Anda di halaman 1dari 14

FOBIA KHAS (F40.

2)

I. PENDAHULUAN
Ketakutan atau kecemasan terhadap situasi tertentu, kegiatan, hewan
atau benda tidaklah jarang. Banyak orang merasa cemas ketika berhadapan
dengan ular atau laba-laba atau berpergian dengan pesawat. Ketakutan
adalah respon rasional dalam situasi tertentu. Namun, beberapa orang
bereaksi terhadap objek, aktivitas atau situasi (stimulus fobia) dengan
membayangkan atau secara irasional melebih-lebihkan bahaya, sehingga
panik, ketakutan atau teror yang tidak sesuai dengan ancaman sebenarnya.
Bahkan terkadang pikiran atau hanya melihat stimulus fobia di televisi
cukup untuk menimbulkan reaksi.1
Banyak anak-anak yang memiliki rasa takut dan kecemasan;
menentukan pada titik apa kecemasan menjadi klinis dapat menjadi
perbedaan yang baik. Berbagai rasa takut yang umum dan kecemasan pada
anak-anak menurun dengan usia dan fokus spesifik dari ketakutan berubah.2

II. DEFINISI
Fobia adalah rasa takut yang intens, irasional dan tidak disengaja
terhadap objek atau situasi tertentu yang menimbulkan penghindaran
maladaptif. Fobia pada umumnya dibagi menjadi 3 kategori bergantung
pada objek atau situasi yang ditakuti, yaitu fobia khas, fobia sosial, dan
agorafobia. 4
1. Agorafobia. Agorafobia (dari bahasa Yunani yang berarti pasar)
menunjukkan rasa takut yang intens saat berada diantara orang-orang di
tempat ramai seperti di supermarket atau di kendaraan angkutan umum.
Namun, rasa takut pada situasi ini kurang diperhatikan dibandingkan
dengan rasa takut yang intens karena kewalahan oleh ketakutan atau
kecemasan didalam situasi dimana tidak ada bantuan yang tersedia.
Keselamatan biasanya didefinisikan saat di rumah dan dengan demikian
banyak agorafobia menjadi tawanan di dalam rumah mereka masing-

1
masing, hanya dapat ditinggalkan jika ditemani oleh pendamping yang
terpercaya.
2. Fobia sosial. Beberapa orang gemetaran karena hanya memikirkan
akan bertemu orang-orang baru atau harus berbicara di depan banyak
orang secara formal. Pada umumnya, mereka takut pada situasi sosial
yang sedang diteliti atau dievaluasi oleh orang lain dan resiko untuk
dipermalukan secara sosial. Fobia sosial lebih lemah daripada fobia
khas karena situasi sosial adalah pusat untuk penyesuaian manusia.
Sebagai contoh, secara konsisten menghindar dari situasi-situasi
tersebut atau bertahan hanya dengan rasa takut yang intens mungkin
merugikan baik akademik maupun kejuruan karir.
3. Fobia khas. Fobia khas adalah ketakutan yang intens dan menghindari
objek atau situasi tertentu. Orang dengan fobia mengalami kecemasan
ketika mereka menemukan atau bahkan berpikir tentang hal yang
mereka takuti. Kecemasan ini terkadang mengambil bentuk serangan
panik. Namun sementara serangan pada gangguan panik terjadi tiba-
tiba, serangan pada fobia khas memiliki pemicu yang sangat spesifik.3,8

III. EPIDEMIOLOGI
Lapouse dan Monk (1959) melaporkan bahwa 43% dari para ibu yang
diwawancarai mengakui bahwa anak mereka memiliki 7 atau lebih rasa
takut. Ollendick (1983) melaporkan bahwa pada 217 anak, usia 3-11 tahun,
umur rata-rata yang mengalami rasa takut berlebihan berkisar antara usia 9-
13 tahun.2
Pada populasi dewasa klinis, subtipe fobia khas yang paling sering
adalah fobia situasional, diikuti lingkungan alam, darah-injeksi-cedera dan
subtipe hewan. Dalam subtipe-subtipe ini, claustraphobia, fobia terhadap
mengemudi atau terbang, fobia terhadap ketinggian dan fobia terhadap laba-
laba sering ditemukan di klinik. Secara umum fobia khas sering ditemukan
pada wanita dengan rasio 2-2.5:1 (kecuali fobia cedera-injeksi-darah). Usia
terjadinya fobia khas tergantung pada subtipe fobia. Fobia hewan dan fobia
darah-injeksi-cedera biasanya muncul saat masa kanak-kanak, sedangkan

2
fobia situasional terjadi pada masa remaja,usia 20-an. Rata-rata usia
terjadinya berbagai macam tipe fobia khas adalah sebagai berikut : fobia
hewan pada usia 7 tahun, fobia darah-injeksi-cedera pada usia 9 tahun, fobia
dental pada usia 12 tahun, claustraphobia pada usia 20 tahun. Prevelensi
fobia khas pada populasi klinis lebih rendah dibandingkan agoraphobia dan
fobia sosial. Biasanya lebih mudah bagi penderita fobia khas untuk
menghindar dari stimulus fobia daripada pada penderita agorafobia dan
fobia sosial untuk menghindar dari berbagai situasi fobia. Sangat sedikit
orang dengan fobia khas mencari pertolongan profesional (<1%). 3

IV. ETIOLOGI
Fobia khas adalah beberapa grup gangguan yang tidak mungkin
memiliki etiologi dan patogenesis yang umum. Selain itu ada beberapa
etiologi dan faktor patogenesis yang sering berhubungan pada tipe yang
sama dari fobia. Sebagai contoh, fobia terhadap beberapa jenis hewan
mungkin bawaan, mempunyai komponen keturunan, atau muncul sebagai
hasil akibat trauma, pengamatan pembelajaran, dan/atau transmisi dari
informasi relevan.3
1. Faktor genetik. Pada satu studi famili telah ditemukan bahwa kerabat
keturunan pertama pada pasien dengan fobia khas memiliki faktor
resiko 3x lebih tinggi menderita fobia khas daripada kerabat keturunan
pertama dari subyek kontrol tanpa satupun gangguan psikiatri. Ada
beberapa indikasi dimana fobia darah-injeksi-cedera mempunyai sifat
keturunan yang lebih kuat dibandingkan tipe fobia khas lainnya.
2. Teori non-asosiatif. Meskipun teori ini (Menzies dan Clarke, 1995)
telah muncul dari studi psikologis faktor etiologi pada fobia khas,
secara implisit menunjukkan beberapa mekanisme biologis dalam
penyebab suatu jenis fobia khas. Hal ini menunjukkan bahwa fobia
bukan dipelajari tapi merupakan bawaan. Meskipun manusia siap
untuk takut dan menghindari stimulus seperti air, ketinggian, dan
sejenisnya, sebagian besar tidak berkembang menjadi fobia karena
habituasi, contohnya paparan berulang non-trauma dengan rangsangan
berpotensi fobia. Mereka yang berkembang menjadi fobia dikarenakan

3
habituasi yang tidak komplit, karena rasa takut mereka telah diperkuat
secara langsung atau tidak langsung oleh orang tua mereka, atau
sebagai akibat dari dishabituation dalam konteks stres.
3. Teori belajar. Dinyatakan dengan sangat luas, semua model fobia
khas berasal dari teori belajar mendalilkan bahwa manifestasi fobia
adalah konsekuensi dari proses pembelajaran. Ketakutan fobia dapat
diperoleh dari kondisi trauma, pengamatan terhadap reaksi emosional
dan perilaku orang lain, dan melalui transmisi informasi yang relevan.
Fobia dipertahankan dengan menghindari kondisi instrumental.
4. Faktor kognitif. Fobia khas ditemukan berkaitan dengan bias dalam
pengolahan informasi, khususnya bias dalam perhatian dan penilaian.
Keyakinan tertentu tentang stimulus fobia yang dipercaya berbahaya
dan keyakinan pada diri sendiri bahwa pasien tidak mampu mengatasi
kecemasan ketika berhadapan dengan objek yang mereka takuti
mungkin memainkan perang penting dalam mempertahankan fobia.
Hal ini penting untuk mengidentifikasi keyakinan dan menantang
mereka dalam pengobatan.

V. SUBTIPE FOBIA KHAS


Berdasarkan DSM-IV-TR ada 5 subtipe fobia khas3 :
1. Fobia terhadap hewan (laba-laba, serangga, anjing, kucing, ikan hiu,
buaya, dll)
Hanya minoritas pada hewan-hewan tersebut berbahaya, jadi faktor
yang lebih penting daripada dari bahaya adalah dalam menentukan
apakah hewan tertentu akan ditakuti dan dihindari dengan karakteristik
fobia. Faktor yang paling penting adanya perasaan jijik yang
ditimbulkan oleh beberapa hewan. Fobia terhadap hewan biasanya
terjadi pada masa kanak-kanak dan umum pada wanita.
2. Fobia terhadap lingkungan alami (takut akan badai, air, ketinggian)
Terlihat pada banyak pasien dengan fobia jenis ini, pasien dengan fobia
ketinggian dan air, tidak mempunyai sejarah kontak atau pengalaman
trauma dengan stimulus fobia. Hal ini menunjukkan bahwa fobia jenis

4
ini memiliki karakter bawaan. Tema utama pada fobia jenis ini adalah
bahaya yang berkaitan dengan stimulus fobia.
3. Fobia terhadap darah-injeksi-cedera
fobia jenis ini satu-satunya yang sebenarnya berkaitan dengan pingsan
sebagai akibat dari respon vasovagal terhadap fobia situasi yang terjadi.
Fobia jenis ini terkarakteristik oleh reaksi patofisiologi terhadap
stimulus fobia yang mempunyai 2 fase: setelah takikardia awal dan
takikardia jangka pendek, terdapat aktivasi parasimpatetik dan respon
vasovagal, dengan bradikardia dan hipotensi, dimana pada >75% kasus
sering mengakibatkan pingsan (vasovagal syncope). Subtipe fobia ini
memiliki familial komponen yang lebih kuat dibandingkan subtipe
fobia khas lainnya.
4. Fobia terhadap situasi tertentu (jembatan, penerbangan, mengemudi)
Fobia jenis ini pada umumnya mempunyai onset yang lebih lambat
dibandingkan subtipe fobia khas lainnya. Serangan panik tak terduga
sering terjadi pada pasien fobia jenis ini dibandingkan subtipe fobia
khas lainnya. Fobia jenis ini terbatas pada situasi khusus daripada
keseluruhan kelompok situasi pada agorafobia.
5. Lain-lain (fobia tersedak, fobia berbagai prosedur gigi, fobia terhadap
kehilangan keseimbangan/jatuh)

Karakteristik Subtipe Fobia Khas3 :

Karakteristik Fobia hewan Lingkungan Darah-injeksi- Situasional


alam cedera fobia

Serangan Masa kanak- Variabel Masa kanak- Masa remaja,


kanak kanak awal usia 20

Rasio wanita- Wanita > pria Wanita > pria Wanita = pria Wanita > pria
pria

Adanya Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada


serangan panik
tak terduga

5
Tema dominan, Kejijikan Penilaian bahaya Kejijikan, Takut akan gejala
masalah atau yang berlebihan khawatir akan fisik atau
isu pingsan serangan panik,
penilaian bahaya
yang berlebihan

Familial Kurang Kurang menonjol Lebih menonjol Kurang menonjol


komponen menonjol

Patofisiologi Tidak ada Tidak ada Ada Tidak ada


yang unik

VI. DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis fobia khas berdasarkan DSM-IV-TR2 :
1. Ketakutan yang signifikan dan menetap yang berlebihan atau tidak
beralasan, ditunjukkan oleh kehadiran atau antisipasi obyek spesifik
atau situasi ( penerbangan, ketinggian, hewan, menerima injeksi,
melihat darah).
2. Paparan terhadap stimulus fobia hampir selalu memprovokasi respon
kecemasan langsung yang dapat mengambil bentuk serangan panik
situasional terikat atau situasional cenderung. Catatan: pada anak-anak,
kecemasan mungkin diekspresikan dengan menangis, marah, membeku
atau menempel.
3. Orang tersebut mengakui bahwa ketakutannya berlebihan atau tidak
beralasan. Catatan: pada anak-anak, ciri ini mungkin absen.
4. Situasi fobia dihindari atau yang lain mengalami dengan kecemasan
yang intens atau penderitaan.
5. Penghindaran, cemas mengantisipasi, atau penderitaan pada situasi
menakutkan secara signifikan menganggu rutinitas orang normal,
fungsi pekerjaan (atau akademik), atau aktivitas sosial atau suatu
hubungan, atau terdapat penderitaan yang signifikan tentang adanya
fobia.
6. Pada individu dibawah usia 18 tahun, durasinya paling kurang 6 bulan.
7. Rasa cemas, serangan panik atau penghindaran fobia yang berkaitan
dengan obyek atau situasi spesifik sebaiknya tidak dijelaskan dengan
gangguan mental lainnya, seperti OCD, gangguan stres post-trauma,

6
fobia sosial, gangguan panik dengan agorafobia atau agorafobia tanpa
riwayat gangguan panik.

VII. DIAGNOSIS BANDING


Fobia khas secara primer dibedakan dari gangguan cemas lainnya oleh
batas sifat obyek yang ditakuti atau situasi dan oleh fokus ketakutan. Pada
Agorafobia, ketakutan dihasilkan oleh kekhawatiran dimana seseorang akan
mengalami serangan panik dan tidak mampu untuk melarikan diri atau akan
malu karena hal ini. Seseorang maka akan menghindari situasi dimana
serangan panik terjadi. Semenjak gangguan serangan panik terjadi secara
spontan, akhirnya orang tersebut akan memiliki beberapa tempat dimana
mereka merasa nyaman. Pada fobia sosial, fokusnya adalah sedang
dievaluasi oleh orang lain dan menyebabkan menghindar dari situasi sosial
dimana mereka merasa malu dan takut diteliti. Pada OCD, ketakutan yang
umum seperti kontaminasi atau penyakit, merugikan orang lain, perilaku
yang tidak pantas dan keamanan. Orang dengan OCD mungkin menghindari
situasi atau stimulus yang tampaknya memprovokasi obsesi-obsesi ini dan
atau dimana mereka akan terdorong untuk melakukan ritual. Pada gangguan
cemas umum, ada hadirnya ketakutan yang berlebihan dan kekhawatiran
tentang keadaan kehidupan nyata. Pada gangguan stres post-trauma, orang
dengan yang mempunyai pengalaman trauma dan menghindar adalah
pikiran atau situasi yang berkaitan pengalaman ini.7

VIII. PENATALAKSANAAN
8.1. Psikoterapi
Fobia khas adalah yang paling dapat diobati dari gangguan cemas.
Cognitive Behaviour Therapy dengan komponen paparan dianjurkan.
Hampir mustahil untuk mengobati fobia khas tanpa beberapa bentuk
terapi pemaparan; jika terapis dapat berhasil dalam negosiasi dengan
pasien bahwa mereka menggunakan paparan stimulus fobia, maka ini
akan sangat menguntungkan bagi mereka. Kombinasi terapi berbasis
paparan dan obat yang digunakan relatif jarang dan hanya dalam situasi
dimana itu jelas diperlukan. Paket perawatan CBT mencakup sejumlah

7
komponen, seperti psikoedukasi, latihan pernapasan, restrukturisasi
kognitif, latihan relaksasi, paparan kerentanan dan paparan situasional.
Latihan pernapasan termasuk mengajar pasien untuk bernapas dengan
diafragma dibandingkan pernapasan dada. Restrukturisasi kognitif
berfokus pada menantang keyakinan pasien terhadap bahaya dari
sensasi tubuh ( contoh, menantang keyakinan bahwa palpitasi berujung
ke serangan jantung). Paparan terhadap kerentanan melibatkan
dorongan sensasi takut tubuh untuk lebih mengajarkan pasien bahwa
sensasi tersebut tidak berbahaya. Paparan situasional melibatkan
aktivitas yang membawa pasien ke dalam situasi menakutkan seperti
pusat perbelanjaan, jembatan atau terowongan. 3,9
Fobia khas dinilai telah cukup efektif diobati dengan terapi
perilaku (Marks, 1987). Para behavioris yang terlibat dalam teknik
pengkondisian klasik percaya bahwa respon rasa takut fobia adalah
refleks yang diperoleh terhadap rangsangan yang tidak berbahaya.
Ketakutan yang normal terhadap rangsangan yang berbahaya, seperti
ular berbisa, sayangnya telah menjadi hal umum sebagai yang tidak
beracun juga. Jika orang tersebut harus terpapar stimulus tidak
berbahaya waktu ke waktu tanpa bahaya apapun yang dialami, respon
fobia secara bertahap akan hilang dengan sendirinya. Juga, hal ini
mengasumsikan bahwa orang tersebut tidak hanya mengalami stimulus
berbahaya selama jangka waktu yang sama. Dengan kata lain,
seseorang harus menjumpai hanya ular tidak beracun untuk jangka
waktu lama untuk kepunahan tersebut terjadi. Hal ini tidak mungkin
terjadi secara alami, sehingga terapi perilaku mengatur pengobatan
fobia yang melibatkan paparan terhadap stimulus fobia dalam
pengaturan yang aman dan terkendali. Foa dan Kozak (1986)
menyebutnya pengobatan eksposur, disebut demikian karena pasien
terpapar stimulus fobia sebagai bagian dari proses terapi. Salah satu
bentuk sederhana dari pengobatan adalah flooding, di mana orang itu
dibenamkan dalam refleks ketakutan hingga ketakutan itu sendiri

8
memudar. Beberapa reaksi fobia begitu kuat dimana flooding harus
dilakukan melalui imajinasi seseorang membayangkan stimulus fobia,
daripada melibatkan stimulus fobia itu sendiri.
Beberapa pasien tidak dapat menangani flooding dalam bentuk apapun,
sehingga teknik pengkondisian klasik alternatif yang digunakan disebut
counter-conditioning (Watson, 1924). Dalam bentuk ini, seseorang
dilatih untuk menggantikan respon relaksasi terhadap respon ketakutan
di hadapan stimulus fobia. Relaksasi tidak sesuai dengan perasaan takut
atau mengalami kecemasan, sehingga dikatakan bahwa respon relaksasi
melawan respon rasa takut. Counter-conditioning ini yang paling sering
digunakan dalam cara yang sangat sistematis untuk secara bertahap
memperkenalkan stimulus takut langkah demi langkah yang dikenal
sebagai desensitisasi sistematis, pertama kali digunakan oleh Joseph
Wolpe (1958). Desensitisasi ini melibatkan tiga langkah: (1) melatih
pasien untuk relaks secara fisik, (2) membangun hirarki rasa cemas dari
rangsangan yang terlibat, dan (3) relaksasi Counter-conditioning
sebagai respon terhadap setiap stimulus rasa takut yang dimulai pertama
dengan sedikit kecemasan- memprovokasi stimulus dan kemudian
bergerak ke stimulus kecemasan selanjutnya-memprovokasi stimulus
hingga semua hal yang terdaftar dalam hirarki kecemasan telah
ditangani dengan sukses. Instrumentasi Biofeedback telah sering
digunakan untuk memastikan bahwa pasien benar-benar relaks sebelum
menuju ke poin berikutnya yang lebih tinggi dalam hirarki kecemasan.
Beberapa indeks telah digunakan dalam pendekatan tambahan,
termasuk denyut nadi, laju respirasi, dan tanggapan elektrodermal.
Juga, desensitisasi sistematis dapat dipasangkan dengan modeling,
aplikasi disarankan oleh para teori belajar sosial. Dalam modeling,
pasien mengamati orang lain ("model") dalam kehadiran stimulus fobia
yang menanggapi dengan relaksasi bukan dengan takut. Dengan cara
ini, pasien didorong untuk meniru model dan dengan demikian
menghilangkan fobia mereka. Menggabungkan pemodelan hidup

9
dengan imitasi pribadi kadang-kadang disebut modeling participant
(Bernstein, 1997). Desensitisasi sistematis dalam berbagai bentuk telah
umum digunakan untuk mengobati fobia khas, dan dalam beberapa
kasus dapat dicapai dalam sesi terapi tunggal (Ot, 1989; Zinbarg &
lainnya,1992).12

8.2 Farmakoterapi.
Farmakoterapi sendiri bukan merupakan pengobatan pilihan untuk
fobia khas. Farmakoterapi mungkin digunakan jika pasien tidak bisa
mentolerasi pengobatan berbasis paparan atau tidak tertarik pada tipe
psikologis terapi lainnya. Farmakoterapi berguna dalam pengobatan
pasien dengan fobia khas yang juga mengalami serangan panik,
terutama serangan panik tak terduga. Berbagai macam jenis
farmakologis, seperti anti-anxietas, anti-depresi dan anti-histamin telah
digunakan pada gangguan cemas dan fobia pada masa kanak-kanak.
8.2.1 Benzodiazepines (Alprazolam, Dilazepam, Lonazepam dan
Lorazepam) menurunkan penghindaran rasa takut, tapi
memiliki sedikit efek pada gejala autonomik (hipotensi, mulut
kering, konstipasi, retensi urin, mata kabur). Pengunaan agen ini
pada fobia khas biasanya bertujuan menolong pasien untuk
terlibat dalam program paparan dan dalam kasus kondisi fobias
khas.
8.2.2 Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs: fluoxetine
dan paroxetine)
SSRI bekerja pada serotonin, neurotransmitter di otak yang
dipercaya dapat menaikkan mood dan memiliki efek samping
yang sangat minimal.
8.3.3 -adrenergic antagonists ditunjukkan mempunyai beberapa
efikasi dalam kinerja kecemasan; bagaimanapun, peresepan obat
ini harus diberikan dengan hati-hati karena efek samping
kardiopulmonari. Mereka merupakan kontraindikasi pada
asthma dan penyakit paru-paru kronik, bradikardia berat, dan AV
block dan relatif kontraindikasi pada diabeter mellitus. Sebelum

10
pemberian -adrenergic antagonists, ECG harus dilakukan.
Pada kasus pasien depresi dengan kinerja kecemasan, -
adrenergic antagonists yang larut lemak (propanolol) dapat
menyebabkan keadaan depresi, oleh karena itu lebih baik
memberikan -adrenergic antagonists yang larut air dengan
rendah efek samping pada sistem saraf pusat seperti atenolol.
8.3 Gabungan CBT dengan farmakoterapi.
8.3.1 Pengobatan simultan. Banyak dokter percaya bahwa
pengobatan yang optimal terdiri dari obat-obatan yang
dikombinasikan dengan beberapa bentuk intervensi psikososial.
Bukti menunjukkan bahwa keberhasilan CBT tidak meningkat
ketika dikombinasikan baik dengan diazepam atau alprazolam.
Pada kenyataannya, beberapa studi menemukan bahwa tingkat
efikasi terhadap paparan situasional memburuk ketika
alprazolam ditambahkan. Beberapa studi telah membandingkan
CBT dengan CBT kombinasi imipramine. Hasil ini juga telah
tercampur. Penambahan imipramine 150-300mg/hari baik
terhadap paparan situasional maupun CBT terkadang
meningkatkan hasil pengobatan dalam jangka pendek, asalkan
pasien mampu mentolerasi dosis. Demikian pula, studi terhadap
kombinasi CBT dengan SSRIs (fluvoxamine atau paroxetine)
menghasilkan hasil yang beragam, dengan beberapa studi
menemukan kombinasi tidak lebih baik daripada CBT. 11
8.3.2 Pengobatan berurutan. Jenis kombinasi terapi yang lebih
menjanjikan adalah pendekatan sekuensial, dimana pasien
diobati dengan farmakoterapi selama fase akut dan kemudian
diobati dengan CBT ketika fase obat telah selesai. Beberapa
studi menunjukkan bahwa penambahan CBT selama alprazolam
dan clonazepam sedang periode tapering menurunkan tingkat
kekambuhan terkait dengan obat-obatan ini. Masih harus
menunjukkan bahwa CBT dapat menurunkan tingkat
kekambuhan ketika pasien ditambahkan obat anti-panik lainnya

11
seperti SSRIs. Bagaimanapun, tidak ada alasan untuk
mengharapkan bahwa CBT tidak akan menolong dalam kasus
ini.11

Gambar 1. Strategi pengobatan 10

IX. PROGNOSIS
Prognosis fobia khas biasanya baik, karena mereka jarang memiliki
efek kelumpuhan pada fungsi.3

X.KESIMPULAN

12
Meskipun ketakutan pada masa kanak-kanak adalah bagian
perkembangan yang normal, minoritas yang signifikan pada anak-anak
menunjukkan dengan jelas ketakutan yang mengganggu fungsi mereka
(fobia khas pada DSM-IV). Ketakutan dan fobia yang khas memiliki
perilaku kognitif, fisiologikal, terbuka. Para pengembang DSM-IV
menguraikan 5 subtipe fobia khas: tipe hewan, tipe lingkungan alam, tipe
darah-injeksi-cedera, tipe situasional dan tipe lainnya. Anak fobia yang
dirujuk ke klinik pengobatan sering memiliki gangguan internalisasi
komorbid. Secara umum fobia khas sering ditemukan pada wanita dengan
rasio 2-2.5:1. Fobia hewan dan fobia darah-injeksi-cedera biasanya muncul
saat masa kanak-kanak, sedangkan fobia situasional terjadi pada masa
remaja,usia 20-an. Anak fobia mempunyai etiologi yang kompleks :
pengaruh genetik, psikopatologi orangtua, dan sejarah individu cenderung
berkumpul dalam perkembangan dan pemeliharaan reaksi fobia.3,6
Pengobatan fobia khas mungkin termasuk satu atau kombinasi dari
CBT (flooding, desensitisasi sistematis,counter-conditioning) dan obat-
obatan (Benzodiazepine, SSRI, -blocker). Sebagian besar penelitian selama
dekade terakhir pada pengobatan anak-anak fobia telah dilakukan dari
perspektif perilaku atau kognitif-perilaku. Meskipun ada perdebatan tentang
mekanisme yang mendasari pengurangan fobia, kita masih melihat eksposur
6
sebagai konseptualisasi yang berguna.

13
DAFTAR PUSTAKA
1. Specific Phobias (editorial). Beyondblue 2009:1-3.
2. Black B, Garcia AM, Freeman JB, Karitani M, Leonard HL.

Specific Phobia, Panic Disorder, Social Phobia, and Selective

Mutism.
3. Starcevic V. Anxiety Disorders in Adults: A Clinical Guide. 1 st ed.

Oxford University Press; 2005.


4. Fink G. Encyclopedia of Stress. 2nd ed. Scotland (UK): AP; 2007.
5. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan&Sadocks Synopsis of Psychiatry:

Behavioral Sciences/ Clinical Psychiatry. 10th ed. Lippincott

Williams&Wilkins; 2007.
6. King NJ, Muris P, Ollendick TH. Specific Phobia. In: Morris TL,

March JS, editors. Anxiety Disorders in Children and Adolescents.

2nd ed. New York: The Guilford Press; 2004.


7. Morrison AK. Specific Phobia. In: Kay J, editor. Psychiatry Board

Review Manual: Specific Phobia. Turner White Communications

2004; 8(pt 4):2.


8. Foa EB, Andrews LW. If Your Adolescent Has an Anxiety

Disorder: An Essential Resource for Parents. Oxford University

Press.
9. Pridmore S. Download of Psychiatry: Fear and Anxiety. University

of Tasmania; 2008.
10. Shiloh R, Stryjer R, Weizman A, Nutt D. Atlas of Psychiatric

Pharmacotherapy. 2nd ed. Taylor & Francis; 2006.


11. Kay J, Tasman A. Essentials of Psychiatry. England: Wiley; 2006.
12. Liebgold H. The Phobease Way: Curing Phobias, Shyness &

Obsessive Compulsive Disorder; 1997.

14

Anda mungkin juga menyukai