Tugas Teguh Tentang Malpraktik Medik
Tugas Teguh Tentang Malpraktik Medik
Seorang anak laki-laki usia 13 bulan sakit panas dan diare, anak tersebut dibawa ke RS
sukamara RS tipe D, di RS tersebut dia diobati dan dirawat, hasil laboratorium disana
menunjukkan malaria, dari apusan darah tebal ditemukan plasmodium vivax, kemudian
p. vivax, anak tersebut dirujuk dengan menggunakan speed boat, dengan ditemani 2
perawat lulusan D3 dan NERS, sesampainya di RS tipe C diterima di IGD, dan diterima
oleh dokter jaga IGD dalam kondisi stabil, tetapi tidak langsung di konsulkan ke dokter
spesialis anak, oleh dokter jaga IGD diberikan 4 jenis obat, obat yang berikan, ceftriaxon
inj, ondancentron inj, ranitidin inj, antrain inj, menurut keterangan ibu, saat suntikan ke
empat, spuit yang paling besar, anak menjerit, akan tetapi tetap disuntikan oleh perawat.
Tidak lama kemudian pasien merasa lemas dan tidak sadarkan diri, dilakukan RJP pada
pasien tersebut oleh perawat IGD, dokter jaga IGD tidak berada di tempat dan kemudian
pasien meninggal, pada saat itu tidak diberikan adrenalin, belum di lakukan skin test
sebelum pemberian antibiotik. Keluarga tidak menerima dan menuntut secara perdata,
etik yang telah disepakati. Dilihat dariaspek etik asuhan kedokteran dimana menurut
Medical Ethics dengan landasan idiil Pancasila dan landasan struktural UUD 1945,
Dalam hubungan dokter dengan pasien pada kasus di atas seperti pola hubungan
dengan Presumed Consent dimana Concert yang diberikan secara implisit (tersirat)
dengan menarik kesimpulan dari sikap pasien yang tidak melakukan penolakan
Pada kasus di atas tidak begitu jelas apakah ada Inform consent atau tidak, walaupun
di IGD sekalipun wajib mendapat persetujuan (Inform consent) yang telah di atur
No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik. Jika dalam keadaan gawat darurat
saat pasien tidak sadar atau tidak yang mendampingi sehingga tidak perlu
Kemudian ditinjau dari aspek hubungan dokter dengan masyarakat, berdasarkan pada
Principles-Based Ethicsa Prima Facie oleh T.Beauchamp dan Childress (1994) dan
Veatch (1989). Yang menjelaskan Prima Facie terdiri atas : 1
medis terbaik. Hal ini terkait pemberian obat-obatan salah satunya seperti
antibiotik yang tidak sesuai indikasi dan tidak sesuai standar medis dalam terapi
pasien anak di atas. Dalam penangan kasus di atas hendaknya mengikuti alur
tatalaksana Malaria pada anak sesuai jenis Plasmodium dimana obat yang
dalam pemberian antrain inj. yang berguna sebagai analgetik antipiretik terkesan
sangat berlebihan karena untuk pemilihan antipiretik analgetik pada anak dimulai
skin test sebelum pemberian antibiotik yang apabila tidak dilakukan dapat
berakibat fatal seperti reaksi anafilaktik yang mungkin telah dialami pada pasien
di atas, terlebih lagi tidak ada pemberian adrenalin atau epinefrin yang
merupakan salah satu terapi dalam mengatasi reaksi anafilaktik atau syok
anafilaktik.1,2
-
Autonomy, dimana dokter tidak mengatakan dengan jujur kepada pasien atau
keluarga pasien tentang penyakit, karena hal tersebut merupakan hak pasien
untuk mendapat informasi sejelas-jelasnya, dalam hal ini dokter jaga IGD tidak
ada ditempat setelah memberikan obat serta saat pasien dalam keadaan gawat.1
Dari Norma disiplin pada kasus di atas, dokter jaga IGD dalam menjalankan
tugasnya tidak menjalankan profesinya sesuai standar profesi medik. Hal ini terkait
dengan disiplin Ilmu Kedokteran itu sendiri. Kompetensi dokter diperoleh melalui
darurat. Seperti halnya pemberian antibiotik ceftriaxone inj yang tidak sesuai dengan
prosedur tatalaksana malaria pada anak, kemudian juga sebagai dokter yang
Kemudian juga dalam pemilihan obat-obat seperti antrain inj, lebih baik memberikan
pilihan pertama. Lalu pada saat anak mengalami reaksi yang diduga akibat suntikan
dan dokter tidak ditempat serta tidak ada pemberian adrenalin dalam penanganannya
ditambah dokter jaga IGD saat itu tidak ada ditempat tidak hanya merupakan
kesalahan dalam penerapan ilmu kedokteran tapi juga dalam etik jabatan seorang
dokter.2
3.
Dalam segi hukum, pada kasus di atas keluarga menuntut secara perdata atas
meninggalnya pasien yang diduga akibat tindakan yang dilakukan dokter dan tim
medisnya. Malpraktik medis selain dapat dituntut secar pidana juga dapat dituntut
secara perdata dalam bentuk pembayaran ganti rugi. Dasar hukum malpraktik
perdata/sipil adalah transaksi atau kontrak teraupetik antara dokter dengan pasien
pengobatan atau perawatan medis kepada pasien dan pasien bersedia membayar
perdata adalah : Pasal 1366 KUHP perdata, setiap orang bertanggungjawab bukan
Istilah malpraktik berasal dari kata mala, artinya tidak baik, dan praktik yang artinya
pelaksanaan pekerjaan dokter secara tidak baik. Jadi, malpraktek adalah praktek
kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan standar profesi atau standar prosedur
operasional.3
Hal ini berarti harus ada hubungan hukum antara pasien dan dokter/ rumah sakit.
Dengan adanya hubungan hukum, maka implikasinya adalah bahwa sikap tindak
dokter (atau tenaga medis lainnya) di rumah sakit tersebut harus sesuai dengan
standar pelayanan medis agar pasien jangan sampai menderita cedera karenanya.
Pada kasus di atas seorang dokter jaga IGD telah terikat dalam hubungan dokter-
pasien, namun dalam proses tindakan yang dilakukan dokter tidak sesuai dengan
standar pelayanan medis dan membuat pasiennya meninggal dunia.
Apabila sudah ada kewajiban, maka dokter (atau tenaga medis lainnya) di rumah
sakit tersebut harus bertindak sesuai standar profesi yang berlaku. Jika terdapat
kasus di atas dokter bertindak tidak standar pelayanan medik yang berlaku, maka
c. Damage (injury/kerugian)
Unsur ketiga untuk penuntutan malpraktik medik adalah cedera atau kerugian
harus ada hubungan kausal yang wajar antara sikap tindak tergugat (dokter)
dengan kerugian (damage) yang diderita oleh pasien sebagai akibatnya. Pada
kasus di atas tindakan dokter terhadap pasien di duga sebagai penyebab pasien
kehilangan nyawa.
Dari aspek kelalaian medik, dokter pada kasus di atas telah melakukan Misfeasence
pemberian antibiotik. Hal ini tidak sesuai dengan standar pelayanan medik yang
berlaku.
-
Nonfeasense, dimana dokter tidak berada ditempat untuk memberikan
pertolongan terhadap reaksi suntikan yang diberikannya.
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dokter pada kasus di atas
1. Aflanie, Iwan, Nila nirmalasari, dan Muhammad Hendi Arizal. Ilmu kedokteran
forensik dan medikolegal. Banjarmasin: PT Rajagrafindo Persada; 2017.
2. Pudjiadi, Antonius, dkk. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2009