Oleh :
Ahmad Hifni
Pembimbing :
Prof. Dr. Eddy M. Salim, SpPD-KAI
Dr. Nova Kurniati, SpPD-KAI
Dr. Yuniza, SpPD
ABSTRAK
Alergi merupakan suatu respon yang abnormal oleh tubuh yang dapat dipicu oleh
berbagai macam allergen baik spesifik ataupun nonspesifik. Insiden penyakit alergi
sendiri meningkat dalam 10 tahun terakhir ini, terutama di negara-negara maju.
Penatalaksanaan pada alergi merupakan hal yang kompleks karena tidak hanya
berupa pengobatan dengan farmakologi tetapi juga memberi edukasi kepada pasien
untuk menghindari pemicu alergi (alergen), kepatuhan terhadap pengobatan dan
dapat juga dilakukan immunoterapi. Beberapa tahun terakhir, pendekatan imunoterapi
dalam penatalaksanaan alergi sudah mulai sering dilakukan. Imunoterapi dapat
dipertimbangkan terutama pada rhinitis alergi dan hipersensitivitas terhadap sengatan
serangga.
Kata kunci : alergi, penatalaksanaan, imunoterapi
ABSTRACT
Allergies are an abnormal response by the body that can be triggered by various
allergens either specific or nonspecific. The incidence of allergic diseases increased
in the last 10 years , especially in developed countries. Management of the allergy is
complex because it is not only in the form of pharmacological treatment but also
provide education to the patient to avoid allergy triggers, treatment adherence and
can also be done immunotherapies . In recent years, the approach in the treatment of
allergy immunotherapy have started often do. Immunotherapy may be considered
especially in allergic rhinitis and insect stings hypersensitivity.
Keywords : allergy, treatment, immunotherapy
1
BAB I
PENDAHULUAN
Alergi merupakan suatu respon yang abnormal oleh tubuh yang dapat dipicu
oleh berbagai macam alergen baik spesifik ataupun nonspesifik. Kecenderungan
seseorang untuk mengalami alergi akan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik
(keturunan) dan lingkungan sebagai faktor eksternal tubuh. Alergi terjadi karena
adanya zat yang menimbulkan reaksi yang disebut alergen. Alergen dapat masuk
dalam tubuh melalui saluran nafas (inhalan), pencernaan (ingestan), suntikan
(injektan) atau yang menempel pada kulit (kontaktan). Alergi sebagai bentuk reaksi
menyimpang dari tubuh ternyata bisa menimpa siapa saja termasuk anak-anak.
Kenyataannya, setiap orang memiliki risiko mengidap alergi meskipun tidak ada
riwayat penyakit ini dalam keluarga. Insiden penyakit alergi sendiri meningkat dalam
10 tahun terakhir ini , terutama di negara-negara maju. Prevalensi dari
rhinokonjungtivitis pada anak usia 13-14 tahun di tahun 1997 bervariasi dari 1,4 %
sampai 39,7 % dengan prevalensi rendah di Eropa Timur dan Asia Selatan, sedangkan
prevalensi tinggi terjadi di Canada, Finlandia, Spanyol, Inggris dan Amerika Serikat. 1-
4
2
hipersensitivitas terhadap sengatan binatang. Penyakit seperti alergi makanan,
urtikaria dan dermatitis biasanya tidak cocok bila dikelola dengan imunoterapi.1,2,5
Pada tinjauan pustaka ini akan menjelaskan lebih lengkap mengenai
imunoterapi seperti mekanisme imunoterapi alergi, teknik pemberian dan
pertimbangan-pertimbangan apa saja yang perlu dipikirkan dalam melaksanakan
imunoterapi.
3
BAB II
IMUNOTERAPI PADA PENYAKIT ALERGI
II.1. Definisi
Imunoterapi (IT) adalah pemberian ekstrak alergen pada penderita alergi yang
jumlahnya secara perlahan ditingkatkan dengan tujuan menghilangkan gejala yang
ditimbulkan pajanan dengan alergen yang merupakan penyebab penyakit.
Imunoterapi juga sering disebut sebagai desensitisasi ataupun hiposensitisasi. Definisi
lain dari imunoterapi adalah pemberian Ag spesifik secara berulang pada penderita
alergi dengan tujuan untuk memberikan proteksi terhadap gejala alergi dan
mengurangi atau mencegah proses inflamasi yang berlebihan.3,4
4
1977 Yungiger dan Gleich mengemukakan bahwa terjadi kenaikan titer IgE pada saat
musim semi dan terjadi penurunan apabila musim tersebut berganti.4,5
5
dengan perbaikan klinis. Peningkatan kadar IgG berkorelasi dengan peningkatan
dosis.8,9
6
Gambar 1. Patofisiologi terjadinya alergi6
Sel T juga berperan pada imunoterapi. Baik pada kulit maupun mukosa hidung
jumlah penyusupan sel T dan eosinofil menurun pada akhir imunoterapi. Seiring
dengan itu, terjadi pergeseran keseimbangan sitokin Th-1 dan Th-2, terjadi
peningkatan IL-2, IFN- dan IL-12.5 Pada imunoterapi dengan pemberian sengat
lebah, terjadi induksi sel T regulator yang menghasilkan IL-10 dan pergeseran sitokin
kearah Th-1. IL-10 mempunyai peran komplek termasuk produksi IgG4 sebagai
indikator keberhasilan imunoterapi. Penelitian di Surabaya menunjukkan bahwa
imunoterapi dengan ekstrak debu rumah pada penderita asma anak menyebabkan
penurunan IL-4, IL-5, kenaikan IFN- dan IL2. Pada penelitian ini juga melaporkan
bahwa penambahan kortikosteroid inhalasi selama 3 bulan menyebabkan penekanan
yang lebih besar pada penurunan IL-5, menginduksi modulasi respons imun yang
mengakibatkan perbaikan klinis yang ditunjukkan dengan perbaikan reversibilitas
FEV-1.7,8,9
7
Gambar 2. Efek Imunoterapi pada sel T9
8
pemberian imunoterapi adalah sebagai berikut:8 a). Imunoterapi akan menginduksi
IgG spesifik alergen (IgG4) yang berperan sebagai antibodi penghalang yang
bersaing dengan IgE untuk berikatan dengan alergen. Sejumlah studi mengemukakan
bahwa terbukti ada hubungan antara pengurangan gejala alergi dengan jumlah IgG
serum. b). Penurunan secara bertahap IgE spesifik alergen pada pemberian
imunoterapi, walau pada awalnya terjadi peningkatan. Respons Th 2 terhadap alergen
akan dihambat dan menginduksi respons Th 1 dengan peningkatan interferon (IFN- )
dan IL-12. Perubahan fungsi ini akan mempengaruhi produksi IgE, pematangan
populasi sel, penglepasan mediator oleh sel mast dan basofil. Akhirnya penurunan
IgE akan menurunkan respons alergi. c). Imunoterapi memodulasi fungsi sel mast dan
basofil sehingga terjadi penurunan penglepasan mediator walaupun terdapat IgE
spesifik pada permukaannya. Efek ini ditunjukkan dengan penurunan penglepasan
histamin pascaimunoterapi setelah pajanan alergen spesifik yang didahului oleh
penurunan IgE spesifik atau peningkatan IgG spesifik. d). Imunoterapi akan
mengubah jaringan kerja pengaturan sel oleh karena peningkatan aktivitas limfosit T
supresor. Produksi IgE, pematangan sel mast, aktifasi makrofag dan penglepasan
mediator oleh sel mast dan basofil akan berkurang dan mempengaruhi mekanisme
alergi.7,8
9
Gambar 3. Mekanisme Kerja Imunoterapi10
Menurut panduan Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) yang
dirumuskan oleh 34 ahli yang bertemu pada bulan Desember 1999 di Jenewa, indikasi
imunoterapi adalah untuk penderita rhinitis atau asma alergi yang disebabkan oleh
alergen spesifik. Alergen yang diberikan tersebut telah dijamin efektivitas dan
keamanannya melalui penelitian klinis. Imunoterapi juga diindikasikan sebagai
profilaksis untuk pasien yang sensitif terhadap alergen selama
musim pollen atau perrenial. Penderita asma yang dimaksud adalah penderita asma
10
derajat ringan sedang dan gejalanya dapat berkurang dengan pengobatan atau sudah
terkontrol dengan farmakoterapi.11,12,13
sistem kardiovaskular dapat ireversibel. b). Keadaan hamil sebaiknya tidak dimulai
imunoterapi. c). Penyakit imunopatologik seperti pneumonitis hipersensitif termasuk
aspergilosis bronkopulmoner alergi. d). Keadaan imunodefisiensi yang berat. e).
Keganasan. f). Kelainan psikiatri yang berat. g). Pengobatan dengan penyekat beta,
karena reaksi anafilaksis keadaan akan memberat dan sulit diatasi dengan cara
konvensional. h). Pasien tidak patuh. i). Pasien mengalami efek samping yang berat
11
yang berulang selama terapi j). Asma berat yang tidak terkontrol dengan
farmakoterapi k). Penyakit kronik saluran pernapasan dengan volume eks- pirasi
paksa detik 1 (VEP1) < 70% prediksi walaupun telah mendapatkan farmakoterapi
yang optimal. l). pasien dengan penyakit kardiovaskular berat yang disebabkan oleh
efek anafilaksis terhadap miokardium.8,13,14
12
Pada rinitis alergi, imunoterapi hanya diberikan bilamana rhinitis alergi tetap
tidak terkontrol walaupun telah dilakukan penghindaran alergen dan iritan secara
maksimal dan pemberian medikamentosa secara benar dan optimal. Imunoterapi pada
rinitis alergi telah terbukti sangat efektif baik untuk rinitis yang intermiten maupun
yang persisten. Lamanya terapi biasanya antara 3-5 tahun dan biasanya gejala tetap
membaik walaupun pengobatan telah dihentikan. Pada asma alergi banyak penelitian
yang telah membuktikan manfaat imunoterapi. Imunoterapi pada asma hanya
dilakukan terhadap alergen yang bila terpapar jelas menimbulkan serangan dan juga
diperkuat dengan hasil pemeriksaan IgE spesifik. Pada kasus alergi makanan,
penggunaan imunoterapi tidak di rekomendasikan dan masih dilakukan penelitian
yang lebih lanjut mengenai penggunaan imunoterapi pada alergi makanan.9,10,15
13
dikombinasikan dengan kortikosteroid inhalasi, maka angka keberhasilan pengobatan
dapat mencapai 100%. Imunoterapi dapat mengurangi gejala asma, penggunaan obat
untuk asma dan memperbaiki hipereaktifitas bronkus. Efektifitas imunoterapi bisa
disetarakan dengan kortikosteroid inhalasi. Kemungkinan terjadinya efek samping
renjatan harus diperhitungkan pada pemberian imunoterapi. Pada kasus asma anak
dan rinitis yang sensitif terhadap debu rumah, imunoterapi dapat dipertimbangkan
sebagai terapi alternatif atau tambahan disamping medikamentosa. Imunoterapi bisa
merubah perjalanan penyakit asma dan jika diberikan pada awal penyakit alergi yang
lain seperti rinitis alergi, dapat merubah perjalanan penyakit, mencegah sensitisasi
baru dan mencegah perkembangan penyakit menjadi asma persisten.8,9,17
14
imunoterapi menunjukkan perbaikan efektifitas imunoterapi untuk hipersensitifitas
terhadap sengatan lebah.12,16,18
Imunoterapi spesifik sangat efektif pada kasus rinitis alergi terutama jika
penyebabnya spesifik. Efektifitas imunoterapi terhadap rinitis alergi musiman
(seasonal allergic rhinitis) terutama yang gagal dengan pengobatan konvensional,
telah banyak dibuktikan pada beberapa penelitian. Data yang ada menunjukkan
bahwa pemberian imunoterapi selama 3 tahun pada rinitis alergi cukup efektif
memberi penyembuhan dan masih bertahan sampai 6 tahun setelah
imunoterapidihentikan.Hal ini sangat kontras dengan pengobatan konvensional yang
gejala akan timbul kembali setelah pengobatan dihentikan. Kegunaan imunoterapi
untuk rinitis alergi perennial kurang memuaskan dibanding rinitis alergi musiman.
Hal ini mencerminkan lebih kompleksnya faktor penyebab rinitis
alergi perrenial. Selain alergi, ada penyebab lain seperti instabilitas vasomotor,
infeksi dan sensitifitas terhadap aspirin.7,11,17
15
spesifik selama 3 tahun. Begitu pula Madiadipoera tahun 2001 pada penelitian
imunoterapi sebagai terapi rinitis alergi didapatkan adanya penurunan gejala
penyakit, penurunan gejala kekantukan dan kekantukan disiang hari, serta
peningkatan kualitas hidup yang diukur dengan multiple sleep latency test sedangkan
Dermawan tahun 2006 menyatakan adanya perbedaan perbaikan total skor gejala
hidung dan kualitas hidup pada subjek rhinitis alergi yang menjalani pengobatan
imunoterapi alergen spesifik tungau debu rumah dengan pengobatan medikamentosa
setirizin.12,17,19
16
pada ragweed akan mengalami denaturasi sehingga efektivitasnya
berkurang.4,8
c. Ekstrak alergen dimodifikasi
Agregasi protein dan ekstrak alergen cair akan mengurangi sifat alergen
sedangkan imunogenisitasnya dapat dipertahankan. Terdapat dua metode
modifikasi yaitu formalin-treated allergen (allergoids) dan glutaraldehyde-
treated allergen (polymerized allergen extracts). Regimen ini memungkinkan
program imunoterapi diselesaikan 10-15 kali suntikan dengan efek samping
reaksi sistemik kurang dari 1%.6,9
d. Ekstrak alergen inhalasi
Diberikan dengan cara suntikan subkutan pada regio deltoid secara bergantian
pada periode imunoterapi. Dengan menggunakan semprit 0,5-1,0 ml untuk
pengukuran yang akurat jumlah antigen yang masuk dan jarum 27G untuk
kenyamanan pasien. Jarum disuntikkan dan setelah masuk pada posisi
subkutan jarum diaspirasi. Apabila darah teraspirasi maka semprit tersebut
harus dibuang dan prosedur dimulai lagi dari awal. Semprit yang digunakan
harus berbeda untuk setiap pasien untuk mencegah penularan penyakit infeksi.
Setelah penyuntikan pasien diminta menunggu selama 20-30 menit untuk
mengantisipasi reaksi sistemik yang mungkin muncul dalam periode tersebut.
Pasien dengan derajat hipersensitivitas tinggi harus diobservasi selama 30
menit atau lebih.
Ekstrak alergen dapat diberikan secara tunggal atau dicampur (idealnya
kurang dari 10 jenis alergen), akan tetapi campuran ini akan mengencerkan
kadar setiap alergen dan dapat mengurangi respons terhadap imunoterapi.13,17
e. Imunoterapi sublingual/oral
Sebagai alternatif pemberian imunoterapi yang lebih aman dan nyaman bagi
pasien adalah ekstrak tumbuhan yang dicampur dengan alergen dan diberikan
secara oral atau sublingual. Beberapa studi menyebutkan keberhasilan
imunoterapi ini pada rhinitis alergi. Cara kerja imunoterapi sublingual adalah
dengan mengubah respons limfosit T terhadap alergen. Pemberian
imunoterapi sublingual ternyata lebih hemat, lebih aman dan nyaman bagi
pasien serta tidak memerlukan supervisi medis dalam pelaksanaan tetapi
17
efektifitinya lebih rendah daripada imunoterapi suntikan. Imunoterapi lokal
dengan dosis tinggi telah dipakai pada awal pertengahan abad 20. Pada tahun
1998 European Academy of Allergy and Clinical Immunology mengevaluasi
publikasi mengenai lokal imunoterapi antara lain imunoterapi nasal,
sublingual dan intrabronkial. Efek samping lebih sedikit pada prosedur ini dan
efektif pada rinitis alergi. Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa
imunoterapi sublingual dosis rendah juga efektif pada pengobatan asma
pada anak. Pada penelitian ini dibuktikan tejadi perbaikan variabilitas PEFR
dan penurunan penggunaan obat setelah imunoterapi sublingual selama 3
bulan.19,20
f. Enzyme-Potentiated Desensitisation
Pada prosedur ini dosis kecil allergen diberikan bersama enzim beta-
glucuronidase. Dosis alergen hanya 0.1% dari dosis subkutan, efek samping
tidak pernah dilaporkan. Enzim beta-glucuronidase menyebabkan alergen
lebih mudah mencapai sistim imun.dengan efisien dibanding tanpa enzim.18,20
g. Desensitisasi Homeopathik
Konsep homeopati adalah pemberian dosis kecil penyebab penyakit.
Pengobatan ini terbukti efektif pada pemberian dosis kecil pollen untuk
penderita Hay Fever.17,18
18
Sebelum melakukan imunoterapi, harus memenuhi syarat sebagai
berikut:11,24,25 observasi pasien dalam 15 menit dan lakukan spirometri atau
pengukuran arus puncak ekspirasi (APE). Bila hasil pengukuran 20% di bawah nilai
tertinggi yang pernah dicapai maka penyuntikan imunoterapi tidak dilakukan. Petugas
pelaksana memahami cara penyesuaian dosis untuk meminimalkan reaksi, cara
penatalaksanaan reaksi lokal dan sistemik, telah mendapat pelatihan resusitasi jantung
paru dan memiliki alat resusitasi termasuk stetoskop, sfigmomano-meter, turniket,
jarum suntik, epinefrin, antihistamin, steroid, oksigen, oral airway, cairan intravena,
set infus, set trakeos-tomi, nebulizer dan obat bronkodilator inhalasi.20,21,22
II.8. Penyimpanan
Kekuatan alergen berkurang dengan waktu, oleh karena itu harus diperhatikan
tanggal kadaluwarsanya, terutama setelah dilarutkan. Tanggal kadaluwarsa ini
berdasarkan asumsi bahwa ekstrak alergen disimpan dalam refrigerator dengan suhu
dibawah 5 C, karena kekuatan alergenisitas akan lebih cepat berkurang pada suhu >
5C.21,23
19
II.10. Dosis dan Cara Pemberian
Prinsip dasarnya adalah dosis permulaan yang diberikan adalah 1/10 dari
dosis yang menimbulkan reaksi tes kulit positif, dan dosis dinaikkan sedikit demi
sedikit setiap minggunya sampai mencapai 1000-10.000 kali dosis awal yang masih
ditoleransi. Biasanya memerlukan waktu sedikitnya 6 bulan deangan penyuntikkan 1
minggu sekali untuk mencapai dosis pemeliharaan. Kalau terjadi reaksi sistemik,
maka dosis yang lebih rendah menjadi dosis maksimum yang dapat di toleransi .
25,26
II.11. Keamanan
20
kemungkinan terjadi efek samping. Efek samping yang paling sering adalah
manifestasi sistemik hipersensitivitas seperti serangan asma, urtikaria, spasme laring,
hipotensi dan angioedema.10 Beberapa studi menganjurkan premedikasi dengan
antihistamin atau kortikosteroid atau penyuntikan anti histamin atau epinefrin setelah
imunoterapi untuk mencegah reaksi dan meningkatkan keamanan imunoterapi.11
21
Gambar 6. Skema penanganan efek samping lokal imunoterapi alergen suntikan 9
22
Gambar 7. Skema penanganan efek samping sistemik imunoterapi alergen suntikan9
23
Dengan berkembangnya kemajuan teknologi biologi molekuler,
perkembangan imunoterapi juga telah mengalami perkembangan pesat. Beberapa
penelitian telah menemukan terapi imunoterapi terbaru yang mempunyai tingkat
keberhasilan yang lebih tinggi dalam penanganan alergi walaupun masih dibutuhkan
penelitian yang lebih lanjut.
24
pendekatan telah dicoba, pertama diberikan dosis besar dari peptida,
menyebabkan sel T toleran terhadap dosis besar, kedua dengan memberikan
ligan peptida yang telah dirubah.Kedua prosedur memerlukan pemeriksaaan
kompleks histokompatibilitas major calon penerima imunoterapi. Dengan cara
perubahan sebagian peptida Der p maka proliferasi klon sel T dihambat, dan
menekan ekspresi ligan CD40 beserta produksi IL-4, IL-5 dan IFN-. Sel T
yang anergi ini tidak bisa membantu sel B memproduksi IgE, dan yang
penting anergi ini tidak bisa dirubah lagi dengan pemberian IL-4 eksogen.
Dari pengalaman epidemiologi dan studi eksperimental telah dibuktikan
bahwa vaksinasi BCG menyebabkan penurunan reaksi alergi. Pada percobaan
hewan, penyuntikan BCG pada hewan coba yang sedang mengalami
sensitisasi dengan ovalbumin mengalami penurunan derajat eosinofilia jalan
nafas pada provokasi berikutnya dengan ovalbumin. Keadaan ini tidak
dipengaruhi oleh kadar IgE dan eosinofil, tetapi dimediasi oleh IFN-, dan
dapat berubah kembali dengan pemberian IL-5 eksogen. Dua pendekatan
menggunakan vaksin DNA saat ini sedang dalam penelitian intensif. Pertama,
menggunakan cytosine-phosphat-guanosine oligodeoxynucleotides (CpG
ODN), yang menyerupai DNA kuman. Bahan ini akan merangsang sitokin
Th1. Pada percobaan model asma tikus pemberian CpG ODN mencegah
terjadinya eosinofilia dan hiperesponsifitas bronkus.Kedua, menggabungkan
CpG ODN dengan protein alergen, dengan demikian mengurangi alergenistas
tetapi merangsang pembentukan Th1.31,32
II.13.3 Anti IgE
Imunoglobulin E memegang peran penting dalam patofisiologi penyakit
alergi. Imunoterapi baru yang sedang dikembangkan antara lain anti-
IgE.Penelitian yang melibatkan banyak subyek berumur 6-76 tahun sedang
dilakukan, ternyata hasilnya memuaskan terutama pada penderita asma yang
gagal dengan steroid inhalasi dosis tinggi. Pengobatan dengan anti-IgE
bermanfaat juga pada pasien yang disertai rinitis alergi.Tujuan utama
pemberian anti-IgE adalah menghambat peran sentral IgE yaitu menghambat
25
hipereaktivitas tipe I. Hasil akhir pengobatan ini adalah menurunkan IgE
tanpa melihat spesifistas alergennya. Jika digabung dengan imunoterapi
spesifik, akan meningkatkan efektifitas dan menurunkan efek samping.31,33
Pada era modern dari cloning dan sequenzing, banyak alergen dapat
dikarakterisasi pada tingkat molekular. Dengan demikian rekombinan alergen
dan peptida alergen dapat diproduksi dan mungkin nanti akan memegang
peran penting dalam imunoterapi.31,33
II.13.6 Imunomodulator
26
Imunoterapi biasanya ditujukan untuk terapi tidak untuk pencegahan tetapi
banyak hal membuktikan bahwa spesifik imunoterapi dimasa depan mungkin
memegang peran sebagai pencegahan sekunder pada penyakit alergi. Anak yang
mendapat imunoterapi untuk rinitis alergi, dapat tercegah dari serangan asma.
Walaupun masih banyak memerlukan penelitan, tetapi tampaknya intervensi
imunologik dini pada stadium permulaan perkembangan sistem imun, mungkin dapat
mengubah fenotipe alergi pada seseorang.35,36
27
Pemodifikasi reaksi biologis memperbaiki kemampuan sistem kekebalan
tubuh untuk menemukan dan menghancurkan sel kanker, seperti dengan merangsang
sel normal untuk menghasilkan utusan kimia (penengah). Interferon (diantaranya ada
beberapa macam) adalah yang diketahui terbaik dan sangat luas pemodifikasi reaksi
biologis yang digunakan. Hampir semua sel manusia menghasilkan interferon secara
alami, tetapi juga bisa dibuat lewat bioteknologi. Walaupun mekanisme tepat pada
tindakan tidak benar-benar jelas, interferon mempunyai tugas di dalam pengobatan
beberapa kanker, seperti Kaposis sarcoma dan melanoma ganas. Interleukin 2, yang
dihasilkan pada sel darah putih tertentu, juga bisa membantu sel karsinoma dan
metastatic melanoma di ginjal.37,
BAB III
Ringkasan
28
disamping itu ada cara lain yang relatif lebih aman dan mudah yaitu lokal nasal dan
sublingual-oral. Penggunaan imunoterapi sebagai pengontrol dalam tatalaksana alergi
masih menjadi kontroversi terutama dalam terapi asma karena penggunaan steroid
inhalasi masih lebih efektif dan memberikan hasil yang baik. Selain itu imunoterapi
direkomendasikan sebagai tambahan terapi bukan sebagai terapi utama dalam
penatalaksanaan alergi.
DAFTAR PUSTAKA
29
6. Field PI, Gillis D. Specific allergen immunotherapy for asthma. MJA; 167:
540-4
7. Creticos PS. The consideration of immunotherapy in the treatment of allergic
asthma. Ann Allergy Asthma Immunol 2001; 87(Suppl): 13-27.
8. Durham SR, Till SJ. Immunologic changes associated with allergen
immunotherapy. J Allergy Clin Immunol 2008; 2: 157-64.
9. Moeliawan H. Imunoterapi praktis efek samping dan penanganannya. Dalam:
Margono B, Widjaja A, Amin M, Sargowo Dj, Saleh WBMT,Kabat H dkk,
editor. Proceeding Book Pertemuan Ilmiah Paru Milenium.Surabaya, 2002.
10. Ledford DK. Immunotherapy: A practical review and guide. Efficacy of
immunotherapy. Immunology and Allergy Clinics of North America 2009; 3:
35-57.
11. Durham SR, Till SJ. Immunologic changes associated with allergen
immunotherapy. J Allergy Clin Immunol 1998; 2: 157-64
12. Tippet J. Allergen immunotherapy. Immunology and Allergy Clinics of North
America 2004; 1: 129-48.
13. Lockey RF. ARIA: Global guidelines and new forms of allergen
immunotherapy. J Allergy Clin Immunol 2001; 108: 497-9.
14. Bousquet J, Demoly P, Michel FB. Specific immunotherapy in rhinitis and
asthma. Ann Allergy Asthma Immunol 2001; 87(Suppl): 38-42.
15. Lockey RF, Nicoara-Kasti GL, Theodoropoulos DS, Bukantz SC. Systemic
reactions and fatalities associated with allergen immunotherapy. Ann Allergy
Asthma Immunol 2001; 87(Suppl): 47-55.
16. Frew AJ, White PJ, Smith HE. Sublingual immunotherapy. J Allergy Clin
Immunol 1999; 104: 267-70.
17. Frew AJ, Smith HE. Sublingual immunotherapy. J Allergy Clin Immunol
2001; 107: 441-4.
18. Andre C, Vatrinet C, Galvain S, Carat F, Sicard H. Safety of sublingual-
swallow immunotherapy in children and adults. International Archives of
Allergy and Immunology 2000; 121: 229-34.
30
19. Jacobsen L, Niggemann B, Dreborg S, et al. Specific immunotherapy has
longterm preventive effect of seasonal and perennial asthma: 10-year follow-
up on the PAT study. Allergy 2007;62:943-8, Ib
20. Lieberman P, Nicklas RA, Oppenheimer J, et al. The diagnosis and
management of anaphylaxis practice parameter: 2010 update. J Allergy Clin
Immunol 2010; 126:477-80, e1-42. NR.
21. Tversky JR, Bieneman AP, Chichester KL, Hamilton RG, Schroeder JT.
Subcutaneous allergen immunotherapy restores human dendritic cell innate
immune function. Clin Exp Allergy 2010;40:94-102, LB.
22. Hankin CS, Cox L, Lang D, et al. Allergen immunotherapy and health care
cost benefits for children with allergic rhinitis: a large-scale, retrospective,
matched cohort study. Ann Allergy Asthma Immunol 2010;104:79-85, III.
23. Hankin CS, Cox L, Lang D, et al. Allergy immunotherapy among
31
30. Abramson M, Puy R, Weiner J. Immunotherapy in asthma: an updated
systemic review. Allergy;54:1022-41.
31. Abramson MJ, Puy RM, et al. Allergen immunotherapy for asthma. Cochrane
Database Syst Rev 2003;4:CD001186.
32. Cox L, Li J, Lockey R, Nelson H. Allergen immunotherapy: a practice
parameter second update. J Allergy Clin Immunol 2007;120(suppl):S25-85,
IV.
33. Fass P. American Academy of Otolaryngic Allergy endorses the Allergen
Immunotherapy Practice Parameter. J Allergy Clin Immunol 2008;121:269-
70, NR..
34. Creticos PS. The consideration of immunotherapy in the treatment of allergic
32