Anda di halaman 1dari 15

PRESENTASI KASUS

DERMATITIS KONTAK ALERGI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Bagian
Ilmu Kulit Kelamin di RSUD Dr. Tjitrowardojo Purwerejo

Disusun Oleh :
Nurul Istiqomah Zulma
20110310040

Diajukan Kepada :
dr. Yuli Sulistiyowati M.Sc, Sp.KK

SMF ILMU KULIT KELAMIN RSUD DR. TJITROWARDOJO PURWOREJO


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
ILMU KULIT KELAMIN

Disusun oleh:
Nurul Istiqomah Zulma
20110310040

Telah disetujui pada:


Maret 2017

Dokter Pembimbing

dr.Yuli Sulistiyowati, M.Sc, Sp.KK


BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon


terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritem, edema, papul, vesikel,
skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Dermatitis cenderung residif dan menjadi
kronis. Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar (eksogen) misalnya bahan
kimia (contoh detergen, asam, basa, oli, semen), fisik (contoh sinar dan suhu),
mikroorganisme (jamur, bakteri), dapat pula dari dalam misalnya dermatitis atopi.

Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi


yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu dermatitis
kontak iritan dan dermatitis kontak alergik keduanya dapat bersifat akut maupun
kronis. Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi peradangan kulit non-
imunologik, kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi.
Sebaliknya dermatitis kontak alergen merupakan dermatitis yang terjadi akibat
pajanan ulang dengan bahan dari luar yang bersifat haptenik atau antigenik yang
sama atau mempunyai struktur kimia yang serupa, pada kulit seseorang yang
sebelumnya telah tersensitasi. Reaksi alergik yang terjadi adalah reaksi
hipersensitivitas tipe IV menurut klasifikasi Coombs dan Gell dengan perantara
sel limfosit T. Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah DKA lebih sedikit karena
hanya mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka (hipersensitif).
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 62 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Tidak bekerja
Agama : Islam
Alamat : Ketangi RT 03 RW 03 Purwodadi
Tanggal Pemeriksaan : 6 Maret 2017

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Gatal pada kedua pergelangan kaki
Riwayat Penyakit Sekarang :
Gatal pada kedua pergelangan kaki dirasakan sejak 1 tahun yang lalu.
Gatal hilang timbul, tidak dipengaruhi makanan ataupun cuaca. Awalnya gatal
disertai muncul warna kemerahan pada pergelangan kaki yang sering terkena
bagian bawah celana panjang, kemudian karena sering digaruk, lama-kelamaan
kulit dirasa menebal, terasa kasar dan kering. Pasien belum pernah berobat
dengan keluhan tersebut.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Keluhan serupa (-), alergi (-), asma (-), DM (-), HT (-), pemakaian obat-
obatan lama (-).
Riwayat Penyakit Keluarga:
Asma (-), alergi (-), keluhan serupa (-)
Riwayat Personal Sosial:
Pasien sehari-hari tidak bekerja. Pasien biasa mandi dengan sabun batang.
Pakaian pasien sehari hari dicuci dengan menggunakan pewangi pakaian molto.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik, Compos mentis
Vital Sign
HR : 86 x/menit
RR : 20 x/menit
T : afebris

Pemeriksaan Dermatologi

Pada kedua pergelangan kaki tampak plak hiperpigmentasi dengan skuama putih
kasar di atasnya

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Usulan pemeriksaan uji tempel

E. DIAGNOSIS BANDING
Dermatitis Kontak Alergi
Dermatitis Kontak Iritan

F. DIAGNOSIS
Dermatitis Kontak Alergi ec Susp. Pewangi Pakaian

G. TATALAKSANA
Non-medikamentosa :
Pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab (pewangi
pakaian)
Medikamentosa :
Clobetasol propionate ointment 2 x ue

H. PROGNOSIS
Prognosis DKA umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat disingkirkan.
Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi bersamaan dengan
dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis), atau
terpajan oleh alergen yang tidak mungkin dihindar misalnya berhubungan dengan
pekerjaan terentu atau terdapat pada lingkungan penderita.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

DERMATITIS KONTAK ALERGI

A. DEFINISI

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon


terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritem, edema, papul, vesikel,
skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Dermatitis cenderung residif dan menjadi
kronis. Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar (eksogen) misalnya bahan
kimia (contoh detergen, asam, basa, oli, semen), fisik (contoh sinar dan suhu),
mikroorganisme (jamur, bakteri), dapat pula dari dalam misalnya dermatitis atopi.
Dermatitis kontak alergi merupakan dermatitis yang terjadi akibat pajanan
ulang dengan bahan dari luar yang bersifat haptenik atau antigenik yang sama
atau mempunyai struktur kimia yang serupa, pada kulit seseorang yang
sebelumnya telah tersensitasi. Reaksi alergik yang terjadi adalah reaksi
hipersensitivitas tipe IV menurut klasifikasi Coombs dan Gell dengan perantara
sel limfosit T.

B. EPIDEMIOLOGI

Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita


dermatitis kontak alergi lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang kulitnya
sangat peka (hipersensitif).

C. ETIOLOGI

Penyebab dermatitis kontak alergik adalah berupa bahan kimia sederhana


dengan berat molekul kurang dari 1000 Dalton. Dermatitis yang timbul
dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya
penetrasi di kulit.

D. PATOGENESIS
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi adalah
mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune
respons) atau reaksi tipe IV. Reaksi hipersensitivitas di kulit timbulnya lambat
(delayed hypersensitivit).

Fase sensitisasi

Alergen atau hapten diaplikasikan pada kulit dan diambil oleh sel
Langerhans. Antigen akan terdegradasi atau diproses dan terikat pada Human
Leucocyte Antigen-DR (HLADR), dan kompleks yang diekspresikan pada
permukaan sel Langerhans. Sel Langerhans akan bergerak melalui jalur limfatik
ke kelenjar regional, dimana akan terdapat kompleks yang spesifik terhadap sel T
dengan CD4-positif. Kompleks antigen-HLA-DR ini berinteraksi dengan reseptor
T-sel tertentu (TCR) dan kompleks CD3. Sel Langerhans juga akan mengeluarkan
Interleukin-1 (IL-1). Interaksi antigen dan IL-1 mengaktifkan sel T. Sel T
mensekresi IL-2 dan mengekspresikan reseptor IL-2 pada permukaannya. Hal ini
menyebabkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel T spesifik yang beredar di
seluruh tubuh dan kembali ke kulit. Fase ini bisa berlangsung selama 2-3 minggu.

Tahap elisitasi

Setelah seorang individu tersensitisasi oleh antigen, sel T primer atau


memori dengan antigen-TCR spesifik meningkat dalam jumlah dan beredar
melalui pembuluh darah kemudian masuk ke kulit. Ketika antigen kontak pada
kulit, antigen akan diproses dan dipresentasikan dengan HLA-DR pada
permukaan sel Langerhans. Kompleks akan dipresentasikan kepada sel T4
spesifik dalam kulit (atau kelenjar, atau keduanya), dan elisitasi dimulai.
Kompleks HLA-DR-antigen berinteraksi dengan kompleks CD3-TCR spesifik
untuk mengaktifkan baik sel Langerhans maupun sel T. Ini akan menginduksi
sekresi IL-1 oleh sel Langerhans dan menghasilkan IL-2 dan produksi IL-2R oleh
sel T. Hal ini menyebabkan proliferasi sel T. Sel T yang teraktivasi akan
mensekresi IL-3, IL-4, interferon-gamma, dan granulocyte macrophage colony-
stimulating factor (GMCSF). Kemudian sitokin akan mengaktifkan sel
Langerhans dan keratinosit. Keratinosit yang teraktivasi akan mensekresi IL-1,
kemudian IL-1 mengaktifkan phospolipase. Hal ini melepaskan asam arakidonik
untuk produksi prostaglandin (PG) dan leukotrin (LT). PG dan LT menginduksi
aktivasi sel mast dan dilatasi pembuluh darah secara langsung dan pelepasan
histamin yang melalui sel mast. Karena produk vasoaktif dan chemoattractant,
sel-sel dan protein dilepaskan dari pembuluh darah. Keratinosit yang teraktivasi
juga mengungkapkan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan HLA-DR,
yang memungkinkan interaksi seluler langsung dengan sel-sel darah. Fase
elisitasi, umumnya berlangsung antara 24-48 jam.

E. GEJALA KLINIS

Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada


keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritema berbatas
jelas, kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula
dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat
kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak
jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis;
mungkin penyebabnya juga campuran.

Berbagai lokalisasi terjadinya dermatitis kontak :

Tangan. Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling sering di
tangan, misalnya pada ibu rumah tangga. Demikian pula kebanyakan dermatitis
kontak akibat kerja ditemukan di tangan. Sebagian besar memang oleh karena
bahan iritan. Bahan penyebabnya misalnya deterjen, antiseptik, getah
sayuran/tanaman, semen, dan pestisida.

Lengan. Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam tangan
(nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman. Di aksila umumnya oleh
bahan pengharum.

Wajah. Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan kosmetik,
obat topikal, alergen yang di udara, nekel (tangkai kaca mata). Bila di bibir atau
sekitarnya mungkin disebabkan oleh lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.
Dermatitis di kelopak mata dapat disebabkan oleh cat kuku, cat rambut,
eyeshadows, dan obat mata.
Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis kontak
pada cuping telinga. Penyebab lain, misalnya obat topikal, tangkai kaca mata, cat
rambut, hearing-aids.

Leher. Penyebanya kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari ujung jari),
parfum, alergen di udara, zat warna pakaian.

Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh pakaian, zat warna,
kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, dan detergen.

Genitalia. Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut


wanita, dan alergen yang ada di tangan.

Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh
pakaian, dompet, kunci (nikel) di saku, kaos kaki nilon, obat topikal (misalnya
anestesi lokal, neomisin, etilendiamin), semen, dan sepatu.

F. DIAGNOSIS

Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan


klinis yang teliti. Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan
kelainan kulit yang ditemukan. Misalnya, ada kelainan kulit berupa lesi numular
di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi,
maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat
pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga
meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat
sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit
kulit yang pernah dialami, serta penyakit kulit pada keluarganya (misalnya
dermatitis atopik, psoriasis).

Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan


pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.
Misalnya, di ketiak oleh deodoran, di pergelangan tangan oleh jam tangan, dan di
kedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada seluruh
permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-
sebab endogen.
G. DIAGNOSIS BANDING

Dermatitis Kontak Iritan (DKI)


Dermatitis kontak iritan adalah dermatitis yang disebabkan oleh pajanan yang
bersifat kimiawi atau agen fisik terhadap kulit yang dapat mengiritasi pada kulit baik akut
maupun bersifat kronis. Iritasi yang hebat dapat disebabkan oleh reaksi toksik bahkan
setelah pajanan singkat. Dermatitis kontak iritan merupakan peradangan kulit non-
imunologik, dimana kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi.

Patogenesis DKI :
DKI merupakan dermatitis dengan mekanisme non alergi. Ada 3 bentuk
perubahan patofisiologi, yaitu kerusakan barrier kulit, kerusakan seluler epidermis, dan
pengeluaran sitokin. Dengan keluarnya sitokin pro inflamasi dari sel-sel kulit, terutama
keratinosit, menyebabkan inflamasi sebagai respon terhadap pajanan bahan-bahan iritan.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

UJI TEMPEL
Pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan apakah
dermatitis tersebut karena kontak alergi. Tempat untuk melakukan uji tempel
biasanya dipunggung. Untuk melakukan uji tempel diperlukan antigen standar
buatan pabrik, misal Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E.
Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya detergen, hanya boleh diuji
bila diduga keras penyebab alergi. Apabila sepatu, pakaian, atau sarung tangan
yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil
bahan tersebut yang direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan
pengawet, atau air, dan ditempelkan dikulit dengan memakai finn chamber,
dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel:
1. Dermatitis harus sudah tenang (sembuh) bila mungkin setelah 3 minggu.
Bila masih dalam keadaan akut atau berat dapat terjadi reaksi angryback
atau excited skin, reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan penyakit
yang sedang dideritanya bertambah buruk.
2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya 1 minggu setelah penghentian terapi
kortikosteroid sistemik, sebab dapat menghasilkan reaksi negative palsu.
3. Uji temple dibuka setelah 2 hari lalu dibaca, dan pembacaan kedua
dilakukan pada hari ke-3 sampai hari ke-7 setelah aplikasi pertama.
4. Penderita dilarang melakukan aktifitas yang dapat melonggarkan uji temple
(tidak menempel dengan baik) sehingga menghasilkan reaksi negatif palsu.
5. Uji temple dengan bahan standar jangan dilakukan pada penderita urtikaria
tipe dadakan karena dapat menyebabkan urtikaria generalisata atau bahkan
reaksi anafilaksis. Pada penderita ini dilakukan prosedur khusus.
Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji temple dilepas. Pembacaan pertama
dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang diuji telah
menghilang atau minimal. Hasilnya sebagai berikut:
1 = reaksi lemah (nonvesikuler): eritema, infiltrate, papul (+)
2 = reaksi kuat: edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim): bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan: hanya macula eritematosa
5 = iritasi: rasa seperti terbakar, pustul atau purpura
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skin; dipicu oleh hipersensitivitas kulit
8 = tidak di tes (NT; not tested)
Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai 1 minggu setelah aplikasi, biasanya 72
atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk membantu
membedakan antara respon alergi (crescendo/meningkat) atau iritasi (decrescendo/
menurun) dan mengidentifikasi lebih banyak lagi respon positif allergen.

I. PENATALAKSANAAN
Non-medikamentosa :
Edukasi pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab.
Medikamentosa :
Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi
peradangan pada DKA akut yang ditandai dengan eritema, edema, vesikel atau
bula, serta eksudatif, misalnya dengan pemberian Prednison 30 mg/hari.
Umumnya kelainan kulit akan mereda dalam beberapa hari. Sedangkan
kelainan kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam faal atau larutan air
salisil 1:1000.
Untuk DKA ringan atau DKA akut yang telah mereda (setelah mendapat
kortikosteroid sistemik), dapat diberikan kortikosteroid atau makrolaktam
(pimecrolimus atau tacrolimus) secara topikal.
,
J. PROGNOSIS
Prognosis DKA umumnya baik, sejauh bahan kontaktannya dapat
disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi bersamaan
dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopi, dermatitis numular, atau
psoriasis), atau terpajan oleh alergen yang tidak mungkin dihindari misalnya
berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat dilingkungan
penderita.
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, Prof.DR.Adhi, dkk, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 9. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009 : Hal 133-138
Irma D Mahadi Roseyanto, Ekzema dan dermatitis : Ilmu Penyakit Kulit. Harahap
M, Editor. Hipokrates Jakarta : 2000. Hal 7-9,22-26.
Amiruddin Dali, Ilmu Penyakit Kulit, Makassar: Bagian Ilmu Penyakit Kulit DAN
Kelamin Fakultas Kedokteran Hasanuddin, 2003: Hal 249-251.
th
Fitzpatrick TB et al, Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, 5 edition.
McGraw-Hill 2001: Hal 18-25, 42-43.
Siregar R.S, Editor. Dermatosis Eritroskuamosa in Atlas Berwarna Saripati Penyakit
th
Kulit 2 Ed. EGC : Jakarta : 2004. Hal 107-114.

Anda mungkin juga menyukai