BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Adaptasi fisiologis kehamilan dapat menyebabkan perubahan signifikan dalam sistem
kardiovaskular yang memungkinkan wanita untuk meningkatkan kebutuhan metabolik akibat
pertumbuhan janin.
Wanita dengan fungsi struktur jantung normal dapat beradaptasi dengan baik sedangkan
wanita dengan penyakit jantung akan mengalami dekompensasi yang dapat mengakibatkan
komplikasi dalam kehamilan bahkan menyebabkan kematian janin dan ibu.
Peningkatan kerja jantung disebabkan oleh karena adanya peningkatan konsumsi oksigen
karena pertumbuhan janin, pembesaran rahim dan payudara yang membutuhkan oksigen yang
lebih besar, peningkatan berat badan ibu hamil, dan lapisan plasenta bekerja seperti fistula
arterio-vena.
Banyaknya perubahan fisiologis yang terjadi pada wanita hamil nampaknya mempersulit
diagnosis kelainan jantung, misalnya bising jantung fisiologis sering ditemukan pada wanita
hamil normal, demikian pula dengan dyspnea dan edem. Cunningham dkk menyatakan bahwa
diagnosis penyakit jantung pada kehamilan jangan ditegakkan bila tidak ada kelainan yang
ditemukan sebaliknya jangan gagal dan terlambat menegakkan diagnosis bila memang ada
kelainan. Martin dkk (1999) melaporkan bahwa kelainan jantung merupakan penyebab kematian
ketiga terbanyak pada wanita usia 25 44 tahun.2
Risiko kematian maternal akan meningkat sampai 25 50% pada kasus-kasus dengan
hipertensi pulmonal, coartasio aorta, sindroma Marfan yang mengalami komplikasi. Namun
penanganan prenatal, intrapartum dan post partum yang baik dapat memberikan hasil yang
memuaskan. Silversides dkk (2002) di Kanada tidak menemukan satupun kasus kematian
maternal dari 74 ibu hamil dengan stenosis mitral rematik.4, 5
Massa sel darah merah biasanya meningkat tetapi hanya sekitar 40% yang menyebabkan
peningkatan proporsional volume sel darah merah yang mengarah ke hemodilusi relatif disebut
anemia fisiologi kehamilan.
Hasil dari peningkatan volume darah pada akhir diastolik ventrikel kiri (LVED) akan terjadi
peningkatan volume yang dapat dilihat pada ekokardiografi dari 10 minggu usia kehamilan.
II.1. Diagnosis
Kebanyakan wanita dengan kelainan jantung telah terdiagnosis sebelum kehamilan,
misalnya pada mereka yang pernah menjalani operasi karena kelainan jantung kongenital maka
akan mudah untuk mendapat informasi yang rinci. Sebaliknya penyakit jantung pertama kali
didiagnosis saat kehamilan bila ada gejala yang dipicu oleh peningkatan kebutuhan jantung.1
Gejala klasik penyakit jantung adalah : palpitasi, sesak nafas, dan nyeri dada. Berhubung
karena gejala ini juga berhubungan dengan kehamilan normal maka perlu melakukan anamnesis
yang cermat untuk menentukan apakah gejala ini sudah tidak berhubungan dengan kehamilan
normal. Bising sistolik dapat ditemukan pada 80% wanita hamil, umumnya berhubungan dengan
peningkatan volume aorta dan arteri pulmonalis. Tipe bising ini adalah derajat 1 atau 2,
midsistolik, paling keras pada basal jantung, tidak berhubungan dengan kelainan fisik yang lain.
Pada pasien dengan bising sistolik akan terdengar pemisahan bunyi jantung dua yang keras.
Setiap bising diastolik dan bising sistolik yang lebih keras dari derajat 3/6 atau menjalar ke
daerah karotis harus dianggap sebagai patologis. Pada wanita yang diduga mengalami kelainan
jantung maka perlu dilakukan evaluasi yang cermat terhadap denyut vena jugularis, sianosis pada
daerah perifer, clubbing dan ronki paru.1, 6
Pemeriksaan diagnostik lanjut perlu dilakukan pada wanita hamil yang mempunyai :
riwayat kelainan jantung, gejala yang melebihi kehamilan normal, bising patologi, tanda
kegagalan jantung pemeriksaan fisik atau desaturasi oksigen arteri tanpa kelainan paru.
Pemeriksaan yang paling tepat untuk menilai wanita hamil dengan dugaan kelainan jantung
adalah ekokardiografi transtorasik. Pemeriksaan radiografi paru hanya bermanfaat pada dugaan
adanya kegagalan jantung. Pemeriksaan elektokardiografi (EKG) nampaknya tidak spesifik. Bila
ada gejala aritmia jantung yang menetap maka perlu dilakukan monitor EKG selama 24 jam.
Kateterisasi jantung jarang diperlukan untuk membuat diagnosis penyakit jantung kongenital
atau kelainan katup jantung, namun pemeriksaan ini bermanfaat bila ada gejala penyakit jantung
4
koroner akut selama kehamilan sebab mempunyai paparan radiasi yang kecil sehingga diagnosis
dapat ditegakkan lebih dini dan dapat dilakukan revaskularisasi untuk mencegah infark
miokard.1, 7
Klasifikasi penyakit jantung (status fungsional) berdasarkan klasifikasi yang ditetapkan oleh
New York Heart Association pada tahun 1979, sebagai berikut :2
Klas / derajat I : Aktivitas biasa tidak terganggu.
Klas / derajat II : Aktivitas fisik terbatas, namun tidak ada gejala saat istirahat.
Klas / derajat III :Aktivitas ringan sehari-hari terbatas, timbul sesak atau nyeri, palpitasi pada
aktifitas yang ringan.
Klas / derajat IV : Gejala timbul pada waktu istirahat, dan terdapat gejala gagal jantung.
Gejala
Dyspnea yang progresif atau orthopnea
Batuk pada malam hari
Hemoptisis
Sinkop
Nyeri dada
Tanda-tanda klinik
Sianosis
Clubbing pada jari-jari
Distensi vena di daerah leher yang menetap
Bising sistolik derajat 3/6 atau lebih
Bising diastolik
Kardiomegali
Aritmia persisten
Terpisahnya bunyi jantung dua yang persisten
Adanya kriteria hipertensi pulmonal
II.2. Antepartum
5
II.3. INTRAPARTUM
Persalinan untuk penderita kelainan jantung idealnya adalah singkat dan bebas nyeri.
Induksi persalinan dilakukan bila serviks sudah matang. Kadang kala penderita penyakit jantung
yang berat memerlukan pemantauan hemodinamik yang invasif dengan pemasangan kateter
arteri dan arteri pulmonalis. Seksio sesaria dilakukan hanya atas indikasi medis.1, 6
6
Pemantauan ibu dan janin sebaiknya dikerjakan selama persalinan. Pemantauan EKG
berkelanjutan selama persalinan sangat dianjurkan. Kateter Swan-Ganz sangat bermanfaat karena
dapat memberikan informasi akurat mengenai status cairan tubuh dan fungsi jantung kiri. Kateter
Swan-Ganz memungkinkan pengukuran tekanan kapiler paru yang merupakan gambaran paling
akurat dari hubungan antara volume darah dengan kapasitas vaskuler, serta hubungan antara
tekanana vena sentral dengan output jantung.1, 6
Standar penanganan penderita kelainan jantung dalam masa persalinan adalah :1
1. Diagnosis yang akurat
2. Jenis persalinan berdasarkan pada indikasi obstetri
3. Penanganan medis dimulai pada awal persalinan
a. Hindari partus lama
b. Induksi dilakukan bila serviks sudah matang
4. Pertahankan stabilitas hemodinamik
a. Pemantauan hemodinamik invasif bila diperlukan
b. Mulai dengan keadaan hemodinamik yang sudah terkompensasi
c. Penanganan yang spesifik tergantung pada kondisi jantung.
5. Cegah nyeri dan respons hemodinamik dengan pemberian analgesia epidural dengan
narkotik dan teknik dosis rendah lokal.
6. Antibiotik profilaksis diberikan bila ada risiko endokarditis.
7. Ibu tidak boleh mengedan. Persalinan dengan vakum atau forcep rendah.
8. Hindari perdarahan dengan melakukan managemen aktif kala III dan penggantian cairan
yang dini dan sesuai.
9. Managemen cairan pada postpartum dini : sering diperlukan pemberian diuresis yang agresif
namun pelu hati-hati.
II.4. PUERPERALIS
Persalinan dan masa puerperium merupakan periode dengan risiko maksimum untuk
pasien dengan kelainan jantung. Selama periode ini, pasien harus dipantau untuk mengetahui ada
tidaknya tanda-tanda gagal jantung, hipotensi dan aritmia. Perdarahan postpartum, anemia,
infeksi dan tromboemboli merupakan komplikasi yang menjadi lebih serius bila ada kelainan
jantung.
7
Sangat penting untuk mencegah kehilangan darah yang berlebihan pada kala III.
Oksitosin sebaiknya diberikan secara infus kontinu untuk menghindari penurunan tekanan darah
yang mendadak. Alkaloid ergot seperti metil ergometrin tidak boleh dipakai karena obat ini dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan vena sentral dan hipertensi sementara.1, 7
Dalam masa post partum diperlukan pengawasan yang cermat terhadap keseimbangan
cairan. Dalam 24-72 jam terjadi perpindahan cairan ke sirkulasi sentral dan dapat menyebabkan
kegagalan jantung. Perhatian harus diberikan kepada penderita yang tidak mengalami diuresis
spontan. Pada keadaan ini, bila ada penurunan saturasi oksigen yang dipantau dengan pulse
oxymetri, biasanya menandakan adanya edema paru.1, 7
Ambulasi dini sebaiknya dianjurkan pada periode post partum untuk mencegah terjadinya
stasis dan pooling vena. Dianjurkan pemakaian stocking elastic karena dapat mengurangi risiko
tromboemboli. 6
Walaupun beberapa klinikus tidak menganjurkan pasien penderita kelainan jantung untuk
menyusui bayinya namun tidak ada kontraindikasi spesifik untuk memberi ASI (air susu ibu)
selama hidrasi yang adekuat dapat dipertahankan. Namun demikian ibu dianjurkan untuk tidak
sepenuhnya tergantung pada ASI eksklusif tetapi juga memberikan susu formula kepada bayinya.
Harus diperhatikan bahwa sebagian dari obat-obat yang diberikan kepada ibu dalam masa
peripartum dapat melewati ASI.6
Anjurkan pemakaian kontrasepsi dan metode kontrasepsi yang dipakai sebelum hamil
perlu ditinjau kembali. Pemakaian kontrasepsi yang tepat dapat merupakan terapi adjuvant bagi
penderita kelainan jantung sebaliknya kontrasepsi yang tidak sesuai dapat mengancam jiwanya.
Kebanyakan penderita dapat memakai kontrasepsi seperti wanita postpartum normal, namun
sebagian yang dengan hipertensi pulmonal, sianosis, memakai antikoagulan karena operasi
penggantian katup, kegagalan jantung atau transplantasi jantung harus mendapat perhatian yang
cermat. Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) tidak diindikasikan bagi pasien yang berisiko
untuk endokarditis misalnya yang menjalani transplantasi jantung dan memerlukan terapi
immunosupresi, ada riwayat endokarditis, memakai katup protese atau mendapat terapi
antikoagulan jangka panjang. Bila akan dilakukan sterilisasi tuba postpartum setelah persalinan
pervaginam maka sebaiknya prosedur ini ditunda sampai jelas bahwa ibu dalam keadaan tidak
demam, tidak anemia dan terbukti bahwa dia dapat bergerak tanpa ada tanda-tanda distres.6, 7
8
Respons kardiovaskuler baru akan kembali normal setelah 7 bulan postpartum. Penderita
disfungsi ventrikel kiri karena kardiomiopati peripartum memerlukan pemeriksaaan
ekokardiografi tiap 3 bulan. Setelah keluar dari rumah sakit penderita perlu memeriksakan diri
pada dokter obgin dan kardiolog.
- Jika GA diperlukan, harus menghindari obat-obat yang myocardial depressant. Dicoba obat
yang sedikit meningkatkan HR (Misal: Ketamin)
- Hindari turunnya Systemic Vascular Resistance (SVR) dengan cepat dan besar. Kondisi ini
dikompensasi dengan meningkatnya laju jantung yang dapat memperburuk fungsi jantung.
- Mencegah kenaikan volume darah sentral dengan manajemen fluid yang hati-hati dan bila
perlu diberikan diuresis.
- Hindari faktor yang dapat menaikkan Pulmonary Arterial Pressure (PAP). Prostaglandin
dapat menaikan Pulmonary Venous Pressure (PVP).
Pilihan Anestesi
- Data evidence-based untuk anestesi dan analgesik yang ideal untuk parturien dengan mitral
stenosis masih kurang.
- Manajemen harus individual untuk mendapatkan hasil yang optimal
- Pada pasien dengan penyakit yang berat perlu monitoring hemodinamik secara invasif
- Penting mengurangi nyeri dan pelepasan katekolamin selama persalinan dengan
menggunakan analgesia epidural secara titrasi. Dengan epidural analgesia dapat
menurunkan Pulmonary Vascular Resistance (PVR) dan SVR, menurunkan PAP dan
menurunkan Cardiac Output (CO) ke level baseline.
- Harus dihindari prehydrasi yang cepat
- Pemberian anestesi lokal dengan titrasi yang pelan untuk menghindari perubahan
hemodinamik yang mendadak.
- Terapi hipotensi dengan phenylephrine
- Hindari epinephrine pada anestesi lokal oleh karena potensial menimbulkan takikardi
- Combined Spinal epidural (CSE) dapat menjadi pilihan yang baik untuk pasien ini
- Anestesi epidural dapat digunakan dengan sukses pada wanita dengan MS berat yang
dilakukan seksio sesarea darurat.
- Jika memerlukan general anestesia, harus dihindari obatobat yang menyebabkan takikardi
seperti atropin, pancuronium, ketamine dan meperidine
- Pada pasien dengan penyakit ringan (mild disease) dapat tolerasi dengan induksi thiopental
- Pasien yang berat dapat berguna dengan induksi obat yang cardiostable, misal: etomidate
- Walau alfentanil, fentanyl dapat memberikan kondisi hemodinamik yang stabil, tapi dapat
menyebabkan depresi bayi
- Obat uterotonika dengan dosis rendah dapat menyebabkan efek yang merugikan pada
kardiovaskuler
13
- Periode intrapartum dan immediate postpartum adalah resiko yang tinggi terjadinya
Pulmonar Capillary Wedge Pressure (PCWP) yang meningkat pada pasien dengan MS
yang berat
- Post operative pasien perlu perawatan intensif (ICU) dan pemberian ventilasi mekanik
(dengan ventilator)
- Pasien perlu support inotropik untuk memberikan vasodilatasi pulmoner, semacam:
nitroglycerin atau nitroprusside.
II.6.B. SINDROMA MARFAN
Merupakan kelainan autosom dominan dengan defek sintesis kolagen yang mengenai
mata, skelet, dan kardiovaskuler dengan derajat yang bervariasi. Gen yang terkena berlokasi di
kromosom 15. Manifestasi kardiovaskuler berupa prolaps katup mitral dengan regurgitasi mitral,
dilatasi aneurisma aorta yang berhubungan dengan regurgitasi aorta.5
Kehamilan akan meningkatkan risiko ruptur aorta pada penderita sindroma Marfan.
Morbiditas dan mortalitas tergantung pada apakah kelainan berupa dilatasi pangkal aorta atau
kelainan katup. Bila diameter pangkal aorta lebih dari 40 mm maka kematian dapat mencapai
50%, sebaliknya bila aorta tidak membesar dan katup tidak terkena maka kehamilan dapat
mencapai aterm dengan morbiditas dan mortalitas maternal yang rendah. Penderita harus
diberitahu mengenai bahaya ini dan mendapat pengawasan ketat terhadap gejala dan tanda
diseksi aorta. Pemeriksaan ekokardiogram serial dilakukan selama kehamilan untuk menilai
keadaan jantung khususnya pangkal aorta dan ada tidaknya regurgitasi. Obat beta-blocker secara
selektif dapat menurunkan risiko dilatasi aorta yang progressif dengan menurunkan tekanan
pulsatil pada dinding aorta.5
Pada awal penyakit ini didapatkan hipertropi ventrikel kiri dan kanan, compliance
rendah. Echocardiography dipilih untuk membantu menilai beratnya penyakit ini. Pada pasien
dengan stenosis aorta atau pulmonal ringan dapat dilakukan anestesi regional, baik untuk
persalinan dan seksio sesarea. Untuk pasien dengan stenosis aorta atau stenosis pulmonal sedang
dan berat selama persalinan dan kelahiran dapat dilakukan dengan opioid parenteral atau epidural
infus dengan sangat rendah. Jika dilakukan seksio sesarea dipilih dengan anestesi general.
Patofisiologi pada Stenosis aorta
Katup aorta yang kecil menyebabkan kerja dan tekanan ventrikel kiri meningkat,
ventrikel kiri hipertropi dan penebalan myocard dan terjadi iskemia. Akhirnya ventrikel kiri
gagal dan cardiac output turun.
Prinsip Manajemen
- Hindari penurunan mendadak venous return dan LV filling. Preload cairan Intra Vena (I.V)
harus hati-hati, dapat berguna untuk mempertahankan SV. Dapat terjadi eksaserbasi kongesi
paru yang menyebabkan kegagalan ventrikel kiri akibat hipervolemi pada kehamilan.
- Pertahankan sinus ritem, cegah timbulnya bradikardi
- Hindari penurunan SVR
- Hindari hipotesis. Hipotensi menyebabkan iskemia otot ventrikel yang hipertropi
- Dipertimbangkan valvuloplasty
Pilihan Anestesi
- Beberapa anestesiologist memilih General Anestesi (GA) pada pasien dengan stenosis aorta,
menghindari sympathectomy dari Heart Rate (RA) yang menurunkan SVR dan menimbulkan
takikardi & Hipotensi
- Beberapa kasus dengan stenosis aorta berat dapat dilakukan epidural dengan titrasi yang hati
hati untuk persalinan.
- Continuous spinal anesthesia dapat digunakan pada persalinan dan seksio sesarea
- Nyeri dan anxiety dapat meningkatkan SVR dan afterload, dengan epidural anesthesia
menurunkan SVR perlahan-lahan dan memperbaiki CO
- Hindari epinephrine pada epidural
- Terapi Hipotensi dengan phenylephrine
- Tidak ada data yang baik yang menunjukkan apakah GA atau RA adalah lebih aman pada
pasien dengan stenosis aorta
15
penyakit ini. Nifedipin dosis tinggi peros dan pemberian adenosin intravena bermanfaat untuk
menurunkan resistensi pembuluh darah pulmoner.5, 6
II.7.B KARDIOMIOPATI PERIPARTUM
Kardiomiopati peripartum menyebabkan kegagalan jantung pada bulan terakhir
kehamilan atau pada 6 bulan pertama postpartum tanpa penyebab yang jelas. Di Amerika Serikat
insidennya bervariasi dari 1 per 4000 kelahiran sampai 1 per 1500 kelahiran. Puncaknya terjadi
pada bulan kedua postpartum, meningkat pada ibu yang berusia tua, multipara dan kulit hitam.
Angka kematian ibu bervariasi dari 25% 50%. 1, 5
Walaupun penyebabnya belum diketahui namun diduga karena hipertensi, infeksi virus,
reaksi imunologik dan defisiensi vitamin. Di Nigeria dilaporkan insiden yang lebih tinggi karena
ibu postpartum mengkonsumsi garam dalam jumlah yang besar.5
Gejala klinis yang timbul berupa orthopnea, dyspnea, kelemahan, palpitasi, edem perifer
dan kadang hemoptisis. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali, irama gallop, distensi
vena-vena di daerah leher. Pemeriksaan EKG tampak gambaran segmen ST yang abnormal dan
perubahan gelombang T. Kardiomegali dan kongesti vena pulmonal merupakan tanda khas pada
pemeriksaan foto toraks. Pemeriksaan ekokardiografi bermanfaat untuk menyingkirkan adanya
kelainan katup.1, 5
Pengobatan berupa tirah baring, hindari aktifitas fisik, pengobatan kegagalan jantung
kongestif dengan digoksin dan diuretik. Berhubung karena meningkatnya risiko tromboembolik
pada pasien ini maka perlu dipertimbangkan pemberian heparin.5
Prognosis tergantung pada perjalanan penyakit saat postpartum. Bila kardiomegali
menetap maka prognosisnya jelek, sebaliknya bila ukuran jantung kembali normal dalam 6-12
bulan menandakan prognsosis yang lebih baik. Penderita yang refrakter dianjurkan untuk
menjalani transplantasi jantung dan sudah ada laporan mengenai keberhasilan persalinan sesudah
transplantasi.5
dan hemoptisis. Kelainan kongenital yang berupa shunt kiri kanan seperti ASD, VSD atau PDA
dengan hipertensi pulmonal progresif dapat menyebabkan terjadinya sindroma Eisenmenger. 2, 5
Keadaan ini akan menyebabkan mortalitas ibu yang sangat tinggi (23 50%) yang dapat
terjadi pada masa kehamilan atau periode postpartum. Penderita harus diberitahu mengenai risiko
ini dan ditawari untuk memilih terminasi kehamilan atau melanjutkan kehamilannya. Bila
penderita memilih untuk melanjutkan kehamilan maka penanganannya meliputi tirah baring
secara ketat, pemberian oksigen kontinu, digoksin, pemantauan hemodinamik infasif pada
periode peripartum, percepat kala II dengan persalinan forsep rendah. Penderita harus dirawat di
rumah sakit. PaO2 ibu dipertahankan di atas 70% untuk menjamin oksigenasi janin yang
adekuat.2, 5
Berhubung karena tingginya kejadian pertumbuhan janin terhambat dan kematian janin
maka direkomendasikan untuk melakukan pemantauan janin secara ketat dengan pemeriksaan
USG serial dan NST dan atau pemeriksaan profil biofisik. Periode peripartum merupakan
periode yang genting berhubung karena terjadi perubahan volume darah yang cepat dan
kemungkinan perdarahan. Penderita harus diawasi di rumah sakit selama seminggu sesudah
persalinan sebab risiko kematian ibu meningkat pada periode ini.
berkembang. Demam rematik akut biasanya terjadi setelah adanya episode infeksi tenggorokan
(laryngitis) akibat streptokokus Haemolitikus grup. Infeksi streptokokus di tempat lain misalnya
di kulit tidak dapat menyebabkan timbulnya demam rematik. Penyakit ini tersering menyerang
anak usia 6 sampai 8 tahun (insiden tertinggi pada usia 7 tahun).
Penyakit demam reumatik ini paling banyak ditemukan di negara beriklim tropis,
sehingga insiden penyakit jantung rematik banyak ditemukan pada daerah-daerah beriklim tropis
seperti India, Bangladesh,dan Indonesia.
Manifestasi Klinik
Carditis
Carditis terjadi pada hampir 50% penderita demam reumatik akut. Carditis merupakan
penyebab morbiditas paling serius pada demam reumatik. Late carditis mungkin memperbesar
resiko progresifitas karditis karena kelainan ini belum terdeteksi melalui pemeriksaan fisik.
Gejala-gejala yang mendukung adanya karditis adalah
- Gejala prodormal berupa rasa lelah, pu'at, tidak bergairah, dan anak tampak sakit sampai
beberapa minggu meskipun belum ada gejala-gejalayang spesifik
- Takikardi, denyut jantung yang meningkat dari normal. Gejala ini sering ditemui pada
penderita penyakit jantung reumatik.
- Dispneu dengan atau tanpa aktivitas
- Murmur
Pada endocarditis terjadi inflamasi daun katup mitral atau aorta, dan chordate dari katup
mitral yang merupakan karakteristik dari carditis reumatik. Adanya insufisiensi mitral
ditandai dengan murmur holosistolik yang terdengar di apex dengan frekuensi yang tinggi.
Murmur paling baik didengar pada pasien yang berbaring dengan posisi lateral dekubitus
kiri. Insufisiensi aorta terjadi pada 20% pasien dengan penyakit jantung reumatik.
Insufisiensi aorta ini ditandai dengan murmur early diastolic decresendo.
Murmur diastolik kasar pada stenosis mitral terdengar jelas di apeks jantung
dengan bell stetoskop. Suara murmur yang keras dapat menjalar ke axila atau daerah sternal kiri
bagian bawah. Walaupun intesitas dari diastolic murmur tidak berkaitan erat dengan tingkat
keparahan stenosis namun waktu atau lamanya bising dapat menggambarkan derajat stenosis.
Pada stenosis ringan bising halus dan singkat, sedangkan pada yang berat holodiastol dan
aksentuasi presistolik.8
19