka
b b
Ka Kab Ka Ka
b
Ka
b
b
Ka
Analisis Kesenjangan
a. Analisis Tingkat Kesenjangan
Pembangunan selalu menimbulkan dampak baik positif maupun negatif.
Oleh karena itu diperlukan indikator sebagai tolak ukur terjadinya pembangunan.
Pembangunan yang dimaksud disini adalah pembangunan wilayah seperti yang
didefinisikan oleh Anwar (2005) merupakan proses/tahapan kegiatan
95
pembangunan disuatu wilayah tertentu yang dalam perwujudannya melibatkan
interaksi antara sumberdaya manusia dengan sumberdaya lain termasuk
sumberdaya alam dan lingkungan melalui kegiatan investasi pembangunan.
Kesenjangan wilayah adalah suatu proses yang akan terjadi dan tidak
dapat dihindari seiring dengan kemajuan dalam pembangunan sosial
ekonomi negara, sampai kemudian menurun kembali dengan sendirinya
setelah mencapai titik balik (polarization reversal). Hubungan
antara kesenjangan wilayah dengan pendapatan per kapita pada suatu
negara misalnya, sering dilukiskan sebagai kurva genta (bell curve).
Khusus bagi negara-negara berkembang, kesenjangan pembangunan wilayah
tidak jelas kapan akan terjadinya titik balik
tersebut, karena paradigma kurva genta adalah cermin sejarah negara-
negara yang telah berkembang pada abad ke sembilan belas sampai dengan
pertengahan abad ini.
Analisis tingkat kesenjangan digunakan untuk melihat tingkat kesenjangan
antar wilayah sebagai dampak pelaksanaan pembangunan. Untuk kasus yang
sedang diteliti, variabel yang digunakan untuk menganalisis tingkat kesenjangan
ini menggunakan variabel pendapatan asli daerah (PAD) perkapita. Variabel ini
dianalisis menggunakan rumus Indeks Williamson.
Sekaitan dengan hasil analisis kesenjangan seperti tercantum dalam Tabel
27, dimana unit analisisnya adalah kawasan maka baik kawasan barat, tengah dan
timur memiliki tingkat kesenjangan rendah. Hal ini karena Kabupaten Agam
meskipun memiliki karakteristik wilayah yang sangat beragam namun sektor
utamanya masih pertanian.
Tabel 27 Nilai Indeks Kesenjangan Williamson dan Tingkatannya Berdasarkan
Wilayah Kawasan
No. Kawasan Indeks Williamson (Vw) Tingkat Kesenjangan
1 Barat 0,17 rendah
2 Tengah 0,19 rendah
3 Timur 0,23 rendah
Sumber: Data hasil olahan
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Evi et al, (2005) tentang kesenjangan
di Sumatera Barat bahwa Kabupaten Agam merupakan daerah dengan klasifikasi I
yaitu daerah yang memiliki potensi pembangunan yang sangat besar yang
96
dicirikan dengan pertumbuhan PDRB rata-rata dan pendapatan per kapita lebih
tinggi dari daerah tingkat II di Sumatera Barat dan sektor perkonomian
dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Disamping itu berdasarkan indeks
Williamson di Propinsi Sumatera Barat dari tahun 1985-2003, bahwa
pembangunan ekonomi di Sumatera Barat terdistribusi ke seluruh kabupaten
dengan merata begitu juga di Kabupaten Agam. Menurut Rustiadi et al. (2006),
tingkat kesenjangan berdasarkan Indeks Williamson di Sumatera Barat pada tahun
2000 baik menggunakan indikator Migas dan non migas cenderung rendah yakni
0.44 dan 0.44.
Provinsi Sumatera Barat umumnya dan Kabupaten Agam khususnya
sebagian besar wilayahnya berada di Pantai Barat Sumatera. Sejak Pantai Barat
Sumatera mendapatkan pesaing berat, yakni pantai timur Sumatera dan ada
kaitannya dengan kedatangan Inggris, terjadinya revolusi industri, dan dibukanya
Terusan Suez maka para saudagar yang bertindak selaku investor juga mulai
beralih ke Pantai Timur. Klimaksnya terjadi migrasi besar-besaran penduduk
pantai barat Sumatera ke Semenanjung Malaysia, termasuk dua suku bangsa
besar, Batak dan Minangkabau. Dengan demikian, aktivitas ekonomi di pantai
barat Sumatera menurun tajam. Hal inilah yang merupakan salah satu faktor
penyebab wilayah ini perkembangannya cenderung lambat dibandingkan dengan
wilayah yang berada dekat pantai Timur. Hal ini pulalah yang menyebabkan
wilayah ini sangat berhati-hati dalam melaksanakan pembangunan (Anonimous.
2007).
Berdasarkan unit analisis wilayah administrasi kecamatan seperti tercantum
pada Tabel 28 dapat dijelaskan bahwa terdapat 1 kecamatan yang berada pada
tingkat kesenjangan tinggi yaitu Kecamatan Lubuk Basung. Kecamatan yang
berada pada tingkat kesenjangan sedang ada 9 kecamatan yaitu Kecamatan
Banuhampu, Baso, Candung, Empat Angkat Candung, IV Koto, Matur,
Palembayan, Tanjung Raya, dan Tilatang Kamang. Sedangkan yang termasuk
wilayah kecamatan yang beraada pada tingkat kesenjangan rendah ada
5 kecamatan yaitu: Kecamatan Ampek Nagari, Kamang Magek, Palupuh, Sungai
Pua dan Tanjung Mutiara.
97
Tabel 28 Nilai Indeks Kesenjangan Williamson dan Tingkatannya Berdasarkan
Wilayah Administrasi Kecamatan
No. Nama Kecamatan Indeks Kesenjangan (Vw) Tingkat Kesenjangan
1 Banuhampu 0,55 sedang
2 Baso 0,54 sedang
3 Candung 0,46 sedang
4 Empat Angkat Candung 0,56 sedang
5 IV Koto 0,56 sedang
6 IV Nagari 0,48 rendah
7 Kamang Magek 0,43 rendah
8 Lubuk Basung 0,74 tinggi
9 Matur 0,41 sedang
10 Palembayan 0,60 sedang
11 Palupuh 0,36 rendah
12 Sungai Pua 0,46 rendah
13 Tanjung Mutiara 0,49 rendah
14 Tanjung Raya 0,52 sedang
15 Tilatang Kamang 0,55 sedang
Sumber: Data hasil olahan
Tingkat kesenjangan yang tinggi di Kecamatan Lubuk Basung disebabkan
nagari-nagari di kecamatan ini memiliki fasilitas pelayanan yang belum merata
dan memiliki tingkat perkembangan wilayah yang berbeda. Hal ini ditunjukkan
dengan hasil analisis hirarki wilayah, hanya satu nagari yaitu Nagari Lubuk
Basung yang merupakan hirarki I sedangkan yang lainnya termasuk hiraki III, IV,
dan V. Tingkat perkembangan wilayah di Kecamatan Lubuk Basung berdasarkan
analisis gerombol, Nagari Lubuk Basung termasuk kluster I (sedang berkembang),
sedangkan nagari-nagari lainnya memiliki tingkat perkembangan rendah (kluster
II). Begitu juga dengan hasil analisis diskrimanan, Nagari Lubuk Basung
memiliki tingkat perkembangan lebih tinggi dibandingkan dengan nagari-nagari
lainnya. Terkait perbedaan tersebut, maka kecamatan yang memiliki nagari
dengan fasilitas pelayanan dan tingkat perkembangan yang berbeda memacu
terjadinya kesenjangan wilayah.
Wilayah yang belum berkembang dengan ciri utama, kondisi masyarakat
yang tertinggal, standar hidup rendah, efisiensi rendah, konsumsi rendah,
tabungan rendah, investasi rendah, dan pengangguran meningkat. Sebaliknya di
wilayah yang maju, masyarakat maju, standar hidup tinggi, pendapatan semakin
tinggi, tabungan semakin banyak yang pada akhirnya masyarakat semakin maju;
98
Kedua kondisi yang berbeda tersebut menyebabkan kesenjangan yang tidak
rendah (Murty, 2000).
Tingkat kesenjangan yang rendah di Kecamatan Palupuh, Sungai Pua, dan
Tanjung Mutiara disebabkan nagari-nagari di Kecamatan ini memiliki fasilitas
pelayanan yang lebih merata dan tingkat perkembanganya relatif sama. Hal ini
ditunjukkan dengan hasil analisis hirarki wilayah bahwa nagari-nagari yang
berada di Kecamatan Tanjung Mutiara termasuk hirarki V berdasarkan jumlah
fasilitas dan sebagian besar termasuk kluster II (kurang berkembang) dan tipologi
II (kurang berkembang) berdasarkan analisis gerombol dan diskriminan. Terkait
hal tersebut, wilayah yang memiliki kesenjangan rendah relatif memiliki fasilitas
pelayanan yang merata dan tingkat perkembangannya relatif kurang berkembang.
Empat Angkat Candung 0.2 0.3 0.6 0.6 0.7 2.4 0.48
Analisis Deskriptif