Anda di halaman 1dari 10

KETAHANAN PANGAN DAN PERTANIAN KOTA

Oleh : Nuhfil Hanani AR

Ketahanan Pangan
Pengertian ketahanan pangan telah menjadi perdebatan pada tahun
1970 sampai tahun 1980an. Ketahanan pangan tidak mensyaratkan untuk
melakukan swasembada produksi pangan karena tergantung pada
sumberdaya yang dimiliki. Suatu negara bisa menghasilkan dan
mengekspor komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan barang-
barang industri, kemudian membeli komoditas pangan di pasar internasional.
Sebaliknya, negara yang melakukan swasembada produksi pangan pada
level nasional, namun dijumpai masyarakatnya yang rawan pangan karena
ada hambatan akses dan distribusi pangan (Stevens et al., 2000).
Keterbatasan konsep ketahanan dalam pengertian sempit ini terjadi di Afrika
pada pertengahan tahun 1980 dimana fokus peningkatan produksi untuk
mencapai swasembada justru menimbulkan adanya krisis pangan pada
masyarakat. Sehingga jelas bahwa ketersediaan pangan pada level nasional
tidak secara otomatis menjamin ketahanan pangan pada level individu dan
rumah tangga. (Borton dan Shoham, 1991).
Sen (1981) berhasil menggugat kesalahan paradigma kaum
Maltusian yang kerap berargumentasi bahwa ketidak-ketahanan pangan
dan kelaparan adalah soal produksi dan ketersediaan semata. Berdasarkan
kasus di India dan Afrika, Sen mampu menunjukkan bahwa kerawanan
pangan dan kelaparan justru kerap terjadi karena ketiadaan akses atas
pangan (pendapatan, kesempatan kerja, sumberdaya ekonomi lainnya)
bahkan ketika produksi pangan berlimpah. Oleh karena itu produksi
pangan bukan determinan tunggal ketahanan pangan, melainkan hanyalah
salah satu faktor penentu.
Berdasarkan keadaan tersebut, maka definisi ketahanan pangan lebih
banyak menekankan pada akses pangan. Saat ini banyak dijumpai definisi
ketahanan pangan dan sangat sangat bervariasi, namun umumnya
mengacu definisi dari Bank Dunia (1986) dan Maxwell dan Frankenberger
(1992) yakni akses semua orang setiap saat pada pangan yang cukup untuk
hidup sehat (secure access at all times to sufficient food for a healthy life).
2

Studi pustaka yang dilakukan oleh IFPRI (1999) diperkirakan terdapat 200
definisi dan 450 indikator tentang ketahanan pangan (Weingrtner, 2000).
Berikut disajikan beberapa definisi ketahanan yang sering diacu :
1. Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996: kondisi terpenuhinya
kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya
pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata
dan terjangkau.
2. USAID (1992): kondisi ketika semua orang pada setiap saat
mempunyai akses secara fisik dan ekonomi untuk memperoleh
kebutuhan konsumsinya untuk hidup sehat dan produktif.
3. FAO (1997) : situasi dimana semua rumah tangga mempunyai
akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi
seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko
mengalami kehilangan kedua akses tersebut.
4. Mercy Corps (2007) : keadaan ketika semua orang pada setiap
saat mempunyai akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap terhadap
kecukupan pangan, aman dan bergizi untuk pemenuhan gizi sesuai
dengan seleranya untuk hidup produktif dan sehat.
Ketahanan ketahanan pangan terdiri dari tiga sub sistem utama yaitu
ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan, sedangkan status gizi
merupakan outcome dari ketahanan pangan. Ketersediaan, akses, dan
penyerapan pangan merupakan sub sistem yang harus dipenuhi secara
utuh. Salah satu subsistem tersebut tidak dipenuhi maka suatu negara
belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun
pangan tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses
individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka
Ketersediaan pangan
ketahanan
(Foodpangan masih dikatakan rapuh.
Availability)

Akses Pangan Stabilitas


(Food Access) (Stability)

Penyerapan pangan
(Food Utilization)

Status gizi
Sumber : USAID, (1999) dan Weingrtner
(Nutritional status )
(2004)

Gambar 1. Sistem Ketahanan Pangan


3

Secara rinci penjelasan mengenai sub sistem tersebut dapat


diuraikan sebagai berikut :
Sub sistem ketersediaan (food availability) : yaitu
ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk
semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri,
impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan
ini harus mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai jumlah
kalori yang dibutuhkan untuk hidup aktif dan sehat
Akses pangan (food access) : yaitu kemampuan semua
rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang dimilikinya untuk
memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat
diperoleh dari produksi pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui
bantuan pangan. Akses rumah tangga dan individu terdiri dari akses
ekonomi, fisik dan sosial. Akses ekonomi tergantung pada pendapatan,
kesempatan kerja dan harga. Akses fisik menyangkut tingkat isolasi
daerah (sarana dan prasarana distribusi), sedangkan akses sosial
menyangkut tentang preferensi pangan.
Penyerapan pangan (food utilization) yaitu penggunaan
pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan energi dan
gizi, air dan kesehatan lingkungan. Efektifitas dari penyerapan pangan
tergantung pada pengetahuan rumahtangga/individu, sanitasi dan
ketersediaan air, fasilitas dan layanan kesehatan, serta penyuluhan gisi
dan pemeliharaan balita. (Riely et al , 1999).
Stabiltas (stability) merupakan dimensi waktu dari ketahanan
pangan yang terbagi dalam kerawanan pangan kronis (chronic food
insecurity) dan kerawanan pangan sementara (transitory food insecurity).
Kerawanan pangan kronis adalah ketidak mampuan untuk memperoleh
kebutuhan pangan setpa saat, sedangkan kerawanan pangan sementara
adalah kerawanan pangan yang terjadi secara sementara yang
4

diakibatkan karena masalah kekeringan banjir, bencana, maupun konflik


sosial (Maxwell and Frankenberger, 1992).
Status gizi (Nutritional status ) adalah outcome ketahanan
pangan yang merupakan cerminan dari kualitas hidup seseorang.
Umumnya satus gizi ini diukur dengan angka harapan hidup, tingkat gizi
balita dan kematian bayi.
5

Pertanian Kota
Pertumbuhan penduduk dan meningkatnya urbanisasi merupakan
tantangan pada masa mendatang. Pada tahun 1994 diperkirakan 45 %
penduduk dunia tinggal di kota dan diperkirakan pada tahun 2025
meningkat menjadi 65 % (Nugent, 2000). Keadaan ini akan menimbulkan
permasalahan tentang infrastrur publik, tempat tinggal, tenaga kerja,
kerawanan pangan serta permasalahan lingkungan dan sanitasi. Oleh
karena itu pertanian kota perlu dikembangkan yang ditujukan untuk (a)
peningkatan ketahanan pangan, (b) pengentasan kemiskinan, peningkatan
kesehatan masyarakat, pengendalian lingkungan (Baumgartner dan Belevi ,
2007).
Studi tentang pertanian kota saat ini terus berkembang dalam
kaitannya dengan permasalahan kesehatan masyarakat, serta untuk
mengantisipasi permasalahan ketahanan pangan, banjir, penurunan panas
kota, efisiensi energi, kualitas udara, perubahan iklim, hilangnya habitat,
dan pencegahan kejahatan (Mazeereuw, 2005). Akibat dari keadaan tersebut
definisi pertanian kota terus berkembang dan bervariasi serta banyak
dijumpai dalam literatur, namun yang sering diacu adalah yang
dikembangkan oleh Aldington, 1997; FAO, 1999; Mougeot, 1999; Nugent,
1997; Quon, 1999; Smit, 1996; Bailkey and Nasr. 2000; Baumgartner dan
Belevi, 2007. Secara sederhana dari berbagai definisi tersebut, pertanian
kota (Urban agriculture) didefinisikan sebagai usahatani, pengolahan, dan
ditribusi dari berbagai komoditas pangan, termasuk sayuran dan
peternakan di dalam atau pinggir kota di daerah perkotaan .
Berdasarkan Urban Agriculture Network, diperkirakan 800 juta orang
terlibat dalam pertanian kota di dunia, 200 juta memproduksi untuk dijual
ke pasar, 150 juta orang yang bekerja secara penuh Pada tahun 1993
sampai 2005 pertanian kota dapat meningkatkan pangsa produksi pangan
di dunia dari 15% ke 33%, pangsa untuk buah-buahan, daging, ikan, dan
susu dari 33% menjadi 50%, dan jumlah petani kota dari 200 menjadi 400
million (Baumgartner dan Belevi ,2007).
Fungsi pertanian kota telah diidentifikasi secara baik oleh Mazeereuw
(2005), sebagaimana disajikan dalam Gambar 2.
6

Kelestarian
Meningkankan biodiversitas
Meningkatkan produksi pangan
Kesejahteraan secara lokal
Meningkatkan daya tahan rumah Meningkatnya ketahanan Kehidupan
Mengurangi biaya pendinginan pangan lokal Mengurangi erosi
Meningkatkan kesempatan kerja Mengurangi panas
Meningkatkan nilai guna ruang Perbaikan kualitas udara

Ekonomi Lingkungan

Kesehatan

Keadilan Kenyamanan
Meningkatkan martabat Mengurangi stres
masyarakat miskin Meningkatkan aktifitas fisik
Meningkatkan interaksi antar
Kemasyarakatan
Meningkatkan kesehatan
kultur
Meperbaiki estetika
Meningkatkan akses pangan
masyarakt miskin Mengurangi kebisingan

Kebersamaan
Rasa kebersamaan dalam
masyarakat
Menurunkan isolasi social
Meningkatkan pemberdayaan
masyarakat dan hubungan sosial

Sumber : Mazeereuw (2005). Urban Agriculture report.


Region Waterloo. Public Healt.

Gambar 2. Fungsi Pertanian kota


7

Pertanian Kota dan Ketahanan Pangan


International Food Policy Research Institute (IFPRI) menunjukkan
bahwa kemiskinan dan kekurangan gizi yang dulunya terjadi di pedesaan
bergeser ke perkotaan. Kerawanan pangan di perkotaan umumnya
disebabkan karena permasalahan ketersediaan pangan, ketidak mampuan
rumah tangga miskin di perkotaan untuk mengakses pangan yang aman,
berkualitas dalam jumlah yang cukup Tren ini membawa implikasi
bagaimana peneliti dan pembuat keputusan mencari pendekatan dan model
baru untuk mengatasi masalah kerawanan pangan dan kurang gizi di
perkotaan (Rocha , 2000).
Bakker, et al. (2000) menunjukkan bahwa pertanian kota adalah salah
satu pilihan untuk mengatasi ketahanan pangan rumah tangga. Hal ini
sejalan pendapat Haletky dan Taylor (2006) bahwa pertanian kota adalah
salah satu komponen kunci pembangunan sistem pangan masyarakat yang
berkelanjutan dan jika dirancang secara tepat akan dapat mengentaskan
permasalahan kerawanan pangan.
Studi yang dilakukan oleh Alice dan Foeken (1996) di kota di Kota
Nairobi, Kenya menunjukkan bahwa pertanian kota mampu meningkatkan
ketahanan pangan, baik ditinjau dari kecukupan energi, konsumsi protein dan
penurunan balita gizi kurang dan buruk. Hal ini sebagimana ditunjukkan
dalam Tabel 1.

Tabel 1. Dampak Pertanian Kota terhadap Ketahanan Pangan


di Kota Nairobi, Kenya
Keterangan Petani Bukan Petani
kota petani kota kota
binaan
Asupan energi 1904 1804 2151
(kcal/kapita/hari)
Asupan protein 62 61 66
(graml/kapita/hari)
Gizi kurang pada balita (%) 37 42 27
Gizi buruk pada balita (%) 0 4,8 0
Sumber : Alice and Foeken (1996)

Beberapa bukti empiris lainnya bahwa pengurangan kerawanan


pangan di kota melalui program pertanian kota terjadi di kota Belo Horizonte
8

(BH) di Brazil (Rocha, 2000). Di Amerika utara Food Security Coalition


(CFSC) mempunyai komisi yang tujuan utamanya memanfaatkan pertanian
kota sebagai instrumen untuk meningkatkan akses pangan yang segar
terjangkau dan bergizi dalam rangka mengurangi kerawanan pangan (Brown
dan Carter 2003). Pinderhughes (2004), menunjukkan bahwa di Amerika
pertanian kota mempunyai peranan dalam pengurangan kemiskinan,
kerawanan pangan dan mengatasi permasalahan sampah. Pertanian kota
dapat menjamin ketersediaan pangan yang segar dan bergizi, sehingga
meningkan asupan sayuran dan buah dan dapat menghemat pengeluaran
15-30 persen anggaran pada pangan (USDA Economic Research Service
2003). Pengeluaran untuk pangan dapat dihemat dan dapat digunakan untuk
penanaman komoditi pangan. Studi pertanian kota di pekarangan
Philadelphia menemukan bahwa masyarakat dengan pendapatan rendah
yang meiliki pekarangan dapat menghemat pengeluran pangan rata- rata
$150 setiap musim penanaman (Rhoden and Steele 2002, Pinderhughes
2003).

Penutup

Pertumbuhan penduduk dan meningkatnya urbanisasi merupakan


tantangan pada masa mendatang. Oleh karena itu, pertanian kota di
Indonesia perlu dipikirkan untuk dikembangkan dalam rangka
mengantisipasi permasalahan kesehatan masyarakat, ketahanan pangan,
banjir, penurunan panas kota, efisiensi energi, kualitas udara, perubahan
iklim, hilangnya habitat, dan pencegahan kejahatan .

Pustaka

Alice, M. and D. Foeken.1996. Urban Agriculture, Food Security snd Nutrition


in Low Income Areas of The City of Nairobi, Kenya. Afncan Urban
Quarterly, 1996 11 (2 and 3) pp 170-179 by Afncan Urban Quarterly
Ltd
Bailkey, M. and J. Nasr. 2000. From brownfields to greenfields: Producing food
in North Americancities. Community Food Security News. Fall
1999/Winter 2000:6.
9

Bakker, N., Dubbeling, S., Guendel, U., Sabel-Koschella and H. de Zeeuw


(2000), "Growing Cities, Growing Food - Urban Agriculture on the Policy
Agenda", DSE, Eurasburg, Germany
Baumgartner and H. Belevi. 2001. A Systematic Overview of Urban
Agriculture in Developing Countries Bettina EAWAG Swiss Federal
Institute for environmental Science & Technology SANDEC Dept. of
Water & Sanitation in Developing Countries
Baumgartner, N, and H. Belevi.2007. A Systematic Overview of Urban
Agriculture in Developing Countries AWAG Swiss Federal Institute for
Environmental Science & Technology.SANDEC Dept. of Water &
Sanitation in Developing Countries
Borton, J. and J. Shoham, 1991. Mapping vulnerability to food insecurity:
tentative guidelines for WFP offices. Study commissioned by the World
Food Programme. London, UK,
Brown, K.H. and C. Anne. 2003. Urban Agriculture & Community Food
Security in the U.S: Farming from the City Center to the Urban Fringe.
Primer prepared by Community Food Security Coalitions North
American Urban Agriculture Committee. http:
//www.foodsecurity.org/PrimerCFSCUAC.pdf.
Frank R., Nancy M., Bruce C.l, Laura B., and E. Kenefick. 1999. Food Security
Indicators and Framework for Use in the Monitoring and Evaluation of
Food Aid Programs. Bureau for Global Programs, U.S. Agency for
International Development (USAID)
Frankenberger, T. 1996. Measuring household livelihood security: an approach
for reducing absolute poverty. Food Forum, No. 34. Washington, DC,
USA.
Gross, R. 2000. The four dimensions of food and nutrition security: dfinition
and concepts.
Haletky ,N. and O. Taylo. 2006. Urban Agriculture as a Solution to Food
Insecurity: West Oakland and Peoples Grocery. Urban Agriculture in
West Oakland
Haletky, N. and O. Taylor Urban Agriculture as a Solution to Food Insecurity:
West Oakland and Peoples Grocery
Jodi, H and H Steele. 2002. Growing Healthy Communities through Urban
Gardening. New Life Journal. June/July. Accessed on April 26 from
website: http://www.newlifejournal.com/junjul02/rhoden.shtml.
Lasa, Y. 2006. Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950-2005.
Maxwell S. and Frankenberger T. 1992. Household food security: Concepts,
indicators, measurements: A technical review. IFAD/UNICEF, Rome
Mazeereuw .2005. Urban Agriculture report. Region Waterloo. Public Healt.
Mkwambisi , D., Fraser, D and A.J. Dougill. 2007.Urban agriculture and
poverty reduction: Evaluating how food production in cities contributes
to livelihood entitlements in Malawi. Sustainability Research Institute
10

(SRI), School of Earth and Environment, The University of Leeds, Leeds,


LS2 9JT, United Kingdom
Nugent, R. (2000), "The impact of urban agriculture on the household and
local economies", In: Growing cities, growing food (Ed.: N. Bakker, M.
Dubbeling, S. Gndel, U. Sabel-Koschella and H. de Zeeuw), DSA,
Eurasburg, 76-97
Pinderhughes, R. 2004. Alternative Urban Futures: Planning for Sustainable
Development in Cities Throughout the World. Lanham, Boulder, New
York, Toronto, Oxford: Rowman & Littleield Publishers.
Rocha , C. 2000. An Integrated Program for Urban Food Security: The Case of
Belo Horizonte, Brazil. Department of Economics. Ryerson Polytechnic
University. Toronto
Sen, A.K. 1981. Poverty and famines. Oxford, UK, Clarendon.
Smit, J. (1996), "Urban Agriculture - Food, Jobs and Sustainable Cities", UNDP
United NationsDevelopment Program, New York
Stevens, C., Greenhill, R., Kennan, J., and S. Devereux. 2000. The WTO
Agreement on Agriculture and Food Security, (Commonwealth
Secretariat).
Weingrtner, L. 2004. The Concept of Food and Nutrition Security.
International Training Course Food and Nutrition Security Assessment
Instruments and Intervention Strategies

Anda mungkin juga menyukai