Anda di halaman 1dari 4

Kebangkitan India

Walaupun coba ditutupi dengan "pupur" keceriaan para artis Bollywood-nya, tetap
saja orang tahu bahwa wajah India sesungguhnya adalah wajah nestapa berjuta-
juta orang miskin yang memenuhi kota-kota yang padat, kotor, dan berdebu.

Gambaran yang tertanam kuat inilah yang rupanya mendistorsi gaung kebangkitan
ekonomi India akhir- akhir ini, tidak terkecuali bagi kita di Indonesia.

Berbeda dengan kemajuan ekonomi China yang terlihat dari laju pembangunan
fisiknya yang berlangsung sangat cepat dan serbuan barang-barang konsumsinya
ke seantero pasar dunia, kemajuan India terjadi dalam bentuk tidak kasatmata.
Tepatnya, produk yang dihasilkan India bukanlah barang, melainkan jasa
outsourcing atau layanan memenuhi pesanan dari negara-negara maju untuk
semua yang dapat di-"digitalisasi" atau diubah ke dalam bahasa komputer dan
dikirim lewat kabel atau nirkabel (udara), misalnya pemrosesan kartu kredit dan
pemesanan tiket pesawat udara secara online.

Di luar India, para pekerja bidang teknologi di Lembah Silikon, Amerika Serikat,
adalah yang pertama-tama merasakan munculnya "ancaman" dari kebangkitan
India. Pada akhir tahun 2003, mereka menunjukkan kekhawatiran dengan
berkampanye sambil mengenakan kaus oblong bertuliskan: "Saya sudah di
Bengalore-kan".

Dari situs internet gerakan anti-outsourcing diketahui kaus oblong itu dijual
dengan harga 15,99 dollar AS. Bengalore adalah kota penuh pesona di selatan
India dan merupakan poros teknologi negeri itu.

Di seberang Atlantik, di Inggris, aksi serupa juga terjadi. Tulisan pada kaus
oblong para pemrotes di sana kali ini lebih terus terang, bunyinya: "Pekerjaanku
pergi ke India - dan yang tinggal bagi saya cuma kaus jelek ini".

Para pekerja bidang teknologi di India merespons aksi itu dengan berbagai kelakar
lewat chatting internet di antara mereka. Salah satunya mengatakan, "Harga kaus
oblong itu terlalu mahal; gerakan anti-outsourcing semestinya dapat menurunkan
biayanya dengan meng-outsource pembuatannya ke India."

Anehnya, semakin gencar kampanye anti-outsourcing di negara-negara maju,


semakin banyak perusahaan mereka melakukan outsourcing ke India.
Gambaran aksi dan reaksi di atas merupakan pembuka Bab 1 buku berjudul The
Rise of India: Its Transformation from Poverty to Prosperity yang ditulis Niranjan
Rajadhyaksha dan diterbitkan John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd (2007).

Niranjan Rajadhyaksha adalah deputi editor majalah Business World yang


memiliki basis pembaca yang luas di India. Dia memiliki gelar MA dalam ilmu
ekonomi dari Universitas Mumbai dengan spesialisasinya dalam ekonomi
internasional dan demografi. Awalnya ia dosen mata kuliah ekonomi untuk
jenjang S-1, tetapi kemudian memilih karier sebagai jurnalis ekonomi dan
keuangan, pekerjaan yang sudah ditekuninya selama 17 tahun terakhir.

Niranjan mengatakan, ia tumbuh dewasa di Sahitya Sahawas, kompleks hunian di


Mumbai yang didirikan para penulis dan kritikus 40 tahun lalu. Tampaknya, karier
sebagai penulis dan kritikus di India bukan saja telah menjadi profesi, melainkan
juga pekerjaan yang layak untuk dibanggakan.

Dari membaca tulisannya, kita segera menangkap Niranjan melanjutkan ide


Thomas L Friedman, salah satu penulis terbaik Amerika Serikat tentang
globalisasi dan pemenang Hadiah Pulitzer, seperti ditulis di dalam buku-buku
larisnya, The Lexus and the Olive Tree (1999) dan The World is Flat (2005).

Tepatnya, Niranjan memakai berbagai kecenderungan globalisasi Friedman untuk


menjelaskan mengapa India bisa bangkit dan apa tantangan selanjutnya. Buku
Niranjan dan sejenisnya mewakili titik balik dari gambaran kelabu yang
dipaparkan di dalam buku-buku semacam Asian Drama: An Inquiry into the
Poverty of Nations (1968) karangan Gunnar Myrdal, pemenang Nobel Memorial
Prize in Economics 1974, ataupun Asian Eclipse- nya Michael Backman (1999).

Enam revolusi

Fokus Niranjan tentang kebangkitan ekonomi India dalam bukunya adalah pada
kemampuan orang-orang dan organisasi komersialnya menarik manfaat dari atau
bahkan menciptakan apa yang disebutnya "Enam Revolusi Besar". Menyusul Bab
1 dan Bab 2 yang berjudul Fear Over The Valley dan A Century of Lost
Opportunities, uraian atas keenam revolusi tersebut membentuk Bab 3 hingga Bab
8.

Judul masing-masing revolusi pada keenam bab itu berturut-turut adalah People
Power (Revolusi Demografi), India Calling (Revolusi Outsourcing) , The Global
Agenda (Revolusi Globalisasi) , The Financial Revolution (Revolusi Pendanaan),
The Yogi and the Consumen (Revolusi Aspirasi Masyarakat), dan Reforms for the
Poor: The Acid Test (Revolusi Kebijakan Pemerintah). Buku ini diakhiri pada Bab
9 dengan judul The Dark Side of the Moon.

Ada dua sumbangan penting yang layak disebut dari buku setebal 176 halaman
termasuk Epilogue dan Index ini. Pertama, keterampilan Niranjan dalam
merangkai teori ekonomi, berbagai fakta seputar globalisasi dan dampaknya
terhadap India dengan cara penyampaian yang tidak bertele-tele.

Latar belakang pendidikan, pengalaman awal sebagai dosen, dan terakhir jurnalis
yang memiliki interaksi luas dengan orang dari berbagai kalangan memiliki andil
besar dalam membentuk keterampilan ini. Dengan latar belakang itu, dapat
dipastikan pembaca tidak akan berkerut keningnya karena berjumpa dengan
sebuah rumus ekonomi.

Sumbangan kedua adalah ide tentang "hak asasi ekonomi" bagi kasus India. Di
dunia, orang mengenal India sebagai contoh klasik keberhasilan demokrasi politik
dan kegagalan pembangunan ekonomi.

Kegagalan itu, menurut Niranjan, hanya bisa diatasi apabila ekonomi tidak hanya
dipandang sebagai alat oleh para ekonom, politikus, dan birokrat, tetapi juga hak
mendasar setiap warga negara India. Apakah mereka para karyawan berbagai
perusahaan yang harus menyesuaikan diri dengan arus globalisasi, para nelayan
yang menggunakan telepon genggam untuk memaksimalkan pendapatan mereka,
para orangtua yang mencari sekolah yang baik bagi anak-anaknya, para petani
yang mencari akses ke pasar modern, dan orang muda dengan aspirasinya untuk
menaiki terus jenjang karier yang semakin tinggi.

Hak asasi

Kebangkitan yang dialami India sampai sejauh ini akibat keenam revolusi di atas
adalah gambaran dari berhasilnya ekonomi dijadikan hak asasi sejumlah warga
negara dan organisasi komersialnya pada bidang-bidang yang terbatas.

Sebagai contoh, reformasi kebijakan Pemerintah India ke arah kebebasan ekonomi


yang lebih luas yang dimulai pada tahun 1991 adalah gambaran dari diberinya
pengakuan atas hak asasi ekonomi perusahaan India dan perusahaan asing
mitranya untuk memiliki kepastian berusaha di India.
Kebijakan ini sangat bertolak belakang dengan yang diterbitkan pada tahun 1973,
misalnya, di mana rasio kepemilikan asing dan mitra Indianya dibatasi hingga
maksimal 40 persen dan mengakibatkan IBM dan Coca-Cola keluar dari India.

Dampak dari diakuinya hak asasi ekonomi terakhir itu adalah berkembangnya
industri jasa outsourcing India. Walau baru terbatas di satu industri dan terutama
di wilayah Bengalore dan sekitarnya saja, keberhasilan ini menunjukkan perlunya
perluasan pengakuan hak asasi ekonomi ke sektor dan wilayah yang lain.

Akhir kata, buku ini sangat dianjurkan untuk dibaca oleh para birokrat di
pemerintahan, politikus, ekonom, dan para pembelajar ilmu ekonomi. Ide "hak
asasi ekonomi" dapat dipastikan akan memberikan sebuah insight baru dalam
memandang ekonomi sebagai alat kebijakan dan ilmu pengetahuan.

Karena pembahasannya disampaikan dengan cara populer, buku ini juga sesuai
untuk dibaca pelaku bisnis sehingga memungkinkan mereka berselancar lebih
baik di atas gulungan demi gulungan ombak yang terbentuk dari keenam arus
revolusi.

Jangan khawatir, buku ini tidak bisa disamakan dengan cerita dalam film-film
India produksi Bollywood. Bukankah melalui nama-nama seperti Rabindranath
Tagore dan Amartya Sen sudah terbukti India adalah juga penghasil pemenang
Hadiah Nobel bidang sastra dan ekonomi?

Anda mungkin juga menyukai