Anda di halaman 1dari 19

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang .............................................................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 2

1.3. Tujuan ............................................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Kearifan Lokal (Local Wisdom) .................................................................................... 3

2.2. Sistem Pengelolaan Pertanian Masyarakat Adat (HumaTalun) ...................................... 7

2.3. Sistem Pengelolaan Hutan Masyarakat Adat ................................................................. 10


2.4. Sistem Pengelolaan Sumber daya Air Oleh Masyarakat Adat........................................ 14
2.5. Dinamika Kearifan Lokal Masyarakat Adat ................................................................... 18

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan ................................................................................................................... 34

3.2. Saran ............................................................................................................................. 34

DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah
tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya
untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Jakarta, 24 Mei 2016

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengelolaan lingkungan terkait antara hubungan faktor abiotik, biotik dansosial budaya pada
lokasi tertentu, hal ini berkaitan dengan kawasan bentanglahanyang mencakup pada sistem
ekologi dan ekosistem lokasi tersebut.
Dalam pengelolaan lingkungan hidup bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehatmerupaka
n hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkandalam Pasal 28H
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Dalam perkembangannya
kebijakan-kebijakan pemerintah
dalam pengelolaan lingkungan hidup tertuang dalam Undang-Undang RepublikIndonesia
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan PengelolaanLingkungan hidup. Dinamika
dalam pengelolaan lingkungan
mengalami perkembangan secara signifikan dari waktu ke waktu sehingga UU Nomor 23Tah
un 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup dilakukan pembaharuanmenjadi UU RI
Nomor 32 Tahun 2009. Hal ini diperlukan untuk lebih menjaminkepastian hukum dan
memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untukmendapatkan lingkungan yang
baik dan sehat sebagai bagian dari perlindunganterhadap keseluruhan ekosistem.Pengelolaan
lingkungan yang berkelanjutan tersebut dipengaruhi oleh proses-
proses interaksi komponen lingkungan yaitu abiotik, biotik dan sosial,ekonomi serta budaya.
Apabila ditinjau dari aspek sosial, ekonomi dan budaya,Perilaku manusia dalam

theory of planned behaviour (Ajzen 2005)


menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan pengelolaan lingkungan yang lestari dipengaruhiol
eh faktor latar belakang yang terdiri dari faktor personal, faktor sosial dan faktorinformasi,
ketiga faktor tersebut mempengaruhi perilaku manusia untuk
hidup berdampingan dengan alam. Hal ini berkaitan dengan perilaku manusia ramahterhadap
lingkungan, bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungan.

Perilaku manusia menjadi output terhadap faktor-faktor latar belakangtersebut khususnya


untuk masyarakat tertentu, output tersebut dapat menjadisebuah pola kebiasaan yang
ternormakan, hal ini berkaitan degan keyakinan perilaku, keyakinan normatif, dan keyakinan
kontrol (Ajzen 2005).Keyakinan normatif berupa norma-norma (suatu pola aturan)
yangmempengaruhi perilaku suatu masyarakat tertentu, seperti istilah

folksways

yaitukecenderungan mengikuti perilaku khalayak umum, contohnya adalah buangsampah,


mengikuti mayoritas tindakan masyarakat. Seperti sebagian besarmasyarakat membuang
sampah dilokalisasi dan dibakar, sehingga hampir
semua penduduk sekitar mengikuti tindakan mayoritas masyarakat tersebut (Nurroh2014).
Sedangkan istilah

custom

terdiri dari pola cocok tanam, pola budidayatanaman, pola tanaman semusim, dan pola
interaksi sosial. Secara umum polacocok tanam bersifat turun menurun pada masyarakat adat
tertentu. Norma Custom berkembang menjadi sebuah kearifan lokal (local wisdom),karena
ikatan aturannya sangat kuat dalam mempengaruhi perilaku padamasyarakat tertentu.
Kecenderungan kearifan lokal memiliki nilai positif baikterhadap hubungan manusia dengan
manusia dan manusia dengan alam. Sehingga Kearifan lokal menjadi penting untuk
dilestarikan dan dipertahankan
sebagai perilaku positif dalam mendukung pengelolaan lingkungan yang lestari dan berkelanj
utan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian kearifan lokal?

2. Apa yang dimaksud Sistem Pengelolaan Pertanian Masyarakat Adat (Huma-


Talun )?

3. Apa yang dimaksud Sistem Pengelolaan Hutan Masyarakat Adat?

1.3 Tujuan

Berdasarkan latar belakang seperti telah diuraikan , maka penulisan Critical Review Studi
Kasus: Kearifan Lokal (Local Wisdom ) Masyarakat SukuSunda Dalam Pengelolaan
Lingkungan yang Berkelanjutan sebagai pendekatan untuk mempelajari kearifan lokal (local
Wisdom) Suku
Sunda, provinsi Jawa Barat sebagai bentuk perilaku masyarakat yang ramah lingkunganterha
dap pengelolaan lingkungan yang lestari dan berkelanjutan

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Kearifan Lokal (Local Wisdom )

Sungsri 2010 dalam Ardianto (2012) menyatakan bahwa Konsep Kearifanlokal (local
wisdom) adalah pengetahuan dan pengalaman berkaitan dengan kehidupan sehari-
sehari,occupationsdan budaya yang sudah turun-temurun darisejumlah generasi ke sejumlah
generasi lainnya. Knowledge and experience related to day to day living,occupations and
culture had been passed on from generations to generations

Istilah kearifan lokal adalah terjemahan dari local genius, yang pertama
kali diperkenalkan oleh Quaritch Wales pada tahun 1948-1949
dengan pengertiannya kemampuan kebudayaan setempat dalam
menghadapi pengaruhkebudayaan asing pada waktu kebudayaan itu
berhubungan. (Rosidi 2011). Pengetahuan dan pengalaman-pengalaman
masih banyak digunakan orangsampai saat ini, karena mereka secara
mendalam terkait dengan cara atau pandangan hidup mereka. Jika
kearifan lokal adalah setelah dilihat secara baik dandipromosikan, mereka
dapat menjadi sumber-sumber pengetahuan yang
sangat baik, menjadi informasi dan pedoman bagi kualitas pengembangan
kehidupan orang-orang. Sungsri 2010 dalam Ardianto (2012) menyatakan
bahwa keterkaitan kelestarian kearifan lokal dapat dipertahankan.These
knowledge and experiences are still useful for people at present
because they deeply relate to their way oflive. If these local wisdom are
well looked after
and promoted, they can be very good sources of knowledge,information
and guidelines for quality of life development of people Ridwan (2007)
dalam Aulia et al (2010) menyatakan bahwa bahwakearifan lokal dapat
dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan
akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, obj
ek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian tersebut d
isusun secaraetimologi, dimana kearifan dipahami sebagai kemampuan
seseorang denganmenggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau
bersikap sebagai
hasil penilaian terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi. Sebag
ai sebuah istilah wisdom kemudian diartikan sebagai
kearifan/kebijaksanaan. Iskandar (2009) dalam Permana et al (2011) menyatakan
bahwamasyarakat tradisional umumnya juga memiliki pengetahuan lokal dan kearifan
ekologi dalam memprediksi dan melakukan mitigasi bencana alam di daerahnya. Masyarakat
lokal yang bermukim di lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah,misalnya, telah mempunyai
kemampuan untuk memprediksi kemungkinanterjadinya letusan. Hal tersebut antara lain
menggunakan indikator berbagai jenishewan liar yang turun lereng di luar kebiasaan dalam
kondisi lingkungan normal.

2.2 Sistem Pengelolaan Pertanian Masyarakat Adat (Huma-Talun)

(Iskandar,2000 ; Permana 2010). Permana et al (2011) menyatakan bahwa menurut tradisi


masyarakat Baduy dikenal lima macamhuma, yakni: (a) huma serang , ladang adat
kepunyaan bersama yang hanya terdapat di Baduy Tangtu (awam menyebutnya Baduy
Dalam), yaitu di Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo, (b) huma puun,ladang dinas selama
menjabat sebagai puun yang letaknya tidak jauh di belakang rumah puun,(c) huma tangtu,
ladang untuk keperluan penduduk Baduy Tangtu,(d)huma tula dan, ladang untuk keperluan
upacara (seperti huma serang)di Baduy Panamping (Baduy Luar), dan (e) huma panamping ,
ladang untuk keperluan penduduk Baduy Panamping (Permana, 2010:52-54). Huma serang
dibuka danditanam terlebih dahulu, kemudian diikuti denganhuma puun, huma
tangtu,lalu huma tuladan danhuma panamping . Jenis-jenis humatersebut merupakan strategi
ketahanan panganmasyarakat Baduy. Dalam adat Baduy, padi yang dihasilkanterutama untuk
keperluan upacara adat dan keperluan sehari-hari, serta tidak bolehdiperjual belikan. Hasil
padi dari huma serang untuk keperluan upacara adatBaduy Tangtu dan keseluruhan Baduy,
sedangkan padi dari huma panamping untuk upacara adat diwilayah panamping . Jika terjadi
gagal panen dihuma serang , maka padi upacara diambil dari huma panamping . Jika
keduanya gagal panen, maka padi diambil dari huma tangtu dan huma panamping . Strategi
itu merupakan antisipasi kegagalan panen misalnya akibat cuaca yang tidak menentudan
serangan hamaKonsep bahwa perladangan merupakan bagian dari kehidupan masyarakatadat
adalah kegiatan perladangan utamanya adalah menanam padi. Selain sebagaimakanan pokok,
padi juga merupakan tanaman yang dianggap mulia ataudikultuskan berkenaan kepercayaan
atau keyakinan perilaku yang mempengaruhisikap terhadap perilaku (Ajzen 2005). Hal
ini telah di telusuri mengenaimengkultuskan tanaman padi sebagai keyakinan perilaku
terhadap perladangan untuk menanam padi. Kalsum (2010) dalam Permanaet al (2011)
menyatakan bahwa masyarakat Sunda di wilayah Jawa Barat sangat menghormati padi
karenadiyakini sebagai penjelmaan Nyi Sri atau Nyi Pohaci Sanghyang Asri atau DewiPadi.
Penghormatan kepada padi terlihat sepanjang proses perladangan, panen,hingga pascapanen.
Konsep dan penghormatan tentang Nyi Sri atau Nyi Pohacitersebut terdapat pula dalam karya
naskah kuno Sunda, misalnya WawacanSulanjana. Dalam naskah itu dikatakan bahwa
tanaman padi diyakini berasal dariDewi yang dimuliakan oleh tokoh-tokoh mulia lainnya,
antara lain Batara Guru,Prabu Siliwangi, dan Semar. Tradisi penghormatan kepada padi
tersebutmerupakan kearifan lokal yang tetap harus dipelihara dan dijaga sebagai
upayamempertahankannya sebagai makanan pokok.Dampak pengelolaan tanah dari kegiatan
huma dengan membuka ladangyang tidak bersamaan dan pada tempat yang berbeda akan
menyebabkan penurunan kualitas tanah baik tingkat kesuburan maupun sedimen dan erosi.
Serta berimplikasi terhadap kegagalan panen. Hal ini yang menyebabkan adanyakeyakinan
kontrol yang mempengaruhi kontrol perilaku yang dirasakan untukmencegah (mitigasi)
terhadap dampak yang akan ditimbulkan dengan kata
lain perilaku ramah lingkungan untuk memperoleh pengelolaan lingkungan yang berkelanjuta
n. Permana et al (2011) menyatakan bahwa kearifan lokal masyarakatBaduy dalam tradisi
perladangan yang berdampak pada mitigasi bencana terlihatdalam tradisi pemilihan dan
pembakaran lahan ladang (huma). Tradisi pemilihanlahan ladang berkaitan dengan mitigasi
bencana tanah longsor, sedangkan tradisi pembakaran lahan ladang berkaitan dengan mitigasi
kebakaran hutan.Menurut pengetahuan yang turun-temurun dari sejumlah informan
dannarasumber diketahui bahwa pemilihan lahan huma didasarkan atas jenis
tanah,kandungan humus, dan kemiringan lereng. Dari segi jenis tanahnya dapat
dilihat berdasarkan warna, kandungan air dan udara, serta kandungan
batu. Berdasarkanwarnanya dikenal taneuh hideung (tanah hitam), taneuh bodas (tanahputih),
dan taneuh beureum (tanah merah). Tanah hitam merupakan prioritas karena tanahtersebut
banyak mengandung surubuk (humus). Berdasarkan kandungan air danudaranya dikenal
taneuh liket (tanah lengket) dan taneuh bear(tanah gembur). Oleh karena itu, upayamitigasi
longsor yang dilakukan adalah dengan tidak menebang pohon-pohon besar yang terdapat di
lahan tersebut. Selain itu, untuk menjaga agar humus tanahtidak terbawa air hujan, maka pada
lereng tersebut biasanya dibuat teras-teras penahan yang terbuat dari potongan-potongan kayu
2.3 Apa yang dimaksud Sistem Pengelolaan Hutan Masyarakat Adat

Hal ini berkaitan dengan bentanglahan seperti ekosistemhutan dimana penyebaran penduduk
desa berada disekitarnya. Salah satu contohsuku Sunda Jawa Barat yaitu masyarakat adat
Baduy. Permanaet al (2011)menyatakan bahwa pengelolaan ekosistem hutan dan air dalam
kaitannya denganmitigasi bencana banjir dan longor tercermin dalam fungsi dan letak hutan
dan air. Berdasarkan pemaparan dari Jaro Daenah (58 tahun) yang juga Kepala DesaKanekes
( Jaro Pamarentah), fungsi hutan terbagi menjadi tiga jenis, yaitu hutanlarangan, hutan
dungusan atau dudungusan, dan hutan garapan. Hutan laranganadalah hutan lindung yang
tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang yang didalamnya, bahkan orang Baduy atau
pimpinan adat sekalipun.Berdasarkan hasil penelitian di masyarakat adat Baduy, Permana et
al (2011) menyatakan bahwa pembagian tiga jenis hutan berdasarkan fungsi dantujuan. Salah
satunya adalah Hutan dudungusan yang merupakan jenis hutan yangdilestarikan karena
berada di hulu sungai, atau di dalamnya dianggap terdapatkeramat atau diyakini sebagai
tempat leluhur Baduy. Sementara itu, hutan garapanadalah hutan yang dapat digarap untuk
dijadikan ladang (huma) oleh masyarakatBaduy secara umum. Hutan larangan terdapat di
wilayah hutan lindung di selatanBaduy tangtu. Di dalam hutan larangan terdapat tempat suci
masyarakat
Baduy bernama Sasaka Domas atau Sasaka Pusaka Buana tempat bersemayam YangMaha
Kuasa yang disebut Nu Kawasa atau disebut juga dengan Batara Tunggal Obyek. Menurut
keyakinan masyarakat Baduy, lanjut Jaro Daenah, di sinilahtempat berkumpulnya para
karuhun (nenek moyang), bahkan tempat asal-asulmereka. Di tempat ini pula diyakini
sebagai awal penciptaan bumi ini sehinggadisebut juga sebagai inti jagad atau pusat
dunia.Hutan dungusan atau dudungusan berfungsi untuk melindungi hulu sungai. Hutan
dudungusan ini terdapat di hulu-hulu sungai antara lain dudungusan Cihalang (terletak antara
kampung Gajeboh dan Cicatang), dudungusan Cikondang (antara kampung Gajeboh dan
Cicakal), dudungusan Cimambiru (dekat kampung Balimbing), dudungusan Cigaru (dekat
ampunGajeboh), dudungusan Jambu (dekat kampung Cicakal), dudungusan Cikuya(dekat
kampung Marengo), dan dudungusan Kalagian (dekat kampung Cibeo). Para informan
mengungkapkan bahwa hutan dudungusan itu dilindungi untukmenjaga keberlanjutan air dan
sungai untuk kebutuhan vital masyarakat sehari-hari. Hutan di sekitar atau sepanjang daerah
aliran sungai (DAS) juga berfungsiuntuk menahan erosi atau kikisan tepi sungai yang dapat
menyebabkan banjir atauair sungai menjadi keruh atau kotor.Hutan garapan merupakan lahan
tempat orang Baduy dapat membuka danmengerjakan ladangnya. Kegiatan berladang pada
hakikatnya adalahmenjodohkan dan mengawinkan (ngararemokeun) Nyi Pohaci Sanghyang
Asridengan bumi. Padi harus ditanam menurut ketentuan karuhun (nenek moyang).Semua
doa dan perbuatan baik dilakukan selama proses berladang tersebut.Karena kegiatan
berladang hanya berlaku perbuatan baik, maka lahan danlingkungan hutan garapan pun selalu
terjaga dengan baik.Berdasarkan keletakannya, menurut keterangan yang dihimpun dari
paranarasumber dan informan, hutan Baduy terbagi atas tiga bagian, yakni hutan tua
(leuweung kolot ), hutan ladang (leuweung reuma), dan hutan kampung (leuweunglembur).
Hutan tua disebut juga hutan titipan (leuweung titipan) terdapat pada puncak
puncak bukit atau gunung. Pohon-pohon yang terdapat di hutan tua initidak boleh dibuka
untuk ladang (huma) dan tidak boleh ditebang, kecuali diambilkayunya secara terbatas untuk
kayu bakar. Kearifan dari konsepsi budaya ini bahwa pohon-pohon besar di
puncak bukit akan menjadi payung yang menaungi bukit itu agar tidak terjadi erosi atau
tanah longsor ketika hujan turun.Pohon-pohon di atas bukit juga berguna untuk menyimpan
air sehingga ketersediaan air tanah tidak kekurangan dan kesuburan tanah tetap
terjaga(Permanaet al 2011). Hutan kampung yang terdapat di dekat atau sekitar
perkampungan jugatidak boleh dirusak. Apalagi biasanya hutan-hutan dekat kampung itu
juga beradadi sekitar sumber-sumber air. Hutan ini perlu dijaga kelestariannya sebagai
upayamenjamin ketersediaan sumber air. Hutan kampung juga merupakan sumber dayaalam
yang kaya untuk memenuhi keperluan sehari-hari, seperti sumber makanan,air, kayu bakar,
dan bahan untuk memperbaiki rumah. Hutan ladang atau hutan sekunder (reuma) terdapat di
antara hutan tua danhutan kampung. Hutan ladang ini terbentuk dari pohon-pohon yang
sengaja atautidak sengaja tumbuh ketika lahan huma diberakan pada jangka waktu
tertentu.Walaupun hutan di daerah ini boleh ditebang, tetapi tetap dilakukan secaraterkendali.
Artinya, masyarakat tidak menebang sembarangan, terutama
pohon- pohon besar, pohon yang dapat berfungsi penahan erosi, atau sebagai peneduh.Oleh
karenanya walaupun sedang dibuka untuk ladang (huma) pohon-pohontertentu akan tetap
tumbuh dengan baik. Pohon-pohon tersebut selain berfungsisebagai peneduh, juga dapat
berguna memperkuat lereng tanah agar tidak terjadierosi atau tanah longsor. Sekarang ini
hutan yang sedang diberakan banyakditanam dengan pohon jeungjeung
(albasiah; Paraserianthes falcatarina (L.) Nielsen). Pohon tersebut selain cepat dan mudah
tumbuh serta berfungsi
sebagai penghijauan. Ketika selesai masa bera, kayunya dapat digunakan sendiri untukkayu
bakar atau dijual untuk bahan membangun rumah. Tanaman ini juga disukaioleh masyarakat
Baduy karena cepat tumbuh dan menghasilkan zat nitrogen untukmempercepat kesuburan
tanah (Iskandar dan Ellen (2000) dalam (Permanaet al 2011)

2.4. TRADISI UPACARA PERKAWINAN ADAT SUNDA


Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat kita. Sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal
mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan
keluarga-keluarga mereka masing-masing. Dalam hukum Adat perkawinan itu bukan hanya
merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan juga
merupakan peristiwa yang sangat berarti serta sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti
oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak. Dengan demikian, perkawinan menurut
hukum Adat merupakan suatu hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan, yang
membawa hubungan lebih luas, yaitu antara kelompok kerabat laki-laki dan perempuan,
bahkan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Hubungan yang terjadi ini
ditentukan dan diawasi oleh sistem norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat itu[1]
Van Gennep, seorang ahli sosiologi Perancis menamakan semua upacara-upacara
perkawinan itu sebagai rites de passage (upacara-upacara peralihan). Upacara-upacara
peralihan yang melambangkan peralihan atau perubahan status dari mempelai berdua; yang
asalnya hidup terpisah, setelah melaksanakan upacara perkawinan menjadi hidup bersatu
dalam suatu kehidupan bersama sebagai suami isteri. Semula mereka merupakan warga
keluarga orang tua mereka masing-masing, setelah perkawinan mereka berdua merupakan
keluarga sendiri, suatu keluarga baru yang berdiri sendiri dan mereka pimpin sendiri
Adapun tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan, adalah
untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan
atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh
nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarasan. Oleh karena
sistem keturunan dan kekerabatan antara suku bangsa Indonesia yang satu dan lain berbeda-
beda, termasuk lingkungan hidup dan agama yang dianut berbeda-beda, maka tujuan
perkawinan adat bagi masyarakat adat juga berbeda antara suku bangsa yang satu dan daerah
yang lain, begitu juga dengan akibat hukum dan upacara perkawinannya
Dalam masyarakat patrilinial, perkawinan bertujuan untuk mempertahankan garis keturunan
bapak, sehingga anak lelaki (tertua) harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil isteri
(dengan pembayaran uang jujur), di mana setelah terjadinya perkawinan isteri ikut (masuk)
dalam kekerabatan suami dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan
bapaknya. Sebaliknya dalam masyarakat matrilineal, perkawinan bertujuan untuk
mempertahankan garis keturunan ibu, sehingga anak perempuan (tertua) harus melaksanakan
bentuk perkawinan ambil suami (semanda) di mana setelah terjadinya perkawinan suami ikut
(masuk) dalam kekerabatan isteri dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan
kekerabatan orang tuanya
Syarat-syarat Perkawinan Adat Dalam hukum adat, rukun dan syarat perkawinan sama
dengan yang terdapat dalam hukum Islam, yaitu adanya calon mempelai laki-laki, calon
mempelai wanita, wali nikah, adanya saksi dan dilaksanakan melalui ijab qabul. Sedangkan
yang dimaksud dengan syarat-syarat perkawinan di sini, adalah syarat-syarat demi
kelangsungan perkawinan tersebut.

Kekayaan budaya Tatar Sunda tampil lewat upacara pernikahan adatnya yang unik dan kaya
makna. Prosesi pernikahan diwarnai humor yang menyegarkan dan mengakrabkan, tapi tak
menghilangkan nuansa sakral dan khidmat.banyak sekali hal yang membuat banyak orang
penasaran mengenai makna yang ada di dalam upacara adat perkawinan etnis sunda Pada
dasarnya defenisi pernikahan itu hakikatnya sama dan tidak ada perbedaan di setiap
kebudayaan,karna dapat di artikan tujuan dari pernikan itu,menjalin hidup yang baru untuk
mencapai suatu kebahagiaan,dan akan hanya terjadi satu kali dalam seumur hidup.
Tetapi akan berbeda dengan konsep kebudayaan dan upacara adatnya,karna di setiap etnis itu
mempunyai keyakinan yang berbeda beda.sehingga di setiap etnis akan mempunyai cara
tersendiri untuk melakukan ritual pernikahan keagamaanya.tetapi sangat di sayangkan kian
hari kebudayaan ritual keagamaan pernikahan di setiap etnis semakin terkikis khususnya di
etnis Sunda.
Maka dari itu munculah ketertarikan dengan permasalahan terkikisnya ritual pernikahan
keagamaan yang ada di etnis sunda ini,dengan mencoba menggali permasalahan yang
sebenarnya terjadi.dan ingin melihat lebih jauh seperti apakan upacara adat yang ada di etnis
sunda ini,karna jika di lihat secara sepintas upacara adat atau ritual pernikahan keagammaan
yang ada di etnis sunda ini sangatlah menarik untuk di kaji,karna di dalam upacara adatnya
banyak sekali simbol simbol yang di sakralkan. Dalam perkawinan adat sunda, ada lima cara
pokok yang umumnya yang masih tetap dilestariakan hingga saat ini, walaupun di sana sini
ada ada proses midifikasi. Lima acara itu adalah lamaran, siraman seserah, ngenyeuk serueh,
akad nikah/peberangkatan kemesjid, dan saweran
Secara kasat mata siraman ini artinya membadikan. Tapi, dibalik itu ada beberapa makna
yang terkandung didalamnya. Secara filosofis, siraman itu dimaksud sebagai upaya
penyucian diri lahir batin sebelum memasuki mahligai perkawinan
Upacara siraman ini juga merupakan kesempatan bagi sianak untuk memohon doa restu
kepada orang tua maupun parasepuh. Tujuanya, agar dalam mengurangi hidup baru nanti ia
mendapatkan restu dan limpahnya kebaikan dari mereka. Itu sebabnya biasanya yang
bertugas memandikan si calon pengantin, selain kedua orangtuanya, juga para angota
keluarga yang sudah tua dan orang orang sekaligus dikenal sebagai orang yang alim soleh.
Karena merupakan symbol penyucian diri, Maka sebelum upacara siraman ini dilangsungkan
biasanya diselengarakan pengajian. Sebelum pengajian dimulai, di tempat ini sudah disiapkan
air setaman, yaitu air dari tujuh mata air/sumur yang ditaburi bunga tujuh rupa. Maksudnya,
sebelumdimanfaatkan untuk memandikan kedua calon mempelai, air setaman itu lebih dulu
didoakan ustad/ustadzahbeserta orang orang yang hadir di tempat itu
Alat-alat yang perlu dipersiapkan:
- jambangan berisi tujuh air tujuh mata air
- Kembang tujuh rupa
- Gayung lengkap dengan hiasan bunga
- Kain batik
- Kendi dari tanah.
- Untaian melati untuk penutup bahu dan dada
- Handuk kecil
- Tempat duduk
- Gubuk yang sudah dihias(kalo acara di selenggarakan di luar)
- Minyak wangi
Tata cara pelaksanaan
Dirumah keluarga CPW (Calon Pengantin Wanita)
- - MC (master of ceremony) atau pengarah acara membuka acara dan mengunmumkan
bahwa rainkayan upacara siraman akan segera dimulai
- sebelum uoacara siraman dimulai lebih dahulu diselengarakan pengajian/syukuran.
Hadirin dalam acara ini CPW (Mengenakan kebaya biasa), kedua orang tua,kerabat dekat,
dan para tamu.
- selesai pengajian , air kembang setamanyang sudah didoakan do forum pengajian itu
dibagi dua dan salah satunya kemudian dikirimkan kerumah/ketempat pemondokan
CPP(Calon Pengantin Pria) . seorang utusan dari keluarga CPP dating mengambil air
kembang setaman tersebut cara simbolis menggendong putrinya keluar kamarmenuju
pelaminan. Tentu saja tidak menggendong sunguh sungguhsang ibu berdiri di samping kiri
CPW dengan tangan kanan merangkul pinggang CPW . Tangan kirinya memegang dua ujung
kaki batik yang sudah dilingkarkan di pinggang maupun CPW , sepertiorang yang setengah
menggendong.
- sebelum melakukan upacara ngecagkeun aisan (melepaskan gondongan), lewat tembang
sunda yang dilantunkan oleh seorang juru mamos , kedua orang tua memberikan nasehat
kepada putrinya
- kedua orang CPW kemudian duduk di atas kursi yang sudah diasiapkan dan CPW
dipangku diatas paha ibu dan ayanhnya
- Ayah CPW kemudian membuka kain gendongan sambil membaca
Bismillaahirahmaanirrahim.
- selanjutnya CPW duduk bersimpuh dibawah dan posisinya menghadap orangtuanya
yang duduk kembali diatas kursi tadi.CPW kemudian memohon maaf dan restu kepadaibu
dan ayahnya
- Orang tua CPW menjawab pemohon doarestu bagi putrinya
- CPW kemudian membasuh kaki ibunya denganairkembang setaman didalam bokor dan
setelah itu baru mengelap serta mengeringkanya dengan handuk. Setelah itu CPW mencium
kaki ibunya dan setelah itu ayahnya
- Upacara NGARAS (mencuci kaki orangtua) umumnya berlangsung bagi pasangan
pengantin sukapuara
Ngaras ( Mencuci Kaki orangtua)
Upacar ini hanay dilakukan dalam perkawinan adat sunda gaya sukapura. Ngaras adalah
upacara yang dilakukan sebelum CP[W/CPP melaksanakan upacara siraman.
Upacara ini dilakukan sebagai ungkapan rasa sayang dan hormat seorang anak kepada kedua
orang tua
Seperti halnya upacar siraman , yang diharapkan hadir dalamupacar ini adalah kedua orang
tua calon mempelai saudara saudara sekandung, kakek nenek keluarga besar kedua orang tua
kedua clon mempelai serta tamu tamu undangan khusus. Sesuia jumlah undangan yang ada,
posisiNgaras ini sebaiknya disesuaikan dengan keadaan rumah. Kedua orang tua bisa duduk
dikursi, sementara di bawahnya sudahdisiapkan air kembang di dalam bokor atau panic .
CPW/CPP duduk dihadapan kedua orangtua. Dengan bimbingan pimpinan Ngaras CPW
/CPP pertama kali membasuhi ibunya baru kemudian ayahandanya.
Idealnya, rangkaian acara yang dimulai dengan pengajian ini dimulai usai shalat dhuhur
pukul 12.30. disinilah batin sicalon pengantin di gembleng agar mampu menjalankan bahtera
keluarga dengan baik sesuai yang digariskan agama. Acara ini umumnya hanya di ikuti oleh
anggota keluarga, kerabat dekat, maupun para tetangga di sekeliling keluarga rumah CPW.
Setelah acara pengajian yang memakan waktu lebih kurang satujam itu selesai, CPW mulai
masuk kamar pengantin untuk mempersiapkan diri melakukan upacara ngacegkeun aisan
(gendongan terakhir).
Petugas yang bertanggung jawab kemudian memeberikan air kembang yang baru saja
dodoakan bersama sama dan selanjutnya air setaman itu dibagi dua. Sebagian air setaman
yang sudah ditaburi doa itu untuk upacara siraman di rumah CPW, sementara sebagian yang
lain di bawah kerumah CPP untuk acara siraman bagi CPP.
Upacara ngecankeun aisan yang artinya melepaskan gendongan. Secara simbolik inilah
gendongan terakhir seorang ibu. Maknanya selama ini anak itu selalu dalam Gendongan
atau dalam tanggung jawab orang tua, mulai saat itu orang tua akan mulai melepaskan
tanggung jawabnya sebagai orang tua kepada putrinya yang akan segera memasuki pintu
gerbang rumah tangga. Taklama lagi sang putrid akan dinikahkan dan dipasrahkan kepada
suaminya, yang secara otomatis akan mengambil alih tanggung jawab kasih sayang lahir
batin dari orangtuanya
Alat-alat Ynag Perlu Dipersiapkan:
- bokor isi air kembang setaman
- dua kursi
- tujuh lilin lengkap dengan tempatnya
- payung hias
- kain batik
- handuk kecil
Usai siraman dengan diantar kedua orangtuanya ke kamara pengantin. Setelah itu CPW
menuju kamar mandi untuk mandi sendiri untuk membersihkan bunga-bunga bekas upacara
siraman atau kotoran lainyang menempel di tubuhnya. Sebelum dirias, CPW melakukan
upacara ngeningan (mengerik rambut halus) yang ada didepan maupun belakang kepalanya.
Upacara ini dilakaukan biasanay oleh juru rias.
Alat-alat yang perlu disiapkan:
- Alat-alat untuki mencukur, yaitu sisir, gunting, pisau cukur, pinset, dan air sabun
-alat-alat sesaji yaitu koin putih/mori , air bunga sataman (diambil dari bunga
siraman),pedupaan, pelita (lilin/lampu minyak tanah).
Usai menjalani upacara siraman biasanya calon pengantin melakukan mandi sungguhan
sendiri dan kemudian mengeringkan rambut. Setelah itu barulah ia dirias perias pengantin
sebelum wajahnya dirias, Rambut CPW harus dikerik dibagian depan dan samping. Terakhir
ia mengunakan busana untuk nantinya mengikutu upacara seserahan yang dilanjutkan
dengan uoacar ngeyeuk sereuh pada malam harinya, atau langsung pada upacara seserahan
berlangsung
Upacara seserahan ini adalah kelanjutan lamaran yang telah berlangsung beberapa
minggu/bulan sebelum seserahan seserahan itu berlangsung . Pada saat itu pihak keluarga
CPP. Secara simbolik menyerahkan CPP dengan peralalatan/perlengkapan mawakeun yang
nantinya akan dipake oleh CPP yang akan di pake saat perkawinan mereka berlangsung
Seserahan/seren sumeren adalah upacara pernikahan yang dilakukan sebagai pemantapan dan
tidak lanjut dan tahapan lamaran yang sebelumnya sudah dilakukan oleh keluarga pihak CPP
kerumah keluarga CPW . Dalam acara lamaran ini pihak keluarga CPP menyerahkan calon
mempelai pria untuk nantinya bisa di nikahkan dengan CPW
Tapi, kedatangan keluarga CPP kerumah keluarga CPW ini tentu saja tidak dengan tangan
kosong,begiru juga dengan keluarga CPW tidak akanmemberikan tamu tamunya pulang tanpa
buah tangan walaupun jenis dan jumlahnya tidak sebanyak bingkisan yang di bawa oleh
keluarga CPP. Di sinilah kekhasan rangkayan tata cara upacara perkawinan adatsunda.
Dalam acara seserahan ini, keluarga CPP menyerahkan bebrapa bingkisan yang besar kecil
maupun banyak sedikitnya tergantung pada kemauan/kesepakatan masing-masing keluarga.
Tapi, ada aturan aturan baku yang selama ini selau menjadi acuan para calon pengantin adat
sunda
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil telaah pustaka dan critical review mengenai kajian

Kearifan Lokal (Local Wisdom ) Masyarakat Suku Sunda DalamPengelolaan Lingkungan


yang Berkelanjutan, maka dapat disimpulkan bahwa:

(1) Masyarakat adat Baduy dan Masyarakat Desa Kemang, dalam Pengolahan lahan
Huma Kebun Campuran merupakan kearifan lokal berupakeyakinan perilaku (nilai-
nilai luhur nenek moyang) berdasarkan penghormatan terhadap tanaman padi karena
diyakini sebagai penjelmaan Nyi Sri atau Nyi Pohaci Sanghyang sri atau Dewi Padi.

(2) Dinamika kearifan lokal dipengaruhi oleh aspek Informasi (faktor pengetahuan).
Dengan pengetahuan baru yang muncul di masyarakat adat(Desa kembang), pola
pengelolaan Talun Huma Jami Reuma ngora Reuma Kolot Kebun Campuran terputus
menjadi Pola tanam monokultur, hal ini berdampak pada keberlanjutan ekologi
( sustanibility environment ), sosial, dan ekonomi di daerah tersebut.

3.2. Saran

Berdasarkan hasil telaah pustaka dan critical review kajian kearifan lokal,maka saran dari
penulis ialah;
(1) Dinamika kearifan lokal semakin berubah secara signifikan sehingga perlukebijakan
pemerintah untuk memberikan solusi terkait faktor ekonomiyang menjadi faktor
utama perubahan kearifan lokal tersebut.

(2)Persepsi masyarakat menjadi pola pikir ( folksway) yang cepat berubahseperti pola
tanam monokultur sehingga perlu program pemerintah untukmengantisipasi pola tanam
tersebut sebelum dampak pola tanam menyebarterhadap masyarakat sekitar hutan

LAMPIRAN

Profil Pengelolaan (huma-kebun campuran) masyarakat adat Baduy

Profil Pengelolaan (huma-talun) masyarakat adat (Desa Kemang) Sumber: (Mugniesyah dan
Nurroh 2009).
Profil Pengelolaan lahan pada masyarakat adat (Desa Kemang). Sumber: (Mugniesyah dan
Nurroh 2009)

DAFTAR PUSTAKA

Ajzen, I. 2005. Attitudes, personalitas, and behaviour (2nd edition). Milton-Keynes, England:
Open University Press/McGraw-Hill.http://home.comcast.net/~icek.aizen/book/1.pdf [11Mei
2015]

Ajzen, I. 1991. The The theory of planned behavior.Organizational behavior andhuman


decision processes: Vol 50 pp (179-211).http://home.comcast.net/~icek.aizen/book/.pdf
[11Mei 2015]

Ardianto, A. 2012. Filsafat kearifan lokal etnik sunda dan ilmu


pengetahuan barathttp://komunikasi.unsoed.ac.id/sites/default/files/20.elvinaro-
unpad.pdf[6Mei 2014]

Aulia, TOS., Dharmawan, AH. 2010. Kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya air di
Kampung Kuta.Jurnal Transdisiplin Soisologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia: Volume 4.
Nomor 3 Tahun 2011 Halaman 345-
355.http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/viewFile/5839/4504[20April
2014]Fishbein, M., & Ajzen, I. 1975.

Belief, Attitude, Intention, and Behavior: An Introduction to Theory and Research.

Reading, MA: Addison-Wesley.http://home.comcast.net/~icek.aizen/book/ch11.pdf [11Mei


2015]

Permana, RCE. 2010.Kearifan Lokal Masyarakat Baduy dalam Mitigasi Bencana. Jakarta:
Wedatama Widya SastraPermana, RCE., Nasution, IP,. Gunawijaya, J. 2011. Kearifan lokal
tentangmitigsi bencana pada masyarakat Baduy.

Jurnal Makara, Sosial Humaniora: Volume 15 Nomor 1 Halaman (67-


76).http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/article/viewFile/954/[6
Mei2014]Hardjasoemantri, K. 1999.
Hukum Tata Lingkungan,Edisi Ketujuh. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.Kalsum.
2010. Kearifan lokal dalam Wawacan Sulanjana: Tradisi
menghormati padi pada masyarakat Sunda di Jawa Barat, Indonesia.

JurnalSosiohumanika: Volume 3 Nomor 1 Halaman (79-94).Kosuke, M., Mugniesyah, SS.,


Herianto, AS., Hiroshi, T. 2013. Talun-Huma,swidden Agriculture, and rural economy in
West Java, Indonesia. JournalSoutheast Asian Studies: Volume 2 Nomor 2 pp (351-
381).https://englishkyoto-seas.org/2014/02/vol-2-no2-mizuno-et-al [8Mei 2014]Iskandar, J.,
Ellen, R.F. 2000. The contribution of Paraserianthes (Albizia) falcataria to sustainable
swidden management practices among the Baduyof West Java.

Jurnal Human Ecology: Volume 28 Halaman (1-17).Sartini. 2004. Menggali kearifan lokal
nusantara sebuah kajian filsafat.

Anda mungkin juga menyukai