Anda di halaman 1dari 16

1

Pendahuluan

A. Definisi Asma

Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat

di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan

dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi

berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest

tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari.1

Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik saluran pernapasan

yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi kronik ini

menyebabkan saluran pernapasan menjadi hiperesponsif, sehingga

memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema dan hipersekresi kelenjar,

yang menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan dengan

manifestasi klinik yang bersifat periodik berupa mengi, sesak napas, dada

terasa berat, batuk-batuk terutama malam hari atau dini hari/subuh. Gejala ini

berhubungan dengan luasnyainflamasi, yang derajatnya bervariasi dan bersifat

reversibel secara spontan maupun dengan atau tanpa pengobatan.2

B. Epidemiologi Asma

Sampai saat ini, penyakit asma masih menujukkan prevalensi yang

tinggi. Berdasarkan data dari GINA, di seluruh dunia diperkirakan terdapat 300

juta orang menderita asma dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien asma

mencapai 400 juta. Selain itu setiap 250 orang, ada satu orang meninggal

karena asma setiap tahunnya. Data dari berbagai negara menunjukkan bahwa

prevalensi penyakit asma berkisar antara 1-18%.2 Peningkatan prevalensi asma


2

terutama meningkat pada kelompok anak dan cenderung menurun pada

kelompok dewasa.3

Data riskesda (2013) prevalensi asma, di Indonesia 4,5 persen, 3,7

persen, dan 1,4 per mil. Prevalensi asma tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah

(7,8%), diikuti Nusa Tenggara Timur (7,3%), DI Yogyakarta (6,9%), dan

Sulawesi Selatan (6,7%).4

C. Faktor Resiko2

Secara umum faktor resiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

1. Faktor host
a. Genetik
b. Gender
c. Obesitas
2. Faktor lingkungan
a. Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,

alternaria/jamur)
b. Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,

makanan laut, susu sapi, telur)


d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID,beta-blocker

dll)
e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dll)
f. Ekspresi emosi berlebih
g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif.
h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
i. Exercise induced asthma , mereka yang kambuh asmanya ketika

melakukan aktivitas tertentu


j. Perubahan cuaca.
D. Mekanisme Asma5

Imunopatogenesis. Akibat adanya faktor perangsangan dan pencetus ini

terjadi reaksi imun tipe I, II, III dan IV yang diikuti reaksi mediator, inflamasi,

kerusakan jaringan dan gejala klinik. Disebutkan bahwa pada 85% pasien
3

inflamasi dimulai oleh IgE ( asma alergi ) dan sisanya oleh proses yang

independen terhadap IgE ( asma non alergi ). Pada atopi paparan awal terhadap

antigen menimbulkan sensitisasi. Antigen-presenting cell ( APC ) seperti

makrofag menelan antigen dan mempresentasikannya kepada sel T ( Th0 )

yang kemudian mengalami diferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Th2

mengeluarkan sitokin antara lain IL4 dan IL13 yang menyebabkan sel B

memproduksi IgE yang spesifik untuk antigen tersebut.

Pada respon dini akibat adanya paparan selanjutnya menimbulkan

reaksi Ag-Ab pada permukaan sel mastosit, yang diikuti aktivasi dari sel dan

pelepasan berbagai mediator (histamin dan heparin) serta mediator lain

(prostaglandin, leukotrin, faktor aktifasi trombosit-PAF dan bradikinin ).

Terjadi efek langsung berupa bronkokonstriksi dan peningkatan hiperesponsif

bronkus. Pelepasan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan IL6 mengaktifasi limfosit

T dan B, yang merangsang sel mastosit dan menarik eosinofil, sehingga

meningkatkan proses inflamasi. Respon lambat terjadi 4-12 jam setelah

paparan antigen, berupa dilatasi vaskuler dan peningkatan permiabilitas

kapiler, pembentukkan edema dan akumulasi sel radang. Akibat adanya

aktifasi, sel eosinofil melepaskan berbagai mediator ( eosinophilic cation

protein-ECP, leukotrin, prostaglandin, histamin ) yang menimbulkan

bronkokonstriksi dan perpanjagan hiperesponsif bronkus. Sekresi sitokin

seperti IL3, IL4, IL5 lebih lanjut menimbulkan inflamasi yang berkelanjutan.

Dengan demikian proses inflamasi kronik yang kompleks pada asma ditandai

oleh adanya sel radang dan elemen seluler, perubahan struktur saluran nafas

dan peningkatan mediator.


4

Reaksi inflamasi pada saluran nafas menimbulkan penyempitan yang

ireversibel pada saluran nafas ( airway remodeling ) akibat fibrosis subepitelial,

hipertrofi otot polos saluran nafas, penebalan pembuluh darah dan hipersekresi

mukus. Hal ini merupakan langkah terakhir terjadinya gejala dan perubahan

fisiologik saluran nafas pada asma, yaitu berupa kontraksi otot polos, edem,

penebalan dinding dan hipersekresi mukus. Hiperesponsif ini bersifat responsif

secara parsil terhadap obat.


5

E. Gejala Klinis

Mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk terutama malam hari atau

dini hari/subuh.
6

F. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan :5

1. Anamnesa
Riwayat pengulangan batuk mengi, sulit bernafas, atau berat dada yang

memburuk pada malam hari atau secara musiman.


Riwayat asma sebelumnya
Manifestasi atopik misalnya rhinitis alergika, yang bisa juga ada pada

keluarga
Keluhan timbul atau memburuk oleh infeksi pernafasan, rangsangan bulu

binatang, serbuk sari, asap, bahan kimia, perubahan suhu, debu rumah,

obat obatan ( aspirin, penghambat beta ), olah raga, rangsang emosi yang

kuat
Keluhan berkurang dengan pemberian obat asma

2. Pemeriksaan Fisik : Dapat dijumpai adanya sesak nafas, pernafasan mengi

dan perpanjangan ekspirasi tanda emfisema pada asma yang berat


7

a) Vital Sign Fitur umum dicatat selama serangan asma akut tingkat

pernapasan cepat (sering 25 sampai 40 napas per menit), takikardia,

dan pulsus paradoksus.6


b) Pemeriksaan Thorak

Pemeriksaan dapat mengungkapkan bahwa pasien yang mengalami

serangan asma dapat dijumpai:7

Inspeksi: sesak (napas cepat, retraksi sela iga, retraksi

epigastrium, retraksi suprasternal)


Palpasi: biasanya tidak ditemukan kelainan, pada serangan berat

dapat terjadi pulsus paradoksus


Perkusi: biasanya tidak ditemukan kelainan
Auskultasi: ekspirasi memanjang,wheezing
3. Pemeriksaan Penunjang :5
a) Spirometri :
( Volum Ekpirasi Paksa 1 detik ) VEP1 < 70% dari nilai prediksi

menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas


Tes reversibilitas : peningkatan VEP1 12% dan 200 ml

menunjukkan reversibilitas yang menyokong diagnosis asma


b) Arus Puncak Ekspirasi ( APE )1 :5
Reversibilitas. Peningkatan 60 L/menit ( atau 20% ) dengan

pemberian bronkodilator ( misalnya 200-400 ugr salbutamol ),

atau variasi diurnal dari APE 20% ( dengan bacaan 2x sehari >

10% ) menyokong diagnosis asma


Variabilitas. Merujuk pada perbaikan atau pemburukan gejala atau

fungsi paru dalam periode tertentu misal 1 hari ( variabilitas

diurnal ), hari atau bulanan.


c) Pengukuran Status Alergi8

Untuk mengidentifikasi komponen alergi pada asma dapat

dilakukan pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum


8

dan eosinofil. Uji ini dapat membantu mengidentifikasi faktor

pencetus sehingga dapat dilakukan pencegahan terarah. Umumnya

dilakukan skin prick test.

Namun, uji ini dapat menghasilkan positif palsu maupun negatif

palsu. Sehingga konfirmasi pajanan alergen dengan timbulnya gejala

harus selalu dilakukan.

G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan 4 Komponen Tata Laksana Asma.2

GINA ( 2011 ) mengajukan 4 komponen tata laksana yang dibutuhkan untuk

mencapai dan mempertahankan kontrol asma.2:

1.
Mengembangkan Kerjasama Dokter dengan Pasien
Diupayakan tercapainya kerjasama yang baik antara dokter dan pasien,

dan melakukan edukasi pasien tentang asma dan tatakelola asma yang

perlu mereka kerjakan. Manajemen yang efektif diperoleh bila pasien

dapat aktif merawat diri sendiri yaitu bila ia telah mampu :


Menghindari faktor resiko
Menggunakan obatnya secara benar dan teratur sesuai yang telah

ditentuka
Mengerti penggunaan obat pengontrol dan pelega
Mampu memonitor asma dan bila mungkin bisa menggunakan PEF

meter
Mengenal tanda pemburukan asma dan cara mengatasinya
Konsultasi bila diperlukan
2. Mengenal dan mengurangi paparan terhadap faktor resiko
Pasien harus mengetahui faktor pencetus asma mereka dan berusaha

menghindari berbagai faktor yang dapat mencetuskan asmanya seperti

diuraikan mengenai faktor pencetus asma. Pasien tetap melakukan olah


9

raga sesuai kamampuannya dan bila perlu sebelum olah raga terlebih

dahulu menggunakan obat asma.


3. Evaluasi, Terapi dan Monitor Asma
4. Monitoring untuk mempertahankan kontrol asma
Pasien kontrol 1 3 bulan kemudian dan seterusnya 3 bulan sekali.

Bila adaeksaserbasi kontrol tiap 2 4 minggu, ditanyakan mengenai hasil

kontrol asma yang tercapai, kepatuhan pasien menggunakan inhaler dan

PEF meter secara benar atau adanya masalah lain pada pasien.
Penyesuaian obat dilakukan untuk mendapatkan kontrol yaitu

ditingkatkan regimen obat bila tak terkontrol/atau terkontrol sebagian,

sedangkan bila terkontrol baik selama 3 bulan diturunkan dosis dan

langkah terapi secara perlahan, hingga batas dosis obat minimal yang

dapat mengontrol.
Monitoring tetap diperlukan meskipun kontrol telah tercapai karena

asma adalah penyakit yang bervariasi hingga terapi perlu disesuaikan

secara berkala sebagai respon terhadap tandatanda kurangnya kontrol

yang ditandai oleh gejala yang memburuk atau timbulnya eksaserbasi

Obat Asma8

Obat asma dapat digolongkan menjadi pengedali ( controller ) dan pelega

(reliever). Controller adalah obat yang dikonsumsi tiap hari untuk

membuat asma dalam keadaan terkontrol terutama melalui efek

antiinflamasi. Reliever adalah obat yang digunakan bila perlu berdasar

efek cepat untuk menghilangkan bronkokontriksi dan menghilangkan

gejalanya

Obat pengendali (Controller)8


10

Pencegah adalah obat asma yang digunakan jangka panjang untuk

mengontrol asma, karena mempunyai kemampuan untuk mengatasi

proses inflamasi yang merupakan patogenesis dasar penyakit asma.

Obat ini diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan

keadaan asma terkontrol pada asma persisten, dan sering disebut

sebagai obat pencegah. Berbagai obat yang mempunyai sifat sebagai

pengcegah, antara lain

a) Kortikosteroid inhalasi
b) Kortikosteroid sistemik
c) Sodium chromoglicate dan sodium Nedochromil Pemberiannya

secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma

persisten ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan

untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak.


d) Methylxanthine Teofilin adalah bronkodilator yang juga

mempunyai efek ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Teofilin

atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat

pengontrol, berbagai penelitian menunjukkan pemberian jangka

lama efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru.


e) Agonis 2 kerja lama (LABA) inhalasi Termasuk di dalam agonis

beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan formoterol yang

mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis

beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan

pembersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh

darah dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan

basofil.
f) Leukotriene modifiers Obat ini merupakan antiasma yang relatif

baru dan pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerja


11

menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan

bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise.

Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi.

Kelebihan obat ini adalah preparatnya dalam bentuk tablet (oral)

sehingga mudah diberikan. Saat ini yang beredar di Indonesia

adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).


g) obat-obat anti alergi
h)
Penghilang gejala (Reliever)8

Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,

memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan

dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak

memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif

jalan napas.Termasuk penghilang gejala adalah

a) Agonis beta2 kerja singkat Termasuk golongan ini adalah

salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah

beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang

cepat. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi

otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier,

menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi

penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan terapi pilihan

pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada

exercise-induced asthma
b) Kortikosteroid sistemik. Steroid sistemik digunakan sebagai obat

penghilang gejala bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah


12

optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya

dikombinasikan dengan bronkodilator lain.


c) Antikolinergik Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme

kerjanya memblok efek penglepasan asetilkolin dari saraf

kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan

menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga

menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan.

Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan

tiotropium bromide.
d) Theophilin

Pengobatan Berdasarkan Derajat


13

Menurut GINA (2009), pengobatan berdasarkan derajat asma dibagi menjadi:

1. Asma Intermiten

a. Umumnya tidak diperlukan pengontrol


b. Bila diperlukan pelega, agonis -2 kerja singkat inhalasi dapat

diberikan. Alternatif dengan agonis -2 kerja singkat oral, kombinasi

teofilin kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat oral atau

antikolinergik inhalasi
c. Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga

bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten

ringan

2. Asma Persisten Ringan

a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah

progresivitas asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi dosis

rendah (diberikan sekaligus atau terbagi dua kali sehari) dan agonis -2

kerja lama inhalasi


Budenoside : 200400 g/hari
Fluticasone propionate : 100250 g/hari
Teofilin lepas lambat
Kromolin
Leukotriene modifiers
b. Pelega bronkodilator (Agonis -2 kerja singkat inhalasi) dapat

diberikan bila perlu

3. Asma Persisten Sedang

a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah

progresivitas asma, dengan pilihan:


Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis

-2 kerja lama inhalasi


Budenoside: 400800 g/hari
Fluticasone propionate : 250500 g/hari
14

Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah teofilin

lepas lambat
Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah agonis -

2 kerja lama oral


Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 g/hari)
Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah

leukotriene modifiers
b. Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu
Agonis -2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 34 kali sehari,

atau
Agonis -2 kerja singkat oral, atau
Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat
Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita

telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol


c. Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis

rendah dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis -2 kerja

lama inhalasi Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada

inhalasi bentuk IDT atau kombinasi dalam satu kemasan agar lebih

mudah

4. Asma Persisten Berat

Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala

seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal

paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin

dan efek samping obat seminimal mungkin


Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat

mengontrol asma, dengan pilihan:


Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua

dosis) dan agonis -2 kerja lama inhalasi


Beclomethasone dipropionate: >800 g/hari
15

Selain itu teofilin lepas lambat, agonis -2 kerja lama oral, dan

leukotriene modifiers dapat digunakan sebagai alternative

agonis -2 kerja lama inhalai ataupun sebagai tambahan terapi


Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena

dapat mencegar efek samping lokal seperti kandidiasis

orofaring, disfonia, dan batuk karena iritasi saluran napas atas.

H. Pencegahan asma7

Upaya pencegahan asma dapat ditujukan pada pencegahan sensitisasi

alergi (terbentuknya atopi, nampaknya paling relevan waktu prenatal dan

perinatal) atau mencegah terbentuknya asma pada individu yang tersensitisasi.

Selain mencegah paparan tembakau atau rokok waktu dalam kandungan atau

setelah kelahiran, tidak ada intervensi yang terbukti dan diterima luas dapat

mencegah terbentuknya asma.

Hygiene hypothesis asma. Walaupun kontroversi nama telah membawa

penegasan bahwa mencegah sensitisasi alergi harus focus mengarahkan

kembali repons imun dari bayi ke Th1 atau modulasi T regulator cell. Tetapi

strategi tersebut saat ini masuh merupakan alam hipotesis dan perlu penelitian

lebih banyak.

I. Prognosa

Dalam kasus-kasus ringan sampai sedang , asma dapat meningkatkan

dari waktu ke waktu , dan banyak orang dewasa bahkan bebas dari gejala.

Bahkan dalam beberapa kasus yang parah , orang dewasa mungkin mengalami
16

perbaikan tergantung pada derajat obstruksi di paru-paru dan ketepatan waktu

dan efektivitas pengobatan .

Pada sekitar 10 % kasus persisten berat , perubahan dalam struktur

dinding saluran udara menyebabkan masalah progresif dan ireversibel dalam

fungsi paru-paru, bahkan pada pasien yang diobati secara agresif . Fungsi

paru-paru menurun lebih cepat daripada rata-rata pada orang dengan asma ,

terutama pada mereka yang merokok dan pada mereka dengan produksi lendir

yang berlebihan ( indikator kontrol perlakuan buruk )

Anda mungkin juga menyukai