Anda di halaman 1dari 20

Telaah Kritis

JURNAL BLEFARITIS

COMPARATIVE STUDY OF THE EFFICACY OF DIFFERENT TREATMENT


OPTIONS IN PATIENTS WITH CHRONIC BLEPHARITIS

Disusun Oleh :

Lulut Khoridatur R G99161056


Atika Iffa Syakira G99161021
Yunika Varestri A R G99161106

Pembimbing
Dr. dr. Senyum Indrakila, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2017
Studi Komparatif Keberhasilan dari Pilihan Pengobatan yang Berbeda pada Pasien
dengan Blefaritis Kronik

Abstrak

Objektif: untuk membandingkan keberhasilan dari 3 pilihan terapi pada pasien dengan
blefaritis kronis.

Metodologi: sebuah penelitian eksperimental dengan randomized controlled study pada 45


pasien (perempuan 67% dengan usia rata-rata 40.5 tahun) dan didiagnosis dengan blefaritis
kronis, dengan tujuan membandingkan keefektifan ketiga pilihan terapi. Kelompok 1:
kebersihan kelopak mata dengan sampo netral 3 kali/hari, kelompok 2: sampo netral untuk
kelopak mata dengan ditambahkan metronidazol gel topikal 0.75% 2 kali sehari, kelompok 3:
kebersihan kelopak mata dengan sampo dan antibiotik oles neomycin 3.5% dan polymixin
10% dengan 0.5% deksametason 3 kali sehari. Gejala dan tanda diuji dengan skor yang
dimulai dari 0 : tidak ada gejala dan atau tanda, 1: gejala sedang dan atau tanda, 3: gejala
berat dan atau tanda.

Hasil: sebuah perbaikan signifikan telah diobservasi dengan melihat tanda dan gejala pada
semua kelompok. Dimana kelompok 1 dan 2 memiliki perkembangan yang lebih pada semua
variabel penelitian (p<.05). Kelompok 3 menunjukkan tidak adanya perbaikan klinis dari
keluhan gatal (p=.16), dryeye (p=.29).

Kesimpulan : sampo netral untuk kelopak mata dan sampo netral yang dikombinasikan
dengan metronidazol gel memiliki hasil yang lebih bersih daripada sampo netral yang
dikombinasi dengan antibiotik oles neomycin dan polymixin serta deksametason.

Pendahuluan

Blefaritis adalah penyakit yang sangat umum ditemui dalam praktek oftalmologi.
Blefaritis biasanya berlangsung kronis dengan eksaserbasi gejala intermiten. Umumnya,
blefaritis diklasifikasikan menurut onsetnya menjadi akut dan kronis, dengan onset akut
disebabkan oleh infeksi bakteri dan onset kronis dikaitkan dengan kelenjar keterlibatan
kelenjar meibom.
Blefaritis umumnya terkait dengan penyakit sistemik seperti rosaceae dan dermatitis
seboroik. Beberapa studi mengasosiasikan blefaritis denganinfeksi Demodex folliculorum (D.
folliculorum) yang dapat meneruskan proses inflamasi sampai pada tingkat folikel.

Meski pun terapi untuk blefaritis kronis masih kontroversial, membersihkan daerah
mata dengan menggunakan sampo netral telah menjadi terapi medis yang dapat diterima
secara luas di lingkungan kami, diikuti penggunaan salep antibiotik dengan neomycin 3.5%
dan polymixin 10% dengan kombinasi dexamethasone 0.5%. Dikatakan bahwa kombinasi
tersebut digunakan karena penggunaannya telah menunjukkan perbaikan pada pasien dengan
kondisi akut dalam praktek klinis, meskipun sebenarnya penggunaan kortikoid dapat menjadi
inhibitor kerja neomycin dan polymixin pada penggunaan jangka panjang oleh karena adanya
potensi efek kolateral. Penggunaan salep berbasis antibiotik belum terbukti efektif dalam
pengobatan blefaritis kronis karena tidak mengatasi penyebab utamanya. Untuk itu, perlu
diberikan penambahan dosis agar bisa mencapai efek yang diinginkan dengan risiko
munculnya efek samping yang tidak diinginkan oleh karena toksisitas obat-obat terkait.
Aplikasi topikal dari metronidazol 0.75% dalam bentuk gel telah menunjukkan penurunan
yang signifikan dari gejala dan pengurangan bersamaan dengan reduksi sampai 50% dari
infestasi oleh D. folliculorum.

Rupanya, metronidazol mengurangi hidrogen peroksida dan tingkat radikal hidroksil,


yang keduanya merupakan oksidan kuat yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Untuk
alasan ini, efek utama yang diharapkan dari metronidazol adalah efek antiinflamasi dan
bukannya efek antimikroba. Mayoritas studi yang dilakukan di Amerika Utara dan Eropa
merekomendasikan penggunaan merkuri oksida kuning 2% sebagai tatalaksana pada kasus
blefaritis kronis. Namun, jenis pengobatan ini tidak terjangkau untuk sebagian besar pasien di
lingkungan kami oleh karena alasan biaya.

Lokakarya internasional untuk tatalaksana pada disfungsi kelenjar meibom telah


menghasilkan suatu sistem klasifikasi klinis guna menilai keparahan pada disfungsi kelenjar
meibom dan algoritma terapi yang didasarkan pada tahapan penyakit ini. Untuk tahap 1 dan
2, yaitu pasien-pasien tanpa gejala atau mereka yang memiliki gejala yang sangat ringan,
dianjurkan untuk mengoptimalkan lingkungan sekitar, meningkatkan konsumsi omega-3,
menjaga kebersihan daerah palpebra dengan kompres hangat, serta rutin melakukan pijatan
pelan pada daerah palpebra. Tahap 3 dan 4, yaitu pasien-pasien dengan gejala sedang dan
berat, diberi anjuran yang sama dengan tahap 1 dan 2 dengan tambahan penggunaan lubrikan,
acytromycin topikal, turunan tetrasiklin oral, dan terapi antiinflamasi untuk mata kering.

Mayoritas terapi pada kasus blefaritis kronis telah menunjukkan penurunan yang
signifikan dalam hal kuantitas kejadian infeksi oleh parasit. Namun, satu-satunya pengobatan
yang mampu mengurangi jumlah D. Folliculorum sampai nol adalah minyak pohon teh
(Melaleuca alternifolia), modalitas terapi yang tidak tersedia di lingkungan kami.

Di negara kami, meskipun blefaritis kronis didiagnosis dengan frekuensi relatif


banyak, tidak ada data yang diterbitkan terkait evaluasi terapi medis yang digunakan untuk
penyakit ini, yang menjadikan semakin pentingnya laporan ini dibuat. Dengan demikian,
tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan efikasi dari 3 skema terapi yang diterapkan
untuk blefaritis kronis: (1) menjaga kebersihan daerah palpebra dengan sampo netral; (2)
menjaga kebersihan daerah palpebra dengan sampo netral dan metronidazol 0.75% sediaan
gel topikal; dan (3) menjaga kebersihan daerah palpebra dengan sampo netral dan antibiotik
neomycin 3.5% sediaan salep dan polymixin 10% dengan dexamethasone 0.5%, bersamaan
dengan menilai karakteristik klinis dan mikrobiologis pada pasien-pasien dengan blefaritis
dan progres perbaikan klinispada 2 bulan setelah memulai pengobatan di antara beberapa
kelompok penelitian.

Material dan metode penelitian

Sebuah desain penelitian eksperimental acak dengan subjek pasien dari kedua jenis
kelamin berusia lebih dari 16 tahun dengan diagnosis blefaritis kronis yang mengunjungi
Departemen Oftalmologi Rumah Sakit dari Medical Sciences and College National
University of Asuncin. Setiap pasien diberi penjelasan tentang tujuan dari penelitian ini,
dengan penekanan bahwa terapi yang diberikan tidak menimbulkan risiko apapun pada
kesehatan dan bahwa terapi-terapi yang dipilih sebenarnya sudah umum digunakan tetapi
belum pernah dilakukan evaluasi penggunaannya dalam lingkungan kami. Selain itu juga
diberikan penjelasan bahwa pemeriksaan yang dilakukan tidak akan dikenai biaya. Setelah
menandatangani lembar persetujuan, sampel diambil dari pasien-pasien dan dikirim ke
laboratorium mikrobiologi. Protokol penelitian telah disetujui oleh komite etik dari institusi
peneliti.
Blefaritis kronis diartikan dengan adanya 3 atau lebih karakteristik. Perasaan terbakar,
benda asing atau iritasi, teleangeaktiasis di margopalpebra, sekret berbuih, bulu mata tertutup
sekret, hiperemis papil ringan atau sedang, hipertrofi konjungtiva palpebra atau kelenjar
Meibom. Penelitian ini tidak mengikutsertakan pasien dengan penyakit akut tambahan atau
penyakit kronis lain pada mata (kornea, konjungtiva, palpebra, sistem lakrimalis), mereka
dengan pengobatan topikal diterapkan selama bulan sebelum sampel diambil atau dengan
pengobatan oral yang melibatkan metronidazole, isotretinoin atau obat lain yang bisa
mengganggu kepadatan parasit, serta pasien yang tidak kembali untuk kontrol. Para pasien
direkrut dari praktek rawat jalan dari Departemen Oftalmologi tersebut di atas dan ditugaskan
secara acak untuk kelompok yang berbeda.

Kelompok 1: 15 pasien yang diobati dengan kebersihan palpebra dengan sampo netral
3 kali sehari; Kelompok 2: 15 pasien yang diobati dengan kebersihan palpebra dengan sampo
netral dan gel topikal 0,75% metronidazolee 2 kali sehari; Kelompok 3: 15 pasien yang
diobati dengan kebersihan palpebra dengan sampo netral dan 3,5% salep antibiotik neomycin
dan 10% polymixin dengan 0,5% deksametason 3 kali sehari. Kontrol kunjungan yang
dijadwalkan untuk hari 15, 30 dan 60 setelah pengobatan. Dalam kunjungan variabel yang
tepat diukur.

Kebersihan palpebra dimulai dengan membersihkan kedua tepi palpebra dengan kapas
penyeka yang telah dibasahi dengan sampo netral yang sebelumnya telah diencerkan dalam
air, kemudian diikuti dengan kompres hangat dan pijat kelenjar Meibomium selama 15 menit.

Kuesioner yang telah diatur sebelumnya diberikan kepada pasien saat mengambil
sampel serta 2 bulan setelah perlakuan. Kuesioner mencakup data demografi (jenis kelamin,
umur) dan data demografi (penyakit kulit, gejala dan tanda-tanda).

Karena subjektivitas yang terlibat dalam penilaian gejala dan tanda-tanda, skor 0-3 itu
dirancang untuk mengukur tingkat keparahan, dengan 0 karena tidak ada gejala atau tanda-
tanda; 1, gejala ringan atau tanda-tanda; 2, gejala sedang atau tanda-tanda; dan 3, gejala atau
tanda-tanda parah. Selanjutnya, skor masing-masing variabel ditambahkan hingga
memperoleh nilai rata-rata yang digunakan untuk analisis statistik.

Dalam rangka untuk menentukan adanya agen penyebab, 6 mata-bulu dihilangkan


dari mata masing-masing individu yang menunjukkan tanda blefaritis anterior atau posterior
yang lebih banyak, dimana pengambilan bulu mata bergantian antara bawah dan atas kelopak
mata. Bulu mata ditempatkan pada suatu wadah yang berisi 10% kalium hidroksida (KOH)
yang ditambahkan untuk parasitologis dan analisis mikologis di bawah mikroskop pada
perbesaran 40. Tepi palpebra dari kedua mata digores dengan spatula kimura untuk
mendapatkan sampel untuk studi bakteriologis pada 5% agar darah domba di CO2;
sedangkan kultur jamur dibuat pada media agar Sabouraud. Isolasi dan identifikasi kuman
dilakukan dengan metode mikrobiologi konvensional.

Data dianalisis dengan aplikasi statistik Epi-Info2002 (CDC, Atlanta, Amerika


Serikat). Analisis statistik diterapkan untuk pengolahan data yaitu dengan menggunakan uji
Kruskal-Wallis untuk membandingkan nilai rata-rata, mengambil nilai p <0,05 sebagai
kriteria signifikan secara statistik.

Hasil

Secara keseluruhan, 45 subjek yang memenuhi semua kontrol dilibatkan dalam


penelitian tersebut. Mengenai jenis kelamin, jenis kelamin perempuan (67%) dan penduduk
kota (69%). Usia rata-rata berkisar dari 17-87 tahun.. Mengenai riwayat penyakit dahulu 7
pasien (15,5%) pernah terkena infeksi Rosaceae (Tabel 1).

Dari 45 diperiksa pasien, isolasi bacteri dan parasitologi bisa dilakukan di 28 pasien
(62,2%). Dari jumlah tersebut, 15 pasien (54%) positif untuk D. folliculorum. Pada
gilirannya, isolasi bakterial diperoleh pada 26 pasien (92,8%). Adapun pada isolasi bakteri,
didapatkan Staphylococcus dengan koagulase negatif diisolasi pada 21 pasien (75%),
Staphylococcus aureus pada 3 pasien (11%) dan Streptococcus pneumoniae pada 2 pasien
(7%).

Tabel 2 menunjukkan distribusi tanda dan gejala sesuai dengan tingkat keparahan dan
skor rata-rata. Hal ini dapat dilihat bahwa rata-rata skor yang lebih tinggi berhubungan
dengan sensasi terbakar (2,4), bulu mata tertutup sekret (2,4), iritasi (2,2), eritema atau edema
palpebra (2,2), hypertrofia dari papilla atau kelenjar Meibomium (1,2 ), perasaan mengganjal
(1,9), adanya sisik atau krusta (1,9) dan sekret yang berbuih (1,9).

Tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan ketika membandingkan nilai rata-rata
dasar antara 3 kelompok dari tanda-tanda dan gejala (Tabel 3).
Ketika membandingkan gejala dan tanda-tanda antar kelompok yang berbeda pada
awal dan pada akhir penelitian, perbaikan diamati pada semua kelompok studi untuk semua
variabel dalam kelompok 1 dan 2. Dalam kelompok 3, ada perbaikan diamati pada bulu mata
(p = 0,527), atau dalam telangiectasis di tepi palpebra (p = 0,894) (Tabel 4).

Tabel 5 membandingkan skor pasca-perawatan rata-rata pasien untuk masing-masing


variabel penelitian.

Gambar 1 menunjukkan skor keseluruhan tanda-tanda dan gejala sebelum dan setelah
perawatan. Meskipun reduksi signifikan yang diamati pada ketiga kelompok, namun
kelompok 3 dipamerkan peningkatan terendah.

Terkait efek dari kehadiran oleh Demodex sp. tentang khasiat pengobatan, tidak
mungkin untuk mencapai kesimpulan karena sampel yang berjumlah kecil. Telah diamati
bahwa pasien dengan Demodex sp. pada kelompok yang diberikan metronidazole mempunyai
progres yang lebih besar daripada mereka yang tidak (Gbr. 2).

Diskusi

Blefaritis kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia karena


prevalensi yang tinggi, kronisitas dan resistensi terhadap pengobatan. Seperti dijelaskan di
atas, ada beberapa pilihan pengobatan untuk penyakit multifaktor ini meskipun tidak ada
yang telah menunjukkan kapasitas penyembuhan. Tingkat kekambuhan sangat tinggi dan
kebanyakan pengobatannya dilakukan seumur hidup.
Tabel 1 Karakteristik umum pada pasien dengan blefaritis kronis
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Total
Karakteristik
n (%) n (%) n (%) n (%)
Jenis kelamin
Wanita 10 8 12 30 (66)
Pria 5 7 3 15 (33)
34 (17 87
Rata-rata usia 45 (30 87) 34 (17 72) 34 (20 70)
tahun)
Kelompok umur
17 39 5 10 11 26 (58)
40 59 8 3 3 14 (31)
60 2 2 1 5 (11)
Tempat tinggal
Perkotaan 31 (69)
Perdesaan 14 (31)
Antesenden
patologis
DM 1 1 0 2 (4.4)
Alergi 1 2 2 3 (6.7)
Asma 2 1 0 3 (6.7)
Akne 0 1 2 3 (6.7)
Rosaceae 3 0 4 7 (15.6)
D. folliculorum 6 3 6 15/28 (54.0)
n = 45
Kelompok 1: menjaga kebersihan palpebra dengan sampo netral 3 kali/hari; Kelompok 2:
menjaga kebersihan palpebra dengan sampo netral dan metronidazole 0.75% topikal sediaan
gel 2 kali/hari; Kelompok 3: menjaga kebersihan palpebra dengan sampo netral dan krim
antibiotik yang terdiri dari neomycin 3.5% dan polymixin 10% dengan dexamethasone 0.5%
3 kali.hari.

Shulman et al. menyimpulkan bahwa penggunaan gabungan dari neomycin 3.5% dan
polymixyn 10% dengan deksametason 1% lebih efisien daripada penggunaan dexamethasone
1% sendiri tanpa kombinasi sebagai kontrol bakteri dan peringan gejala pada pasien blefaritis
kronis, meskipun penggunaan jangka panjang yang dapat menimbulkan efek toksik pada
mata karena adanya neomycin sulfat. Demmler membandingkan penggunaan merkuri oksida
2% dan lindane, yang merupakan lotion netral untuk kebersihan palpebra, dengan
penggunaan kombinasi kortikosteroid dan antibiotik, yang menunjukkan penurunan yang
lebih dari hitung Demodex pada pasien yang menggunakan lotion netral dan merkuri oksida
2%. Namun, beberapa pasien melaporkan kesulitan dalam aplikasi obat dan efek toksisitas
dari merkuri oksida, yang dalam penggunaannya harus diaplikasikan dengan sangat hati-hati
untuk menghindari kontak dengan mukosa konjungtiva. Sebagai gantinya, Junket al.
melaporkan satu kasus dengan perbaikan gejala pada pasien dengan blefaritis kronis akibat
Demodex yang memiliki riwayat alergi terhadap merkuri oksida dan resisten terhadap
pemberian antibiotik topikal. Barnhorst membandingkan penerapan dari menjaga kebersihan
palpebra dan aplikasi topikal dari metronidazole dengan praktek menjaga kebersihan palpebra
sendiri, sebagai kelompok kontrol, pada pasien dengan rosaceae dan blefaritis kronis,
menunjukkan perbaikan klinis pada gejala-gejala pada palpebra meskipun tidak ditemukan
adanya perbaikan yang signifikan pada keluhan rasa tidak nyaman pada permukaan mata.
Tidak ada efek samping yang ditemukan dalam pengobatan dengan metronidazol. Czepita
menemukan penurunan pada kasus denganD. folliculorum dan Demodex brevis pada pasien
yang diobati dengan metronidazol 2% dibandingkan dengan modalitas terapi lainnya.

Tabel 2 Tanda dan gejala pada pasien dengan blefaritis kronis


None Slight Moderate Severe Skor
Tanda dan gejala
0 1 2 3 rata-rata
Rasa seperti terbakar 1 5 12 27 2.4
Bulu mata tertutup sekret 0 12 18 15 2.4
Gatal 0 7 23 15 2.2
Eritema atau edema pada palpebra 4 8 19 14 2.2
Hipertopi papil kelenjar meibom 0 4 18 23 2.1
Rasa seperti benda asing 4 9 18 14 1.9
Sisik putih atau crust 1 15 16 13 1.9
8 5 17 15 1.9
Sekret berbuih (Foamy secretion)
Pruritus 9 7 20 9 1.6
Mata kering 8 11 19 7 1.6
Bulu mata rontok 22 9 8 6 1.0
Teleangiektasia di tepi palpebra 42 2 1 0 0.1
Poliosis 34 5 6 0 0.1
Trichiasis 32 7 5 1 0.1
n = 45.
Tabel 3 Perbandingan skor rata-rata dari tanda dan gejala awal antarkelompok pada
pasien dengan blefaritis
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3
Tanda dan gejala p
n = 15 n = 15 n = 15
Rasa seperti terbakar 2.2 2.4 2.7 0.2
Bulu mata tertutup sekret 2.5 2.4 2.3 0.7
Gatal 2.2 2.1 2.2 0.9
Eritema atau edema pada palpebra 2.2 1.9 2.5 0.7
Hipertopi papil kelenjar meibom 2.0 2.1 2.1 0.9
Rasa seperti benda asing 2.1 1.8 1.9 0.6
Sisik putih atau crust 1.9 1.9 1.9 1.0
Foamy secretion 1.8 1.8 2.0 0.8
Pruritus 1.6 1.8 1.4 0.5
Mata kering 1.5 1.5 1.6 1.0
Bulu mata rontok 1.1 0.8 1.0 0.7
Teleangiektasia di tepi palpebra 0.1 0.1 0.1 1.0
Poliosis 0.5 0.5 0.5 1.0
Trichiasis 0.2 0.5 0.5 0.5
Kelompok 1: menjaga kebersihan palpebra dengan sampo netral 3 kali/hari; Kelompok 2:
menjaga kebersihan palpebra dengan sampo netral dan metronidazole 0.75% topikal sediaan
gel 2 kali/hari; Kelompok 3: menjaga kebersihan palpebra dengan sampo netral dan krim
antibiotik yang terdiri dari neomycin 3.5% dan polymixin 10% dengan dexamethasone 0.5%
3 kali.hari.
p: Kruskal-Walls test.
Pada studi eksperimental ini, perbaikan yang signifikan ditemukan pada variabel-
variabel yang dipelajari ketika membandingkan kondisi awal pasien-pasien dengan hasil
setelah diberikan pengobatan selama 2 bulan di 3 kelompok penelitian, yang kemudian
dicocokkan dengan hasil dari beberapa studi yang sudah pernah diterbitkan terkait efek yang
didapatkan dari masing-masing perlakuan yang diberikan. Adapun terapi yang paling efektif,
dapat disimpulkan bahwa terapi dengan sampo netral 3 kali sehari dan penggunaan sampo
netral bersamaan dengan metronidazol 0.75% sediaan gel topikal 2 kali sehari merupakan
beberapa pilihan terapi yang menunjukkan perbaikan terbaik dari gejala dan tanda-tanda yang
dinilai, mirip dengan hasil yang dilaporkan oleh Czepita dan Barnhorst, yang mendapatkan
nilai yang signifikan secara statistik (p <0,05) untuk semua variabel yang dipelajari. Terapi
dengan sampo netral dan salep antibiotik dengan neomycin 3.5% dan polimiksin 10% dengan
deksametason 0.5% 3 kali sehari menunjukkan perbaikan yang signifikan pada variabel-
variabel tanda dan gejala yang diteliti dengan pengecualian rontoknya bulu mata dan
telangiektasia di tepi palpebra. Perbedaan ini bisa disebabkan karena kepatuhan pasien yang
lebih tinggi dengan perawatan sederhana seperti membersihkan dengan sampo netral atau
penggunaan salep dengan frekuensi penggunaan yang lebih jarang dibandingkan dengan
penggunaan gel metronidazole dengan antibiotik dan kortikoid salep, selain itu juga ditambah
dengan lebih tingginya toksisitas dan efek samping yang dihasilkan. Meski pun penggunaan
kortikosteroid menunjukkan efek antiinflamasi yang lebih baik daripada penggunaan
metronidazole, hal ini hanya terbukti pada kasus-kasus dengan peradangan ekstrim, selain itu
penggunaan jangka panjang juga dapat menimbulkan efek samping yang merusak pada mata
dan permukaan palpebra.

Tabel 4 Perbandingan skor rata-rata dari tanda dan gejala awal antarkelompok pada
pasien dengan blefaritis sebelum dan sesudah diberi terapi
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3
Tanda dan gejala
Pre Post p Pre Post P Pre Post p
<0.0 <0.0 <0.0
Rasa seperti terbakar 32.2 0.3 2.4 0.7 2.7 1.5
001 001 001
<0.0 <0.0 <0.0
Bulu mata tertutup sekret 2.5 0.3 2.4 0.9 2.3 1.4
001 001 001
Gatal 2.2 0.5 <0.0 2.1 0.5 <0.0 2.2 0.9 <0.0
001 001 001
Eritema atau edema pada <0.0 <0.0 <0.0
2.2 0.6 1.9 0.9 2.5 1.1
palpebra 001 001 001
<0.0 <0.0 <0.0
Hipertopi papil kelenjar meibom 2.0 0.6 2.1 0.6 2.1 1.5
001 001 001
<0.0 <0.0 <0.0
Rasa seperti benda asing 2.1 0.3 1.8 0.5 1.9 1.3
001 001 001
<0.0 <0.0 <0.0
Sisik putih atau crust 1.9 0.7 1.9 0.5 1.9 1.3
001 001 001
<0.0 <0.0 <0.0
Foamy secretion 1.8 0.5 1.8 0.5 2.0 1.4
001 001 001
<0.0 <0.0 <0.0
Pruritus 1.6 0.2 1.8 0.2 1.4 0.8
001 001 001
<0.0 <0.0 <0.0
Mata kering 1.5 0.4 1.5 0.7 1.6 0.9
001 001 001
0.00 <0.0 0.52
Bulu mata rontok 1.1 0.6 0.8 0.3 1.0 0.6
03 001 7
0.02 0.03 0.89
Teleangiektasia di tepi palpebra 0.1 0.0 0.1 0.1 0.1 0.1
34 54 4
0.02 <0.0 <0.0
Poliosis 0.5 0.4 0.5 0.2 0.5 0.2
34 001 001
0.02 <0.0 <0.0
Trichiasis 0.2 0.1 0.5 0.2 0.5 0.2
34 001 001
Kelompok 1: menjaga kebersihan palpebra dengan sampo netral 3 kali/hari; Kelompok 2:
menjaga kebersihan palpebra dengan sampo netral dan metronidazole 0.75% topikal sediaan
gel 2 kali/hari; Kelompok 3: menjaga kebersihan palpebra dengan sampo netral dan krim
antibiotik yang terdiri dari neomycin 3.5% dan polymixin 10% dengan dexamethasone 0.5%
3 kali.hari.
Uji T-berpasangan untuk membandingkan sebelum dan sesudah terapi.

Tabel 5 Perbandingan antar kelompok berdasarkan nilai rata-rata pada gejala dan tanda-
tanda pasien dengan blepharitis kronis 2 bulan setelah pengobatan.
Gejala / tanda Kelompok 1 Kelompok Kelompok 3 p
n=15 2 n=15
n=15
Sensasi terbakar 0.3 0.7 1.5 <0.001
Bulu mata tertutup sekret 0.3 0.9 1.4 <0.001
Gatal 0.5 0.5 0.9 0.161
Eritema palpebra / edema 0.6 0.9 1.1 0.296
Hipertrofi papil / kelenjar Meibom 0.6 0.6 1.5 <0.001
Perasaan mengganjal 0.3 0.5 1.3 <0.001
Adanya krusta / sisik 0.7 0.5 1.3 0.002
Sekret berbuih 0.5 0.5 1.4 0.002
Pruritus 0.2 0.2 0.8 <0.001
Perasaan mata kering 0.4 0.7 0.9 0.295
Bulu mata rontok 0.6 0.3 0.6 0.169
Teleangiektiasis pada tepi palpebra 0.0 0.1 0.1 0.350
Poliosis 0.4 0.2 0.2 0.808
Trikiasis 0.1 0.2 0.2 0.350

Kelompok 1: kebersihan palpebra dengan sampo netral 3 kali / hari; Kelompok 2:


kebersihan palpebra dengan sampo netral dan topikal 0,75% metron- idazol gel 2 kali / hari;
Kelompok 3: kebersihan palpebra dengan sampo netral dan 3,5% neomycin krim antibiotik
dan 10% polymixin dengan 0,5% deksametason 3 kali / hari.
* Uji Kruskal-Wallis.

Hal ini mengurangi kemanjurannya untuk penggunaan jangka panjang seperti yang
diamati dalam penelitian ini. Mengingat blepharitis yang merupakan penyakit kronis dan
jinak, kortikosteroid hanya digunakan untuk peradangan parah dan komplikasi yang terkait
dengan blefaritis, seperti ulkus marginalis dan phlyctenules.
Gambar 1 - Perbandingan tanda-tanda dan gejala keseluruhan skor antara kelompok
studi dan dalam kelompok, sebelum dan sesudah perlakuan. Kelompok 1: kebersihan
palpebra dengan sampo netral 3 kali / hari; Kelompok 2: kebersihan palpebra dengan sampo
netral dan gel topikal 0,75% metronidazol 2 kali / hari; Kelompok 3: kebersihan palpebra
dengan sampo netral dan krim antibiotik terdiri dari 3,5% neomycin dan 10% polymixin
dengan 0,5% deksametason 3 kali / hari.

Jumlah pasien pada tiap kelompok terbatas karena penelitian dilakukan di rumah sakit
umum yang dikunjungi oleh pasien dengan sumber daya yang lebih rendah dan tidak selalu
kembali untuk kontrol padahal hal tersebut diperlukan sebagai tindak lanjut dari penelitian.
Selain itu, itu tidak mungkin untuk menilai tanda-tanda dan gejala sebagai double-blind
karena keterbatasan logistik. Kekurangan ini harus diperhitungkan karena mereka membatasi
ruang lingkup penelitian. Meski begitu, akhirnya menerapkan penggunaan metronidazole
sebagai pengobatan alternatif untuk pasien dengan blefaritis kronis.
Gambar 2 - Perbandingan perbedaan sebelum dan sesudah pengobatan tanda-tanda
secara keseluruhan dan skor gejala antara kelompok penelitian, diklasifikasikan oleh adanya
Demodex sp. Kelompok 1: kebersihan palpebra dengan sampo netral 3 kali / hari; Kelompok
2: kebersihan palpebra dengan sampo netral dan topikal 0,75% metronidazol gel 2 kali / hari;
Kelompok 3: kebersihan palpebra dengan sampo netral dan krim antibiotik terdiri dari 3,5%
neomycin dan 10% polymixin dengan 0,5% deksametason 3 kali / hari.

Literatur internasional merekomendasikan penggunaan 2% merkuri oksida kuning,


azitromisin topikal dan minyak teh hijau untuk mengobati blefaritis kronis. Namun, mode
terapi ini tidak tersedia di lingkungan kita. Penelitian ini menunjukkan bahwa, meskipun
mode terapi 3 memberikan perbaikan klinis pada gejala dan tanda-tanda pasien dengan
blefaritis kronis, kebersihan palpebra dengan sampo netral dan penggunaan gabungan sampo
netral dengan metronidazol gel pilihan terapi yang tersedia di lingkungan kita yang
menunjukkan hasil terbaik.

Pendanaan

Dukungan keuangan: Hannelore-Georg Zimmermann Founda-tion, Munich, Jerman.

Konflik kepentingan

Tidak ada konflik kepentingan yang dinyatakan oleh penulis

Referensi

1. Kanski JJ. Oftalmologa clnica. 5th ed. Madrid: Elsevier Espana, S.A.; 2004.

2. Bentez del Castillo JM, Daz-Valle D, Vico Ruiz E, Bentez del Castillo J, Bentez
JM. Blefaritis. In: Bentez del Castillo JM, Durn de la Colina JA, Rodrguez Ares MT,
editors. Superficie ocular. Madrid: Sociedad Espanola de Oftalmologa; 2004. p. 6576.

3. Norn MS. Incidence of Demodex folliculorum on skin of lids and nose. Acta
Ophthalmol (Cph). 1982;60:57583.

4. Corredor-Osorio R, Nava Castaneda A, Tovilla Canales JL, Tovilla y Pomar JL,


Munoz Salas S. Blefaritis por Demodex folliculorum. Rev Fac Med UNAM. 2000;43:1259.
5. Czepita D, Kuzna-Grygiel W, Czepita M, Grobelny A. Demodex folliculorum and
Demodex brevis as a cause of chronic marginal blepharitis. Ann Acad Med Stetin.
2007;53:637, discussion 67.

6. Liu J, Sheha H, Tseng SC. Pathogenic role of Demodex mites in blepharitis. Curr
Opin Allergy Clin Immunol. 2010;10: 50510.

7. Shulman DG, Sargent JB, Stewart RH, Mester U. Comparative evaluation of the
short-term bactericidal potential of a steroid-antibiotic combination versus steroid in the
treatment of chronic bacterial blepharitis and conjunctivitis. Eur J Ophthalmol. 1996;6:3617.

8. Demmler M, de Kaspar HM, Mhring C, Klauss V. Blepharitis. Demodex


folliculorum, associated pathogen spectrum and specific therapy. Ophthalmologe.
1997;94:1916.

9. Junk AK, Lukacs A, Kampik A. Topical administration of metronidazole gel as an


effective therapy alternative in chronic Demodex blepharitis: a case report. Klin Monatsbl
Augenheilkd. 1998;213:4850.

10. Barnhorst DA Jr, Foster JA, Chern KC, Meisler DM. The efficacy of topical
metronidazole in the treatment of ocular rosacea. Ophthalmology. 1996;103:18803.

11. Rodrguez AE, Ferrer C, Ali JL. Chronic blepharitis and Demodex. Arch Soc Esp
Oftalmol. 2005;80. Madrid.

12. Geerling G, Tauber J, Baudouin C, Goto E, Matsumoto Y, OBrien T, et al. The


international workshop on Meibomian gland dysfunction report of the subcommittee on
management and treatment of meibomian gland dysfunction. Invest Ophthalmol Vis Sci.
2011;52: 205064.

13. Asbell PA, Stapleton FJ, Wickstrm K, Akpek EK, Aragona P, Dana R, et al. The
international workshop on meibomian gland dysfunction: report of the clinical trials
subcommittee. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2011;52:206585.

14. Nelson JD, Shimazaki J, Benitez-del-Castillo JM, Craig JP, McCulley JP, Den S, et al.
The international workshop on meibomian gland dysfunction: report of the definition and
classification subcommittee. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2011;52:19307.
15. Gao YY, di Pascuale MA, Li W, Baradaran-Rafii A, Elizondo A, Kuo CL, et al. In
vitro and in vivo killing of ocular Demodex by tea tree oil. Br J Ophthalmol. 2005;89:1468
73.

16. Koo H, Kim TH, Kim KW, Wee SW, Chun YS, Kim JC. Ocular surface discomfort
and Demodex: effect of tea tree oil eyelid scrub in Demodex blepharitis. J Korean Med Sci.

2012;27:15749.

CRITICAL APPARAISAL

N HAL CHECK LIST PENILAIAN YA TIDAK


o YANG
DINILAI

1 Judul a. Apakah judul tidak terlalu panjang atau pendek?


Makalah b. Apakah judul menggambarkan isi utama penelitian?
c. Apakah judul cukup menarik?

d. Apakah judul menggunakan singkatan selain yang
baku?

2 Abstrak a. Apakah merupakan abstrak satu paragraf, atau


abstrak terstruktur?
b. Apakah sudah tercakup komponen IMRAC
(Introduction, methods, Results, Conclussion?)
c. Apakah secara keseluruhan abstrak informatif?
d. Apakah abstrak lebih dari 250 kata?
3 Penda a. Apakah mengemukakan alasan dilakukannya
huluan penelitian?
b. Apakah menyatakan hipotesis atau tujuan penelitian?
c. Apakah pendahuluan didukung oleh pustaka yang
kuat & relevan?

4 Metode a. Apakah disebutkan desain, tempat & waktu


penelitian?
b. Apakah disebutkan populasi sumber (populasi
terjangkau)?

c. Apakah kriteria pemilihan (inklusi & eksklusi)
dijelaskan?
d. Apakah cara pemilihan subjek (teknik sampling)
disebutkan?
e. Apakah perkiraan besar sampel disebutkan & disebut
pula alasannya?
f. Apakah perkiraan besar sampel dihitung dengan
menggunakan rumus yang sesuai?
g. Apakah observasi, pengukuran, serta intervensi dirinci
sehingga orang lain dapat mengulanginya?
h. Bila teknik pengukuran tidak dirinci, apakah disebutkan
rujukannya?
i. Apakah definisi istilah & variabel penting dikemukakan?
j. Apakah ethical clearance diperoleh?
k. Apakah disebutkan rencana analisis, batas kemaknaan &
power penelitian?

5 Hasil a. Apakah disertakan tabel deskripsi subjek penelitian?


b. Apakah karakteristik subjek yang penting (data awal)
dibandingkan kesetaraannya?
c. Apakah dilakukan uji hipotesis untuk kesetaraan ini?
d. Apakah disebutkan jumlah subjek yang diteliti?
e. Apakah dijelaskan subyek yang drop out dengan

alasannya?

f. Apakah semua hasil di dalam tabel disebutkan dalam
naskah?
g. Apakah semua outcome yang penting disebutkan
dalam hasil?
h. Apakah subyek yang drop out diikutkan dalam
analisis?
i. Apakah disertakan hasil uji statistik (x2,t) derajat
kebebasan (degree of freedom), dan nilai p?
j. Apakah dalam hasil disertakan komentar & pendapat?

6 Diskusi a. Apakah semua hal yang relevan dibahas?


b. Apakah dibahas keterbatasan penelitian, dan
kemungkinan dampaknya terhadap hasil?
c. Apakah disebutkan kesulitan penelitian,
penyimpangan dari protokol, dan kemungkinan

dampaknya terhadap hasil?
d. Apakah pembahasan dilakukan dengan
meghubungkannya dengan teori dan hasil penelitian

terdahulu?
e. Apakah dibahas hubungan hasil dengan praktek
klinis?
f. Apakah disertakan kesimpulan utama penelitian?
g. Apakah kesimpulan didasarkan pada data penelitian?
h. Apakah efek samping dikemukakan dan dibahas?
i. Apakah disebutkan hasil tambahan selama
diobservasi?
j. Apakah disebutkan generalisasi hasil penelitian?
k. Apakah disertakan saran penelitian selanjutnya,
dengan anjuran metodologis yang tepat?

Anda mungkin juga menyukai