Anda di halaman 1dari 2

Antara Power & Trust

Gus Afif, seorang pengusaha yang mengawali kerajaan bisnisnya sedari muda, terlihat asyik dengan
gawainya, Apel Krowak keluaran terbaru, yang baru dirilis akhir tahun 2025 kemarin. Seperti biasa, pada
awal tahun ia tampak sibuk memperhitungkan pundi-pundi penghasilannya, dan tak lama berselang ia
melakukan transfer atas kekurangan pajak yang dihitungnya sendiri. Semuanya cukup dalam satu
genggaman, dalam sebuah aplikasi e-tax pajak versi terbaru. Dana bernilai ratusan juta dengan ikhlas dan
suka rela, ia bayarkan ke kas Negara. Gus Afif memang seorang Wajib Pajak yang patuh, yang memiliki
trust tinggi bahwa Negara akan dapat mengelola dananya dengan baik, sesuai dengan prinsip good
governance, dan bersih dari korupsi. Sebuah ilustrasi sekaligus harapan dari tiap Negara, bahwa rakyatnya
akan secara suka rela memenuhi kewajiban perpajakannya.

Terciptanya voluntary compliance agaknya memang merupakan sebuah final goal bagi sebuah Negara
dalam usahanya membangun Tax State. Dalam jurnal tahun 2007 berjudul Enforced vs Voluntary Tax
Compliance yang ditulis oleh Erick Kohler dengan slippery slope framework-nya yang termasyhur, di sana
dijelaskan bahwa meningkatkan power dan trust selalu menjadi isu utama dalam usaha meningkatkan
kepatuhan. Namun mana yang lebih penting? Meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan kekuatan
otoritas pajak ataukah dengan kepercayaan wajib pajak terhadap otoritas pajak, masih menjadi
perdebatan sampai saat ini. Dalam perspektif economics of crime, peningkatan kepatuhan pajak dapat
dilakukan jika otoritas pajak mempunyai kekuatan (power) dalam menegakkan peraturan. Sedangkan
menurut perspektif psikologi dan behavioral economics, peningkatan kepatuhan wajib pajak dapat
dilakukan jika kepercayaan (trust) wajib pajak terhadap otoritas pajak tinggi.

Power menyebabkan kepatuhan yang dipaksakan (enforced), sedangkan Trust menghasilkan kepatuhan
suka rela (voluntary). Baik power maupun trust, keduanya tidak dapat dipisahkan. Kombinasi power dan
trust yang tepat dapat secara efektif dapat meningkatkan kepatuhan. Hal ini sejalan dengan jurnal jurnal
selanjutnya yang memberi penegasan bahwa peningkatan trust dan power secara bersama merupakan
determinan penting dalam peningkatan kepatuhan. Berdasarkan penelitian lebih lanjut diketahui bahwa
peningkatan kepercayaan kepada Negara merupakan faktor utama dalam membentuk sebuah kepatuhan
suka rela.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut jurnal yang ditulis oleh Gangl, Hofmann, dan Kirchler (2015)
dijelaskan bahwa masalah utama di Negara berkembang adalah rendahnya power dan trust yang pada
akhirnya menyebabkan rendahnya level kepatuhan. Meningkatkan legitimasi dengan cara meningkatkan
pelayanan serta profesionalisme SDM, dan menyederhanakan tax procedure merupakan sebuah
keniscayaan di samping tentunya Negara terus mengedepankan prinsip-prinsip good governance.
Sebagaimana diketahui, dengan terciptanya good governance, rakyat akan secara suka rela membayarkan
pajaknya. Semua itu cukup berdasarkan asas kepercayaan.

Gus Afif menjalankan prinsip self assessment dengan baik dan suka rela. Sebagaimana telah diketahui
bahwa trust kepada Negara menjadi alasan utamanya. Agaknya itu semua baru bisa terjadi apabila
otoritas perpajakan Negara, DJP mampu secara simultan meningkatkan trust sekaligus power nya.
Pembinaan Wajib Pajak menjadi fundamental, baru setelah itu dikokohkan dengan law enforcement -
nya. Power dan trust butuh keseimbangan, butuh proporsi yang pas. Segala yang berlebihan memang
tidak baik bukan?

Anda mungkin juga menyukai