Anda di halaman 1dari 25

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Orang Tua

Orang tua adalah ayah dan ibu adalah figur atau contoh yang akan selalu

ditiru oleh anak-anaknya (Mardiya, 2000).

2.2. Pengertian Pola Asuh

Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan

bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan

oleh anak dari segi negatif maupun positif (Rusdijana, 2006).

Di dalam kehidupan masyarakat, keluarga merupakan unit terkecil yang

memiliki peranan besar bagi kelangsungan hidup bermasyarakat. Keluarga

memiliki fungsi penting yang berkaitan dengan peranya sebagai media sosialisasi.

Sosialisasi bertujuan untuk mendidik warga masyarakat agar mematuhi kaidah-

kaidah dan nilai-nilai yang dianut. Proses mengetahui kaidah-kaidah dan nilai-

nilai yang dianut inilah untuk pertama kali diperoleh dalam keluarga. Perilaku

yang benar dan tidak menyimpang untuk pertama kalinya juga dipelajari dari

keluarga. (Soekanto, 2004).

Pendidikan keluarga memiliki peranan yang penting. Hal ini karena

pendidikan merupakan sarana untuk menghasilkan warga masyarakat yang baik.

Jika kehidupan keluarga kurang serasi, kemungkinan besar salah satu dari anggota

Universitas Sumatera Utara


keluarga tersebut tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik (Yustinasusi,

2010).

2.2.1. Macam - Macam Pola Asuh Orang Tua

2.2.1.1. Pola Asuh Demokratis

Mendorong anak untuk mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali

pada tindakan mereka. Tindakan verbal memberi dan menerima dimungkinkan,

dan orang tua bersikap hangat dan penyayang terhadap anak. Orang tua yang

demokratis mungkin merangkul anak dengan mesra dan berkata kamu tahu,

kamu tak seharusnya melakukan hal itu. Mari kita bicarakan bagaimana kamu bisa

menangani situasi tersebut lebih baik lain kali. Orang tua demokratis

menunjukan kesenangan dan dukungan sebagai respons terhadap perilaku

konstruktif anak. Mereka juga mengharapkan perilaku anak yang dewasa, mandiri

dan sesuai dengan usianya. Anak yang memiliki orang tua yang otoritatif sering

kali ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan berorientasi pada prestasi;

mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman

sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dan bisa mengatasi stres dengan baik

(Santrock, 2007).

Pola asuh yang seimbang (demokratis) akan selalu menghargai

individualitas akan tetapi juga menekankan perlunya aturan dan pengaturan.

Mereka sangat percaya diri dalam melakukan pengasuhan tetapi meraka

sepenuhnya menghargai keputusan yang diambil anak, minat dan pendapat serta

perbedaan kepribadiannya. Orang tua dengan pola asuh model ini, penuh dengan

cinta kasih, mudah memerinci tetapi menuntut tingkah laku yang baik. Tegas

Universitas Sumatera Utara


dalam menjaga aturan bersedia memberi hukuman ringan tetapi dalam situasi

hangat dan hubungan saling mendukung. Mereka menjelaskan semua tindakan

dan hukuman yang mereka lakukan dan meminta pendapat anak. Anak dari orang

tua yang demikian akan merasa tenang dan nyaman. Mereka akan menajdi paham

kalau mereka disayangi tetapi sekaligus mengerti terhadap apa yang diharapkan

dari orang tua. Jadi anak sejak pra sekolah hingga dewasa akan menunjukkan

sikap lebih mandiri, mampu mengontrol dirinya, biasa bersikap tegas (Mardiya,

2000).

Pola asuh demokratis merupakan bentuk perlakuan orang tua saat

berinteraksi dengan anaknya dengan cara melibatkan anak (dalam hal ini anak

usia remaja) dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga dan diri

anaknya merupakan gaya pengasuhan demokratis. Orang tua yang demokratis

bersikap terbuka, fleksibel dan memberikan kesempatan kepada anaknya untuk

dapat tumbuh dan berkembang dengan peraturan yang rasional, orang tua

demikian mempunyai hubungan yang dekat dengan anak-anaknya, dan selalu

mendorong anaknya untuk ikut terlibat dalam membuat peraturan dan

melaksanakan peraturan dengan penuh kesadaran (Hidayat, 2009). Orang tua yang

bergaya demokratis bertingkah laku hangat tetapi tetap tegas. Mereka menerapkan

seperangkat standar untuk mengatur anak-anaknya, tetapi sekaligus berusaha

membangun harapan-harapan yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan

perkembangan, serta kemampuan dan kebutuhan anak-anaknya. Mereka juga

menunjukkan kasih sayang, mau mendengarkan dengan sabar pandangan anak-

anaknya, dan mendukung keterlibatan anaknya dalam membuat keputusan di

Universitas Sumatera Utara


dalam keluarga. Kebiasaan-kebiasaan demokrasi, saling menghargai dan

menghormati hak-hak orangtua dan anak-anak ditanamkan dalam keluarga yang

demokratis. Dalam keluarga yang demokratis, keputusan-keputusan yang penting

akan diputuskan secara bersama-sama walaupun keputusan akhir seringkali

berada di tangan orangtua. Anak-anak diberikan kesempatan untuk memberikan

alasan mengapa mereka ingin memutuskan atau akan melakukan sesuatu. Apabila

alasan-alasan itu masuk akal dan dapat diterima maka orangtua yang demokratis

akan memberikan dukungan, tetapi jika tidak maka orangtua akan menjelaskan

alasan-alasannya mengapa dia tidak merestui keputusan anaknya tersebut. Pola

interaksi yang demikian akan memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak

untuk memahami pandangan orang lain yang pada akhirnya dapat mengantar pada

suatu keputusan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Orang tua yang

demokratis selalu berusaha menanamkan nilai-nilai kemandirian dan

pengendalian diri yang tinggi pada anak-anaknya, sekaligus tetap bertanggung

jawab penuh terhadap tingkah laku anak-anaknya.

Kebiasaan yang rasional, berorientasi pada masalah, terlibat dalam

perbincangan dan penjelasan dengan anak-anak, dan memegang teguh tingkah

laku yang disiplin selalu ditanamkan oleh orangtua yang demokratis. Dalam

mengatur hubungan diantara anggota keluarganya, orang tua yang demokratis

akan menggunakan otoritasnya namun mengekspresikannya melalui bimbingan

yang disertai dengan pengertian dan cinta kasih. Anak-anaknya akan didorong

untuk dapat melepaskan diri (self-detach) secara berangsur-angsur dari

ketergantungan terhadap keluarga. Kualitas pola interaksi dan pola pengasuhan

Universitas Sumatera Utara


orang tua yang demokratis akan memunculkan keberanian, motivasi dan

kemandirian anak-anaknya dalam menghadapi masa depannya (Santrock, 1985).

Pola pengasuhan seperti ini dapat mendorong tumbuhnya kemampuan sosial,

meningkatkan rasa percaya diri, dan tanggungjawab sosial pada anak remaja. Para

remaja yang hidup dalam keluarga yang demokratis akan menjalani kehidupannya

dengan rasa penuh semangat dan bahagia, percaya diri, dan memiliki

pengendalian diri dalam mengelola emosinya sehingga tidak akan bertindak

anarkis (Baumrind, 1967 dalam Hidayat, 2009). Mereka juga akan memiliki

kemandirian yang tinggi, mampu menjalin persahabatan dan kerja sama yang

baik, memiliki kematangan sosial dalam berinteraksi dengan keluarga dan

lingkungannya.

2.2.1.2. Pola asuh Otoriter

Pola yang membatasi dan menghukum, dimana orang tua mendesak anak

untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka.

Orang tua yang otoriter menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan

meminimalisir perdebatan verbal. Contohnya, orang tua yang otoriter mungkin

berkata,lakukan dengan caraku atau tak usah. Orang tua yang otoriter mungkin

juga sering memukul anak, memaksakan aturan secara kaku tanpa

menjelaskannya dan menunjukkan amarah pada anak. Anak dari orang tua yang

otoriter sering kali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri

dengan orang lain, tidak mampu memulai aktifitas, dan memiliki kemampuan

komunikasi yang lemah. Putra dari orang tua yang otoriter mungkin berperilaku

agresif (Santrock, 2007).

Universitas Sumatera Utara


Pola otoriter merupakan suatu bentuk pengasuhan orang tua yang pada

umumnya sangat ketat dan kaku ketika berinteraksi dengan anaknya. Orang tua

yang berpola asuh otoriter menekankan adanya kepatuhan seorang anak terhadap

peraturan yang mereka buat tanpa banyak basa-basi, tanpa penjelasan kepada

anaknya mengenai sebab dan tujuan diberlakukannya peraturan tersebut,

cenderung menghukum anaknya yang melanggar peraturan atau menyalahi norma

yang berlaku. Orang tua yang demikian yakin bahwa cara yang keras merupakan

cara yang terbaik dalam mendidik anaknya. Orang tua demikian sulit menerima

pandangan anaknya, tidak mau memberi kesempatan kepada anaknya untuk

mengatur diri mereka sendiri, serta selalu mengharapkan anaknya untuk mematuhi

semua peraturannya (Hidayat, 2009).

Orang tua otoriter meyakini bahwa seorang anak akan menerima dengan

baik setiap perkataan atau setiap perintah orang tuanya, setiap anak harus

melaksanakan tingkah laku yang dipandang baik oleh orang tuanya. Orang tua

otoriter akan mencoba mengontrol remaja dengan peraturan-peraturan yang

mereka tetapkan, selalu memberi perintah tanpa mau memberikan penjelasan.

Orang tua otoriter selalu menuntut, kurang memberikan otonomi pada anaknya,

dan seringkali gagal memberikan kehangatan kepada anaknya (Hidayat, 2009).

Orang tua otoriter selalu berusaha mengarahkan, menentukan, dan menilai

tingkah laku dan sikap anaknya sesuai dengan standar peraturan yang

ditetapkannya sendiri. Standar dimaksud biasanya didasarkan pada standar yang

absolut seperti nilai-nilai ajaran dan norma-norma agama, sehingga menutup

kemungkinan bagi anaknya untuk dapat membantah orang tuanya. Pola

Universitas Sumatera Utara


pengasuhan orang tua yang demikian sangat berpotensi menimbulkan konflik dan

perlawanan seorang anak, terutama saat anak sudah menginjak masa remaja, atau

sebaliknya akan menimbulkan sikap ketergantungan seorang remaja terhadap

orang tuanya (Rice, 1996), anak remaja akan kehilangan aktivitas kreatifnya, dan

akan tumbuh menjadi anak yang tidak efektif dalam kehidupan dan interaksinya

dengan lingkungan sosial (Santrock, 1985), remaja cenderung akan mengucilkan

dirinya, kurang berani dalam menghadapi tantangan tugas dan tidak merasa

bahagia (Hidayat, 2009).

Seorang remaja yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga atau orang

tua otoritarian cenderung menunjukkan sikap yang patuh dan akan menyesuaikan

dirinya pada standar-standar tingkah laku yang sudah ditetapkan oleh orang

tuanya, namun di balik itu sesungguhnya mereka merasa menderita dengan

kehilangan rasa percaya diri dan pada umumnya lebih tertekan dan lebih

menderita secara somatis dibandingkan kelompok teman sebayanya. Sikap-sikap

remaja yang demikian akhirnya akan menyebabkan remaja cenderung untuk selalu

tergantung pada orang tuanya, cenderung kurang mampu mengambil keputusan

untuk dirinya sendiri, serta cenderung tidak mampu untuk bertanggung jawab atas

apa yang telah dilakukannya disebabkan semuanya disandarkan pada aturan dan

kehendak orang tuanya. Semua itu menunjukkan bahwa seorang remaja yang

berada dalam asuhan orang tua yang otoriter akan tumbuh menjadi anak yang

tidak mandiri dalam hidupnya kelak (Hidayat, 2009).

Pola pengasuhan otoriter diterapkan orang tua dengan mengendalikan anak

karena kepentingan orang tua untuk kemudahan pengasuhan. Anak dinilai dan

Universitas Sumatera Utara


dituntut untuk mematuhi standar mutlak yang ditentukan oleh orang tua,

menekankan kepatuhan dan rasa hormat atau sopan santun, sedangkan orang tua

tidak pernah berbuat salah. Kebanyakan anak dari pola pengasuhan ini melakukan

tugas-tugasnya karena takut memperoleh hukuman (Yustinasusi, 2010).

2.2.1.3. Pola asuh Permisif

Pola pengasuhan ini, dimana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun

tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. Orang tua seperti ini membiarkan

anak melakukan apa yang ia inginkan. Hasilnya anak tidak pernah belajar

mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan

keinginannya. Beberapa orang tua sengaja membesarkan anak mereka dengan

cara ini karena mereka percaya bahwa kombinasi antara keterlibatan yang hangat

dan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri.

Namun, anak yang memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar

menghormati orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan

perilakunya. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan,

dan kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya (Santrock, 2007).

Pola asuh permisif merupakan perlakuan orang tua saat berinteraksi dengan

anaknya dengan memberikan kelonggaran atau kebebasan tanpa kontrol atau

pengawasan yang ketat. Orang tua yang permisf akan memberikan kebebasan

penuh kepada anak-anaknya untuk bertindak sesuai dengan keinginan anaknya.

Sekiranya orang tua membuat sebuah peraturan tertentu namun anak-anaknya

tidak menyetujui atau tidak mematuhinya, maka orang tua yang permisif

cenderung akan bersikap mengalah dan akan mengikuti kemauan anak-anaknya.

Universitas Sumatera Utara


Ketika anak-anaknya melanggar suatu peraturan di dalam keluarga, orang tua

yang permisif jarang menghukum anak-anaknya, bahkan cenderung berusaha

untuk mencari pembenaran terhadap tingkah laku anaknya yang melanggar suatu

peraturan tersebut. Orang tua yang seperti demikian umumnya membiarkan

anaknya (terutama anak remajanya) untuk menentukan tingkah lakunya sendiri,

mereka tidak menggunakan kekuasaan atau wewenangnya sebagai orang tua

dengan tegas saat mengasuh dan membesarkan anak remajanya (Baumrind, 1967

dalam Hidayat, 2009). Sedikit, atau bahkan tanpa menggunakan kontrol terhadap

anak remajanya, lemah dalam cara-cara mendisiplinkan anak. Pola pengasuhan

demikian dipilih, karena mereka menganggap bahwa remaja harus memiliki

kebebasannya sendiri secara luas, bukan harus dikontrol oleh orang dewasa.

Orang tua yang permisif bersikap lunak, lemah dan pasif dalam persoalan

disiplin. Mereka cenderung tidak menempatkan tuntutan-tuntutan pada tingkah

laku anak remajanya, memberikan kebebasan yang lebih tinggi untuk bertindak

sesuai dengan kehendak anak remajanya sendirinya. Kontrol atau pengendalian

yang ketat terhadap remaja menurut pandangan orang tua yang permisif adalah

sebuah pelanggaran terhadap kebebasan yang dapat menganggu perkembangan

seorang remaja (Steinberg, 1993). Menurut Baumrind, remaja yang berada dalam

pengasuhan orangtua yang permisif sangat tidak matang dalam berbagai aspek

psikososial. Mereka sulit mengendalikan desakan hati (impulsive), tidak patuh,

dan menentang apabila diminta untuk mengerjakan sesuatu yang bertentangan

dengan keinginan-keinginan sesaatnya. Mereka juga terlalu menuntut, sangat

tergantung pada orang lain, kurang gigih dalam mengerjakan tugas-tugas, tidak

Universitas Sumatera Utara


tekun dalam belajar di sekolah. Tingkah laku sosial remaja ini kurang matang,

kadang-kadang menunjukkan tingkah laku agresif, pengendalian dirinya amat

jelek, dan tidak mampu mengarahkan diri dan tidak bertanggung jawab (Hidayat,

2009).

Meskipun di satu sisi pola pengasuhan yang permisif dapat memberikan

remaja kebebasan bertingkah laku, namun di sisi lain tidak selalu dapat

meningkatkan tingkah laku bertanggung jawab. Remaja yang mendapatkan

kebebasan tanpa adanya pembatasan yang jelas cenderung bersifat suka menang

sendiri dan mengutamakan kepentingan dirinya sendiri. Kurangnya bimbingan

dan pengarahan dari orang tua menyebabkan mereka merasa tidak aman, tidak

punya orientasi, dan penuh keraguan. Jika remaja menafsirkan bahwa kelonggaran

pengawasan dari orang tua mereka sebagai bentuk dari tidak adanya perhatian

atau penolakan terhadap diri mereka, maka mereka akan menyalahkan orang

tuanya sebab dipandang telah lalai memperingatkan dan menuntun mereka (Rice,

1996).

2.3. Pengertian Remaja

Remaja adalah suatu masa di mana individu berkembang dari saat pertama

kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai

kematangan seksual. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola

identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, terjadi peralihan dari

ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih

mandiri (Sarwono, 2010).

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan umur kronologis dan berbagai kepentingan, terdapat berbagai

definisi tentang remaja, yaitu:

1. Pada buku-buku pediatri, pada umumnya mendefinisikan remaja adalah bila

seorang anak telah mencapai umur 10-18 tahun untuk anak perempuan dan

12-20 tahun untuk anak laki-laki.

2. Menurut Undanng Undang No.4 tahun 1979 mengenai Kesejahteraan Anak,

remaja adalah individu yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah.

3. Menurut Undang Undang Perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah

mencapai umur 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat

untuk tinggal.

4. Menurut Undang Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, anak dianggap sudah

remaja apabila sudah matang untuk menikah, yaitu umur 16 tahun untuk anak

perempuan dan 19 tahun untuk anak laki-laki.

5. Menurut Departemen Pendidikan Nasional anak dianggap remaja bila anak

sudah berumur 18 tahun, yang sesuai saat lulus Sekolah Menengah.

6. Menurut WHO remaja bila anak telah mencapai umur 10-18 tahun

(Soetjiningsih,2004).

2.3.1 Tahap Perkembangan Remaja

Tahap 1. Remaja awal 12-15 Tahun (early adolesccence)

Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan perubahan-

perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang

menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran

baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Dengan

Universitas Sumatera Utara


dipegang bahunya saja oleh lawan jenis, ia sudah berfantasi erotik. Kepekaan

yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap ego

menyebabkan para remaja sulit mengerti dan dimengerti orang dewasa.

Tahap 2. Remaja madya 15-18 Tahun (middle adolescence)

Pada saat ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau

banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan narcistic, yaitu

mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat- sifat

yang sama dengan dirinya. Selain itu, ia berada dalam kondisi kebinggungan

karena ia tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak perduli, ramai-

ramai atau sendiri, optimistis atau pesimistis, idealis atau materialis, dan

sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari Oedipoes Complex

(perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-kanak) dengan mempererat

hubungan dengan kawan-kawan dari lawan jenis.

Tahap 3. Remaja akhir 18-21 Tahun ( late adolescence)

Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai

dengan pencapaian 5 (lima) hal, yaitu:

a. Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.

b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan

dalam pengalaman-pengalaman baru.

c. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.

d. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan

keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.

Universitas Sumatera Utara


e. Tumbuh dinding yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan

masyarakat umum (the public) (Sarwono, 2010).

2.4 Pengertian Perilaku

Perilaku adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan

dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan/atau

genetika.

2.4.1 Ruang Lingkup Perilaku

Menurut Benjamin Bloom, seorang psikolog pendidikan, membedakan

adanya tiga bidang perilaku, yakni kognitif, afektif, dan psikomotor. Kemudian

dalam perkembangannya, domain perilaku yang diklasifikasikan oleh Bloom

dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu:

Tingkat 1. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pandengaran, penciuman, rasa dan

raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang (overt behavior).

Universitas Sumatera Utara


Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 (enam)

tingkatan:

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau

rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat

pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu

tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan,

mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

2. Memahami (comprehansion)

Memahami diartikan sebagai suatau kemampuan untuk menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut

secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya

terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapart

diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip

dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

Universitas Sumatera Utara


4. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur

organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat

dilihat dari pengggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat

bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan , dan sebagainya.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menujukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan untuk

menyusun formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat

merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya

terhadap suatu teori atau rumusan rumusan yang telah ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi dan

penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoatmodjo, 2003).

Tingkat 2. Sikap (attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Newcomb, salah seorang ahli psikologis

sosial, menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk

bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum

merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi

tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan

merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan

Universitas Sumatera Utara


kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu

penghayatan terhadap objek.

Sikap ini terdiri dari 4 (empat) tingkatan:

1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus

yang diberikan (objek).

2. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan

tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah

adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala

resiko merupakan sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2003).

Tingkat 3. Tindakan atau praktek (practice)

Tindakan ini merujuk pada perilaku yang diekspresikan dalam bentuk

tindakan, yang merupakan bentuk nyata dari pengetahuan dan sikap yang telah

dimiliki (Notoatmodjo, 1985).

Tindakan mempunyai 4 (empat) tingkatan:

1. Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang

akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.

Universitas Sumatera Utara


2. Respon terpimpin (guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai

dengan contoh adalah indikator praktek tingkat dua.

3. Mekanisme (mecanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara

otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai

praktek tingkat tiga.

4. Adopsi (adoption)

Adopsi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan

baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran

tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2003).

2.5. Pengertian Perilaku agresif

Istilah agresif beasal dari bahasa Inggris adalah agression adalah suatu kata

yang berarti menyerang atau serangan. Kata agresif berasal dari bahasa Latin

uggred yang berarti menyerang, kata ini menyiratkan bahwa setiap orang siap

untuk memaksakan kehendak mereka atas orang tua atau objek lain walaupun itu

berarti bahwa kerusakan fisik atau psikologis mungkin ditimbulkan sebagai

akibat. Agresif erat hubungannya dengan kemarahan karena kemarahan terjadi

jika orang tidak memperoleh apa yang mereka inginkan. Emosi kurang mungkin

akan berkembang bila orang merasa ada ancaman bahwa mereka tidak akan

mendapatkan apa yang mereka kehendaki dan kemungkinan pula akan terjadi

Universitas Sumatera Utara


pemaksaan kehendak atas orang atau objek lain dan kemarahan akan berkembang

menuju agresif.

Menurut Tim Kesehatan Jiwa Indonesia, perilaku agresif merupakan salah

satu gangguan tingkah laku terutama apabila agresif dilakukan secara berulang

dan menetap, sedikitnya berlangsung selama 6 bulan. Tingkah laku agresif

menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi orang lain dengan cara tindakan

kekerasan, pemukulan, pengeroyokan, pemerkosaan dan tidak merasa bersalah

apabila orang lain menderita. Agresif seperti yang telah dikemukakan oleh

beberapa ahli memiliki persamaan yang mendasar yaitu pada tingkah laku

merusak baik fisik, psikis, maupun benda-benda yang berada disekitarnya.

Agresif selalu menunjukan tingkah laku yang kasar, menyerang dan

melukai. Tingkah laku agresif secara sosial adalah tingkah laku menyerang orang

lain baik penyerangan secara verbal maupun fisik. Penyerangan secara verbal

misalnya mencaci, mengejek atau memperolok, sedangkan secara fisik misalnya

mendorong, memukul dan berkelahi. Perilaku agresif adalah termasuk tingkah

laku yang menggangu hubungan sosial yaitu melanggar aturan, permusuhan

secara terang-terangan (mengganggu anak-anak yang lebih kecil atau lemah,

mengganggu bintang, suka berkelahi) maupun secara diam-diam (pendendam,

pemarah, pencuri, pembohong) (Indrawati, 2005).

2.5.1. Tipe-tipe agresifitas

Ada berbagai bentuk agresi yang terjadi pada diri individu salah satu

diantaranya adalah agresifitas emosional verbal, agresifitas fisik sosial, agresifitas

fisik asosial dan agresifitas destruktif.

Universitas Sumatera Utara


2.5.1.1. Agresifitas Emosional Verbal

Meliputi marah atau membenci orang lain (meskipun perasaan itu dilakukan

dengan kata-kata), mengutuk, perang mulut, mengkritik, menghina,

memperingatkan dengan kasar, menyalahkan dan memtertawakan, mencetuskan

agresif melawan kritik-kritik sosial.

2.5.1.2. Agresifitas Fisik Sosial

Meliputi berkelahi atau membunuh dalam membela diri atau membela

seseorang yang dicintai, membalas dendam terhadap penghinaan suatu

ketidakadilan tanpa suatu pancingan serta menghukum orang yang melakukan

tindakan yang tercela dan berjuang untuk negaranya sendiri atau negara sahabat

dalam suatu peperangan.

2.5.1.3. Agresifitas Fisik Asosial

Meliputi perbuatan menodong, menyerang, melukai atau membunuh orang

lain, merampok melakukan tindakan kejahatan, memulai berkelahi tanpa alasan

jelas dan pantas, membalas sakit hatinya dengan kekejaman dan pengerusakan

yang berlebihan berjuang melawan wewenang yang sah misalnya orang tua,

atasan, guru atau pemerintah, melakukan tindak sadisme, mengkhianati dan

berusaha melawan negaranya sendiri.

2.5.1.4. Agresifitas Destruktif

Meliputi tindakan menyerang atau membunuh binatang, memecah,

membanting, menghancurkan, membakar atau merusak sesuatu, melukai orang,

menyakiti diri sendiri dan melakukan tindakan bunuh diri (Indrawati, 2005).

Universitas Sumatera Utara


2.5.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresif

Tingkah laku agresif lebih dipandang sebagai tingkah yang dipelajari,

manusia mempelajari tingkah laku agresif dengan cara pengamatan respon tingkah

laku model mereka. Asumsi dasar teorinya adalah sebagian besar tingkah laku

individu diperoleh sebagai hasil melalui pengamatan (observasi) atas tingkah laku

orang ditampilkan oleh individu- individu lain yang menjadi model tingkah laku

agresif yang diamati individu ternyata dapat menambah jumlah agresifitas si

pengamat hal ini didukung oleh penelitiannya yang berkesimpulan bahwa anak-

anak mendapat model imitasi orang dewasa yang berwujud tingkah laku agresif

pada suatu kesempatan anak-anak juga akan bertingkah laku sesuai dengan model

yang dilihatnya. Semua orang dan anak khususnya mempunyai kecenderungan

yang kuat untuk meniru orang lain. Imitasi atau meniru dapat terjadi pada setiap

jenis perilaku, termasuk agresif. Anak yang mengamati orang lain melakukan

tindakan agresif atau mengendalikan agresifnya akan meniru orang tersebut. Anak

belajar melakukan agresif secara verbal seperti berteriak, mengutuk dan mencela,

dan tidak melakukan kekerasan seperti tidak memukul orang lain, melempar batu

atau meledakkan gedung. Anak juga belajar kapan masing-masing perilaku

tersebut boleh dilakukan. Jadi perilaku agresif anak dibentuk dan ditentukan oleh

pengamatannya terhadap orang lain. Semua anak didalam mengimitasi tingkah

laku agresif tidak hanya sekedar mencontoh dari modelnya saja, untuk sampai

pada tingkah laku agresif juga tergantung dari norma yang melingkunginya. Bila

seorang anak diajarkan bahwa tingkah laku itu dapat di terima maka perilaku itu

dapat bertambah luas tapi sebaliknya apabila anak diajarkan bahwa tingkah laku

Universitas Sumatera Utara


agresif adalah jelek atau tidak baik maka tingkah laku tidak akan berkembang.

Perilaku agresif tidak muncul dengan sendirinya pada diri seseorang namun

dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menyebabkan seseorang berperilaku

agresif (Berkowitz, 1967 dalam Hidayat, 2009).

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku agresif :

1. Amarah

Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf

parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang

biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau

mungkin juga tidak (Davidoff, 1991 dalam Indrawati, 2006). Pada saat marah ada

perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan

biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka

terjadilah perilaku agresi. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya

agresi adalah suatu respon terhadap marah. Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan,

atau ancaman sering memancing amarah dan akhirnya memancing agresi. Ejekan,

hinaan dan ancaman merupakan pancingan yang jitu terhadap amarah yang akan

mengarah pada agresi.

2. Kesenjangan generasi

Adanya perbedaan atau jurang pemisah antara generasi anak dengan orang

tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal

dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak

diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak.

permasalahan kesenjangan generasi ini harus diatasi dengan segera, mengingat

Universitas Sumatera Utara


bahwa selain agresi, masih banyak permasalahan lain yang dapat muncul seperti

masalah ketergantungan narkotik, kehamilan diluar nikah, seks bebas, dll.

3. Suhu udara yang panas

Suhu udara panas merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya

kekerasan. Ini tercermin pada masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dan

masyarakat madura yang cenderung memiliki sifat yang keras yang dapat memicu

kekerasan.

4. Peran Belajar Model Kekerasan.

Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat

ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron,

sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara TV yang menyajikan acara

khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti Smack Down,

UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa

acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang

mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh

terhadap perkembangan jiwa penontonnya. Pendapat ini sesuai dengan yang

diutarakan (Davidoff, 1991 dalam Indrawati,2006) yang mengatakan bahwa

menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan

menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan

tersebut.

5. Frustrasi

Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai

suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi

Universitas Sumatera Utara


merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal

adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu

menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera

terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan

berperilaku agresi.

6. Proses Pendisplinan yang Keliru

Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama

dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai

pengaruh yang buruk bagi remaja Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat

remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membeci

orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada

akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain.

Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan

ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya.

Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Pola pendisiplinan tersebut dapat

pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan yang

bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat

memenuhi kebutuhan yang mendasar (cth: dilarang untuk keluar main)

(Sukadji,1988).

Universitas Sumatera Utara


2.5.3. Cara mengatasi perilaku agresif

a. Hukuman dan pembalasan

Rasa takut terhadap hukuman atau pembalasan bisa menekan perilaku

agresif. Tipe orang rasional menurut teori intensif, akan memperhitungkan akibat

agresi di masa mendatang dan berusaha untuk tidak melakukan perilaku agresi

bila ada kemungkinan akan mendapatkan hukuman.

b. Mengurangi frustasi

Teknik yang lebih baik adalah dengan mengurangi kemungkinan terjadinya

serangan dan frustasi. Diharapkan setiap masyarakat berusaha menjamin adanya

tingkat kesamaan hak untuk mendapatkan keperluan hidap seperti makanan,

pakaian, perumahan dan kehidupan keluarga. Alasan utamanya adalah untuk

menghindari gangguan kekerasan yang berskala besar dalam kehidupan sehari-

hari terutama dari kelompok-kelompok yang frustasi.

c. Hambatan yang dipelajari

Yaitu dengan belajar mengendalikan perilaku agresif kita sendiri tidak

peduli apakah kita akan diancam dihukum atau tidak. Hambatan agresi yang

dipelajari secara umum dapat disebut kecemasan agresi (rasa salah agresi). Orang

akan merasa cemas bila mendekati tanggapan berupa agresif. Orang tua yang

manggunakan penalaran dan penghindaran afeksi sebagai teknik disiplin akan

menghasilkan anak yang memiliki kecemasan agresi yang lebih banyak

dibandingkan orang tua yang menggunakan taraf hukuman fisik yang tinggi.

Universitas Sumatera Utara


d. Pengalihan (Displacement)

Prisip dasar pengalihan adalah bahwa semakin banyak kecemasan antar

sasaran dengan sumber frustasi sebenarnya semakin kuat dorongan agresif

individu terhadap sasaran.

e. Katarsis

Gagasan yang terakhir adalah bahwa perasaan marah dapat dikurangi

melalui pengungkapan agresi. Freud menyebut proses ini katarsis (pembersihan)

dalam istilah umum, proses tersebut mencakup pelepasan energi atau

penyingkirannya dari sistem anda. Inti gagasan katarsis adalah bahwa bila orang

merasa gagresif tindakan agresi yang dilakukannya akan mengurangi intensitas

perasaannya. Hal ini pada gilirannya, akan mengurangi kemungkinan untuk

bertindak agresif (Indrawati, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai