Anda di halaman 1dari 29

Pasal 102

1) Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan


psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter
atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan.
2) Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 103
(1) Setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan,
dan menggunakan narkotika dan psikotropika wajib memenuhi
standar dan/atau persyaratan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai produksi, penyimpanan, peredaran, serta
penggunaan narkotika dan psikotropika sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 104
(1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang
disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau
keamanan dan/atau khasiat/kemanfaatan.
(2) Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara
rasional.

Pasal 105
(1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus
memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar
lainnya.
(2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika
serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan/atau
persyaratan yang ditentukan.

Pasal 106
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan
setelah mendapat izin edar.
(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan
harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta
tidak menyesatkan.
(3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan
penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan
yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak
memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau
kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 107
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi
dan alat kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 108
1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas
resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan
obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam Belas


Pengamanan Makanan dan Minuman

Pasal 109
Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi,
mengolah, serta mendistribusikan makanan dan minuman yang
diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil teknologi
rekayasa genetik yang diedarkan harus menjamin agar aman
bagi manusia, hewan yang dimakan manusia, dan lingkungan.

Pasal 110
Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi dan
mempromosikan produk makanan dan minuman dan/atau yang
diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil olahan
teknologi dilarang menggunakan kata-kata yang mengecoh
dan/atau yang disertai klaim yang tidak dapat dibuktikan
kebenarannya.

Pasal 111
(1) Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat
harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan.
(2) Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah
mendapat izin edar sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda
atau label yang berisi:
a. Nama produk;
b. Daftar bahan yang digunakan;
c. Berat bersih atau isi bersih;
d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau
memasukan makanan dan minuman kedalam wilayah
Indonesia; dan
e. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa.
(4) Pemberian tanda atau label sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus dilakukan secara benar dan akurat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian label
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan
standar, persyaratan kesehatan, dan/atau membahayakan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk
diedarkan, ditarik dari
peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk dimusnahkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 112

Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab mengatur dan


mengawasi produksi, pengolahan, pendistribusian makanan, dan
minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109, Pasal 110,
dan Pasal 111.

Bagian Ketujuh Belas


Pengamanan Zat Adiktif

Pasal 113
1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat
adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan
kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan,
dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat
menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat
sekelilingnya.
3) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang
mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau
persyaratan yang ditetapkan.

Pasal 114

Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke


wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan.

Pasal 115

(1) Kawasan tanpa rokok antara lain:


a. fasilitas pelayanan kesehatan;
b. tempat proses belajar mengajar;
c. tempat anak bermain;
d. tempat ibadah;
e. angkutan umum;
f. tempat kerja; dan
g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
(2) Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di
wilayahnya.

Pasal 116

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan bahan yang


mengandung zat adiktif ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Kedelapan Belas


Bedah Mayat

Pasal 117

Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung


sirkulasi dan sistem pernafasan terbukti telah berhenti secara
permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat
dibuktikan.

Pasal 118
1) Mayat yang tidak dikenal harus dilakukan upaya
identifikasi.
2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
bertanggung jawab atas upaya identifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya identifikasi mayat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.

Pasal 119

(1) Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan


kesehatan dapat dilakukan bedah mayat klinis di rumah sakit.
(2) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditujukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau menyimpulkan
penyebab kematian.
(3) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan atas persetujuan tertulis pasien semasa hidupnya atau
persetujuan tertulis keluarga terdekat pasien.
(4) Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang
membahayakan masyarakat dan bedah mayat klinis mutlak
diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau penyebab
kematiannya, tidak diperlukan persetujuan.

Pasal 120

(1) Untuk kepentingan pendidikan di bidang ilmu kedokteran dan


biomedik dapat dilakukan bedah mayat anatomis di rumah sakit
pendidikan atau di institusi pendidikan kedokteran.
(2) Bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilakukan terhadap mayat yang tidak dikenal atau
mayat yang tidak diurus oleh keluarganya, atas persetujuan
tertulis orang tersebut semasa hidupnya atau persetujuan
tertulis keluarganya.
(3) Mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah
diawetkan, dipublikasikan untuk dicarikan keluarganya, dan
disimpan sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sejak kematiannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bedah mayat anatomis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 121

(1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat
dilakukan oleh dokter sesuai dengan keahlian dan
kewenangannya.
(2) Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis dan bedah
mayat anatomis ditemukan adanya dugaan tindak pidana,
tenaga kesehatan wajib melaporkan kepada penyidik sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 122
(1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah
mayat forensik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Bedah mayat forensik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh dokter ahli forensik, atau oleh dokter lain apabila
tidak ada dokter ahli forensik dan perujukan ke tempat yang ada
dokter ahli forensiknya tidak dimungkinkan. (3) Pemerintah dan
pemerintah daerah bertanggung jawab atas tersedianya
pelayanan bedah mayat forensik di wilayahnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bedah mayat
forensik diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 123
(1) Pada tubuh yang telah terbukti mati batang otak dapat dilakukan
tindakan pemanfaatan organ sebagai donor untuk kepentingan
transplantasi organ.
(2) Tindakan pemanfaatan organ donor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan kematian dan
pemanfaatan organ donor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 124
Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan
sesuai dengan norma agama, norma kesusilaan, dan etika
profesi.
Pasal 125
Biaya pemeriksaan kesehatan terhadap korban tindak pidana
dan/atau pemeriksaan mayat untuk kepentingan hukum
ditanggung oleh pemerintah melalui APBN dan APBD.

BAB VII
KESEHATAN IBU, BAYI, ANAK, REMAJA, LANJUT USIA, DAN
PENYANDANG CACAT
Bagian Kesatu
Kesehatan ibu, bayi, dan anak

Pasal 126
(1) Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan
ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan
berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu.
(2) Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
(3) Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat dan
obat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu secara
aman, bermutu, dan terjangkau.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan ibu diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 127

(1) Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan


oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang
bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum
berasal;
b. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian
dan kewenangan untuk itu; dan
c. pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan di luar cara alamiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 128

(1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak
dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.
(2) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi
secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
(3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diadakan di tempat kerja dan tempat sarana umum.

Pasal 129
(1) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan dalam
rangka menjamin hak bayi untuk mendapatkan air susu ibu
secara eksklusif.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 130

Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap


bayi dan anak.

Pasal 131

(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan


untuk mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat,
cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian
bayi dan anak.
(2) Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih
dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai
berusia 18 (delapan belas) tahun.
(3) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menjadi tanggung jawab
dan kewajiban bersama bagi orang tua, keluarga, masyarakat,
dan Pemerintah, dan pemerintah daerah.
Pasal 132
(1) Anak yang dilahirkan wajib dibesarkan dan diasuh secara
bertanggung jawab sehingga memungkinkan anak tumbuh dan
berkembang secara sehat dan optimal.
(2) Ketentuan mengenai anak yang dilahirkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(3) Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan
ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya penyakit
yang dapat dihindari melalui imunisasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis-jenis imunisasi dasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 133
(1) Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari
segala bentuk diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat
mengganggu kesehatannya.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat berkewajiban
untuk menjamin terselenggaranya perlindungan bayi dan anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyediakan
pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 134
(1) Pemerintah berkewajiban menetapkan standar dan/atau kriteria
terhadap kesehatan bayi dan anak serta menjamin
pelaksanaannya dan memudahkan setiap penyelenggaraan
terhadap standar dan kriteria tersebut.
(2) Standar dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus diselenggarakan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai
agama, dan berdasarkan ketentuan peraturan
perundangundangan.
Pasal 135
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib
menyediakan tempat dan sarana lain yang diperlukan untuk
bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh dan
berkembang secara optimal serta mampu bersosialisasi secara
sehat.
(2) Tempat bermain dan sarana lain yang diperlukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi sarana perlindungan
terhadap risiko kesehatan agar tidak membahayakan kesehatan
anak.
Bagian Kedua Kesehatan Remaja
Pasal 136
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja harus ditujukan untuk
mempersiapkan menjadi orang dewasa yang sehat dan
produktif, baik sosial maupun ekonomi.
(2) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) termasuk untuk reproduksi remaja dilakukan agar
terbebas dari berbagai gangguan kesehatan yang dapat
menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi
secara sehat.
(3) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat.
Pasal 137
(1) Pemerintah berkewajiban menjamin agar remaja dapat
memperoleh edukasi, informasi, dan layanan mengenai
kesehatan remaja agar mampu hidup sehat dan bertanggung
jawab.
(2) Ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah dalam menjamin
agar remaja memperoleh edukasi, informasi dan layanan
mengenai kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan pertimbangan moral nilai agama
dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Kesehatan Lanjut Usia dan Penyandang Cacat
Pasal 138
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus ditujukan
untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara
sosial maupun ekonomis sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan memfasilitasi kelompok lanjut usia untuk dapat
tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis.
Pasal 139
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus
ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif
secara sosial, ekonomis, dan bermartabat.
(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat
tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis.
Pasal 140
Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia dan penyandang
cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 dan Pasal 139
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat.

BAB VIII GIZI


Pasal 141
(1) Upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk peningkatan
mutu gizi perseorangan dan masyarakat.
(2) Peningkatan mutu gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui :
a. perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi
seimbang;
b. perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan kesehatan;
c. peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai
dengan kemajuan ilmu dan teknologi; dan
d. peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat bersama-
sama menjamin tersedianya bahan makanan yang mempunyai
nilai gizi yang tinggi secara merata dan terjangkau.
(4) Pemerintah berkewajiban menjaga agar bahan makanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memenuhi standar mutu
gizi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Penyediaan bahan makanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan secara lintas sektor dan antarprovinsi,
antarkabupaten atau antarkota.
Pasal 142
(1) Upaya perbaikan gizi dilakukan pada seluruh siklus kehidupan
sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut usia dengan
prioritas kepada kelompok rawan:
a. bayi dan balita;
b. remaja perempuan; dan
c. ibu hamil dan menyusui.
(2) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan standar angka
kecukupan gizi, standar pelayanan gizi, dan standar tenaga gizi
pada berbagai tingkat pelayanan.
(3) Pemerintah bertanggung jawab atas pemenuhan kecukupan gizi
pada keluarga miskin dan dalam situasi darurat.
(4) Pemerintah bertanggung jawab terhadap pendidikan dan
informasi yang benar tentang gizi kepada masyarakat.
(5) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan
upaya untuk mencapai status gizi yang baik.
Pasal 143
Pemerintah bertanggung jawab meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya
terhadap peningkatan status gizi.

BAB IX
KESEHATAN JIWA
Pasal 144
(1) Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang
dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari
ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu
kesehatan jiwa.
(2) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif pasien
gangguan jiwa dan masalah psikososial.
(3) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat.
(4) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung
jawab menciptakan kondisi kesehatan jiwa yang setinggi-
tingginya dan menjamin ketersediaan, aksesibilitas, mutu dan
pemerataan upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud
dalam pada ayat (2).
(5)Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk
mengembangkan upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat
sebagai bagian dari upaya kesehatan jiwa keseluruhan,
termasuk mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan jiwa.
Pasal 145
Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin
upaya kesehatan jiwa secara preventif, promotif, kuratif, dan
rehabilitatif, termasuk menjamin upaya kesehatan jiwa di tempat
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (3).
Pasal 146
(1) Masyarakat berhak mendapatkan informasi dan edukasi yang
benar mengenai kesehatan jiwa.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk
menghindari pelanggaran hak asasi seseorang yang dianggap
mengalami gangguan kesehatan jiwa.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban menyediakan
layanan informasi dan edukasi tentang kesehatan jiwa.
Pasal 147
(1) Upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa
merupakan tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah dan
masyarakat.
(2) Upaya penyembuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan di tempat
yang tepat dengan tetap menghormati hak asasi penderita.
(3) Untuk merawat penderita gangguan kesehatan jiwa, digunakan
fasilitas pelayanan kesehatan khusus yang memenuhi syarat dan
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 148
(1) Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai
warga negara.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi persamaan
perlakuan dalam setiap aspek kehidupan, kecuali peraturan
perundang-undangan menyatakan lain.
Pasal 149
(1) Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang,
mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau
mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib
mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan
kesehatan.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib
melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan
kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar,
menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau
orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau
keamanan umum.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas
pemerataan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa
dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat.
(4) Tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pembiayaan
pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk
masyarakat miskin.
Pasal 150
(1) Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan
hukum (visum et repertum psikiatricum) hanya dapat dilakukan
oleh dokter spesialis kedokteran jiwa pada fasilitas pelayanan
kesehatan.
(2) Penetapan status kecakapan hukum seseorang yang diduga
mengalami gangguan kesehatan jiwa dilakukan oleh tim dokter
yang mempunyai keahlian dan kompetensi sesuai dengan
standar profesi.
Pasal 151
Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya kesehatan jiwa diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
PENYAKIT MENULAR DAN TIDAK MENULAR
Bagian Kesatu Penyakit Menular
Pasal 152
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung
jawab melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan
pemberantasan penyakit menular serta akibat yang
ditimbulkannya.
(2) Upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit
menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
melindungi masyarakat dari tertularnya penyakit, menurunkan
jumlah yang sakit, cacat dan/atau meninggal dunia, serta untuk
mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat penyakit
menular.
(3) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit
menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi
individu atau masyarakat.
(4) Pengendalian sumber penyakit menular sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan terhadap lingkungan dan/atau orang dan
sumber penularan lainnya.
(5) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
dengan harus berbasis wilayah.
(6) Pelaksanaan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan melalui lintas sektor.
(7) Dalam melaksanakan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pemerintah dapat melakukan kerja sama dengan negara lain.
(8) Upaya pencegahan pengendalian, dan pemberantasan penyakit
menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 153
Pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman,
bermutu, efektif, terjangkau, dan merata bagi masyarakat untuk
upaya pengendalian penyakit menular melalui imunisasi.
Pasal 154
(1) Pemerintah secara berkala menetapkan dan mengumumkan
jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular
dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta
menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan.
(2) Pemerintah dapat melakukan surveilans terhadap penyakit
menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Pemerintah dapat melakukan kerja sama dengan
masyarakat dan negara lain. (4) Pemerintah menetapkan jenis
penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan
lama karantina.
Pasal 155
(1) Pemerintah daerah secara berkala menetapkan dan
mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi
menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta
menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan.
(2) Pemerintah daerah dapat melakukan surveilans terhadap
penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), pemerintah daerah dapat melakukan kerja sama
dengan masyarakat.
(4) Pemerintah daerah menetapkan jenis penyakit yang
memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama karantina.
(5) Pemerintah daerah dalam menetapkan dan mengumumkan jenis
dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau
menyebar dalam waktu singkat dan pelaksanaan surveilans
serta menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina,
tempat karantina, dan lama karantina berpedoman pada
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 156
(1) Dalam melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian, dan
pemberantasan penyakit menular sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 154 ayat (1), Pemerintah dapat menyatakan wilayah dalam
keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa (KLB).
(2) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau
kejadian luar biasa (KLB) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang diakui
keakuratannya.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan
upaya penanggulangan keadaan wabah, letusan, atau kejadian
luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau
kejadian luar biasa dan upaya penanggulangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 157

(1) Pencegahan penularan penyakit menular wajib dilakukan oleh


masyarakat termasuk penderita penyakit menular melalui
perilaku hidup bersih dan sehat.
(2) Dalam pelaksanaan penanggulangan penyakit menular, tenaga
kesehatan yang berwenang dapat memeriksa tempat-tempat
yang dicurigai berkembangnya vektor dan sumber penyakit lain.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyakit menular sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Penyakit Tidak Menular

Pasal 158
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat melakukan
upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit
tidak menular beserta akibat yang ditimbulkannya.
(2) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan berperilaku
sehat dan mencegah terjadinya penyakit tidak menular beserta
akibat yang ditimbulkan.
(3) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit
tidak menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
bagi individu atau masyarakat.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 159
(1) Pengendalian penyakit tidak menular dilakukan dengan
pendekatan surveilan faktor risiko, registri penyakit, dan
surveilan kematian.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan
memperoleh informasi yang esensial serta dapat digunakan
untuk pengambilan keputusan dalam upaya pengendalian
penyakit tidak menular.
(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
kerja sama lintas sektor dan dengan membentuk jejaring, baik
nasional maupun internasional.
Pasal 160
(1) Pemerintah, pemerintah daerah bersama masyarakat
bertanggung jawab untuk melakukan komunikasi, informasi, dan
edukasi yang benar tentang faktor risiko penyakit tidak menular
yang mencakup seluruh fase kehidupan.
(2) Faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain
meliputi diet tidak seimbang, kurang aktivitas fisik, merokok,
mengkonsumsi alkohol, dan perilaku berlalu lintas yang tidak
benar.
Pasal 161
(1) Manajemen pelayanan kesehatan penyakit tidak menular
meliputi keseluruhan spektrum pelayanan baik promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif.
(2) Manajemen pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikelola secara profesional sehingga pelayanan kesehatan
penyakit tidak menular tersedia, dapat diterima, mudah dicapai,
berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat.
(3) Manajemen pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dititikberatkan pada deteksi dini dan pengobatan penyakit tidak
menular.

BAB XI
KESEHATAN LINGKUNGAN
Pasal 162
Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan
kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun
sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya.

Pasal 163
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin
ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak mempunyai risiko
buruk bagi kesehatan.
(2) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat
rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum.
(3) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bebas
dari unsur-unsur yang menimbulkan gangguan kesehatan,
antara lain:
a. limbah cair;
b. limbah padat;
c. limbah gas;
d. sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan pemerintah;
e. binatang pembawa penyakit;
f. zat kimia yang berbahaya;
g. kebisingan yang melebihi ambang batas;
h. radiasi sinar pengion dan non pengion;
i. air yang tercemar;
j. udara yang tercemar; dan
k. makanan yang terkontaminasi.
(4) Ketentuan mengenai standar baku mutu kesehatan lingkungan
dan proses pengolahan limbah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dan ayat (3), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XII
KESEHATAN KERJA
Pasal 164
(1) Upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar
hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta
pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan.
(2) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pekerja di sektor formal dan informal.
(3) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku bagi setiap orang selain pekerja yang berada di
lingkungan tempat kerja.
(4) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) berlaku juga bagi kesehatan pada lingkungan
tentara nasional Indonesia baik darat, laut, maupun udara serta
kepolisian Republik Indonesia.
(5) Pemerintah menetapkan standar kesehatan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(6) Pengelola tempat kerja wajib menaati standar kesehatan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan menjamin lingkungan
kerja yang sehat serta bertanggung jawab atas terjadinya
kecelakaan kerja.
(7) Pengelola tempat kerja wajib bertanggung jawab atas
kecelakaan kerja yang terjadi di lingkungan kerja sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 165
(1) Pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya
kesehatan melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan
dan pemulihan bagi tenaga kerja.
(2) Pekerja wajib menciptakan dan menjaga kesehatan tempat kerja
yang sehat dan menaati peraturan yang berlaku di tempat kerja.
(3) Dalam penyeleksian pemilihan calon pegawai pada
perusahaan/instansi, hasil pemeriksaan kesehatan secara fisik
dan mental digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 166
(1) Majikan atau pengusaha wajib menjamin kesehatan pekerja
melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan
pemulihan serta wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan
kesehatan pekerja.
(2) Majikan atau pengusaha menanggung biaya atas gangguan
kesehatan akibat kerja yang diderita oleh pekerja sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(3) Pemerintah memberikan dorongan dan bantuan untuk
perlindungan pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2).
BAB XIII
PENGELOLAAN KESEHATAN
Pasal 167
(1) Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah dan/atau masyarakat melalui pengelolaan
administrasi kesehatan, informasi kesehatan, sumber daya
kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, peran
serta dan pemberdayaan masyarakat, ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang kesehatan, serta pengaturan hukum
kesehatan secara terpadu dan saling mendukung guna
menjamin tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya.
(2) Pengelolaan kesehatan dilakukan secara berjenjang di pusat dan
daerah.
(3) Pengelolaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuat dalam suatu sistem kesehatan nasional.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB XIV
INFORMASI KESEHATAN

Pasal 168
(1) Untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang efektif dan
efisien diperlukan informasi kesehatan.
(2) Informasi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui sistem informasi dan melalui lintas sektor.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 169
Pemerintah memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk
memperoleh akses terhadap informasi kesehatan dalam upaya
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
BAB XV
PEMBIAYAAN KESEHATAN
Pasal 170
(1) Pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan
kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang
mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara
berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin
terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.
(2) Unsur-unsur pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas sumber pembiayaan, alokasi, dan
pemanfaatan.
(3) Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari Pemerintah,
pemerintah daerah, masyarakat, swasta dan sumber lain.
Pasal 171
(1) Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal
sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan belanja
negara di luar gaji.
(2) Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi,
kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji.
(3) Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan
publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)
dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan
belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
(4) Pasal 172 (1) Alokasi pembiayaan kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 171 ayat (3) ditujukan untuk pelayanan
kesehatan di bidang pelayanan publik, terutama bagi penduduk
miskin, kelompok lanjut usia, dan anak terlantar. (2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara alokasi pembiayaan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 173
(1) Alokasi pembiayaan kesehatan yang bersumber dari swasta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 ayat (3) dimobilisasi
melalui sistem jaminan sosial nasional dan/atau asuransi
kesehatan komersial.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan sistem jaminan
sosial nasional dan/atau asuransi kesehatan komersial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XVI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 174
(1) Masyarakat berperan serta, baik secara perseorangan maupun
terorganisasi dalam segala bentuk dan tahapan pembangunan
kesehatan dalam rangka membantu mempercepat pencapaian
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
(2) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
keikutsertaan secara aktif dan kreatif.

BAB XVII
BADAN PERTIMBANGAN KESEHATAN

Bagian Kesatu
Nama dan Kedudukan
Pasal 175
Badan pertimbangan kesehatan merupakan badan independen,
yang memiliki tugas, fungsi, dan wewenang di bidang
kesehatan.

Pasal 176
(1) Badan pertimbangan kesehatan berkedudukan di Pusat
dan daerah.
(2) Badan pertimbangan kesehatan pusat dinamakan Badan
Pertimbangan Kesehatan Nasional selanjutnya disingkat
BPKN berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia.
(3) Badan pertimbangan kesehatan daerah selanjutnya
disingkat BPKD berkedudukan di provinsi dan
kabupaten/kota.
(4) Kedudukan BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) berada sampai pada tingkat
kecamatan.
Bagian Kedua
Peran, Tugas, dan Wewenang
Pasal 177
(1) BPKN dan BPKD berperan membantu pemerintah dan
masyarakat dalam bidang kesehatan sesuai dengan
lingkup tugas masing-masing.
(2) BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai tugas dan wewenang antara lain:
a. menginventarisasi masalah melalui penelaahan
terhadap berbagai informasi dan data yang relevan
atau berpengaruh terhadap proses pembangunan
kesehatan;
b. memberikan masukan kepada pemerintah tentang
sasaran pembangunan kesehatan selama kurun waktu
5 (lima) tahun;
c. menyusun strategi pencapaian dan prioritas kegiatan
pembangunan kesehatan;
d. memberikan masukan kepada pemerintah dalam
pengidentifikasi dan penggerakan sumber daya untuk
pembangunan kesehatan;
e. melakukan advokasi tentang alokasi dan penggunaan
dana dari semua sumber agar pemanfaatannya
efektif, efisien, dan sesuai dengan strategi yang
ditetapkan;
f. memantau dan mengevaluasi pelaksanaan
pembangunan kesehatan; dan
g. merumuskan dan mengusulkan tindakan korektif yang
perlu dilakukan dalam pelaksanaan pembangunan
kesehatan yang menyimpang. (3) BPKN dan BPKD
berperan membantu pemerintah dan masyarakat
dalam bidang kesehatan. (4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai keanggotaan, susunan organisasi dan
pembiayaan BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB XVIII
EMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Kesatu
Pembinaan

Pasal 178

Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan


pembinaan terhadap masyarakat dan terhadap setiap
penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan
sumber daya kesehatan di bidang kesehatan dan upaya
kesehatan.

Pasal 179
(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178
diarahkan untuk:
a. memenuhi kebutuhan setiap orang dalam memperoleh
akses atas sumber daya di bidang kesehatan;
b. menggerakkan dan melaksanakan penyelenggaraan
upaya kesehatan;
c. memfasilitasi dan menyelenggarakan fasilitas
kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan;
d. memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan
perbekalan kesehatan, termasuk sediaan farmasi dan
alat kesehatan serta makanan dan minuman;
e. memenuhi kebutuhan gizi masyarakat sesuai dengan
standar dan persyaratan;
f. melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan
yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui:
a. komunikasi, informasi, edukasi dan pemberdayaan
masyarakat;
b. pendayagunaan tenaga kesehatan;
c. pembiayaan
Pasal 180
Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dan pemerintah
daerah, dapat memberikan penghargaan kepada orang
atau badan yang telah berjasa dalam setiap kegiatan
mewujudkan tujuan kesehatan
Pasal 181
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan diatur
dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Pengawasan

Pasal 182
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap masyarakat
dan setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan
dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya
kesehatan.
(2) Menteri dalam melakukan pengawasan dapat
memberikan izin terhadap setiap penyelenggaraan
upaya kesehatan.
(3) Menteri dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
mendelegasikan kepada lembaga pemerintah non
kementerian, kepala dinas di provinsi, dan
kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di
bidang kesehatan.
(4) Menteri dalam melaksanakan pengawasan
mengikutsertakan masyarakat.
Pasal 183
Menteri atau kepala dinas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 182 dalam melaksanakan tugasnya dapat
mengangkat tenaga pengawas dengan tugas pokok
untuk melakukan pengawasan terhadap segala sesuatu
yang berhubungan dengan sumber daya di bidang
kesehatan dan upaya kesehatan.
Pasal 184
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 183, tenaga pengawas mempunyai fungsi:
a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan
dalam kegiatan yang berhubungan dengan
penyelenggaraan upaya kesehatan;
b. memeriksa perizinan yang dimiliki oleh tenaga
kesehatan dan fasilitas kesehatan.
Pasal 185
Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat
dilakukannya pemeriksaan oleh tenaga pengawas
mempunyai hak untuk menolak pemeriksaan apabila
tenaga pengawas yang bersangkutan tidak dilengkapi
dengan tanda pengenal dan surat perintah pemeriksaan.
Pasal 186
Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan
atau patut diduga adanya pelanggaran hukum di bidang
kesehatan, tenaga pengawas wajib melaporkan kepada
penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 187
Ketentuan lebih lanjut tentang pengawasan diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 188
(1) Menteri dapat mengambil tindakan administratif
terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan
kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Menteri dapat mendelegasikan kewenangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada lembaga
pemerintah nonkementerian, kepala dinas provinsi, atau
kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di
bidang kesehatan.
(3) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. pencabutan izin sementara atau izin tetap.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan
tindakan administratif sebagaimana dimaksud pasal ini
diatur oleh Menteri.
BAB XIX
PENYIDIKAN
Pasal 189
1) Selain penyidik polisi negara Republik Indonesia, kepada
pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan
pemerintahan yang menyelenggarakan urusan di bidang
kesehatan juga diberi wewenang khusus sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk
melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
kesehatan.
2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan
serta keterangan tentang tindak pidana di bidang
kesehatan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang kesehatan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau
badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di
bidang kesehatan;
d. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau
dokumen lain tentang tindak pidana di bidang
kesehatan;
e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau
barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang
kesehatan;
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat
cukup bukti yang membuktikan adanya tindak pidana
di bidang kesehatan.
(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan oleh penyidik sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

BAB XX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 190

(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga


kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada
fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak
memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang
dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian,
pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 191

Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik


pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat
dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda,
luka berat atau kematian dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 192

Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan


organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).

Pasal 193
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah
plastik dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah
identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

Pasal 194

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi


tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 195

Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan


darah dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 90 Ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan
yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat
(3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 197

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau


mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan
yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus
juta rupiah).
Pasal 198

Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan


kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

Pasal 199
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan
peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan
tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115
dipidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).

Pasal 200

Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program


pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah)

Pasal 201

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal
196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200
dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan
denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat
dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda
dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal
191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198, Pasal
199, dan Pasal 200.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.

BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 202

Peraturan Perundang-undangan sebagai pelaksanaan


Undang- Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu)
tahun sejak tanggal pengundangan Undang-Undang ini.

Pasal 203

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan


pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.

BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 204

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang


Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3495) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 205

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal


diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Disahkan Di Jakarta, Pada Tanggal 13 Oktober 2009


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal 13 Oktober 2009


MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK
INDONESIA
Ttd.
ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009


NOMOR 144

Anda mungkin juga menyukai