Anda di halaman 1dari 33

TINJAUAN PUSTAKA

IMUNOTERAPI PADA PENYAKIT ALERGI

Oleh :
Ahmad Hifni

Pembimbing :
Prof. Dr. Eddy M. Salim, SpPD-KAI
Dr. Nova Kurniati, SpPD-KAI
Dr. Yuniza, SpPD

BAGIAN IKTHT-KL FK UNSRI/ ILMU PENYAKIT DALAM


SUBDIVISI ALERGI-IMUNOLOGI
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2016
IMUNOTERAPI PADA PENYAKIT ALERGI
Ahmad Hifni, Eddy M. Salim, Nova Kurniati, Yuniza
Bagian IKTHT-KL FK Unsri/ Penyakit Dalam Subdivisi Alergi-Imunologi
RSUP Dr.Mohammad Hoesin Palembang

ABSTRAK

Alergi merupakan suatu respon yang abnormal oleh tubuh yang dapat dipicu oleh
berbagai macam allergen baik spesifik ataupun nonspesifik. Insiden penyakit alergi
sendiri meningkat dalam 10 tahun terakhir ini, terutama di negara-negara maju.
Penatalaksanaan pada alergi merupakan hal yang kompleks karena tidak hanya
berupa pengobatan dengan farmakologi tetapi juga memberi edukasi kepada pasien
untuk menghindari pemicu alergi (alergen), kepatuhan terhadap pengobatan dan
dapat juga dilakukan immunoterapi. Beberapa tahun terakhir, pendekatan imunoterapi
dalam penatalaksanaan alergi sudah mulai sering dilakukan. Imunoterapi dapat
dipertimbangkan terutama pada rhinitis alergi dan hipersensitivitas terhadap sengatan
serangga.
Kata kunci : alergi, penatalaksanaan, imunoterapi

ABSTRACT

Allergies are an abnormal response by the body that can be triggered by various
allergens either specific or nonspecific. The incidence of allergic diseases increased
in the last 10 years , especially in developed countries. Management of the allergy is
complex because it is not only in the form of pharmacological treatment but also
provide education to the patient to avoid allergy triggers, treatment adherence and
can also be done immunotherapies . In recent years, the approach in the treatment of
allergy immunotherapy have started often do. Immunotherapy may be considered
especially in allergic rhinitis and insect stings hypersensitivity.
Keywords : allergy, treatment, immunotherapy

1
BAB I
PENDAHULUAN

Alergi merupakan suatu respon yang abnormal oleh tubuh yang dapat dipicu
oleh berbagai macam alergen baik spesifik ataupun nonspesifik. Kecenderungan
seseorang untuk mengalami alergi akan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik
(keturunan) dan lingkungan sebagai faktor eksternal tubuh. Alergi terjadi karena
adanya zat yang menimbulkan reaksi yang disebut alergen. Alergen dapat masuk
dalam tubuh melalui saluran nafas (inhalan), pencernaan (ingestan), suntikan
(injektan) atau yang menempel pada kulit (kontaktan). Alergi sebagai bentuk reaksi
menyimpang dari tubuh ternyata bisa menimpa siapa saja termasuk anak-anak.
Kenyataannya, setiap orang memiliki risiko mengidap alergi meskipun tidak ada
riwayat penyakit ini dalam keluarga. Insiden penyakit alergi sendiri meningkat dalam
10 tahun terakhir ini , terutama di negara-negara maju. Prevalensi dari
rhinokonjungtivitis pada anak usia 13-14 tahun di tahun 1997 bervariasi dari 1,4 %
sampai 39,7 % dengan prevalensi rendah di Eropa Timur dan Asia Selatan, sedangkan
prevalensi tinggi terjadi di Canada, Finlandia, Spanyol, Inggris dan Amerika Serikat. 1-
4

Dalam pengobatan penyakit alergi, penderita dapat melakukan berbagai upaya


mulai dari menghindari pemicu alergi (alergen), mencari dan mendapatkan informasi
tentang alergi lewat kegiatan edukasi dan penyuluhan, mendapatkan pengobatan yang
tepat atau bahkan terapi kekebalan (immunoterapi). Beberapa tahun terakhir,
pendekatan imunoterapi dalam penatalaksanaan alergi sudah mulai sering dilakukan.
Imunoterapi atau desensitisasi atau allergy injection therapy adalah suatu terapi
yang memerlukan proses panjang dari suatu suntikan yang berulang dari ekstrak
alergen yang disuntikkan pada pasien dengan penyakit alergi, yang jelas faktor
alergen pencetusnya, dengan tujuan untuk mengurangi gejala penyakitnya.2,4,5
Pendekatan imunoterapi saat ini sudah mulai memasyarakat dan sudah
dilakukan bahkan di negara berkembang. Penyakit-penyakit yang dapat dikelola
dengan imunoterapi adalah rhinitis alergi, asma, konjungtivitis alergi dan

2
hipersensitivitas terhadap sengatan binatang. Penyakit seperti alergi makanan,
urtikaria dan dermatitis biasanya tidak cocok bila dikelola dengan imunoterapi.1,2,5
Pada tinjauan pustaka ini akan menjelaskan lebih lengkap mengenai
imunoterapi seperti mekanisme imunoterapi alergi, teknik pemberian dan
pertimbangan-pertimbangan apa saja yang perlu dipikirkan dalam melaksanakan
imunoterapi.

3
BAB II
IMUNOTERAPI PADA PENYAKIT ALERGI

II.1. Definisi
Imunoterapi (IT) adalah pemberian ekstrak alergen pada penderita alergi yang
jumlahnya secara perlahan ditingkatkan dengan tujuan menghilangkan gejala yang
ditimbulkan pajanan dengan alergen yang merupakan penyebab penyakit.
Imunoterapi juga sering disebut sebagai desensitisasi ataupun hiposensitisasi. Definisi
lain dari imunoterapi adalah pemberian Ag spesifik secara berulang pada penderita
alergi dengan tujuan untuk memberikan proteksi terhadap gejala alergi dan
mengurangi atau mencegah proses inflamasi yang berlebihan.3,4

II. 2. Sejarah Imunoterapi


Imunoterapi pertama kali dilakukan dan dilaporkan oleh Noon dan Freeman
pada tahun 1910 yang menguraikan pembuatan ekstrak grass pollen dan disuntikkan
dengan dosis yang meningkat pada penderita rhinitis alergi. Sejak itu digunakan
selama kurang lebih 90 tahun untuk mengobati penyakit alergi yang disebabkan oleh
alergen inhalasi dan ternyata efektif pada rhinitis dan juga asma alergi, tetapi tidak
diindikasikan pada alergi makanan.Tahun 1918 Cooke dari Amerika Serikat
melaporkan suatu kondisi alergi seperti hay fever dan asma yang berasal dari antibodi
yang timbul setelah pajanan agen sensitizing. Pada tahun 1922 ia mengemukakan
metode hiposensitisasi untuk mengobati pasien alergi dan hal ini yang berkembang
menjadi imunoterapi sampai saat ini.4,5
Sebelum itu, Prausnitz dan Kustner tahun 1921 melakukan percobaan dengan
menyuntikkan serum yang tidak dipanaskan dari donor alergi kepada resipien
nonalergi (uji P-K). Mereka berhasil membuktikan bahwa individu alergi memiliki
serum terhadap antigen spesifik (reagin) yang dapat dipindahkan secara pasif kepada
individu non alergi. Cooke tahun 1935 mengemukakan konsep antibodi penghalang
(blocking antibody) yang meningkat pada pemberian imunoterapi. Tahun 1967
pertama kali dikemukan nama immunoglobulin E (IgE) oleh Ischikawa dan tahun

4
1977 Yungiger dan Gleich mengemukakan bahwa terjadi kenaikan titer IgE pada saat
musim semi dan terjadi penurunan apabila musim tersebut berganti.4,5

II. 3. Mekanisme Kerja


Mekanisme dan cara kerja yang pasti dari imunoterapi belum diketahui
dengan jelas. Beberapa mekanisme imunoterapi telah dikemukakan untuk
menerangkan keberhasilan imunoterapi yaitu induksi pembentukan IgG (blocking
antibody), penurunan produksi IgE, penurunan pengerahan sel efektor, perubahan
keseimbangan sitokin (pergeseran dari Th2 ke Th1), anergi sel T dan induksi
terjadinya sel T regulator.2,6,7

Atopi adalah peningkatan sensitivitas sebagai hasil peningkatan antibodi IgE


spesifik terhadap alergen lingkungan yang umum seperti tungau, serbuk sari atau bulu
hewan. Pajanan berulang terhadap alergen secara bermakna akan meningkatkan
prevalensi asma. Sembilan puluh persen penyandang asma anak dan delapan puluh
persen asma dewasa mempunyai riwayat atopi. Asma alergi/atopi ditandai dengan
infiltrasi eosinofil dan sel T helper 2 (Th-2) ke mukosa bronkus, peningkatan antibodi
IgE spesifik dalam sirkulasi, uji kulit positif dengan menggunakan alergen yang
umum dan hipereaktivitas bronkus. Melalui Interleukin-4 (IL-4) dan IL-13, sel B
akan distimulasi untuk menghasilkan IgE dan melalui IL-5 akan terjadi pertumbuhan,
diferensiasi dan mobilisasi eosinofil ke saluran pernapasan pada pajanan ulang
terhadap alergen. Interleukin-13 berperan sebagai regulator respons inlamasi dengan
menghambat aktivasi dan penglepasan sitokin inflamasi.2,6,7

Imunoterapi bekerja pada antibodi spesifik terhadap alergen. IgE spesifik


meningkat sementara pada awal pemberian imunoterpi, tetapi menurun setelah dosis
rumatan.Reaksi cepat kulit menurun setelah imunoterapi tetapi sangat kecil perannya
dalam perbaikan klinis. Di pihak lain, reaksi lambat pada uji kulit menurun secara
nyata setelah imunoterapi. Imunoterapi juga mengiduksi IgG spesifik terhadap
alergen, berfungsi untuk meniadakan respons alergi walaupun terdapat korelasi lemah

5
dengan perbaikan klinis. Peningkatan kadar IgG berkorelasi dengan peningkatan
dosis.8,9

6
Gambar 1. Patofisiologi terjadinya alergi6

Imunoterapi bekerja pada antibodi spesifik terhadap alergen. IgE spesifik


meningkat sementara pada awal pemberian imunoterpi, tetapi menurun setelah dosis
rumatan.Reaksi cepat kulit menurun setelah imunoterapi tetapi sangat kecil perannya
dalam perbaikan klinis. Di pihak lain, reaksi lambat pada uji kulit menurun secara
nyata setelah imunoterapi. Imunoterapi juga mengiduksi IgG spesifik terhadap
alergen, berfungsi untuk meniadakan respons alergi walaupun terdapat korelasi lemah
dengan perbaikan klinis. Peningkatan kadar IgG berkorelasi dengan peningkatan
dosis.8,9

Sel T juga berperan pada imunoterapi. Baik pada kulit maupun mukosa hidung
jumlah penyusupan sel T dan eosinofil menurun pada akhir imunoterapi. Seiring
dengan itu, terjadi pergeseran keseimbangan sitokin Th-1 dan Th-2, terjadi
peningkatan IL-2, IFN- dan IL-12.5 Pada imunoterapi dengan pemberian sengat
lebah, terjadi induksi sel T regulator yang menghasilkan IL-10 dan pergeseran sitokin
kearah Th-1. IL-10 mempunyai peran komplek termasuk produksi IgG4 sebagai
indikator keberhasilan imunoterapi. Penelitian di Surabaya menunjukkan bahwa
imunoterapi dengan ekstrak debu rumah pada penderita asma anak menyebabkan
penurunan IL-4, IL-5, kenaikan IFN- dan IL2. Pada penelitian ini juga melaporkan
bahwa penambahan kortikosteroid inhalasi selama 3 bulan menyebabkan penekanan
yang lebih besar pada penurunan IL-5, menginduksi modulasi respons imun yang
mengakibatkan perbaikan klinis yang ditunjukkan dengan perbaikan reversibilitas
FEV-1.7,8,9

7
Gambar 2. Efek Imunoterapi pada sel T9

Imunoterapi mempunyai efek modulasi pada sel T, hal ini menerangkan


mengapa gejala klinis dan reaksi lambat sangat ditekan walaupun penurunan antibodi
tidak menurun bermakna. Berdasarkan hal ini beberapa formula baru imunoterapi
telah dirancang dengan menggunakan peptida sel T atau bentuk konjugasi alergen
untuk menggeser sitrokin kearah pola Th-1. Efek imunologis yang terjadi setelah

8
pemberian imunoterapi adalah sebagai berikut:8 a). Imunoterapi akan menginduksi
IgG spesifik alergen (IgG4) yang berperan sebagai antibodi penghalang yang
bersaing dengan IgE untuk berikatan dengan alergen. Sejumlah studi mengemukakan
bahwa terbukti ada hubungan antara pengurangan gejala alergi dengan jumlah IgG
serum. b). Penurunan secara bertahap IgE spesifik alergen pada pemberian
imunoterapi, walau pada awalnya terjadi peningkatan. Respons Th 2 terhadap alergen
akan dihambat dan menginduksi respons Th 1 dengan peningkatan interferon (IFN- )
dan IL-12. Perubahan fungsi ini akan mempengaruhi produksi IgE, pematangan
populasi sel, penglepasan mediator oleh sel mast dan basofil. Akhirnya penurunan
IgE akan menurunkan respons alergi. c). Imunoterapi memodulasi fungsi sel mast dan
basofil sehingga terjadi penurunan penglepasan mediator walaupun terdapat IgE
spesifik pada permukaannya. Efek ini ditunjukkan dengan penurunan penglepasan
histamin pascaimunoterapi setelah pajanan alergen spesifik yang didahului oleh
penurunan IgE spesifik atau peningkatan IgG spesifik. d). Imunoterapi akan
mengubah jaringan kerja pengaturan sel oleh karena peningkatan aktivitas limfosit T
supresor. Produksi IgE, pematangan sel mast, aktifasi makrofag dan penglepasan
mediator oleh sel mast dan basofil akan berkurang dan mempengaruhi mekanisme
alergi.7,8

9
Gambar 3. Mekanisme Kerja Imunoterapi10

II. 4. Indikasi dan Kontraindikasi

Menurut panduan Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) yang
dirumuskan oleh 34 ahli yang bertemu pada bulan Desember 1999 di Jenewa, indikasi
imunoterapi adalah untuk penderita rhinitis atau asma alergi yang disebabkan oleh
alergen spesifik. Alergen yang diberikan tersebut telah dijamin efektivitas dan
keamanannya melalui penelitian klinis. Imunoterapi juga diindikasikan sebagai
profilaksis untuk pasien yang sensitif terhadap alergen selama
musim pollen atau perrenial. Penderita asma yang dimaksud adalah penderita asma

10
derajat ringan sedang dan gejalanya dapat berkurang dengan pengobatan atau sudah
terkontrol dengan farmakoterapi.11,12,13

Gambar 4. Indikasi Imunoterapi menurut WHO Position paper9

Kontraindikasi penggunaan imunoterapi antara lain : a). Anak dibawah usia 5


tahun dan pada usia lanjut, untuk menghindari kesulitan penatalaksanaan pasien pada
saat terjadi reaksi anafilaksis usia tua, karena efek samping imunoterapi terhadap

sistem kardiovaskular dapat ireversibel. b). Keadaan hamil sebaiknya tidak dimulai
imunoterapi. c). Penyakit imunopatologik seperti pneumonitis hipersensitif termasuk
aspergilosis bronkopulmoner alergi. d). Keadaan imunodefisiensi yang berat. e).
Keganasan. f). Kelainan psikiatri yang berat. g). Pengobatan dengan penyekat beta,
karena reaksi anafilaksis keadaan akan memberat dan sulit diatasi dengan cara
konvensional. h). Pasien tidak patuh. i). Pasien mengalami efek samping yang berat

11
yang berulang selama terapi j). Asma berat yang tidak terkontrol dengan
farmakoterapi k). Penyakit kronik saluran pernapasan dengan volume eks- pirasi
paksa detik 1 (VEP1) < 70% prediksi walaupun telah mendapatkan farmakoterapi
yang optimal. l). pasien dengan penyakit kardiovaskular berat yang disebabkan oleh
efek anafilaksis terhadap miokardium.8,13,14

II.5. Penggunaan Imunoterapi pada Penyakit Alergi

Beberapa penelitan melaporkan bahwa imunoterapi efektif pada pasien alergi


seperti alergi gigitan serangga, rinitis alergi dan asma walaupun demikian pemilihan
pasien harus tetap dilakukan dengan hati-hati sebelum memulai imunoterapi.
Imunoterapi untuk bisa ular dan serangga memberikan efektivitas lebih dari 95%
tetapi pada anak, imunoterapi terhadap gigitan serangga tidak begitu bermakna,
karena reaksi sistemik yang terjadi biasanya tidak begitu berat. Oleh karena itu untuk
anak dengan alergi gigitan serangga, imunoterapi hanya diberikan pada anak dengan
riwayat terjadi reaksi yang mengancam kehidupan bila digigit serangga.4,7,11

Badan kesehatan dunia (WHO) merekomendasikan pemberian imunoterapi


dengan ketentuan sebagai berikut: a). imunoterapi sebagai terapi tambahan selain
menghindari pajanan alergen dan sebagai pengobatan pasien rhinitis yang diinduksi
allergen. b). imunoterapi harus dimulai sejak dini untuk mengurangi risiko efek
samping dan untuk mencegah perkembangan penyakit menjadi lebih berat. Argumen
untuk melakukan imunoterapi adalah sebagai berikut : respons terhadap
farmakoterapi tidak maksimal, terjadi efek samping obat dan penolakan tatalaksana
dengan menggunakan farmakoterapi.c). imunoterapi spesifik secara injeksi
(subkutan) dapat digunakan pada rhinitis berat dan berkepanjangan (biasanya
berhubungan dengan asma). d).imunoterapi spesifik secara lokal (intranasal dan
sublingual- oral) dapat digunakan pada pasien tertentu dengan riwayat terjadi efek
samping dan menolak suntikan.7,8,10

12
Pada rinitis alergi, imunoterapi hanya diberikan bilamana rhinitis alergi tetap
tidak terkontrol walaupun telah dilakukan penghindaran alergen dan iritan secara
maksimal dan pemberian medikamentosa secara benar dan optimal. Imunoterapi pada
rinitis alergi telah terbukti sangat efektif baik untuk rinitis yang intermiten maupun
yang persisten. Lamanya terapi biasanya antara 3-5 tahun dan biasanya gejala tetap
membaik walaupun pengobatan telah dihentikan. Pada asma alergi banyak penelitian
yang telah membuktikan manfaat imunoterapi. Imunoterapi pada asma hanya
dilakukan terhadap alergen yang bila terpapar jelas menimbulkan serangan dan juga
diperkuat dengan hasil pemeriksaan IgE spesifik. Pada kasus alergi makanan,
penggunaan imunoterapi tidak di rekomendasikan dan masih dilakukan penelitian
yang lebih lanjut mengenai penggunaan imunoterapi pada alergi makanan.9,10,15

II.5.1. Imunoterapi pada Asma

Banyak studi yang melakukan penelitian efikasi imunoterapi dalam


tatalaksana asma alergi, walaupun demikian penggunaannya masih menjadi
perdebatan. Hedlin dan kawan-kawan melakukan penelitian penggunaan imunoterapi
pada asma alergi dikombinasikan dengan inhalasi budesonid, mendapatkan
penurunan bermakna derajat berat asma, hipersensitivitas alergen dan hipereaktivitas
bronkus terhadap histamin dalam 3 tahun pengobatan. Penelitian pada penyandang
asma dewasa dilakukan oleh Creticos dan kawan-kawan membandingkan
imunoterapi raweed dengan plasebo. Hasil penelitiannya, terdapat perbedaan
bermakna pada kelompok imunoterapi daripada plasebo, yaitu nilai rerata APE yang
lebih tinggi, penggunaan obat lebih sedikit, peningkatan IgG spesifik terhadap
ragweed dan penurunan sensitivias terhadap ragweed baik dengan uji kulit maupun
uji provokasi bronkus dalam 2 tahun pengobatan.11,14,16
Beberapa penelitian double blind control plasebo menunjukkan 60-70%
penurunan skor gejala dan perbaikan fungsi paru. Terdapat kegagalan sebesar 24%
pada penggunaan imunoterapi untuk asma ringan dan jika imunoterapi

13
dikombinasikan dengan kortikosteroid inhalasi, maka angka keberhasilan pengobatan
dapat mencapai 100%. Imunoterapi dapat mengurangi gejala asma, penggunaan obat
untuk asma dan memperbaiki hipereaktifitas bronkus. Efektifitas imunoterapi bisa
disetarakan dengan kortikosteroid inhalasi. Kemungkinan terjadinya efek samping
renjatan harus diperhitungkan pada pemberian imunoterapi. Pada kasus asma anak
dan rinitis yang sensitif terhadap debu rumah, imunoterapi dapat dipertimbangkan
sebagai terapi alternatif atau tambahan disamping medikamentosa. Imunoterapi bisa
merubah perjalanan penyakit asma dan jika diberikan pada awal penyakit alergi yang
lain seperti rinitis alergi, dapat merubah perjalanan penyakit, mencegah sensitisasi
baru dan mencegah perkembangan penyakit menjadi asma persisten.8,9,17

Penelitian lain menyimpulkan bahwa imunoterapi dapat berfungsi sebagai


imunomodulator yang berfungsi untuk memperbaiki dan mencegah perkembangan
penyakit alergi menjadi asma. Pada asma, imunoterapi bisa dilakukan dengan cara
sublingual. Penggunaan imunoterapi sublingual selama dua tahun ternyata efektif dan
secara bermakna menurunkan gejala asma ringan dan sedang pada anak yang sensitif
terhadap debu rumah. Mekanisme kerja imunoterapi terhadap asma atopi masih
merupakan hipotesis.11,13,16

II.5.2. Imunoterapi pada Hipersensitivitas Gigitan Serangga

Gigitan serangga terutama sengatan lebah dapat menyebabkan reaksi


anafilaksis yang dapat menyebabkan kematian. IgE spesifik terhadap sengatan lebah
dapat ditemukan pada 30-40% individu yang tersengat dan menghilang setelah
beberapa bulan. Pada beberapa penderita, IgE ini bertahan beberapa tahun, pada
penderita ini, sengatan berikutnya akan menyebabkan reaksi anafilaksis dan beberapa
akan menyebabkan kematian. Keputusan untuk memberikan imunoterapi pada
penderita semacam ini harus berdasarkan pemeriksaan yang akurat dan pendalaman
yang baik mengenai perjalanan penyakit. Penggunaan sengat murni dalam

14
imunoterapi menunjukkan perbaikan efektifitas imunoterapi untuk hipersensitifitas
terhadap sengatan lebah.12,16,18

Pengobatan pasien alergi sengatan lebah dengan imunoterapi dilaporkan


sangat efektif mengurangi risiko anafilaksis yang disebabkan sengatan lebah.
Valentine MD melaporkan efektifitas sampai dengan 97 persen dalam mencegah
reaksi sistemik akibat sengatan lebah. Canadian Society of Allergy and Clinical
Immunology telah merekomendasikan imunoterapi ini pada penyakit alergi sengatan
lebah.30 Di Inggris dan Amerika Serikat imunoterapi telah luas digunakan sebagai
pengobatan pilihan pada penyakit alergi.10,15

II.5.3. Imunoterapi pada Rinitis Alergi

Imunoterapi spesifik sangat efektif pada kasus rinitis alergi terutama jika
penyebabnya spesifik. Efektifitas imunoterapi terhadap rinitis alergi musiman
(seasonal allergic rhinitis) terutama yang gagal dengan pengobatan konvensional,
telah banyak dibuktikan pada beberapa penelitian. Data yang ada menunjukkan
bahwa pemberian imunoterapi selama 3 tahun pada rinitis alergi cukup efektif
memberi penyembuhan dan masih bertahan sampai 6 tahun setelah
imunoterapidihentikan.Hal ini sangat kontras dengan pengobatan konvensional yang
gejala akan timbul kembali setelah pengobatan dihentikan. Kegunaan imunoterapi
untuk rinitis alergi perennial kurang memuaskan dibanding rinitis alergi musiman.
Hal ini mencerminkan lebih kompleksnya faktor penyebab rinitis
alergi perrenial. Selain alergi, ada penyebab lain seperti instabilitas vasomotor,
infeksi dan sensitifitas terhadap aspirin.7,11,17

Hasil penelitian Rizayani tahun 2011 di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL


RSHS didapatkan efektivitas perbaikan total skor gejala hidung, kualitas hidup dan
skor nasoendoskopi pada subjek rinitis alergi yang menjalani imunoterapi alergen

15
spesifik selama 3 tahun. Begitu pula Madiadipoera tahun 2001 pada penelitian
imunoterapi sebagai terapi rinitis alergi didapatkan adanya penurunan gejala
penyakit, penurunan gejala kekantukan dan kekantukan disiang hari, serta
peningkatan kualitas hidup yang diukur dengan multiple sleep latency test sedangkan
Dermawan tahun 2006 menyatakan adanya perbedaan perbaikan total skor gejala
hidung dan kualitas hidup pada subjek rhinitis alergi yang menjalani pengobatan
imunoterapi alergen spesifik tungau debu rumah dengan pengobatan medikamentosa
setirizin.12,17,19

II.6. Jenis Imunoterapi

Pemberian imunoterapi dapat menggunakan beberapa cara. Banyak penelitian


yang dilakukan untuk menemukan cara pemberian imunoterapi yang paling efektif
dan mempunyai efek samping yang minimal. Beberapa cara pemberian imunoterapi
antara lain9,14,17 :

a. Local nasal aeroallergen immunotherapy


Merupakan bentuk imunoterapi alternatif yang menggunakan larutan alergen
yang disemprotkan ke mukosa hidung dengan interval waktu tertentu. Efek
samping lokal yang timbul berupa pruritus, kongesti dan bersin. Belum ada
penelitian yang merekomendasikan bentuk ini sebagai salah satu
imunoterapi.2,9
b. Alum-precipitated allergen extracts
Adalah modifikasi ekstrak alergen cair dengan melakukan presipitasi protein
dengan menggunakan aluminium hidroksida yang didahului dengan ekstraksi
alergen dengan piridin untuk menghasilkan efek sistemik yang lebih sedikit.
Dengan demikian dimungkinkan untuk memberikan imunoterapi dengan
peningkatan dosis yang lebih cepat sehingga mengurangi jumlah suntikan.
Contoh ekstrak piridin alum-precipitated pada rumput terbukti efektif tetapi

16
pada ragweed akan mengalami denaturasi sehingga efektivitasnya
berkurang.4,8
c. Ekstrak alergen dimodifikasi
Agregasi protein dan ekstrak alergen cair akan mengurangi sifat alergen
sedangkan imunogenisitasnya dapat dipertahankan. Terdapat dua metode
modifikasi yaitu formalin-treated allergen (allergoids) dan glutaraldehyde-
treated allergen (polymerized allergen extracts). Regimen ini memungkinkan
program imunoterapi diselesaikan 10-15 kali suntikan dengan efek samping
reaksi sistemik kurang dari 1%.6,9
d. Ekstrak alergen inhalasi
Diberikan dengan cara suntikan subkutan pada regio deltoid secara bergantian
pada periode imunoterapi. Dengan menggunakan semprit 0,5-1,0 ml untuk
pengukuran yang akurat jumlah antigen yang masuk dan jarum 27G untuk
kenyamanan pasien. Jarum disuntikkan dan setelah masuk pada posisi
subkutan jarum diaspirasi. Apabila darah teraspirasi maka semprit tersebut
harus dibuang dan prosedur dimulai lagi dari awal. Semprit yang digunakan
harus berbeda untuk setiap pasien untuk mencegah penularan penyakit infeksi.
Setelah penyuntikan pasien diminta menunggu selama 20-30 menit untuk
mengantisipasi reaksi sistemik yang mungkin muncul dalam periode tersebut.
Pasien dengan derajat hipersensitivitas tinggi harus diobservasi selama 30
menit atau lebih.
Ekstrak alergen dapat diberikan secara tunggal atau dicampur (idealnya
kurang dari 10 jenis alergen), akan tetapi campuran ini akan mengencerkan
kadar setiap alergen dan dapat mengurangi respons terhadap imunoterapi.13,17
e. Imunoterapi sublingual/oral
Sebagai alternatif pemberian imunoterapi yang lebih aman dan nyaman bagi
pasien adalah ekstrak tumbuhan yang dicampur dengan alergen dan diberikan
secara oral atau sublingual. Beberapa studi menyebutkan keberhasilan
imunoterapi ini pada rhinitis alergi. Cara kerja imunoterapi sublingual adalah
dengan mengubah respons limfosit T terhadap alergen. Pemberian
imunoterapi sublingual ternyata lebih hemat, lebih aman dan nyaman bagi
pasien serta tidak memerlukan supervisi medis dalam pelaksanaan tetapi

17
efektifitinya lebih rendah daripada imunoterapi suntikan. Imunoterapi lokal
dengan dosis tinggi telah dipakai pada awal pertengahan abad 20. Pada tahun
1998 European Academy of Allergy and Clinical Immunology mengevaluasi
publikasi mengenai lokal imunoterapi antara lain imunoterapi nasal,
sublingual dan intrabronkial. Efek samping lebih sedikit pada prosedur ini dan
efektif pada rinitis alergi. Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa
imunoterapi sublingual dosis rendah juga efektif pada pengobatan asma
pada anak. Pada penelitian ini dibuktikan tejadi perbaikan variabilitas PEFR
dan penurunan penggunaan obat setelah imunoterapi sublingual selama 3
bulan.19,20
f. Enzyme-Potentiated Desensitisation
Pada prosedur ini dosis kecil allergen diberikan bersama enzim beta-
glucuronidase. Dosis alergen hanya 0.1% dari dosis subkutan, efek samping
tidak pernah dilaporkan. Enzim beta-glucuronidase menyebabkan alergen
lebih mudah mencapai sistim imun.dengan efisien dibanding tanpa enzim.18,20
g. Desensitisasi Homeopathik
Konsep homeopati adalah pemberian dosis kecil penyebab penyakit.
Pengobatan ini terbukti efektif pada pemberian dosis kecil pollen untuk
penderita Hay Fever.17,18

II.7. Prosedur Pemberian

Keputusan untuk memberikan imunoterapi berdasarkan kriteria pemilihan


pasien yang tepat, antigen yang tepat dan dilakukan hanya oleh tenaga medis yang
telah mendapat pelatihan dan pengalaman dalam bidang asma dan imunoterapi.
Untuk persiapan pasien dapat mengikuti petunjuk berikut ini : identifikasi pasien,
kehadiran, memanggil nama lengkap dan mencocokkan tanggal lahir atau nomor
pasien, riwayat pasien apakah gejala asma telah terkontrol, apakah ada riwayat
terjadi reaksi pada pemberian terakhir, terapkan aturan 3 benar, yaitu :
kartu (chart) yang benar, antigen benar, pasien benar dan triple check antigen, yakni :
label, nama pasien, isi pengenceran, tanggal kadaluarsa, tanggal penyuntikan
terakhir.20,21,22

18
Sebelum melakukan imunoterapi, harus memenuhi syarat sebagai
berikut:11,24,25 observasi pasien dalam 15 menit dan lakukan spirometri atau
pengukuran arus puncak ekspirasi (APE). Bila hasil pengukuran 20% di bawah nilai
tertinggi yang pernah dicapai maka penyuntikan imunoterapi tidak dilakukan. Petugas
pelaksana memahami cara penyesuaian dosis untuk meminimalkan reaksi, cara
penatalaksanaan reaksi lokal dan sistemik, telah mendapat pelatihan resusitasi jantung
paru dan memiliki alat resusitasi termasuk stetoskop, sfigmomano-meter, turniket,
jarum suntik, epinefrin, antihistamin, steroid, oksigen, oral airway, cairan intravena,
set infus, set trakeos-tomi, nebulizer dan obat bronkodilator inhalasi.20,21,22

II.8. Penyimpanan

Kekuatan alergen berkurang dengan waktu, oleh karena itu harus diperhatikan
tanggal kadaluwarsanya, terutama setelah dilarutkan. Tanggal kadaluwarsa ini
berdasarkan asumsi bahwa ekstrak alergen disimpan dalam refrigerator dengan suhu
dibawah 5 C, karena kekuatan alergenisitas akan lebih cepat berkurang pada suhu >
5C.21,23

II.9. Peraturan Penyuntikan dan Regimen yang tersedia

Keputusan untuk memulai imunoterapi harus berdasarkan hasil pemeriksaan


IgE spesifik, yang diperkuat dengan anamnesis. Penentuan ini sangat penting dan
kompleks, dan sebaiknya dilakukan oleh seorang dokter ahli alergi, dan tidak hanya
berdasarkan pada tes kulit. Biasanya satu set regimen terdiri dari satu vial dengan
konsentrasi 1:10, dan 3 atau 4 vial lainnya dengan konsentrasi kelipatan 10 (misal
1:100, 1:1000 dan seterusnya). Setiap vial harus dilabel dengan nama pasien, nama
ekstrak alergen dan tanggal kadaluwarsa.23,24

19
II.10. Dosis dan Cara Pemberian

Prinsip dasarnya adalah dosis permulaan yang diberikan adalah 1/10 dari
dosis yang menimbulkan reaksi tes kulit positif, dan dosis dinaikkan sedikit demi
sedikit setiap minggunya sampai mencapai 1000-10.000 kali dosis awal yang masih
ditoleransi. Biasanya memerlukan waktu sedikitnya 6 bulan deangan penyuntikkan 1
minggu sekali untuk mencapai dosis pemeliharaan. Kalau terjadi reaksi sistemik,
maka dosis yang lebih rendah menjadi dosis maksimum yang dapat di toleransi .
25,26

II.11. Keamanan

Keamanan imunoterapi telah dipermasalahkan sejak awal dalam


penggunaannya. Di Inggris antara 1957-1986, 27 reaksi berat telah dilaporkan oleh
komite keamanan pengobatan.Terdapat 16 kasus kematian, 14 diantaranya adalah
penderita asma. Hal yang sama dilaporkan oleh American Academy of Allergy
Asthma and Immunology, kasus kematian imunoterapi berhubungan dengan
asma.Angka kejadian reaksi sistemik imunoterapi berkisar antara 5-35%. Penelitian
di Surabaya menggunakan imunoterapi untuk asma ringan pada anak selama 3 bulan
tidak ditemui efek samping sistemik maupun lokal. Pada umumnya imunoterapi tidak
dilakukan pada keadaan auto-imun, kelainan jantung dan penderita yang
menggunakan obat antagonis beta.26,27

II.12. Efek Samping Dan Penatalaksanaannya


Alergen yang diberikan kepada penyandang asma alergi biasanya sudah
dibuktikan terlebih dahulu dengan uji tusuk kulit (skin prick test), sehingga besar

20
kemungkinan terjadi efek samping. Efek samping yang paling sering adalah
manifestasi sistemik hipersensitivitas seperti serangan asma, urtikaria, spasme laring,
hipotensi dan angioedema.10 Beberapa studi menganjurkan premedikasi dengan
antihistamin atau kortikosteroid atau penyuntikan anti histamin atau epinefrin setelah
imunoterapi untuk mencegah reaksi dan meningkatkan keamanan imunoterapi.11

Gambar 5. Efek samping


28
imunoterapi pada anak

Reaksi fatal yaitu kematian menurut The American Academy of Asthma


Allergy and Immunology tahun 1900-1991 sebanyak 10 kasus sedangkan di Inggris
sampai tahun 1986 sebanyak 26 kasus. Biasanya reaksi sistemik terjadi dalam 20-30
menit sedangkan reaksi lambat dapat terjadi 6 jam setelah penyuntikan imunoterapi. 11
Selain efek sistemik yang telah diuraikan di atas dapat terjadi efek samping lokal dan
reaksi vasovagal. Reaksi lokal yaitu kemerahan dan pembengkakan pada tempat
suntikan yang menimbulkan sedikit keluhan. Pengobatannya dengan melakukan
kompres dingin, pemberian antihistamin oral dan pengurangan dosis. Reaksi
vasovagal meliputi penurunan tekanan darah dengan perlambatan frekuensi nadi,
kulit menjadi dingin atau hangat disertai pengeluaran keringat tanpa timbul urtikaria
atau angioedema. Reaksi vasovagal tidak memerlukan pengobatan dan modifikasi
dosis karena segera member respons dengan menelentangkan pasien.18 Penanganan
reaksi lokal dan sistemik dapat dilihat pada kedua bagan (Gambar 4 dan 5).10,24,27

21
Gambar 6. Skema penanganan efek samping lokal imunoterapi alergen suntikan 9

22
Gambar 7. Skema penanganan efek samping sistemik imunoterapi alergen suntikan9

II.13. Imunoterapi di masa depan

23
Dengan berkembangnya kemajuan teknologi biologi molekuler,
perkembangan imunoterapi juga telah mengalami perkembangan pesat. Beberapa
penelitian telah menemukan terapi imunoterapi terbaru yang mempunyai tingkat
keberhasilan yang lebih tinggi dalam penanganan alergi walaupun masih dibutuhkan
penelitian yang lebih lanjut.

Beberapa jenis imunoterapi terbaru antara lain28,30,31 :

II.13.1 Alergen rekombinan.

Alergen rekombinan memungkinkan standardisasi alergen yang lebih tepat


dan mengatur penggunaan ekstrak terhadap pola reaktivitas yang tidak umum.
Sebagian besar penderita alergi bereaksi terhadap komponen alergen yang
sama yang disebut common allergen, yaitu alergen yang ditemukan pada
serum lebih dari 50% penderita dengan klinis yang serupa terhadap alergen
yang sensitif. Sebagian lagi tidak bereaksi tehadap allergen ini sehingga perlu
digunakan kombinasi alergen lain yang juga sensitif. Tersedianya alergen
rekombinan memungkinkan karakterisasi sensitivitas yang lebih lebar.
Tehnologi ini juga memungkinkan dibuat alergen dengan modifikasi molekul
tertentu. Telah dibuat rekombinan trimer yang terdiri dari tiga kovalensi
alergen utama birch pollen, Bet v1. Bentuk trimer ini mempunyai alergenisitas
rendah walaupun mempunyai epitop sel B dan sel T yang sama, dan dapat
menginduksi pelepasan sitokin Th1. Yang sangat menarik, trimer rBet v1
menginduksi IgG seperti yang dihasilkan dengan imunoterapi spesifik
konvensional.31,32

II.13.2 Vaksin peptida Sel T


Vaksin peptida sel T dikembangkan berdasarkan epitop yang diikat oleh IgE
tiga dimensi, sedangkan epitop yang dikenali sel T lebih pendek. Dua

24
pendekatan telah dicoba, pertama diberikan dosis besar dari peptida,
menyebabkan sel T toleran terhadap dosis besar, kedua dengan memberikan
ligan peptida yang telah dirubah.Kedua prosedur memerlukan pemeriksaaan
kompleks histokompatibilitas major calon penerima imunoterapi. Dengan cara
perubahan sebagian peptida Der p maka proliferasi klon sel T dihambat, dan
menekan ekspresi ligan CD40 beserta produksi IL-4, IL-5 dan IFN-. Sel T
yang anergi ini tidak bisa membantu sel B memproduksi IgE, dan yang
penting anergi ini tidak bisa dirubah lagi dengan pemberian IL-4 eksogen.
Dari pengalaman epidemiologi dan studi eksperimental telah dibuktikan
bahwa vaksinasi BCG menyebabkan penurunan reaksi alergi. Pada percobaan
hewan, penyuntikan BCG pada hewan coba yang sedang mengalami
sensitisasi dengan ovalbumin mengalami penurunan derajat eosinofilia jalan
nafas pada provokasi berikutnya dengan ovalbumin. Keadaan ini tidak
dipengaruhi oleh kadar IgE dan eosinofil, tetapi dimediasi oleh IFN-, dan
dapat berubah kembali dengan pemberian IL-5 eksogen. Dua pendekatan
menggunakan vaksin DNA saat ini sedang dalam penelitian intensif. Pertama,
menggunakan cytosine-phosphat-guanosine oligodeoxynucleotides (CpG
ODN), yang menyerupai DNA kuman. Bahan ini akan merangsang sitokin
Th1. Pada percobaan model asma tikus pemberian CpG ODN mencegah
terjadinya eosinofilia dan hiperesponsifitas bronkus.Kedua, menggabungkan
CpG ODN dengan protein alergen, dengan demikian mengurangi alergenistas
tetapi merangsang pembentukan Th1.31,32
II.13.3 Anti IgE
Imunoglobulin E memegang peran penting dalam patofisiologi penyakit
alergi. Imunoterapi baru yang sedang dikembangkan antara lain anti-
IgE.Penelitian yang melibatkan banyak subyek berumur 6-76 tahun sedang
dilakukan, ternyata hasilnya memuaskan terutama pada penderita asma yang
gagal dengan steroid inhalasi dosis tinggi. Pengobatan dengan anti-IgE
bermanfaat juga pada pasien yang disertai rinitis alergi.Tujuan utama
pemberian anti-IgE adalah menghambat peran sentral IgE yaitu menghambat

25
hipereaktivitas tipe I. Hasil akhir pengobatan ini adalah menurunkan IgE
tanpa melihat spesifistas alergennya. Jika digabung dengan imunoterapi
spesifik, akan meningkatkan efektifitas dan menurunkan efek samping.31,33

II.13.4 Alergoid dan ajuvan

Alergoid diproduksi dengan modifikasi secara kimia atau denaturasi alergen


asli, dengan tujuan tetap mempertahankan alergenisitasnya, tetapi mengurangi
risiko reaksi anafilaksisnya. Ajuvan digunakan bersama dengan ekstrak
alergen untuk meningkatkan respon imunologik dari alergen dan efektivitas
dari imunoterapinya.33,34

II.13.5 Peptida dan rekombinan alergen

Pada era modern dari cloning dan sequenzing, banyak alergen dapat
dikarakterisasi pada tingkat molekular. Dengan demikian rekombinan alergen
dan peptida alergen dapat diproduksi dan mungkin nanti akan memegang
peran penting dalam imunoterapi.31,33

II.13.6 Imunomodulator

Beberapa jenis imunomodulator banyak diteliti dalam strategi terapi penyakit


alergi, termasuk imunomodulator terhadap IgE maupun yang berperan
terhadap sitokin. Anti IgE telah dievaluasi sebagai pengobatan pada asma dan
rinitis alergi. Terapi anti sitokin layak dan mungkin untuk masa depan dapat
merupakan terapi yang efektif untuk asma dan rinitis alergi.32,33

II.14. Imunoterapi sebagai Terapi Preventif

26
Imunoterapi biasanya ditujukan untuk terapi tidak untuk pencegahan tetapi
banyak hal membuktikan bahwa spesifik imunoterapi dimasa depan mungkin
memegang peran sebagai pencegahan sekunder pada penyakit alergi. Anak yang
mendapat imunoterapi untuk rinitis alergi, dapat tercegah dari serangan asma.
Walaupun masih banyak memerlukan penelitan, tetapi tampaknya intervensi
imunologik dini pada stadium permulaan perkembangan sistem imun, mungkin dapat
mengubah fenotipe alergi pada seseorang.35,36

II.15. Imunoterapi sebagai Terapi Kanker

Imunoterapi digunakan untuk merangsang sistem kekebalan tubuh melawan


kanker. Misal, vaksin yang terdiri dari antigen diperoleh dari sel tumor bisa
menaikkan fungsi tubuh pada antibodi atau sel kekebalan (t limpiosit). Ekstrak
bakteri tuberkolosis yang dilemahkan, yang diketahui untuk menaikkan reaksi
kekebalan, telah berhasil ketika ditanamkan ke dalam kandung kemih untuk
mencegah kambuhnya tumor kandung kemih.37,38

Terapi antibodi monoclonal memerlukan penggunaan antibodi yang dihasilkan


secara eksperimental untuk menjadikan protein khusus di atas permukaan sel kanker
sebagai sasaran. Trastuzumab adalah salah satu antibodi, yang menyerang HER-2/neu
receptor yang hadir di atas permukaan sel kanker pada 25% wanita dengan kanker
payudara. Trastuzumab meningkatkan efek obat kemoterapi. Rituximab sangat efektif
mengobati lymphoma dan leukemia limfositik kronis. Rituximab yang dihubungkan
dengan isotop radioaktif bisa digunakan untuk mengantarkan radiasi secara langsung
ke sel lymphoma. Gemtuzumab ozogamicin, antibodi dan obat gabungan, efektif pada
beberapa orang dengan leukemia myelocytic kronis.37,38

27
Pemodifikasi reaksi biologis memperbaiki kemampuan sistem kekebalan
tubuh untuk menemukan dan menghancurkan sel kanker, seperti dengan merangsang
sel normal untuk menghasilkan utusan kimia (penengah). Interferon (diantaranya ada
beberapa macam) adalah yang diketahui terbaik dan sangat luas pemodifikasi reaksi
biologis yang digunakan. Hampir semua sel manusia menghasilkan interferon secara
alami, tetapi juga bisa dibuat lewat bioteknologi. Walaupun mekanisme tepat pada
tindakan tidak benar-benar jelas, interferon mempunyai tugas di dalam pengobatan
beberapa kanker, seperti Kaposis sarcoma dan melanoma ganas. Interleukin 2, yang
dihasilkan pada sel darah putih tertentu, juga bisa membantu sel karsinoma dan
metastatic melanoma di ginjal.37,

BAB III
Ringkasan

Imunoterapi alergi adalah pemberian berulang alergen spesifik yang sudah


diketahui, pada keadaan atau penyakit yang diperantarai imunoglobulin E, yang
bertujuan sebagai pencegahan dan perlindungan dari gejala alergi dan reaksi
inflamasi yang berhubungan dengan pajanan alergen. Mekanisme kerja imunoterapi
adalah memberikan efek imunologi yaitu menginduksi antibodi penghalang yang
bersaing dengan IgE, menurunkan IgE, memodulasi sel mast dan basofil dan
peningkatan aktivitas limfosit T supresor, sehingga terjadi penurunan respons alergi.
Penyakit-penyakit yang dapat dikelola dengan imunoterapi adalah rhinitis alergi,
asma karena alergi, konjungtivitis alergi dan hipersensitivitas terhadap sengatan
binatang. Penyakit seperti alergi makanan, urtikaria dan dermatitis biasanya tidak
cocok bila dikelola dengan imunoterapi. Salah satu indikasi penggunaan imunoterapi
adalah pada penderita rhinitis dan asma alergi derajat ringan sedang yang sudah
terkontrol. Imunoterapi alergen diberikan dengan cara suntikan subkutan tetapi

28
disamping itu ada cara lain yang relatif lebih aman dan mudah yaitu lokal nasal dan
sublingual-oral. Penggunaan imunoterapi sebagai pengontrol dalam tatalaksana alergi
masih menjadi kontroversi terutama dalam terapi asma karena penggunaan steroid
inhalasi masih lebih efektif dan memberikan hasil yang baik. Selain itu imunoterapi
direkomendasikan sebagai tambahan terapi bukan sebagai terapi utama dalam
penatalaksanaan alergi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Till SJ, Durham SR. Immunological responses to allergen immunotherapy.


Clin Allergy Immunol. 2004;18:85-104.
2. Akdis CA, Blaser K. Mechanisms of allergen-specific immunotherapy.
Allergy 2000; 55:522-530.
3. Purello-DAmbrosio F, Gangemi S, Merendino RA, et al. Prevention of new
sensitizations in monosensitized subjects submitted to specific
immunotherapy or not: a retrospective study. Clin Exp Allergy 2001; 31:1295-
1302.
4. Cox L, Li J, Lockey R, Nelson H. Allergen immunotherapy: a practice
parametersecond update. J Allergy Clin Immunol 2007;120(suppl):S25-85, IV.
5. Condemi JJ, Dykewicz MS, Fineman SM, Hannaway PJ, Lockey RF,
Finegold I. Immunotherapy historical prespective. Ann Allergy Asthma
Immunol 2001; 87(Suppl): 3-4.

29
6. Field PI, Gillis D. Specific allergen immunotherapy for asthma. MJA; 167:
540-4
7. Creticos PS. The consideration of immunotherapy in the treatment of allergic
asthma. Ann Allergy Asthma Immunol 2001; 87(Suppl): 13-27.
8. Durham SR, Till SJ. Immunologic changes associated with allergen
immunotherapy. J Allergy Clin Immunol 2008; 2: 157-64.
9. Moeliawan H. Imunoterapi praktis efek samping dan penanganannya. Dalam:
Margono B, Widjaja A, Amin M, Sargowo Dj, Saleh WBMT,Kabat H dkk,
editor. Proceeding Book Pertemuan Ilmiah Paru Milenium.Surabaya, 2002.
10. Ledford DK. Immunotherapy: A practical review and guide. Efficacy of
immunotherapy. Immunology and Allergy Clinics of North America 2009; 3:
35-57.
11. Durham SR, Till SJ. Immunologic changes associated with allergen
immunotherapy. J Allergy Clin Immunol 1998; 2: 157-64
12. Tippet J. Allergen immunotherapy. Immunology and Allergy Clinics of North
America 2004; 1: 129-48.
13. Lockey RF. ARIA: Global guidelines and new forms of allergen
immunotherapy. J Allergy Clin Immunol 2001; 108: 497-9.
14. Bousquet J, Demoly P, Michel FB. Specific immunotherapy in rhinitis and
asthma. Ann Allergy Asthma Immunol 2001; 87(Suppl): 38-42.
15. Lockey RF, Nicoara-Kasti GL, Theodoropoulos DS, Bukantz SC. Systemic
reactions and fatalities associated with allergen immunotherapy. Ann Allergy
Asthma Immunol 2001; 87(Suppl): 47-55.
16. Frew AJ, White PJ, Smith HE. Sublingual immunotherapy. J Allergy Clin
Immunol 1999; 104: 267-70.
17. Frew AJ, Smith HE. Sublingual immunotherapy. J Allergy Clin Immunol
2001; 107: 441-4.
18. Andre C, Vatrinet C, Galvain S, Carat F, Sicard H. Safety of sublingual-
swallow immunotherapy in children and adults. International Archives of
Allergy and Immunology 2000; 121: 229-34.

30
19. Jacobsen L, Niggemann B, Dreborg S, et al. Specific immunotherapy has
longterm preventive effect of seasonal and perennial asthma: 10-year follow-
up on the PAT study. Allergy 2007;62:943-8, Ib
20. Lieberman P, Nicklas RA, Oppenheimer J, et al. The diagnosis and
management of anaphylaxis practice parameter: 2010 update. J Allergy Clin
Immunol 2010; 126:477-80, e1-42. NR.
21. Tversky JR, Bieneman AP, Chichester KL, Hamilton RG, Schroeder JT.
Subcutaneous allergen immunotherapy restores human dendritic cell innate
immune function. Clin Exp Allergy 2010;40:94-102, LB.
22. Hankin CS, Cox L, Lang D, et al. Allergen immunotherapy and health care
cost benefits for children with allergic rhinitis: a large-scale, retrospective,
matched cohort study. Ann Allergy Asthma Immunol 2010;104:79-85, III.
23. Hankin CS, Cox L, Lang D, et al. Allergy immunotherapy among

Medicaidenrolled children with allergic rhinitis: patterns of care, resource use,


and costs.J Allergy Clin Immunol 2008;121:227-32, III.
24. Pfaar O, Anders C, Klimek L. Clinical outcome measures of specific

immunotherapy. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2009;9:208-13, IV.


25. DaVeiga SP, Caruso K, Golubski S, Lang DM. A retrospective survey of
systemic reaction from allergen immunotherapy. J Allergy Clin Immunol
2008;121(suppl): S124, III.
26. Bellinghausen I, Knop J, Saloga J. The role of IL-10 in the regulation of
allergic immune response.Int Arch Allergy Appl Immunol 2001, 126: 97-101.
27. Frati, F, Moingeon, P, Marcucci, F, et al. Mucosal immunization application to
allergic disease: sublingual immunotherapy. Allergy Asthma Proc 2007;
28:35.
28. Bousquet J, Lockey RF, Malling HJ. WHO position paper. Allergen
immunotherapy: therapeutic vaccines for allergic disease. Allergy 1998;53:1-
42.
29. LaRosa M, Ranno C, Andre C. Clinical and immunological effects of a rush
sublingual immunotherapy to Parietaria species: a double-blind,placebo-
controlled trial. J Allergy Clin Immunol 1999; 104: 425-32.

31
30. Abramson M, Puy R, Weiner J. Immunotherapy in asthma: an updated
systemic review. Allergy;54:1022-41.
31. Abramson MJ, Puy RM, et al. Allergen immunotherapy for asthma. Cochrane
Database Syst Rev 2003;4:CD001186.
32. Cox L, Li J, Lockey R, Nelson H. Allergen immunotherapy: a practice
parameter second update. J Allergy Clin Immunol 2007;120(suppl):S25-85,
IV.
33. Fass P. American Academy of Otolaryngic Allergy endorses the Allergen
Immunotherapy Practice Parameter. J Allergy Clin Immunol 2008;121:269-
70, NR..
34. Creticos PS. The consideration of immunotherapy in the treatment of allergic

asthma. Ann Allergy Asthma Immunol 2001; 87(Suppl): 13-27.


35. Bousquet J, Demoly P, Michel FB. Specific immunotherapy in rhinitis and

asthma. Ann Allergy Asthma Immunol 2001; 87(Suppl): 38-42.


36. Lockey RF, Nicoara-Kasti GL, Theodoropoulos DS, Bukantz SC. Systemic
reactions and fatalities associated with allergen immunotherapy. Ann Allergy
Asthma Immunol 2001; 87(Suppl): 47-55.
37. Borghaei H, Robinson MK, Adams GP, Weiner LM. Chapter 29: Monoclonal

antibodies.In: DeVita VT, Lawrence TS, Rosenberg SA, eds. DeVita,


Hellman, and Rosenbergs Cancer: Principles & Practice of Oncology. 10th
ed. Philadelphia, Pa: Lippincott Williams & Wilkins; 2015.
38. Rosenberg SA, Robbins PF, Phan GQ, Feldman SA, Kochenderfer JN.

Chapter 14:Cancer immunotherapy. In: DeVita VT, Lawrence TS, Rosenberg


SA, eds. DeVita,Hellman, and Rosenbergs Cancer: Principles & Practice of
Oncology. 10th ed.Philadelphia, Pa: Lippincott Williams & Wilkins; 2015.

32

Anda mungkin juga menyukai