Anda di halaman 1dari 26

LEMBAR PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Dein Imelga Debita Rustanto

NIM : 030.11.067

Bagian : Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Judul Referat : Berbagai Penyebab Dan Faktor Resiko Gatal di Lipat Paha
Pembimbing : dr.Doddy Suhartono, Sp.KK

Tegal , 10 Januari 2017

dr.Doddy Suhartono, Sp.KK

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatNya saya dapat
menyelesaikan tugas referat ini tepat pada waktunya.

Dalam rangka memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di
RSU Kardinah Tegal, salah satu tugas nya adalah referat yang berjudul Berbagai Penyebab dan
Faktor Resiko Gatal di Lipat Paha.
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
dr.Doddy Suhartono, Sp.KK selaku pembimbing referat, atas bimbingannya dan juga dukungan
dari teman-teman di bagian kulit yang telah banyak membantu dalam penyelesaian referat ini.

Akhir kata disadari, bahwa penyajian referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu segala kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan, semoga referat ini dapat
bermanfaat untuk semua pihak, khususnya di bagian Ilmu Penyakit Kulit.

Tegal, 10 Januari 2017

Penyusun

3
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan 2

Kata Pengantar .......................................................................................................................3

Daftar Isi ................................................................................................................................4

BAB I

Pendahuluan ...........................................................................................................................5

BAB II

Tinjauan Pustaka ....................................................................................................................

Daftar Pustaka .......................................................................................................................

4
BAB I
Pendahuluan

Infeksi berasal dari kata inficere didefinisikan sebagai invasi mikroorganisme patogenik ke
dalam tubuh yang bereproduksi dan bermultiplikasi, menyebabkan penyakit melalui kerusakan
sellular lokal, sekresi toksin, atau reaksi antigen antibodi pada pejamu/host. Kulit yang
merupakan organ terbesar dari tubuh manusia yang menjadi pertahanan pertama tubuh dari
serangan bakteri dan virus. Ketika kulit terkena matahari, cuaca kering, atau bakteri, maka
reaksinya akan merembet ke bagian tubuh lain. Infeksi kulit dapat dibagi menjadi infeksi bakteri,
virus, atau jamur dimana infestasi dengan serangga atau cacing juga termasuk di dalamnya.iklim
tropis dan adanya serangga tertentu di area tersebut.3 Iklim yang panas dan lembab merupakan
predisposisi penyakit jamur, bakteri dan parasit.1,2
Di Indonesia, angka yang tepat untuk insidensi kasus infeksi kulit belum ada. Berdasarkan
data yang diambil dari berbagai Rumah Sakit Pendidikan Kedokteran di Indonesia tahun 1997
1998, angka insidensi tertinggi infeksi jamur adalah dermatofitosis diikuti pitiriasis versikolor,
sedangkan kandidosis kutis menempati urutan ke tiga.2
Penyakit kulit dapat mengenai berbagai regio pada tubuh manusia, mulai dari ujung kepala
hingga ujung kaki, termasuk juga pada daerah lipatan. Penyakitpenyakit ini dapat menimbulkan
inflamasi, dapat juga tidak. Penyakit kulit inflamasi yang timbul pada daerah lipatan disebut juga
sebagai intertrigo. Apabila terjadi di daerah inguinal, yaitu di bagian perut bawah sekitar kanalis
inguinalis hingga daerah lipatan paha atas, maka penyakit tersebut sering dimasukkan ke dalam
golongan penyakit yang disebut inguinal intertrigo.

5
BAB II

Tinjauan pustaka

1. Tinea kruris

Definisi

Tinea kruris atau ekzem marginatum, gym itch, dhobie itch, jock itch, ringworm of groin
atau tinea ingunalis adalah dermatofitosis pada daerah lipat paha, genitalia, pubis, perineal,
perianal, dan paha atas medial. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun bahkan merupakan
penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genitokrural saja
bahkan meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus, perut. 3

Etiologi

Jamur penyebab ini termasuk dalam generasi Trichopyton, Epidermophyton dan


termasuk Microsporum.Jamur dermatofita utama penyebab tinea kruris adalah Trichophyto
rubrum dan Epidermophyton floccosum. Trichophyton mentagrophytes, Trichophyton
verrucosum, dan Tricophyton interdigitale juga merupakan penyebab dari tinea kruris namun
lebih jarang ditemukan. Prevalensi infeksi oleh Trichophyton rubrum sebesar 90%, E. floccosum
dan T. metagrophytes 4%. Trichophyton tonsurans merupakan jamur antropofilik dan tersebar
diseluruh dunia dengan distibusi yang luas. Spesies ini sering menimbulkan lesi yang bersifat
kronis. Dermatofita terbagi menjadi tiga kelompok berdasarkan habitat alaminya, yaitu
antropofilik yang terbatas hanya pada manusia dan ditularkan melalui kontak langsung maupun
tidak langsung (penggunaan sisir, sarung bantal, sepatu, pakaian dalam, handuk, baju, sepatu,
atau kaos kaki), zoofilik ditularkan melalui kontak dengan hewan (kucing, anjing, kelinci,
burung, dan binatang ternak), dan geofilik ditularkan kepada manusia melalui kontak langsung
dengan tanah.3,4,5

6
Epidemiologi

Tinea kruris merupakan dermatofitosis kedua terbanyak didunia dan spesies dermatofita
penyebab tinea kruris yang paling sering ditemukan diseluruh dunia adalah T. Rubrum. Spesien
lain yang sering pula dijumpai adalah T. Mentagrophytes dan E. Floccosum.3

Faktor resiko

Beberapa faktor resiko yang dapat mempengaruhi epidemiologi dermatofitosis itu antara
lain jenis populasi, iklim, gaya hidup atau behavioral facktor, migrasi penduduk, kondisi kultur,
serta sosioekonomi dan terapi. Tinea kruris lebih sering ditemukan di iklim tropis meskipun
dapat pula ditemukan di seluruh dunia. Dermatofita tumbuh optimal pada suhu 15- 35C, pada
kulit manusia yang hangat, dan lembap, sehingga dermatofitosis umumnya lebih banyak
ditemukan di negara tropis dan subtropis. Kelembapan, suhu yang tinggi, tinggal di pemukiman
yang padat, pemakain fasilitas mandi bersama sama, kontak dengan hewan, sering berkeringat,
memakai pakaian yang ketat, da juga obesitas merupakan faktor predisposisi terjadi tinea kruris.3

Gejala klinis

Distribusi Sering ditemukan pada pelari, orang-orang gemuk dan orang yang suka
mengenakan pakaian ketat. Keluhan yang dirasakan pasien tinea kruris adalah timbul bercak
kemerahan disertai rasa gatal atau terbakar pada lipat paha, genital, sekitar anus, dan daerah
perineum. Bercak kemerahan tersebut bersisik dan pada bagian pinggirnya terlihat lebih merah
dan tinggi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang-kadang timbul lecet akibat garukan
kuku.5,6,7

7
Gambar 1. Tinea kruris

Diagnosis

Diagnosa tinea kruris ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan mikroskopis. Tinea
kruris umumnya mudah dikenali dari gejala klinis dan morfologi lesi, kecuali pada beberapa
kasus tertentu. Gejala klinis tinea kruris tampak sebagai papulovesikel eritematosa multipel yang
berbatas tegas, ditutupi oleh skuama halus, dengan tepi lebih tinggi dan merah (central healing).
Pruritus dan nyeri sering ditemukan oleh karena maserasi ataupun infeksi sekunder. Tinea kruris
oleh E. floccosum sering menunjukkan gambaran central healing, dan terbatas pada lipatan
genitokrural dan bagian pertengahan paha atas. Sebaliknya, infeksi oleh T. rubrum memberikan
gambaran lesi yang bergabung dan meluas sampai ke pubis, perianal, pantat, dan bagian
abdomen bawah. Tidak terdapat keterlibatan pada daerah genitalia. 5

Diagnosis laboratorium rutin pada kasus dermatofitosis adalah pemeriksaan mikroskopik


langsung dengan kalium kidroksida (KOH) 10-20%. Pada sediaan tampak hifa bersepta dan
bercabang tanpa penyempitan. Terdapatnya hifa memastikan diagnosis dermatofitosis.
Sensitifitas, spesifisitas, dan hasil negatif palsu pada pemeriksaan mikroskopik KOH spesifisitas
sebesar 50-70% serta hasil negatif palsu sekitar 15-30%. Namun teknik ini memiliki kelebihan
tidak membutuhkan peralatan yang spesifik, lebih murah dan jauh lebih cepat bila dibandingkan
dingan kultur. Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih spesifik, membutuhkan
waktu yang lebih lama, memiliki sensitivitas yang rendah (20-70%), dan harga yang lebih mahal.
Kultur biasanya dilakukan hanya pada kasus yang berat dan tidak berespon pada pengobatan
sistemik. Kultur menjadi pilihan diagnostik karena tidak hanya mengisolasi organisme, tetapi

8
juga memungkinkan untuk identifikasi agen etiologi (karena semua spesies dermatofita tampak
identik pada sediaan langsung), sehingga pengobatan dapat secara tepat diberikan.5

Diagnosis banding tinea kruris adalah kandidosis intertrigo, eritrasma, psoriasis, dan
dermatitis seboroik. Pada kandidosis intertrigo lesi akan tampak sangat merah, tanpa adanya
central healing, dan lesi biasanya melibatkan skrotum serta berbentuk satelit.7

Tatalaksana

Penatalaksanaan tinea kruris berupa terapi medikamentosa dan nonmedikamentosa. Pada


kebanyakan kasus tinea kruris dapat dikelola dengan pengobatan topikal. Namun, steroid topikal
tidak direkomendasikan. Agen topikal memiliki efek menenangkan, yang akan meringankan
gejala lokal. Terapi topikal untuk pengobatan tinea kruris termasuk: terbinafin, butenafin,
ekonazol, miconazol, ketoconazol, klotrimazol, ciclopiroks. Formulasi topikal dapat membasmi
area yang lebih kecil dari infeksi, tetapi terapi oral diperlukan di mana wilayah infeksi yang lebih
luas yang terlibat atau di mana infeksi kronis atau berulang. Infeksi dermatofita dengan krim
topikal antifungal hingga kulit bersih (biasanya membutuhkan 3 sampai 4 minggu pengobatan
dengan azoles dan 1 sampai 2 minggu dengan krim terbinafin) dan tambahan 1 minggu hingga
secara klinis kulit bersih.5

Pilhan terapi medikamentosa pada tinea kruris, diantaranya:

a. Griseovulfin. Pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi


dengan pemberian griseovulvin. Obat ini bersifat fungistatik. Secara umum griseovulfin
dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5 1 untuk orang dewasa dan
0,25 0,5 g untuk anakanak sehari atau 10 25 mg per kg berat badan. Lama pengobatan
bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit dan keadaan imunitas penderita.
Setelah sembuh klinis di lanjutkan 2 minggu agar tidak residif.

b. Butenafin adalah salah satu antijamur topikal terbaru diperkenalkan dalam


pengobatan tinea kruris dalam dua minggu pengobatan dimana angka kesembuhan sekitar
70%

9
c. Flukonazol (150 mg sekali seminggu) selama 4-6 minggu terbukti efektif dalam
pengelolaan tinea kruris dan tinea corporis karena 74% dari pasien mendapatkan
kesembuhan.

d. Itrakonazol dapat diberikan sebagai dosis 400 mg /hari diberikan sebagai dua
dosis harian 200 mg untuk satu minggu.

e. Terbinafin 250 mg /hari telah digunakan dalam konteks ini klinis dengan rejimen
umumnya 2-4 minggu.

f. Itrakonazol diberikan 200 mg /hari selama 1 minggu dianjurkan, meskipun


rejimen 100 mg /hari selama 2 minggu juga telah dilaporkan efektif.

g. Ketokonazol bersifat fungistatik. Pada kasus resisten terhadap griseovulfin dapat


diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg perhari selama 10 hari 2 minggu pada pagi
hari setelah makan. Selama terapi 10 hari, gambaran klinis memperlihatkan makula
hipopigmentasi dan hiperpigmentasi. Pemeriksaan ulang KOH 10% dapat tidak
ditemukan kembali.

Penatalaksanaan tinea kruris secara non-medikamentosa dan pencegahan dari


kekambuhan penyakit sangat penting dilakukan, seperti mengurangi faktor predisposisi yaitu
menggunakan pakaian yang menyerap keringat, mengeringkan tubuh setelah mandi atau
berkeringat, dan membersihkan pakaian yang terkontaminasi.5

2. Candidosis intertriginosa

Definisi

Kandidosis Intertriginosa merupakan mikosis superfisialis yang terkena pada daerah


lipatan kulit yang disebabkan oleh jamur dari genus Candida umumnya Candida albicans. Letak
lesinya kandidiasis kutis di daerah lipatan kulit ketiak, lipat paha, intergluteal, lipat payudara,
antara jari tangan atau kaki, glans penis, dan umbilikus.8

Epidemiologi

10
Di Jepang, dilaporkan bahwa kandidosis kutis terdapat pada 755 kasus dari 72.660 pasien
yang keluar dari RS, dimana kandidosis intertriginosa merupakan kasus yang paling sering yaitu
347 kasus (45,96%). Penelitian yang dilakukan Wowor SR (2013)di Poliklinik Kulit dan
Kelamin BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou periode Januari Desember 2012 melaporkan
bahwa ada 37 pasien (3,37%) kandidosis intertriginosa dari 1096 pasien baru.Kasus kandidiasis
kutis di Indonesia menempati urutan ketiga dalam insidensi dermatomikosis, tetapi pada
beberapa kota, yaitu Makasar, Medan, dan Denpasar menempati urutan pertama dalam insiden
dermatomikosis.9,10

Etiologi

Candida albicans merupakan spesies yang tergolong dalam genus Candida. Candida
merupakan jamur komensal yang hidup dalam rongga mulut, saluran pencernaan, vagina, dan
kulit. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu seperti pada orang dengan gangguan imun atau terapi
imunosupresi, Candida dapat menjadi patogen dan menyebabkan kandidosis. Inilah sebabnya
kandidosis disebut jamur patogen oportunistik. 8,9

Faktor resiko

Infeksi kandida dapat terjadi apabila terdapat faktor predisposisi seperti kehamilan
(perubahan pH vagina), hiperhidrosis, obesitas, diabetes melitus, gangguan imunitas, orang tua,
bayi, penderita kanker, terapi imunosupresan, penyakit kronik (Lupus Eritematosus dan
Tuberkulosis). Penggunaan antibiotik jangka panjang serta lingkungan dengan suhu dan
kelembaban tinggi, berkecimpung pada pekerjaan yang basah dan pekerjaan dengan bahan iritan
juga turut berperan menjadikan jamur ini tumbuh subur dan bersifat patogen. Peningkatan
jumlah penderita HIV/AIDS, meningkatnya penggunaan antibiotik oleh masyarakat tanpa
berkonsultasi dengan tenaga kesehatan, juga perubahan iklim menjadi semakin panas yang
menyebabkan seseorang lebih sering berkeringat, dapat memicu terjadinya peningkatan jumlah
kasus dari kandidosis intertriginosa.8

Patogenesis

Patogenesitas penyakit dan mekanisme pertahanan pejamu terhadap kandida belum


sepenuhnya dimengerti, namun pada dasarnya terjadinya kandidasis meliputi mekanisme non

11
imunologik dan mekanisme imunologik baik imunitas selular ataupun humoral. Mekanisme non
imunologik meliputi interaksi flora normal kulit/mukosa, fungsi pertahanan stratum korneum,
proses deskuamasi, fungsi fagositosis, dan adanya lipid permukaan kulit yang menghambat
pertumbuhan kandida. Interaksi kandida dan flora normal kulit lainnya mengakibatkan
persaingan dalam mendapatkan nutrisi seperti glukosa. Mekanisme imunitas seluler dan humoral
tahap pertama timbulnya kandidiasis kulit dan mukosa adalah menempelnya kandida pada sel
epitel disebabkan adanya interaksi antara glikoprotein permukaan kandida dengan sel epitel.
Selanjutnya kandida mengeluarkan zat keratinolitik (fosfolipase), yang menghidrolisis fosfolipid
membran sel epitel. Bentuk pseudohifa kandida juga mempermudah invasi jamur ke jaringan
kemudian di dalam jaringan kandida mengeluarkan faktor kemotatik neutrofil yang akan
menimbulkan reaksi radang akut. Lapisan luar kandida yang mengandung manno protein,
bersifat antigenik sehingga akan mengaktivasi komplemen dan merangsang terbentuknya
immunoglobulin. Peran antibodi sebagai mekanisme pertahanan tubuh pejamu belum jelas.
Imunogobulin akan membentuk kompleks antigen-antibodi di permukaan sel kandida, yang
dapat melindungi kandida dari imunitas pejamu. Kandida juga mengeluarkan zat toksis terhadap
neutrofil dan fagosit lainnya.11

C.albicans memiliki kemampuan mengalami perubahan morfologi yang reversibel antara


tunas (budding), pseudohifa, dan hifa. Semua bentuk itu dapat muncul pada spesimen jaringan.
Sel ragi dapat menyebar secara efektif, sedangkan hifa diduga mempunyai potensi untuk
melakukan invasi ke epitel dan jaringan endotel serta membantu mencegah penelanan makrofag.
Kemampuan mengubah dari satu bentuk kebentuk lain berpengaruh langsung terhadap 1
kemampuan organisme dalam menyebabkan penyakit.11

Gejala klinis

Kandidosisintertriginosa memberikan rasa gatal, nyeri, dan bahkan dapat menimbulkan


rasa terbakar, sehingga pasien cenderung langsung mencari pertolongan ke dokter sebelum lesi
tersebut menyebar ke lokasi lipatan kulit yang lain. Kelainan yang tampak berupa bercak yang
berbatas tegas, bersisik, basah, dan eritematosa. Lesi tersebut dikelilingi oleh satelit berupa
vesikel dan pustul kecil atau bula, yang bila pecah meninggalkan daerah erosif, dengan tepi yang
kasar dan berkembang seperti lesi primer.

12
Diagnosis

Pemeriksaan mikroskop langsung kerokan kulit dengan sediaan KOH memperlihatkan


bentuk pseudohifa dan yeast. Kultur dapat mengidentifikasi spesies kandida, namun adanya
C.albicans pada kultur tidak selalu menegakkan diagnosis kandidiasis.11

Tatalaksana

Terapi dengan antijamur topikal memiliki beberapa keuntungan dibandingkan terapi


sistemik, yaitu efek samping dan interaksi obat lebih rendah, terapi terlokalisir, dan biaya lebih
rendah. Golongan antijamur topikal yang digunakan pada kandidiasis 15 antara lain: imidazol
dan poliene. Imidazol merupakan antijamur dengan spektrum luas. Imidazol menghambat
sintesis komponen dinding sel jamur melalui penghambatan lanosterol 14--demethylase, suatu
enzim tergantung sitokrom P , yang mengkonversi 450 lanosterol menjadi ergosterol. Deplesi
ergosterol menyebabkan ketidakstabilan membran dan hiperpermiabel sehingga mengganggu
pertumbuhan jamur. Imidazol bersifat fungistatik. Semua imidazol memperlihatkan penetrasi
yang sangat baik pada stratum korneum dengan keratinofilik yang kuat. Imidazol topikal
digunakan pada kandidiasis kutis dan ruam 15 popok. Imidazol digunakan 2 kali sehari pada area
lesi, dioleskan dengan radius 2 cm dari batas luar lesi dan direkomendasikan melanjutkan
pengobatan sampai 1 minggu setelah terjadi penyembuhan klinis.11

Poliene merupakan agen pertama yang ditemukan sebagai antijamur. Nistatin dan
amfoterisin B merupakan dua macam obat topikal poliene antijamur utama. Nistatin berikatan
secara ireversibel dengan sterol membran yang terdapat pada spesies Candida. Molekul poliene
memperlihatkan afinitas yang tinggi pada sterol fungi, termasuk ergosterol, daripada sterol
manusia. Nistatin topikal digunakan untuk mengobati kandidiasis mukokutan yang disebabkan
C. albicans dan spesies rentan lainnya seperti 1 C.parapsilosis, C.tropicalis, dan C.krusei.11

3. Dermatitis kontak

Definisi

Secara garis besar, dermatitis kontak ini diklasifikasikan menjadi 2 bagian besar, yaitu
dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi.DKA dan DKI merupakan dua varian utama
dermatitis kontak. Dermatitis Kontak Iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan lokal non

13
imunologik pada kulit yang disebabkan oleh kontak dengan faktor eksogen maupun endogen.
Faktor eksogen berupa bahan-bahan iritan (kimiawi, fisik, maupun biologik) dan faktor endogen
memegang peranan penting pada penyakit ini.12,13

Epidemiologi

Dermatitis kontak merupakan kelainan yang sering ditemui. Di Amerika, angka kejadian
dermatitis kontak sekitar 20% pada populasi umum.12

Etiologi

Dermatitis kontak merupakan respons kulit terhadap kontak dengan faktor luar, dalam hal
ini iritan dan alergen. Iritan merupakan senyawa kimia, bahan biologik, pajanan suhu tinggi,
maupun tekanan/trauma fisik yang dapat menyebabkan disintegrasi membran atau mengganggu
proses metabolik pada dermis dan epidermis. Alergen merupakan suatu zat yang dapat
menginduksi respons imun spesifik. Tidak semua benda asing yang dapat berpenetrasi ke kulit
merupakan antigen. Sebagian besar alergen adalah hapten, yaitu suatu senyawa sederhana yang
harus berikatan kovalen dengan protein karier untuk menjadi antigen yang mampu mensensitasi
respons imun spesifik. Beberapa alergen yang lebih sering ditemukan menjadi penyebab DKA
pada populasi geriatri dibandingkan pada populasi muda, yaitu: neomisin, lanolin alkohol,
campuran paraben, dan phenoxy-ethanol. Kepustakaan lain menyebutkan bahwa nikel, tanaman
tertentu (misalnya Toxicodendron sp), rejimen topikal, kosmetika, dan bahan pakaian sintetik
merupakan alergen utama pada populasi geriatri.12

Faktor resiko

Dermatitis kontak merupakan respons kulit terhadap kontak dengan faktor luar, dalam hal
ini iritan dan alergen. Iritan merupakan senyawa kimia, bahan biologik, pajanan suhu tinggi,
maupun tekanan/trauma fisik yang dapat menyebabkan disintegrasi membran atau mengganggu
proses metabolik pada dermis dan epidermis. Umumnya iritan merupakan molekul yang
berukuran kecil. Iritan harus mampu melakukan penetrasi pada stratum korneum, kemudian
mencapai lapisan hidup dari epidermis yang menyebabkan respons inflamasi diperantarai sistem
imun nonspesifik. Iritan yang sering ditemui sehari-hari berupa: suhu tinggi, kelembaban,
gesekan, deterjen, asam dan alkali, pelarut organik, garam organik dan inorganik. 12

14
Faktor lain adalah lokasi tubuh yang mengalami kontak terkait dengan kekerapan kejadian
kontak dan faktor mekanik (misalnya: pemijatan maupun penekanan pada area kontak), adanya
berbagai bahan yang berperan baik sebagai iritan maupun alergen, gesekan, serta abrasi kulit.
Selain itu, kelembaban yang menurun dan temperatur rendah dapat menyebabkan penurunan
kandungan air pada stratum korneum, yang meningkatkan permeabilitas kulit terhadap iritan.12

Patogenesis

Patogenesis dermatitis kontak melibatkan pajanan terhadap alergen dan iritan, faktor
endogen dan lingkungan yang berinteraksi secara dinamis. Secara patofisiologi dermatitis kontak
dibedakan menjadi dermatitis kontak alergik (DKA) yang merupakan respons kontak terhadap
alergen pada individu yang telah tersensitisasi dan dermatitis kontak iritan (DKI) yang
diakibatkan pajanan terhadap iritan.12

Pada DKI, pajanan pertama terhadap iritan telah mampu menyebabkan respons iritasi
pada kulit. Sel T memori tidak berperan dalam timbulnya DKI. Terdapat empat mekanisme
utama yang saling berinteraksi dalam kejadian DKI: kehilangan lipid dan substansi pengikat air
epidermis, kerusakan membran sel, denaturasi keratin pada epidermis, dan efek sitotoksik
langsung. Telah dibuktikan bahwa sistem imun nonspesifik berperan dalam patogenesis DKI.
Pajanan terhadap iritan menyebabkan reaksi inflamasi berupa vasodilatasi dan infiltrasi sel pada
dermis dan epidermis akibat pelepasan sitokin proinflamatorik IL-1 sebelum terjadi kerusakan
kulit. Sel-sel yang berperan dalam proses ini adalah keratin, makrofag, netrofil, eosinofil, dan sel
T nave. Gambaran histologis respons inflamasi DKI berupa spongiosis dan pembentukan
mikrovesikel.12

Secara umum patofisologi DKA merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV (delayed


type) yang diperantarai komponen selular (sel T). Proses tersebut dapat diamati dalam 3 fase,
yaitu fase aferen, fase eferen, dan fase resolusi. Pada fase aferen atau fase sensitisasi, hapten
melakukan penetrasi ke kulit dan membentuk kompleks dengan protein karier epidermis,
membentuk alergen. Molekul MHC II atau HLA-DR pada permukan antigenpresenting
Langerhans cells (LCs) berperan sebagai tempat melekat alergen tersebut. Sel Langerhans
kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening (KGB) untuk mensensitisasi sel T nave. Sel T
tersensitisasi ini, meliputi sel Th1(CD4) dan sel Tc1(CD8), kemudian bermigrasi ke kulit. Fase

15
eferen atau fase elisitasi terjadi pada pajanan ulang alergen kontak pada kulit. Alergen ini
kemudian dipresentasikan oleh sel Langerhans dan dikenali sel T tersensitisasi yang akan
menginduksi reaksi. Reaksi inflamasi ini diperantarai komponen selular sistem imun spesifik.
Respons inflamasi yang terjadi melibatkan migrasi berbagai sel inflamatorik dan pelepasan
sitokin oleh keratinosit apoptotik. Gambaran histologis yang ditemui pada DKA dapat berupa
spongiosis dan infiltrat pada dermis. Fase resolusi ditandai peningkatan IFN dan prostaglandin
(PGE) yang menghambat produksi IL-2 dan menghambat aktivitas natural killer cell (sel NK).
Reaksi diakhiri dengan mekanisme down-regulasi sel T. Adanya deskuamasi lapisan kulit yang
mengandung alergen kontak, degradasi enzimatik terhadap alergen, dan mekanisme regulasi
imun lainnya yang belum sepenuhnya diketahui turut berperan dalam fase ini.12

Gambaran klinis

Penyakit DKI ini ditandai dengan peradangan kulit polimorfik yang mempunyai ciri-ciri
yang luas, meliputi : rasa gatal, kemerahan, skuama, vesikel, dan krusta papulovesikel.13

Diagnosis

Dermatitis kontak dapat disebabkan karena alergi atau iritan. Diagnosis biasanya tidak
jelas diperoleh dari riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisis saja. Anamnesis dan pemeriksaan
penunjang, yaitu uji tempel, memberikan kontribusi bermakna dalam menegakkan diagnosis.
Meskipun mendapatkan informasi yang relevan mudah pada sebagian pasien, faktanya diagnosis
secara tepat membutuhkan rangkaian pertanyaan yang panjang dan teliti untuk mendapatkan
petunjuk yang diperlukan. Anamnesis teliti dan terarah harus dilakukan untuk mengidentifikasi
intensitas, frekuensi, dan lama pajanan pada area yang terpajan. Suatu iritan pada saat yang
bersamaan dapat pula bersifat sebagai alergen. Hal menarik lainnya adalah adanya DKI dapat
meningkatkan kejadian DKA. Hal tersebut terjadi akibat adanya gangguan fungsi sawar kulit
yang terjadi sebelumnya akan meningkatkan penetrasi alergen.12

Tanpa uji tempel, adalah mustahil menggambarkan penyebab DKA secara obyektif. Oleh
karena itu, meskipun 105 tahun telah berlalu sejak Jadassohn pertama kali menjelaskan kegunaan
uji tempel, pemeriksaan penunjang ini tetap penting untuk diagnosis dermatitis kontak secara
tepat. Evaluasi hasil uji tempel dilakukan pada jam ke-48 dan jam ke-72. Pembacaan pertama
dapat dilakukan 15-30 menit setelah preparat dilepaskan. Umumnya kasus positif ditandai

16
eritema dan infiltrat ringan. Biopsi kulit umumnya tidak memberikan banyak manfaat dalam
membedakan DKI dan DKA pada populasi orang tua.12

Tatalaksana

Identifikasi dan penghindaran bahan iritan maupun alergen yang dicurigai merupakan tahapan
utama dalam terapi dermatitis kontak. Pelembab telah menjadi satu bagian penting dalam
tatalaksana dermatitis kontak. Penggunaan pelembab dapat membantu pemulihan sawar kulit
dengan cara meningkatkan hidrasi kulit, mempengaruhi struktur lipid epidermis, dan mencegah
absorbsi senyawa eksogen. Pelembab yang mengandung lipid menjadi pilihan utama. Untuk
pasien yang tidak mampu menghindari alergen yang telah diketahui, terapi imunosupresan
(misalnya: kortikosteroid topikal, takrolimus topikal, siklosporin, dan fototerapi) atau perbaikan
sawar dapat memberi manfaat. Pruritus dapat dikontrol dengan antipruritik atau antihistamin
oral. Antihistamin maupun zat anestesi topikal sebaiknya dihindari karena berisiko menginduksi
alergi sekunder pada kulit yang telah mengalami dermatitis.12

Secara umum, bentuk sediaan salap lebih baik dari pada krim dalam pengobatan
dermatitis kontak. Hal ini disebabkan sediaan salap umumnya memiliki potensi sensitisasi lebih
rendah dibandingkan sediaan krim.

4. Dermatitis seboroik

Definisi

Dermatitis seboroik (DS) merupakan dermatosis papuloskuamosa kronik dengan


gambaran khas berupa patch dan plak eritem berbatas tegas dan skuama. Dermatitis seboroik
mengenai area yang banyak mengandung kelenjar sebasea dengan tempat predileksi di daerah-
daerah seboroik yaitu daerah yang kaya akan kelenjar sebasea, seperti kepala (kulit kepala,
telinga bagian luar, saluran telinga, kulit di belakang telinga), wajah (alis mata, kelopak mata,
glabella, lipatan nasolabial, dagu), badan bagian atas (daerah presternum, daerah interskapula,
areolla mammae), dan daerah lipatan (ketiak, lipatan mammae, umbilikus, lipatan paha, daerah
anogenital dan lipatan pantat).14,15

Epidemiologi

17
Dermatitis seboroik (DS) adalah penyakit kulit kronis berulang pada area yang memiliki banyak
kelenjar sebasea, dengan prevalensi 3-5% di dunia. Di Amerika, data mengenai prevalensi
dermatitis seboroik adalah sekitar 1-3%,2 sedangkan data di RSUP Cipto Mangunkusumo
Jakarta tahun 2000-2002 menunjukkan rata-rata prevalensi dermatitis seboroik 8,3% dari jumlah
kunjungan. Riset di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou pada periode Januari 2005-Desember 2007
membuktikan bahwa dari 12,236 pasien yang datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin,
didapatkan 267 pasien (2,18%) dengan dermatitis seboroik. DS dapat diderita oleh semua
golongan umur, biasanya lebih sering diderita laki-laki.14,15

Etiologi

Penyebab DS belum diketahui pasti. Walaupun banyak faktor diduga sebagai penyebab
DS, namun hanya didapatkan 3 faktor utama yaitu sekresi glandula sebasea ( seborrhea),
keberadaan mikroba jamur Malassezia (efek mikrobial) dan kerentanan individu.15,16

Faktor resiko

Beberapa faktor diduga menjadi penyebab, antara lain:

a. Seborrhea. DS mempunyai korelasi yang kuat antara aktivitas glandula sebasea dan umur
penderita. Penyakit ini sering dihubungkan dengan kulit yang tampak berminyak ( seborrhea
oleosa), namun peningkatan produksi sebum tidak selalu didapatkan pada penderita DS.
Meskipun seborrhea dikatakan sebagai faktor predisposisi, sebenarnya DS bukan diakibatkan
karena kelainan kelenjar sebasea.

b. Efek mikrobial. Gupta dan kawankawan (2004) menyebutkan bahwa jamur Malassezia
(yang sebelumnya dikenal sebagai jamur Pityrosporum) sebagai mikroorganisme yang berperan
dalam patogenesis DS. Malassezia spp. adalah jamur lipofilik yang merupakan komponen flora
normal kulit orang dewasa. Gueho dan kawan-kawan memperkenalkan genus Malassezia dan
menggunakan morfologi, ultrastruktur, fisiologi, dan biologi molekuler untuk
mengklasifikasikannya menjadi 10 spesies, yaitu Malassezia globosa, Malassezia restricta,
Malassezia obtusa, Malassezia slooffiae, Malassezia sympodialis, Malassezia furfur, Malassezia
nana, Malassezia dermatis, Malassezia japonica dan jamur non-lipid dependent, Malassezia
pachydermatis. Malassezia spp membutuhkan sumber lipid eksogen untuk tumbuh pada media

18
kultur dan cenderung muncul di kulit di sekitar usia pubertas, dimana terdapat peningkatan
hormon androgen yang menyebabkan peningkatan produksi sebum. Jamur ini membutuhkan
lipid untuk memproduksi lipase. Lipase terlibat dalam pelepasan asam arakidonat, yang terlibat
dalam proses keradangan kulit. Malassezia spp. membutuhkan lipid untuk hidup, sehingga jamur
ini paling sering ditemukan di bagian tubuh yang kulitnya kaya akan lipid, seperti dada,
punggung, wajah, dan kulit kepala. Lokasi ini adalah tempat predileksi untuk manifestasi klinis
DS.

c. Status imun. Status imunitas rendah baik disebabkan oleh pengobatan atau penyakit
seperti HIV dan keganasan dapat memicu DS.17

Patogenesis

Patogenesis DS didasari pada beberapa hal yaitu: 16

a. Aktivitas kelenjar sebasea. Produksi sebum terbesar pada kulit kepala, wajah, dada, dan
punggung, Produksinya dikontrol oleh hormon androgen. Pada bayi, kelenjar sebasea teraktivasi
oleh hormon androgen dari ibu. Komponen sebum terdiri dari kompleks trigliserid, asam lemak,
wax ester, sterol ester, kolesterol, kolesterol ester dan squalene. Saat disekresi, kandungan sebum
yang terdiri dari trigliserid dan ester, akan dipecah menjadi digliserida, monogliserida, dan asam
lemak bebas, oleh mikroba komensal di kulit dengan bantuan enzim lipase. Pada penderita DS,
trigliserid dan kolesterol meningkat, namun squalene dan asam lemak bebas kadarnya menurun
dibandingkan orang normal. Asam lemak bebas terbentuk dari trigliserid melalui aktivitas lipase
yang yang diproduksi oleh P. acnes, dan bakteri ini jumlahnya sedikit pada DS. Hal ini
menandakan bahwa terdapat ketidakseimbangan mikrobial dan penyimpangan komposisi lipid
pada permukaan kulit.

b. Metabolit yang dihasilkan oleh jamur Malassezia. Malassezia membutuhkan lipid sebagai
"sumber makanan" untuk tumbuh dan berproliferasi. Jamur ini mendegradasi sebum (trigliserid)
dengan bantuan enzim lipase menjadi berbagai asam lemak. Namun Malassezia hanya
mengkonsumsi asam lemak yang sangat spesifik, yaitu saturated fatty acid untuk
pertumbuhannya, sedangkan unsaturated fatty acid ditinggalkan di permukaan kulit. Bentuk
metabolit unsaturated fatty acid yang paling banyak dijumpai adalah asam oleat, dan metabolit
inilah yang diduga berperan pada pembentukan skuama pada DS.

19
c. Sensitivitas individu terhadap metabolit jamur Malassezia. Telah dikemukakan
sebelumnya bahwa penyebab terjadinya DS bukanlah disebabkan oleh pertumbuhan berlebihan
jamur Malassezia, namun karena abnormalitas dari respon host. Hal tersebut juga dibuktikan
dengan peningkatan insidensi penyakit ini pada penderita imunokompromais. Belum diketahui
dengan jelas mengapa faktor imun dapat berpengaruh. Parry dan Sharpe menemukan bahwa DS
disebabkan oleh respon inflamasi terhadap toksin atau mediator yang dihasilkan oleh jamur
Malassezia. Mereka menyimpulkan bahwa DS merupakan suatu respon iritasi terhadap jamur
Malassezia. Dengan adanya muatan jamur yang tidak jauh berbeda antara individu normal
dengan penderita DS, maka diduga penderita DS mungkin mempunyai predisposisi imunologis
untuk terjadinya DS, dan penderita imunokompromais menunjukkan respon keradangan yang
berlebihan terhadap jamur tersebut.

d. Mekanisme imunologis. Pada penderita HIV diperkirakan terjadi perubahan kadar sitokin
yang mengakibatkan DS. Kadar Interferon- dan Tumor Necrosis Factor meningkat pada
penyakit infeksi HIV. Sitokin ini mengakibatkan perubahan metabolisme lipid, meningkatkan
kadar trigliserid dan kolesterol dalam serum. Perubahan metabolisme lipid tersebut diduga dapat
meningkatkan sensitivitas terhadap mediator inflamasi yang dihasilkan oleh Malassezia.
Pertumbuhan Malassezia furfur yang berlebihan akan menimbulkan peradangan, tidak hanya
disebabkan oleh produk metabolit jamur tersebut pada epidermis atau adanya sel-sel jamur pada
permukaan kulit. Tetapi mekanisme timbulnya peradangan adalah melalui sel Langerhans dan
aktivasi limfosit T oleh Malassezia atau produknya. Saat Malassezia furfur berikatan dengan
serum, maka ikatan tersebut akan mengaktifkan komplemen melalui direct and alternative
pathway.14

Gejala klinis

Kelainan kulit pada dermatitis seboroik terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan
agak kekuningan, dengan batas kurang tegas.Bentuk dermatitis seboroik yang berat ditandai
dengan adanya bercak-bercak yang berskuama dan berminyak disertai eksudasi dan krusta tebal.
Pada bentuk yang lebih berat lagi, seluruh kepala tertutup oleh krusta-krusta kotor, dan berbau
tidak sedap, sehingga sangat berpengaruh terhadap kepercayaan diri penderita penyakit ini.15

Diagnosis

20
Berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang diagnosis
dermatitis seboroik dapat ditegakkan. Beberapa diagnosis banding dermatitis seboroik, yaitu
psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis kontak dan juga eritrasma. Pemeriksaan histopatologi juga
dapat membantu dalam menegakkan diagnosis. Gambaran histopatologi DS bervariasi sesuai
dengan perjalanan penyakitnya: akut, sub-akut, dan kronis. Tampak sebaran infiltrat perivaskuler
superfisial dari limfosit dan histiosit, spongiosis ringan sampai sedang, hiperplasia psoriasiform
ringan, plugging folikuler dengan orthokeratosis dan parakeratosis, skuama-krusta yang
mengandung neutrofil pada ujung dari ostia folikuler serta pada kasus yang kronis didapatkan
dilatasi kapiler dan vena pada pleksus superfisial.16

Tatalaksana

Beberapa modalitas terapi DS adalah antijamur, kortikosteroid, imunomudulator,


keratolitik dan agen lainnya. Tujuan utama terapi DS adalah mengontrol gejala, sehingga
pengobatan DS cenderung fokus pada agen antiinflamasi. Dermatitis seboroik lebih sering relaps
bila diterapi dengan kortikosteroid (KS) topikal dibandingkan agen antijamur, serta pemakaian
KS topikal dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan talengiektasis, atrofi kulit dan lain-
lain.14

Secara umum, terapi ditujukan untuk melepaskan, menghilangkan skuama dan krusta,
menghambat kolonisasi ragi, mengontrol infeksi sekunder, serta mengurangi eritema dan gatal.
Untuk penanganan secara topikal, obat-obatan yang biasa digunakan adalah krim ketokonazol,
hidrokortison, primecrolimus, dan tacrolimus.15

5. Pitiriasis vesikolor

Definisi

Pitiriasis versikolor (PV) atau lebih dikenal dengan panu adalah infeksi jamur superfisial
yang ditandai perubahan pigmen kulit akibat kolonisasi stratum korneum oleh jamur lipoiflik
dimorfik dari flora normal kulit, Malassezia furfur. Pityriasis versikolor tergolong
dermatomikosis yang nondermatofitosis. Distribusi geografisnya dapat dimana saja, di badan,
leher, lengan, bahkan di ketiak, lipat paha, muka dan kulit kepala.18,19

Epidemiologi

21
Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia (kosmopolit), terutama di daerah tropis yang beriklim
panas dan lembap, termasuk Indonesia. Prevalensinya mencapai 50% di negara tropis. Penyakit
ini menyerang semua ras, angka kejadian pada laki-laki lebih banyak daripada perempuan, dan
mungkin terkait pekerjaan dan aktivitas yang lebih tinggi. Pitiriasis versikolor lebih sering
menginfeksi dewasa muda usia 15-24 tahun, saat aktivitas kelenjar lemak lebih tinggi.19

Etiologi

Pityrosporum orbiculare dan Pityrosporum ovale dapat menyebabkan penyakit jika


bertransformasi menjadi fase miselium sebagai Malassezia furfur. Dari semua jenis
Malassezia, hanya M. pachydermatis yang membutuhkan lingkungan kaya lipid, seperti kulit
manusia atau media kultur yang diperkaya lipid, karena tidak mampu mensintesis asam lemak
jenuh rantai menengah-panjang. Malassezia menghasilkan berbagai senyawa yang mengganggu
melanisasi menyebabkan perubahan pigmentasi kulit.19

Faktor resiko

Faktor predisposisi infeksi jamur ini terdiri dari faktor endogen seperti malnutrisi,
immunocompromised, penggunaan kontrasepsi oral, hamil, luka bakar, terapi kortikosteroid,
adrenalektomi, Cushing syndrome, atau faktor eksogen seperti kelembapan udara, oklusi oleh
pakaian, penggunaan krim atau lotion, dan rawat inap.19

Patogenesis

Adanya faktor predisposisi menyebabkan ragi saprofit Pityrosporum orbiculare dan


Pityrosporum ovale berubah menjadi bentuk miselium parasitik yang dapat menimbulkan gejala
klinis. Malassezia memproduksi berbagai metabolit yang dapat menyebabkan perubahan warna
pada lesi.Hipopigmentasi terjadi akibat:

a. pitiriasitrin dan pitirialakton yang mampu menyerap sinar UV;


b. asam azaleat, asam dekarboksilat yang menurunkan produksi melanosit dengan
menghambat enzim tirosinase;
c. malassezin yang menginduksi apoptosis melanosit;
d. malassezindole A, aktivitasnya menghambat kerja tirosinase dan mengganggu sintesis
tirosinase;

22
e. keto-malassezin sebagai inhibitor tirosinase dengan menghambat reaksi DOPA (3,4-
di hidroksifenilalanin) melanosit;
f. metabolit lain seperti indirubin, ICZ, pitiriarubin, dan triptanthrin. Lesi
hiperpigmentasi mungkin berhubungan dengan variasi respons inflamasi terhadap
infeksi.19

Gejala klinis

Lesi khas pitiriasis versikolor berupa makula, plak, atau papul folikular dalam berbagai
warna, hipopigmentasi, hiperpigmentasi, sampai eritematosa, berskuama halus di atasnya,
dikelilingi kulit normal. Skuama sering sulit terlihat. Untuk membuktikan skuama yang tidak
tampak, dapat dilakukan peregangan atau penggoresan lesi dengan kuku jari tangan sehingga
skuama tampak lebih jelas dikenal sebagai evoked scale sign, finger nail sign, Besniers sign,
scratch sign, coup dongle sign atau stroke of the nail sign.19

Pasien pitiriasis versikolor umumnya hanya mengeluh bercak-bercak putih, kecokelatan, atau
merah muda, tidak gatal atau sedikit gatal saat berkeringat. Pada orang kulit putih atau terang,
lesi berwarna lebih gelap dibandingkan kulit normal, sedangkan pada orang berkulit hitam atau
gelap, lesi cenderung putih.Hal ini sesuai dengan pitiriasis yang berarti penyakit dengan skuama
halus seperti tepung dan versicoloryang berarti bermacam warna. Bentuk dan ukuran lesi
bervariasi, dapat berupa makula hingga patch atau papul hingga plak hipo/hiperpigmentasi,
berbatas tegas atau difus, tertutup skuama halus di sekitarnya. Bentuk folikular juga dapat
ditemukan. Lesi dapat meluas, berkonl uens, atau tersebar.19

Diagnosis

Diagnosis klinis dapat ditegakkan berdasarkan gambaran lesi yang sesuai dengan
karakteristik pitiriasis versikolor, pemeriksaan fluoresensi kulit dengan lampu Wood, dan
sediaan langsung kerokan kulit. Fluoresensi lesi kulit pada pemeriksaan lampu Wood berwarna
kuning keemasan dan pada pemeriksaan KOH 20% tampak gambaran spora dan miselium yang
sering dilukiskan sebagai spaghetti and meatball appearance. Pengambilan skuama dapat
dilakukan dengan kerokan kulit menggunakan skalpel atau selotip yang dilekatkan ke
lesi.Pembiakan M. furfur pada media kultur tidak bernilai diagnostik karena merupakan flora
normal kulit.19

23
Tatalaksana

Pengobatan pitiriasis versikolor dapat topikal maupun sistemik. Lesi minimal dapat diobati
dengan preparat topikal, seperti shampo selenium suli da 2,5% digunakan 2-3 minggu sekali atau
shampo ketokonazol 2% selama 3 hari berturut-turut. Terbinafin topikal 1% dua kali per hari
selama seminggu cukup efektif. Preparat azol seperti mikonazol, ketokonazol, klotrimazol,
ekonazol juga dapat digunakan. Untuk lesi luas, dapat diberi pengobatan oral seperti ketokonazol
200 mg/hari selama 7 hari. Itrakonazol dosis 200-400 mg/hari selama 3-7 hari dapat diberikan
untuk infeksi yang sulit sembuh atau sering kambuh. Flukonazol 400 mg juga efektif diberikan
dalam dosis tunggal.19

1. Diabetes melitus

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya. Kulit menjadi salah satu organ yang sering terkena dampak dari diabetes melitus.
Manifestasi kulit berupa infeksi menjadi salah satu komplikasi kronik yang sering terlihat pada
pasien diabetes melitus.18

Patofisiologi timbulnya manifestasi penyakit kulit pada penderita DM belum sepenuhnya


diketahui. Menurut Djuanda, kadar gula kulit merupakan 55% kadar gula darah pada orang biasa.
Pada penderita DM, rasio meningkat sampai 69-71% dari glukosa darah yang sudah meninggi.
Pada penderita yang sudah diobati pun rasio melebihi 55 %. Gula kulit berkonsentrasi tinggi di
daerah intertriginosa dan interdigitalis. Hal tersebut mempermudah timbulnya dermatitis, infeksi
bakterial (terutama furunkel), dan infeksi jamur (terutama kandidosis). Keadaan-keadaan ini
dinamakan diabetes kulit. Kondisi hiperglikemia juga menyebabkan terjadinya gangguan
mekanisme sistem imunoregulasi. Hal ini menyebabkan menurunnya daya kemotaksis,
fagositosis dan kemampuan bakterisidal sel leukosit sehingga kulit lebih rentan terkena infeksi.
18

Pada keadaan normal jamur terdapat pada tubuh manusia, namun pada keadaan tertentu,
misalnya pada penderita diabetes pertumbuhannya menjadi berlebihan sehingga menyebabkan
infeksi. Infeksi biasanya menyerang kulit di daerah lipatan seperti ketiak,bawah payudara,lipat
paha atau sering juga pada wanita menyebabkan gatal pada daerah kemaluan dan

24
keputihanInfeksi jamur yang sering menyerang penderita diabetes yaitu kandidiasis, merupakan
infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur Candida albicans. Jamur ini pada keadaan normal
terdapat pada tubuh manusia, namun pada keadaan tertentu, misalnya pada penderita diabetes
pertumbuhannya menjadi berlebihan sehingga menyebabkan infeksi. Infeksi biasanya menyerang
kulit di daerah lipatan seperti ketiak, bawah payudara,lipat paha atau sering juga pada wanita
menyebabkan gatal pada daerah kemaluan dan keputihan. Infeksi jamur lainnya yang ditemukan
pada penderita diabetes yaitu: Tinea pedis (kaki atlet/kutu air), Tinea Kruris (kadas) dan Tinea
korporis (kurap).18

25
Daftar pustaka

1. Ulya D, Regasari R, Furqon M T, Et Al. Sistem Pakar Diagnosa Penyakit Kulit Pada Anak
Menggunakan Metode Certainty Factor. Available At
Ejournal.Unsrat.Ac.Id/Index.Php/Jis/Article/Viewfile/705/562. Accessed On 8 Januari 2017.
2. Samsan M V, Tejo B A, Nurrachmat M, Et Al. Tinjauan Retrospektif Kasus Infeksi Kulit Di
Poloklinik Kulit Kelamin Rumah Sakik Dr. Moewardi (Rsdm) Surakarta. Jurnal Medika Moewardi;
2013: 2(1).9-16
3. Wahdini M, Ramnli L M, Miliawati R. Karakteristik Pasien Dan Spesies Dermatofita Penyebab
Tinea Kruris Di Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Cirebon Jawa Barat. Global Medical And
Health Communication; 2015: 3(2): 71-6.
4. Yuwita W, Ramali L M, Miliawati R. Karakteristik Tinea Kruris Dan/Atau Tinea Korporis Di Rsud
Ciamis Jawa Barat. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin Periodical Of Dermatology And
Venereology; 2016: 28(2): 42-50.
5. Gafur A H. Seorang Anak Laki-Laki Usia 15 Tahun Dengan Tinea Kruris. J
Medula Unila; 2016: 4(3): 8-12.
6. Saskia T I, Mutiara H. Infeksi Jamur Pada Penderita Diabetes Mellitus. Majority; 2015: 4(8): 69-73
7. Yossela T. Diagnosis And Treatment Of Tinea Cruris. J Majority; 2015: 4(2): 122-7.
8. Wowor S R, Pandaleke H E J, Kapantow M G. Profil Kandidosis Intertriginosa Di Poliklinik Kulit
Dan Kelamin Blu Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari Desember 2012.
Available At: Http://Download.Portalgaruda.Org/Article.Php?Article=146250&Val=1001.
Accessed On 8 January 2017.
9. Polii S V G, Pandaleke H E J, Kapantow M G. Profil Kandidosis Intertriginosa Di Poliklinikkulit Dan
Kelamin Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari Desember 2013. Available At:

26
Http://Ejournal.Unsrat.Ac.Id/Index.Php/Eclinic/Article/View/11010/10599. Accessed On 8
January 2017.
10. Samsan M V, Tejo B A, Nurrachmat M, Et Al. Tinjauan Retrospektif Kasus Infeksi Kulit Di
Poloklinik Kulit Kelamin Rumah Sakik Dr. Moewardi (Rsdm) Surakarta. Jurnal Medika Moewardi;
2013: 2(1).9-16.
11. Soetojo S D R, Astari L. Profil Pasien Baru Infeksi Kandida Pada Kulit Dan Kuku. Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit Dan Kelamin Periodical Of Dermatology And Venereology; 2016: 28(1): 34-41.
12. Sulistyaningrum Sk, Widaty S, Triestianawati W, Et Al. Dermatitis Kontak Iritan Dan Alergik Pada
Geriatri. Mdvi; 2011: 38(1): 29-40.
13. Indrawan I A, Suswondo A, Lestantyo D. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Dermatitis Kontak Iritan Pada Pekerja Bagian Premix Di Pt. X Cirebon. Jurnal Kesehatan
Masyarakat (E-Journal); 2014: 2(2): 110-7.
14. Kusumaputra B H, Zulkarnain I. Penatalaksanaan Kandidiasis Mukokutan Pada Bayi. Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit Dan Kelamin - Periodical Of Dermatology And Venereology; 2014: 26(2): 139-
144.
15. Astindari, Sawitri, Sandhika W. Perbedaan Dermatitis Seboroik Dan Psoriasis Vulgaris
Berdasarkan Manifestasi Klinis Dan Histopatologi. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin; 2014:
26(1):72-8
16. Thaha A. Hubungan Kepadatan Spesies Malassezia Dan Keparahan Klinis Dermatitis Seboroik Di
Kepala. Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan; 2015: 2(2): 124-129.
17. Yossela T. Diagnosis And Treatment Of Tinea Cruris. J Majority; 2015: 4(2): 122-7.
18. Tan S T, Reginata G. Uji Provokasi Skuama Pada Pitiriasis Versikolor. Cdk-229; 2015: 42(6): 471-
473.

27

Anda mungkin juga menyukai