Anda di halaman 1dari 12

Ribi Ramadanti Multisona

240210150073
6B
VI. PEMBAHASAN
Buah memilki tingkat kematangan yang berbeda-beda sehingga tingkat
kematangan buah pada saat panen mempengaruhi mutu buah. Mutu yang baik
diperoleh jika buah dipanen pada tingkat kematangan yang tepat. Tingkat
kematangan tomat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase masak hijau, fase pecah
warna dan fase matang. Fase masak hijau ditandai dengan ujung buah tomat yang
sudah mulai berwarna kuning gading. Fase pecah warna, ujung buah tomat
menjadi berwarna merah jambu atau kemerah-merahan. Fase matang, sebagian
besar permukaan buah sudah berwarna merah jambu atau merah
(Seminar et al 2006).
Buah merupakan struktur hidup yang akan mengalami perubahan fisik dan
kimia setelah panen. Proses pemasakan buah buahan akan terus berlangsung
karena jaringan dan sel di dalam buah masih hidup dan melakukan respirasi.
Proses respirasi berpengaruh terhadap mutu dan masa simpan buah (Pantastico et
al., 1986).
Pematangan buah merupakan perubahan yang terjadi pada tahap akhir
perkembangan buah atau tahap awal penuaan pada buah. Selama perkembangan
buah terjadi berbagai perubahan biokimiawi dan fisiologi. Pematangan merupakan
suatu proses perubahan yang terjadi pada buah meliputi perubahan rasa, kualitas,
warna, dan tekstur. Buah yang masih muda berwarna hijau karena memiliki
kloroplas sehingga dapat mengadakan fotosintesis, tetapi sebagian besar
kebutuhan karbohidrat dan protein diperoleh dari bagian tubuh tumbuhan lainnya.
Buah muda yang sedang tumbuh mengadakan respirasi sangat cepat
sehingga dihasilkan banyak asam karboksilat dari daur Krebs, misalnya asam
isositrat, asam fumarat, asam malat. Kadar asam-asam ini berkurang sejalan
dengan berkembangnya buah karena asam-asam ini digunakan untuk mensintesis
asam amino dan protein yang terus berlangsung dalam buah sampai buah masak
(Sinay, 2008).
Respirasi yang sangat cepat pada buah disebut klimakterik. Aktivitas
respirasi yang sangat tinggi menjadi pemacu biosintesis etilen yang berperan
dalam pemasakan buah. Etilen diperlukan untuk koordinasi dan penyempurnaan
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
6B
pemasakan buah. Perubahan biokimiawi dan fisiologi tersebut terjadi pada tahap
akhir dari perkembangan buah (Sinay, 2008).
Praktikum kali ini dilakukan penanganan dan penyimpanan buah. Sampel
buah yang diuji adalah apel, alpukat, manga, pisang, dan jeruk. Sampel buah
tersebut disimpan pada suhu ruang selama satu minggu. Lalu diamati perubahan
karakteristik sifat organoleptik dari masing-masing sampel pada setiap harinya
seperti, berat, warna, aroma, kekerasan, dan kematangan.
6.1 Berat
Kehilangan berat pada buah, sayuran maupun bunga potong selama
penyimpanan disebabkan karena hilangnya air bahan bersangkutan. Kehilangan
air pada bahan tersimpan selama periode penyimpanan tidak hanya menyebabkan
kehilangan berat, tetapi dapat juga menyebabkan kerusakan yang akhirnya
menyebabkan penurunan kualitas. Kehilangan dalam jumlah sedikit yang terjadi
secara perlahan mungkin saja tidak berarti bagi bahan tersebut, tetapi kehilangan
yang besar dan terjadi secara cepat akan menyebabkan pengkeriputan dan
pelayuan.
Berdasarkan hasil pengamatan secara keseluruhan, masing-masing sampel
mengalami penurunan berat seriap harinya. Menurut literatur, penurunan berat
yang terjadi diakibatkan oleh hilangnya air dalam buah dan adanya respirasi yang
mengubah gula menjadi CO2 dan H2O (Kader, 2001). Menurut Salunkhe dan
Desai (1984) penurunan berat pada buah dapat ditandai dari warna kulit terluar
maupun dari ukuran berat buah. Untuk buah, rasio tertinggi adalah pada area
permukaan sampai keseluruhannya. Terjadinya penurunan berat pada buah
dikarenakan kehilangan air dalam buah (Prohens et al., 1996).
Kehilangan air dan akibat hyang diakibatkannya tersebut seperti yang
dijelaskan di atas dapat dicegah dengan cara pengaturan suhu dan kelembaban
ruang simpan dengan tepat. Walaupun masing-masing jenis atau komoditi
memiiki kandungan air bahan yang berbeda-beda, namun secara umum buah-
buahan dan sayuran serta bunga potong memiliki kandungan air bahan sejumlah
80 hingga 90 persen. Sebagian besar air tersebut akan menguap selama
penyimpanan. Kehilangan air atau pelepasan air oleh jaringan hidup dikenal
sebagai transpirasi. Dengan mengurangi laju transpirasi melalui peningkatan
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
6B
kelembaban relatif udara, menurunkan suhu, dan mengurangi gerakan udara
dalam ruang penyimpanan, maka pelayuan dapat dicegah. Penggunaan
pembungkus atau kemasan juga dapat mengurangi laju tranpirasi. Yang perlu
diingat adalah bahwa untuk sebagian besar buah, sayuran, dan bunga potong pada
kondisi kelembaban udara yang sama tetapi keadaan suhu udara yang tinggi, maka
laju transpirasi akan lebih tinggi.

6.2 Warna
Tanda kematangan yang paling sesuai dan mudah digunakan untuk
manggis adalah perubahan warna kulit buah. Warna kulit buah merupakan hal
yang paling utama dalam menentukan karakteristik pascapanen buah. Setelah
panen dan selama penyimpanan, buah manggis akan mengalami perubahan warna
kulit buah. Perubahan warna kulit buah manggis merupakan salah satu parameter
kematangan manggis dan penilaian mutu visual bagi konsumen. Khalid dan
Rukayah (1993) menyatakan bahwa perubahan warna dari satu indeks warna ke
indeks warna berikutnya terjadi dalam satu hari pada suhu 25 30oC.
Berdasarkan hasil pengamatan, sampel buah yang diuji menunjukkan
warna dominan hijau di hari ke-0 kecuali pada apel yang berwarna merah hati.
Semakin hari warna hijau semakin menghilang dan timbul warna kuning seperti
pada pisang dan jeruk, sedangkan pada alpukat semakin hari warna tetap hijau
namun timbul bercak coklat yang semakin dominan. Begitu pula yang terjadi pada
jeruk, dimana warnanya hijaunya semakin berkurang dan timbul bercak coklat
yang semakin hari semakin banyak. Bercak coklat yang semakin dominan juga
dihasilkan oleh sampel pisang. Sampel apel menunjukkan perubahan warna yang
semakin pekat. Perubahan warna yang terjadi menunjukkan sampel buah semakin
matang, namun adanya bercak coklat yang semakin dominan menunjukkan
sampel buah sudah dalam proses pembusukan. Bercak coklat yang timbul diduga
berasal dari mikroorganisme yang sudah tumbuh pada buah. Menurut Muchtadi
(2010), mikroorganisme dapat memicu adanya pencoklatan enzimatis dan akan
menimbulkan karakteristik yang tidak dikehendaki.
Jika dibandingkan dengan literatur, telah disebutkan bahwa indikator
kematangan pada buah adalah terbentuknya warna merah atau kuning secara
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
6B
penuh, bergantung pada kultivarnya. Kebanyakan buah tanda kematangan pertama
adalah hilangnya warna hijau. Kandungan klorofil buah yang sedang masak
lambat laut berkurang. Pencapaian warna merah atau kuning yang menyeluruh
(tergantung jenisnya) adalah salah satu indeks kematangan yang utama.
Perubahan warna yang terjadi pada buah-buahan sering dijadikan sebagai kriteria
utama bagi konsumen untuk menentukan mentah atau matangnya suatu buah.
Warna pada buah-buahan disebabkan oleh pigmen, yang umumnya dapat
dibedakan atas empat kelompok, yaitu klorofil, antosianin, flavonoid dan
karotenoid (Kader, 2001 ; Winarno dan Aman, 1981).
Perubahan warna disebabkan oleh hilangnya warna hijau (klorofil).
Kehilangan klorofil juga disebabkan klorofil mengalami degradasi struktur.
Selama penyimpanan enzim chlorophyllase yang ada dalam buah melakukan
kegiatan yang menyebabkan penguraian klorofil menjadi fitol dan inti porfirin
tetapi belum menyebabkan hilangnya warna hijau dari buah. Pemecahan yang lain
dari bagian porfirin pada klorofil yang menyebabkan timbulnya tetrapirolat,
billiverdin, yang tetap berwarna hijau (Suhardi, 1989 dalam Syarief, R et al.,
1993).
Menurut Santoso dan Purwoko (1995) yang bertanggung jawab terhadap
degradasi klorofil adalah perubahan pH, sistem oksidatif dan enzim
chlorophyllase. Setelah dipanen buah mengalami degradasi umum yang
mengakibatkan terganggunya sintesis protein.

6.3 Aroma
Perubahan rasa dan aroma disebabkan oleh bertambahnya kandungan gula
sederhana dalam buah yang menambah rasa manis yang disebabkan oleh
perubahan zat pati dalam buah. Berkurangnya zat fenolik dan bertambahnya zat
volatif menyebabkan rasa dan bau yang harum pada buah. Selama proses
pematangan buah juga terjadi pembentukan aroma pada buah. Menurut Wills, et al
(1981) perombakan bahan-bahan organik kompleks yang terjadi selama proses
respirasi akan menghasilkan gula-gula sederhana dan asam-asam organik yang
akan mempengaruhi aroma pada buah.
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
6B
Berdasarkan hasil pengamatan, aroma yang dihasilkan dari tiap sampel
semakin hari semakin menyengat, bahkan timbul aroma asam seperti pada sampel
alpukat. Secara keseluruhan, rata-rata sampel buah sudah mulai mengeluarkan
aroma khasnya pada hari ke-3. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada hari ke-3
buah sudah mulai matang. Namun, pada alpukat aroma yang dihasilkan tidak
terdeteksi. Aroma yang terdeteksi adalah aroma busuk yang dihasilkan pada hari
ke-6. Hal tersebut dapat disebabkan karena sampel buah alpukat yang digunakan
merupakan buah alpukat yang masih belum matang, dan pada saat sudah
mencapai kematangan buah alpukat tidak dapat mempertahankan mutunya karena
alpukat disimpan dalam suhu ruang sehingga memicu cepatnya pembusukan.
Penyimpanan buah pada kondisi udara berkonsentrasi karbondioksida di
atas 15 persen, biasanya akan menyebabkan rasa dan bau yang tidak dikehendaki
atau penyimpang dari semestinya. Bau dan rasa yang menyimpang tersebut
disebabkan adanya penimbunan etanol dan etanal. Bersamaan dengan itu juga
muncul perubahan warna yang tidak menguntungkan bagi penampilan buah.
Kandungan asam askorbat akan berkurang dan disertai dengan peningkatan pH.

6.4 Kekerasan (Tekstur)


Parameter mutu yang juga diamati dalam percobaan ini adalah kesukaan
terhadap kekerasan kulit buah. Setelah masa simpan tersebut, kekerasan kulit
meningkat. Kulit merupakan bagian terluar buah yang berhubungan langsung
dengan lingkungan penyimpanan. Pada kulit inilah terjadi proses transpirasi yaitu
proses penguapan air dari tanaman. Proses ini berlangsung melalui bagian mulut
kulit dan kutikula. Kehilangan air pada kulit manggis dipengaruhi oleh RH, suhu,
pergerakan udara, dan tekanan atmosfer.
Tingkat kematangan buah dan suhu penyimpanan memberikan perbedaan
yang nyata terhadap kekerasaan buah. Penurunan nilai kekerasan buah
menunjukkan terjadinya pelunakan pada buah. Menurut Heatherbell, et al (1982)
selama terjadi proses pemasakan buah maka akan mengalami perubahan
kandungan pektin oleh aktivitas enzim yang menyebabkan buah menjadi lunak.
Perubahan tekstur pada buah disebabkan karena aktifnya enzim-enzim
pektinmetilasterase dan poligalekturonase selama proses pematangan buah telah
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
6B
mengalami pemecahan menjadi senyawa-senyawa lain, sehingga tekstur yang
tadinya keras akan berubah menjadi lunak. Tekstur akan mengalami perubahan
lebih cepat ketika buah berada dalam penyimpanan (Kartasapoetra, 1994).
Dilihat secara keseluruhan, masing-masing sampel buah mengalami
perubahan tekstur yang semakin lama semakin lunak. Hal tersebut sesuai dengan
literatur. Penurunan nilai kekerasan menunjukkan terjadinya pelunakan pada buah.
Selama proses pemasakan buah akan terjadi perubahan kandungan pektin oleh
aktivitas enzim yang menyebabkan buah menjadi lunak (Heatherbell et al., 1982).
Perbedaan nilai dari kekerasan buah pada tiap-tiap fase yang berbeda
dipengaruhi oleh tingkat kemasakan buah tersebut. Semakin tinggi tingkat
kematangan suatu buah maka tekstur akan semakin lunak. Semakin tinggi juga
suhu penyimpanan maka perubahan kekerasan kulit semakin cepat. Penurunan
kekerasan pada awal penyimpanan disebabkan oleh perombakan protopektin yang
tidak larut menjadi asam pektat dan pektin yang larut dalam air. Senyawa dinding
sel terdiri atas selulosa, hemiselulosa, pektin, dan lignin. Degradasi hemiselulosa
dan pektin pada proses pematangan membuat buah menjadi lebih lunak. Selain itu
tekanan turgor sel selalu berubah karena komposisi dinding sel berubah (Winarno
2002). Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kekerasan buah adalah adalah
suhu, tempat penyimpanan, respirasi dan transpirasi. Selain itu, yang dapat
mempengaruhi perubahan tekstur pada buah adalah turgor dari sel-sel yang masih
hidup. Turgor adalah tekanan dari isi sel terhadap dinding sel. Dinding sel tersebut
memiliki sifat plastis. Isi sel dapat membesar karena menyerap air dari
sekelilingnya. Oleh karena itu turgor berpengaruh terhadap kekerasan (keteguhan)
sel-sel parenkima dan dengan demikian juga berpengaruh terhadap tekstur bahan
(Muchtadi, 2010).
6.6 Kematangan
Kematangan buah ditentukan berdasarkan warna dan kekerasan. Buah
yang matang warna kulitnya kekuningan dan teksturnya melunak. Buah yang
matang dipisahkan hanya untuk keperluan pasar lokal. Buah yang akan dipasarkan
ke tempat jauh dipilih yang tua tetapi belum matang, sebab buah yang matang
sangat rentan terhadap tekanan yang kecil sekalipun. Bila buah yang matang
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
6B
dikemas dan diangkut untuk pasar yang jauh maka buah akan menjadi rusak,
lecet, memar dan penyok akibat tekanan (Satuhu, 1994).
Perbedaan tingkat kematangan buah terung belanda pada saat panen akan
menyebabkan terjadinya perbedaan mutu selama penyimpanan. Semakin tinggi
tingkat kematangan pada buah, maka untuk kadar air, total padatan terlarut, nilai
warna serta kesukaan terhadap aroma dan tekstur akan semakin meningkat pula,
tetapi untuk kandungan vitamin C, total asam dan nilai kekerasan akan semakin
menurun (Julianti, 2011).
Bila diamati dari tingkat kematangan, semakin hari semakin menunjukkan
ciri-ciri kematangan. Namun, pada 2 hari terakhir masing-masing sampel buah
sudah mulai mengalami penurunan mutu atau dapat dikatakan sudah mulai busuk.
Hal tersebut dipengaruhi oleh tempat dan suhu penyimpanan dari sampel buah.
Buah disimpan pada ruang terbuka dan suhu ruang sehingga memicu adanya
mikroorganisme pada buah.
Mikroorganisme pada buah sering menimbulkan perubahan-perubahan
yang tidak dikehendaki, misalnya pencoklatan enzimatis, perubahan flavor atau
aroma pembusukan, mencegah atau menghambat perubahan warna yang tidak
dikehendaki (Muchtadi, 2010).
Kecepatan pemasakan buah terjadi karena zat tumbuh mendorong
pemecahan tepung dan penimbunan gula (Kusumo, 1990). Proses pemecahan
tepung dan penimbunan gula tersebut merupakan proses pemasakan buah dimana
ditandai dengan terjadinya perubahan warna, tekstur buah dan bau pada buah atau
terjadinya pemasakan buah. Umumnya, tanda kematangan pertama pada buah
adalah hilangnya warna hijau. Kandungan klorofil buah yang sedang masak
lambat laut berkurang.
Selain itu, buah juga semakin lunak apabila mencapai titik kematangan.
Lunaknya buah disebabkan oleh adanya perombakan photopektin yang tidak larut
perombakan propektin yang tidak larut menjadi pektin yang larut, atau hidrolisis
zat pati (seperti buah waluh) atau lemak (pada adpokat). Perubahan komponen-
komponen buah ini diatur oleh enzim-enzim antara lain enzim hidroltik,
poligalakturokinase, metil asetate, selullose. Penulakan buah juga disebabkan oleh
degradasi komponen-komponen penyusun dinding sel. Pematangan biasanya
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
6B
meningkatkan jumlah gula-gula sederhana yang memberi rasa manis (Fantastico,
1986).
Perubahan sifat organoleptik yang terjadi juga dipengaruhi oleh proses
respirasi dari buah tersebut. Berdasarkan laju respirasinya buah dibedakan
menjadi dua yaitu buah klimaterik, laju respirasi meningkat dengan tajam selama
periode pematangan dan pada awal sense, dan buah nonklimaterik, tidak ada
perubahan laju respirasi pada akhir pematangan buah (Zulkarnaen, 2009). Contoh
buah klimaterik adalah alpukat, papaya, apel, pisang dan lain-lain sedangkan
contoh buah nonklimaterik adalah jeruk, nanas, durian, dan lain-lain (Ayimada,
2008).
Proses respirasi yang cepat menandakan buah sedang dalam proses
pematangan, sedangkan proses respirasi yang lambat atau menurun kecepatannya
menandakan buah tersebut sedang dalam proses menuju pelayuan atau
pembusukan. Dalam praktikum ini, sampel buah yang termasuk jenis klimaterik
adalah apel, pisang, jeruk, dan alpukat, sedangkan sampel buah yang termasuk
jenis non klimaterik adalah jeruk.
Sampel pisang menunjukkan hasil yang sesuai dengan literatur (pisang
salah satu jenis buah klimaterik), dimana pada hari ke-2 pisang sudah mencapai
kematangan yang ditandai dengan perubahan warna menjadi kuning. Hal tersebut
menunjukkan pisang sudah mencapai respirasi pada titik klimaks. Pada hari ke-3
dan seterusnya pisang sudah mulai menimbulkan tanda-tanda pembusukan. Hal
tersebut menandakan proses respirasi dari pisang mulai menurun. Respirasi akan
berhenti ketika buah sudah busuk.
Sama halnya dengan pisang, sampel buah mangga juga menunjukkan hasil
yang sesuai literatur (mangga salah satu jenis buah klimaterik). Diduga mangga
sudah mencapai kematangan pada hari ke-3 atau hari ke-4, karena pada hari ke-5
mangga sudah dalam proses pelayuan atau pembusukan. Saat mencapai
kematangan, laju respirasi mangga berada di titik klimaks, sedangkan saat mangga
mengalami proses kelayuan yang ditandai dengan adanya bercak coklat yang
semakin meluas menandakan bahwa laju respirasi dari mangga mulai turun. Laju
respirasi dengan tipe seperti itu merupakan laju respirasi yang dihasilkan pada
buah klimaterik.
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
6B
Diduga alpukat sudah mencapai kematangan pada hari ke-3 atau hari ke-4,
karena pada hari ke-5 mangga sudah dalam proses pelayuan atau pembusukan
yang ditandai dengan munculnya aroma busuk dan bercak coklat yang semakin
dominan. Saat mencapai kematangan, laju respirasi mangga berada di titik
klimaks, sedangkan saat mangga mengalami proses kelayuan yang ditandai
dengan adanya bercak coklat yang semakin meluas menandakan bahwa laju
respirasi dari mangga mulai turun. Laju respirasi dengan tipe seperti itu
merupakan laju respirasi yang dihasilkan pada buah klimaterik. Dapat dikatakan
bahwa alpukat merupakan buah klimaterik. Hal tersebut sesuai dengan literatur.
Sampel apel yang digunakan diduga merupakan sampel yang sudah
matang, karena pada hari ke-2 tekstur apel mulai melunak, namun sifat
organoleptik lainnya tidak mengalami perbedaan yang signifikan. Semakin hari
warna apel semakin merah dan tidak menunjukkan tanda tanda kebusukkan. Apel
merupakan sampel buah jenis klimaterik yang seharusnya memiliki tipe respirasi
seperti alpukat, mangga, dan pisang. Hal tersebut terjadi karena mungkin waktu
pengujian yang hanya seminggu. Kemungkinan apabila waktu pengujian
dilakukan lebih lama maka apel akan menunjukkan tanda-tanda kebusukkan.
Dilihat dari penampakkan luarnya, sampel jeruk semakin hari
menunjukkan bercak coklat yang semakin banyak. Bercak coklat tersebut semakin
dominan dan menandakan bahwa sampel jeruk berada dalam proses penurunan
mutu atau menuju pembusukkan. Pada proses pembusukkan laju respirasi buah
akan terus menurun hingga buah tersebut benar-benar busuk. Maka dari itu, jeruk
dapat dikatakan buah non klimaterik.
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
6B
VII. PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dari praktikum kali ini dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil pengamatan secara keseluruhan masing-masing sampel
mengalami penurunan berat seriap harinya.
2. Setiap penambahan hari masing-masing sampel mengalami perubahan
warna dan timbul bercak coklat.
3. Aroma yang dihasilkan dari tiap sampel semakin hari semakin menyengat,
bahkan timbul aroma asam seperti pada sampel alpukat.
4. Semua sampel buah mengalami perubahan tekstur yang semakin lama
semakin lunak.
5. Kematangan setiap sampel buah ditandai dengan terjadinya perubahan
warna, tekstur buah dan bau pada buah atau terjadinya pemasakan buah.
6. Sampel buah yang termasuk jenis klimaterik adalah apel, pisang, jeruk,
dan alpukat, sedangkan sampel buah yang termasuk jenis non klimaterik
adalah jeruk.

7.2 Saran
Sebaiknya ditentukan terlebih dahulu acuan untuk menentukan tingkat dari
setiap karakteristik yang akan diamati untuk menghindari kesalahan pengamatan,
kemudian dilakukan diskusi terlebih dahulu sebelum melakukan tabulasikarena
pengamatan yang dilakukan bersifat subjektif.
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
6B
DAFTAR PUSTAKA

Fantastico. 1986. Fisiologi Pasca Panen. Gajah Mada University Press.


Yogyakarta.

Heatherbell, D.A., M.S. Reid, R.E.Wrolstad. 1982. The tamarillo : chemical


composition during growth and maturation. New Zealand J.Sci. 25:239-
243.

Julianti, E. 2011. Pengaruh tingkat kematangan dan suhu penyimpanan terhadap


mutu buah terung belanda (Cyphomandra betacea). J. Hortikultura
Indonesia 2(1) :14-20.

Kader, A.A., 2001. Tamarillo: Recommendation for Maintaining Post Harvest


Quality. Departemen of Phonology-University of California. Davis.

Kartasapoetra, A. G. 1994. Teknologi Penanganan Pasca Panen. Rineka Cipta.


Jakarta.

Khalid MZM, Rukayah A. 1993. Penanaman Manggis. Kuala Lumpur: Institut


Penyelidikan dan Kemajuan Pertanian Malaysia (Mardi).

Kusumo. 1990. Fisiologi Pasca Panen. Gadjah Mada University Press.


Yogyakarta.

Muchtadi, Tien R, Sugiono. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Institut


Pertanian Bogor. Bogor.

Pantastico, Er.B, T. K. Chattopadhyay dan H. Subramanyam. 1986. Penyimpanan


dan Operasi Penyimpanan Secara Komersial, hal. 495- 533. Dalam: Er.B.
Pantastico (ed.). Fisiologi Pasca Panen Penanganan dan Pemanfaatan
Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada Press.

Peter,K.V. 2008. Basics of Horticulture.New India Publishing Agency. New


Delhi.

Poerwoko, B. S. dan B. B. Santoso. 1995. Fisiologi dan Teknologi Pasca Panen


Tanaman Hortikultura. Indonesia Australia Eastern Universities Project.

Prohens, J., J. J. Ruiz dan F. Nuez. 1996. Advancing the tamarillo harvest by
induced postharvest ripening. Hortscience 31(1):109-111.

Salunkhe. D.K. dan Desai. B.B. 1984. Postharvest Biotechnology of Fruits.


Volume II. CRC Press Inc. Florida

Satuhu, S., 1994. Penangana dan Pengolahan Buah. Penebar Swadaya, Jakarta
Ribi Ramadanti Multisona
240210150073
6B

Sinay. 2008. Kontrol Pemasakan Buah Pisan menggunakan RNA Antisense. UGM
Press. Yogyakarta.

Syarief, R dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Makanan. Jakarta: Arcan.

Synge, P.M. 2013. Horticulture. Available at http://www.britannica.com.


Diakses tanggal 28 November 2016.

Wills Rhh, Lee TH, graham D, Mcglasso,WB & Hall EG, 1981. Postharvest. New
South Wales University Press Limited. Kensington Australia.
Winarno, F.G. 1981. Ilmu Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.
Zulkarnaen. 2009. Dasar-Dasar Holtikultura. Bumi Aksara, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai