Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
Bells palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat
unilateral, penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai oleh
gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal.(1)
Diagnosis biasanya ditegakkan bila semua penyebab yang mungkin telah
disingkirkan.(2)
Sir Charles Bell (1774-1842) adalah orang pertama yang meneliti tentang
sindroma kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti tentang distribusi dan
fungsi saraf fasialis. Oleh karena itu nama Bell diambil untuk diagnosis setiap
kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya.(2)
Insiden Bells palsy dilaporkan sekitar 40-70% dari semua kelumpuhan
saraf fasialis perifer akut.(3) Prevalensi rata-rata berkisar antara 1030 pasien per
100.000 populasi per tahun dan meningkat sesuai pertambahan umur. Insiden
meningkat pada penderita diabetes dan wanita hamil. Sekitar 8-10% kasus
berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini. (2)
Gejala Bells palsy dapat berupa kelumpuhan otot-otot wajah pada satu sisi
yang terjadi secara tiba-tiba beberapa jam sampai beberapa hari. Pasien juga
mengeluhkan nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah
walaupun tidak ada gangguan sensorik. Kadang- kadang diikuti oleh hiperakusis,
berkurangnya produksi air mata, hipersalivasi dan berubahnya pengecapan.
Kelum-puhan saraf fasialis dapat terjadi secara parsial atau komplit. Kelumpuhan
parsial dalam 17 hari dapat berubah menjadi kelumpuhan komplit.(2)
Tujuan penatalaksanaan Bells palsy adalah untuk mempercepat
penyembuhan, mencegah kelumpuhan parsial menjadi kelumpuhan komplit,
meningkatkan angka penyembuhan komplit, menurunkan insiden sinkinesis dan
kontraktur serta mencegah kelainan pada mata. Pengobatan seharusnya dilakukan
sesegera mungkin untuk mencegah pengaruh psikologi pasien terhadap
kelumpuhan saraf ini. Disamping itu kasus Bells palsy membutuhkan kontrol
rutin dalam jangka waktu lama.(4)

1
BAB II
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas Pasien
Nama : Ny. SW
Tanggal Lahir : 21 September 1983 (33 Tahun)
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Ulee Kareng
Agama : Islam
Suku : Aceh
Nomor CM : 0-89-74-32
Jaminan : BPJS
Tanggal Masuk : 6 Februari 2017
Tanggal Pemeriksaan : 6 Februari 2017

3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan Utama
Wajah merot ke kiri.

3.2.2 Keluhan Tambahan


Kelopak mata kiri terasa berat.

3.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poliklinik saraf RSUDZA dengan keluhan wajah merot ke
kiri sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Wajah merot ke kiri disertai
kelopak mata kiri terasa berat. Pada saat pasien minum air mengalir dari bibir
sebelah kiri. Pasien mengaku 1 bulan yang lalu mengeluhkan demam tinggi
selama 5 hari. Pada saat pemeriksaan, demam tidak dikeluhkan oleh pasien.
Tidak ada riwayat keluar cairan dari telinga kanan sebelumnya, tidak ada keluhan
gangguan pendengaran, pusing berputar, batuk dan pilek sebelumnya serta tidak
ada riwayat trauma,dan terpapar udara dingin.

3.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengeluhkan hal ini sebelumnya. Riwayat hipertensi
dan diabetes melitus tidak ada.

3.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama seperti ti

2
3.2.6 Riwayat Pemakaian Obat
Pasien hanya mengkonsumsi parasetemol pada saat demam.

3.2.7 Riwayat Kebiasaan Sosial


Pasien seorang ibu rumah tangga, aktifitas sehari hari membersihkan rumah.
Tidur malam cukup.

3.3 Vital Sign


Keadaan umum : Baik
GCS : E4M6V5
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 72x/menit, reguler
Pernapasan : 18 x/menit
Suhu : 36,90C
3.4 Pemeriksaan Fisik
a. Kulit
Warna : sawo matang
Turgor : kembali cepat
Parut/skar : tidak dijumpai
Sianosis : tidak dijumpai
Ikterus : tidak dijumpai
Pucat : tidak dijumpai

b. Kepala
Bentuk : normocephali
Rambut : hitam, sukar dicabut, distribusi merata.
Wajah : simetris
Mata : edema palpebrae (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera
ikterik (-/-), RCL (+/+), RCTL (+/+), pupil bulat isokor 3
mm/3 mm, lagoftalmus(-/+)
Telinga : normotia, serumen (-/-)
Hidung : sekret(-/-), nafas cuping hidung (-/-)

c. Mulut
Bibir : bibir kering (-), mukosa bibir lembab (), sianosis (-),

3
pucat (-)
Lidah : Atrofi papil (-)
Tonsil : T1/T1, hiperemis (-)
Faring : hiperemis (-), asimetris

d. Leher
Trakhea : terletak ditengah
KGB : pembesaran KGB (-)
Kelenjar tiroid : tidak teraba membesar.
Kelenjar limfe : tidak teraba membesar.
TVJ : R 2cmH2O

e. Thoraks
1. Inspeksi
Bentuk dan Gerak : Normochest, pergerakan simetris
Tipe Pernafasan : Thorako-abdominal
Retraksi : (-)

4
2. Palpasi

Stem Fremitus Paru kanan Paru kiri


Lap. Paru atas dbn dbn
Lap. Paru tengah dbn dbn
Lap. Paru bawah dbn dbn
3. Perkusi
Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Sonor Sonor
Lap. Paru tengah Sonor Sonor
Lap. Paru bawah Sonor Sonor
4. Auskultasi
Suara Pokok Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru tengah Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru bawah Vesikuler Vesikuler
Suara Tambahan Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru tengah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru bawah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh(-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis sulit dinilai
Perkusi : Batas-batas jantung
Atas : ICS III, linea midclavicularis sinistra.
Kiri : ICS V, linea midklavikula sinistra.
Kanan : ICS V, linea parasternal dextra.
Auskultasi : BJ I > BJ II, reguler (), bising (-).

f. Abdomen
Inspeksi : Simetris, venektasi (-)
Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik usus 4x/menit

g. Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan.

5
h. Ekstremitas
Superior : ikterik (-/-), edema (-/-), pucat (-/-), akral hangat, CRT <2.
Inferior : ikterik (-/-), edema (-/-), pucat (-/-), akral hangat, CRT <2.

3.1. Status Neurologis


GCS : E4 M6 V5
Pupil : Isokor, bulat, ukuran 3 mm/3 mm
Reflek Cahaya : Langsung (+ /+), tidak langsung (+/+)
Rangsang meningeal
Kaku Kuduk : (-)
Tanda Kernig : (-)
Tanda Laseque : (-)
Tanda brudzinski I : (-)
Tanda brudzinski II : (-)
Tanda brudzinski III : (-)
Tanda brudzinski IV : (-)

Peningkatan tekanan intrakranial


Muntah : (-)
Sakit kepala : (-)
Kejang : (-)

Pemeriksaan Nervus Cranialis


Kelompok Optik Kanan
Kiri
Nervus II (visual)
- Visus 6/6 6/6
- Lapangan pandang normal normal
- Melihat warna normal normal
Nervus III (otonom)
- Ukuran 3 mm
3 mm

6
- Bentuk Pupil bulat bulat
- Reflek cahaya positif positif
- Nistagmus negatif negatif
- Strabismus negatif negatif
Nervus III, IV, VI (gerakan okuler)
- Lateral dalam batas normal dalam batas normal
- Atas dalam batas normal dalam batas normal
- Bawah dalam batas normal dalam batas normal
- Medial dalam batas normal dalam batas normal
- Diplopia negatif negatif

Kelompok Motorik
Nervus V (fungsi motorik)
- Membuka Mulut : trismus (-)
- Menggigit dan mengunyah : normal
Nervus VII (fungsi motorik)
- Mengerutkan dahi : asimetris
- Menutup Mata : asimetris
- Menggembungkan pipi : asimetris
- Memperlihatkan gigi : asimetris
- Sudut bibir : asimetris
Nervus IX (fungsi motorik)
- Bicara : Sulit untuk berbicara
- Menelan : baik
Nervus XI (fungsi motorik)
- Mengangkat bahu : Dalam batas normal
- Memutar kepala : Dalam batas normal
Nervus XII (fungsi motorik)
- Artikulasi lingualis : Baik
- Menjulurkan lidah : Baik

Kelompok Sensoris
Nervus I (penciuman) : Baik
Nervus V (sensasi wilayah) : Baik

7
Nervus VII (pengecapan) : Tidak dilakukan
Nervus VIII (pendengaran) : Tidak dilakukan

Badan
Motorik
- Gerakan Respirasi : Thorakoabdominal
- Gerakan Columna Vertebralis : Simetris
- Bentuk Columna Vertebralis : Simetris
Sensibilitas
- Rasa Suhu : Dalam batas normal
- Rasa nyeri : Dalam batas normal
- Rasa Raba : Dalam batas normal

Anggota Gerak Atas


Motorik 5555/5555
Refleks Kanan Kiri
- Bisceps ++ ++
- Trisceps ++ ++

Anggota Gerak Bawah


Motorik 5555/5555
Refleks Kanan Kiri
- Patella +++ ++
- Achilles +++ ++
- Babinski negatifnegatif
- Chaddok negatifnegatif
- Gordon negatifnegatif
- Oppenheim negatifnegatif
- Schaefer negatif negatif
- Hoffman-Tromner negatif negatif

Sensibilitas
- Rasa suhu : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Rasa nyeri : Baik

8
- Rasa raba : Baik

3.6 Pemeriksaan Penunjang


Tidak dilakukan

3.7 Diagnosis Kerja


Diagnosis Klinis : Parese Nervus VII perifer sinistra
Diagnosis Topis : Nervus VII
Diagnosis Etiologi : Bells Palsy

3.8 Penatalaksanaan
Non-farmakologis:
1. Istirahat yang cukup
2. Perawatan mata
3. Fisioterapi
Farmakologis:
1. Prednison 60mg per hari untuk 5 hari
2. Acyclovir 400mg 5x sehari untuk 7 hari

3.9 Prognosis
Quo at Vitam : Dubia ad Bonam
Quo at Sanactionam : Dubia ad Bonam
Quo at functionam : Dubia ad Bonam

9
BAB III
ANALISIS KASUS

Telah dilakukan pemeriksaan terhadap perempuan 33 tahun dengan keluhan


wajah merot ke kiri. Menurut Holland di Inggris insiden Bells palsy terjadi pada
20/100.000 orang per tahun dengan usia terbanyak adalah 1540 tahun dan tidak
terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan.(5) Berbeda dengan penelitian
Tsai dkk pada tahun 2009 di Taiwan melaporkan bahwa insiden Bells palsy juga
terdapat pada anak berusia 3 bulan 18 tahun, anak perempuan lebih banyak
dibanding anak laki-laki (rasio 1,4 : 1) dan banyak terjadi pada musim dingin
dibanding musim panas.(6)
Pada pasien ini, penyebab kelumpuhan saraf fasialis tidak diketahui
(idiopatik). Tiemstra dkk mengatakan bahwa Bells palsy disebabkan oleh
inflamasi saraf fasialis pada ganglion genikulatum sehingga menyebabkan
kompresi, iskemia dan demielinasi saraf. Terdapat beberapa teori yang telah
dikemukakan, yaitu teori iskemik vaskuler dan teori infeksi virus.(7)(8)
1. Teori iskemik vaskuler
Teori ini dikemukakan oleh Mc Groven pada tahun 1955 yang menyatakan
bahwa adanya ketidakstabilan otonomik dengan respon simpatis yang
berlebihan. Hal ini menyebabkan spasme pada arteriol dan stasis pada vena di
bagian bawah kanalis spinalis. Vasospasme ini menyebabkan iskemik dan
terjadinya oedem. Hasilnya adalah paralisis flaksid perifer dari semua otot
yang melayani ekspresi wajah.
2. Teori infeksi virus
Teori ini menyatakan bahwa beberapa penyebab infeksi yang dapat ditemukan
pada kasus paralisis saraf fasialis adalah otitis media, meningitis bakteri,
penyakit lime, infeksi HIV, dan lainnya. Pada tahun 1972 McCromick
menyebutkan bahwa pada fase laten HSV tipe 1 pada ganglion genikulatum
dapat mengalami reaktivasi saat daya tahan tubuh menurun. Adanya reaktivasi
infeksi ini menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi dan edema saraf fasialis,
sehingga saraf terjepit dan terjadi kematian sel saraf karena saraf tidak
mendapatkan suplai oksigen yang cukup. Pada beberapa kasus yang ringan
hanya terdapat kerusakan selubung myelin saraf.

10
3. Teori kombinasi
Teori ini dikemukakan oleh Zalvan yang menyatakan bahwa kemungkinan
Bells palsy disebabkan oleh suatu infeksi atau reaktivasi virus Herpes
Simpleks dan merupakan reaksi imunologis sekunder atau karena proses
vaskuler sehingga menyebabkan inflamasi dan penekanan saraf perifer
ipsilateral.
Bells palsy dapat disebabkan oleh beberapa hal lainnya seperti iklim atau
faktor meteorologi seperti suhu, kelembaban, dan tekanan barometrik. Beberapa
studi menyebutkan bahwa pasien sebelumnya merasakan wajahnya dingin atau
terkena dingin sebelum onset bells palsy muncul. Suhu dingin di salah satu
bagian wajah dapat menyebabkan iritasi nervus fasialis (N.VII). Data
eksperimental yang paling mendukung dalam patofisiologi penyakit ini adalah
hipotesis suhu rendah. Selain itu reaktivasi HSV yang merupakan salah satu
teori terjadinya bells palsy juga berhubungan dengan perbedaan iklim antar
negara dan polusi dari atmosfer. Selain itu stress, kehamilan, diabetes juga dapat
memicu munculnya bells palsy. (9)
Kelumpuhan saraf fasialis pada pasien ini masih dalam fase akut, yaitu
terjadi sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Menurut Yanagihara dkk
berdasarkan studi yang dilakukannya terhadap etiologi, derajat, sisi lesi dan
progresivitas inflamasi saraf fasialis, Bells palsy dibedakan dalam 3 fase yaitu:
(9)
Fase akut (0-3 minggu) Inflamasi saraf fasialis berasal dari ganglion
genikulatum, biasanya akibat infeksi virus Herpes Simpleks (HSV). Inflamasi ini
dapat meluas ke bagian proximal dan distal serta dapat menyebabkan edema saraf.
Fase sub akut (4-9 minggu) Inflamasi dan edema saraf fasialis mulai berkurang.
Fase kronik (> 10 minggu) Edema pada saraf menghilang, tetapi pada beberapa
individu dengan infeksi berat, inflamasi pada saraf tetap ada sehingga dapat
menyebabkan atrofi dan fibrosis saraf.
Dalam penatalaksanaan Bells palsy pada pasien ini diberikan kortikosteroid
dan antiviral. Tiemstra dkk mengatakan bahwa, kortikosteroid sangat bermanfaat
dalam mencegah degenerasi saraf, mengurangi sinkinesis, meringankan nyeri dan
mempercepat penyembuhan inflamasi pada saraf fasialis sedangkan Acyclovir

11
diberikan untuk menghambat replikasi DNA virus. Pada pasien ini kortikosteroid
kita berikan pada hari kedua onset penyakit dengan dosis 60 mg/hari dibagi dalam
4 dosis. Menurut Engstrom dkk Prednison dimulai dengan dosis 60 mg/hari
selama 5 hari dan diturunkan 10 mg/hari dalam 5 hari berikutnya (total pemberian
prednison 10 hari). (10)
Untuk antiviral dapat digunakan Acyclovir atau obat jenis lainnya seperti
Valaciclovir, Famciclovir dan Sorivudine yang mempunyai bioavailabilitas yang
lebih baik dari Acyclovir. Dosis Acyclovir diberikan 400 mg 5 kali sehari selama
10 hari atau Valaciclovir 500 mg 2 kali sehari selama 5 hari. Jika penyebabnya
diduga virus herpes zoster, maka dosis Acyclovir di naikan menjadi 800 mg 5 kali
sehari atau Valaciclovir 1 gram 2 kali sehari.11 Kombinasi penggunaan
kortikosteroid dan Antiviral oral memberikan hasil yang lebih baik daripada
penggunaan kortikosteroid oral saja dan akan lebih baik bila terapi diberikan
dalam 72 jam pertama. Studi lain juga mengatakan bahwa tidak terdapat
perbedaan lama penyembuhan antara pemberian obat-obatan ini secara oral atau
intravena. (11)
Disamping terapi obat-obatan, pada kasus ini juga dilakukan perlindungan
mata. Perawatan mata tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kekeringan
pada kornea karena kelopak mata yang tidak dapat menutup sempurna dan
produksi air mata yang berkurang. Perawatan ini dapat dilakukan dengan
menggunakan artificial tear solution pada waktu pagi dan siang hari dan salep
mata pada waktu tidur. Pasien juga dianjurkan menggunakan kacamata bila keluar
rumah. Bila telah terjadi abrasi kornea atau keratitis, maka dibutuhkan
penatalaksanaan bedah untuk melindungi kornea seperti partial tarsorrhaphy.
Pada kasus ini mendapatkan fisioterapi. Fisioterapi dapat dilakukan pada
stadium akut atau bersamaan dengan pemberian kortikosteroid. Tujuan fisioterapi
adalah untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Caranya yaitu dengan
memberikan radiasi sinar infra red pada sisi yang lumpuh dengan jarak 2 ft (60
cm) selama 10 menit. Terapi ini diberikan setiap hari sampai terdapat kontraksi
aktif dari otot dan 2 kali dalam seminggu sampai tercapainya penyembuhan yang
komplit. Disamping itu juga dapat dilakukan massage pada otot wajah selama 5
menit pagi dan sore hari atau dengan faradisasi.(12) Terapi pembedahan pada

12
kasus Bells palsy masih kontroversi. Terapi dekompresi saraf fasialis hanya
dilakukan pada kelumpuhan yang komplit atau hasil pemeriksaan
elektroneurography (ENoG) menun jukan penurunan amplitudo lebih dari 90%.
Karena lokasi lesi saraf fasialis ini sering terdapat pada segmen labirin, maka pada
pembedahan digunakan pendekatan middle fossa subtemporal craniotomy
sedangkan bila lesi terdapat pada segmen mastoid dan timpani digunakan
pendekatan transmastoid. (13)

13
BAB IV
KESIMPULAN

Bells palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat
unilateral, penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai oleh
gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal. Insiden
Bells palsy dilaporkan sekitar 40-70% dari semua kelumpuhan saraf fasialis
perifer akut. Terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan, yaitu teori iskemik
vaskuler dan teori infeksi virus. Dalam penatalaksanaan Bells palsy diberikan
terapi kortikosteroid dan antiviral. Perlindungan mata dan fisioterapi dengan
menggunakan inframerah juga sangat penting dalam tatalaksana non farmakologi
dari bells palsy.

DAFTAR PUSTAKA

1. Vrabec JT, Coker NJ. Acute Paralysis of Facial Nerve in: Bailey BJ,
Johnson JT, Newland SD, editors. Head &NeckSurgery-

14
Otolaryngology.4th Ed. Lippincott Williams & Wilkins; Texas; 2006. P.
2139-54
2. Singhi P, Jain V. Bells Palsy in Children. Seminar in Pediatric
Neurotology.2003; 10(4): 289-97
3. Marsk E,Hammarstedt L,Berg et al. Early Deterioration in Bells Palsy :
Prognosis and Effect of Prednisolone. Otology & Neurotology. 2010; 31:
1503-07
4. Cawthorne T. The Pathology and Surgical Treatment of Bells Palsy in:
Section of Otology. Proceeding of the Royal Society of Medicine. 1950;44
: 565-72.
5. Rath B, Linder T, Cornblath D. All That Palsies is not Bells The Need to
Define Bells Palsy as an Adverse event following immunization. Elsevier.
2007; 26: 1- 14
6. Gilden DH. Bells Palsy. N Engl J Med. 2004; 351: p 1323-31
7. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bells Palsy: Diagnosis and Management.
American Family Physician. 2007;76(7): 997-1002
8. Dalhar, M. dan Kurniawan, S.N. 2010. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Staf Medis Fungsional Neurologi. Malang : RSUD Dr.Saiful Anwar/FKUB
9. Yeo SW, Lee DH, Jun BC et al. Analysis of Prognostic factor in Bells
Palsy and Ramsay Hunt Syndrome. Auris Nasus Larynx, vol 34. 2007:
159-1643 29; 2004 :553 557.
10. Desatnik AS, Skoog E, Aurelius E. Detection of Herpes Simplex and
Varicella-Zoster in Patient With Bells Palsy by the Polymerase Chain
Reaction technique.Annals of Otology, rhinology &
Laryngology.2006;115(4): 306-11
11. Engstrom M, Berg T, Stjernquist A, et al. Prednisolone and Valaciclovir in
Bells Palsy : a Randomized, Double-Blind,PlaceboControlled,Multicentre
Trial. Lancet Neurol. 2008;7: 993-1000
12. Mosforth J, Taverner D. Physiotherapy for Bells Palsy. British Medical
Journal.1958;13: 675-7
13. Chen WX, Wong V. Prognosis of Bells Palsy in Children-Analysis of 29
cases. Brain & Development, vol 27. 2005: 504-8

15
16

Anda mungkin juga menyukai