Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun oleh :
Alfahiyaozi 20140720186
PAI E
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian masyarakat madani?
2. Apa saja karakteristik masyarakat madani?
3. Bagaimana masyarakat madani menurut islam?
4. Apa saja hambatan dalam membangun masyarakat madani?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian masyarakat madani
2. Mengetahui karakteristik masyarakat madani
3. Mengetahui masyarakat madani menurut islam
4. Mengetahui hambatan dalam membangun masyarakat madani
BAB II
PEMBAHASAN
2
Masyarakat Madani adalah sebuah tatanan masyarakat sipil (civil society) yang
mandiri dan demokratis. Masyarakat madani lahir dari proses penyemaian demokratis.
Sejarah Masyarakat Madani lahir untuk pertama kalinya dalam perjalanan politik sipil
dibarat. Di Indonesia, istilah masyarakat madani mengalami penerjemahan yang berbeda-
beda dengan sudut pandang yang berbeda pula, seperti masyarakat madani sendiri,
masyarakat sipil, dan civil society. Para ahli mendefenisikan karakter Masyarakat Madani
sebagai komunitas social dan politik pada umumnya memiliki peran dan fungsi yang
berbeda dengan lembaga negara.
Ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ahli lainnya tentang pengertian
masyarakat madani yaitu :
a. Dewan Raharjo
Dewan Raharjo mendefenisikan Masyarakat Madani sebagai proses
penciptaan peradaban yang mengacu pada nilai-nilai kebijakan bersama.
Menurutnya, dalam masyarakat Madani, warga negara bekerjasama membangun
ikatan sosial, jaringan produktif, dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat non
negara. Raharjo menjelaskan, dasar utama dari masyarakat Madani adalah
persatuan dan integrasisosial yang didasarkan pada pedoman hidup,
menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang menyebabkan perpecahan
dan hidup dalam suatu persaudaraan.
b. Azyumardi Azra
Menurutnya, masyarakat Madani lebih dari sekedar gerakan
prodemokrasi, karena ia juga mengacu pada pembentukan masyarakat berkualitas
dan ber-tamaddun (civility).
c. Nurcholis Madjid
Menurutnya, masyarakat Madani mengandung makna toleransi, kesedian
pribadi-pribadi untuk menerima berbagai macam pandangan politik dan tingkah
laku sosial. (A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, 2010:216-217).
d. Zbigniew Rau
Menurutnya, masyarakat madani adalah sebuah ruang dalam masyarakat
yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan negara, yang diekspresikan
dalam gambaran ciri-cirinya, yakni individualis, pasa, dan pluralisme.
e. Han Sung-Jo
Menurutnya, masyarakat madani adalah sebuah kerangka hukum yang
melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang
3
terbebas dari negara, suatu ruang publik yang mampu mengartikulasikan isu-isu
politik, gerakan warga negara yang mampu mengendalikan diri dan independen
yang bersama-sama mengakui norma-norma budaya yang menjadi identitas
solidaritas yang terbentuk serta pada akhirnya terdapat kelompok inti dalam
masyarakat madani.
f. Patrick
Masyarakat madani, adalah jaringan kerja yang komplek dan organisasi-
organisasi yang dibentuk secara sukarela, yang berbeda dari lembaga-lembaga
negara yang resmi, bertindak secara mandiri atau dalam bekerjasama dengan
lembaga-lembaga negara.
g. Anwar Ibrahim
Masyarakat Madani adalah sebuah sistem sosial yang tumbuh berdasarkan
prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan
kestabilan masyarakat.
Menurut Anwar Ibrahim Masyarakat Madani memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
1. Kemajemukan budaya (multicultural)
2. Hubungan timbal balik (reprocity)
3. Sikap saling memahami dan saling menghargai
Anwar menjelaskan watak masyarakat Madani yang ia maksudkan sebagai
guiding ideas, dan melaksanakan ide-ide yang mendasari keberadaannya, yaitu
prinsip moral, keadilan, kesamaan, musyawarah dan demokrasi.
Konsep masyarakat madani merupakan penerjemahan atau pengislaman
konsep civil society. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah
Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid.
Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan
bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah
dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam
masyarakat muslim modern.
Makna Civil Society Masyarakat sipil adalah terjemahan dari civil society.
Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero
adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata societies civilis dalam
filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state).
Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John
4
Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil
yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja
(Larry Diamond, 2003: 278).
Antara Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk
menerjemahkan konsep di luar menjadi Islami. Menilik dari subtansi civil society lalu
membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran
atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan ditemukan
persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society
merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan
Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil
society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan.
Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari
alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang
terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang
bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).
Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak
arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa
Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari
masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering
digunakan untuk menjelaskan the sphere of voluntary activity which takes place
outside of government and the market. Merujuk pada Bahmueller (1997).
Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam
Q.S. Saba ayat 15:
Sesungguhnya bagi kaum Saba ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman
mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka
dikatakan): Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan
bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu)
adalah Tuhan yang Maha Pengampun.
B. Sejarah Masyarakat Madani
5
Sejarah awal Masyarakat Madani tidak bisa dilepaskan dari filsuf Yunani
Aristoteles (384-322 SM) yang memandang konsep Masyarakat Madani (civil society)
sebagai sistem kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri. Istilah civil society
dimana sekarang dikenal sebagai istilah koinonia politik, yaitu sebuah komunikasi politik
tempat warga dapat terlibat langsung dalam percaturan ekonomi-politik dan pengambilan
keputusan.
Thomas Hobbes pada tahun 1588-1679 M dan John Locke pada tahun 1632-1704
M, mereka memandang civil society sebagai kelanjutan dari evolusi masyarakat yang
berlangsung secara ilmiah. Selanjutnya ditahun 1767 Adam Ferguson, dia lebih menekan
visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial, menurutnya ketimpangan sosial akibat
kapitalisme harus dihapuskan, dikarenakan semakin banyaknya sikap individualism dan
berkurangnya tanggung jawab.
Selanjutnya dikembangkan lagi pada tahun 1770-1831 M ole G.W.F Hegel, Karl
Marx 1818-1883 M, dan Antonio Gramsci 1891-1837 M. dalam pandangan ketiganya,
civil society merupakan elemen idelogis kelas dominan.
Kemudian dikembangkan lagi oleh Alexis De Tocqueville (1805-1859 M). Berdasarkan
pengalamannya mengamati budaya demokrasi Amerika, ia memandang bahwa civil
society sebagai kelompok penyeimbang negara. Menurutnya kekuatan politik dan
masyarakat sipil merupakan utama yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai
daya tahan yang kuat.
Gagasan tentang civil society kemudian mewabah menjadi sebuah landasan
ideologis untuk perjuangan kelompok demokrasi dibelahan dunia yang lain untuk
membebaskan masyarakat dari cengkraman negara yang secara sistematis melemahkan
daya kreativitas dan kemandirian masyarakat.
C. Karakteristik Masyarakat Madani
Beberapa unsur pokok yang harus dimiliki oleh Masyarakat Madani adalah:
a. Wilayah publik yang bebas (free public share)
Ruang publik yang diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga
negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, warga negara berhak
melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat,
berkumpul serta memublikasikan pendapat, berserikat, berkumpul serta
memublikasikan informasi kepada publik. Sebagai prasaratan mutlak lahirnya civil
society yang sesungguhnya, ketiadaan publik bebas ini pada suatu negara dapat
6
menjadi suasana tidak bebas dimana negara mengontrol warga negara dalam
menyalurkan pandangan sosial-politiknya.
b. Demokrasi
Demokrasi adalah prasyarat mutlak lainnya bagi keberadaan civil society yang murni
(genuine). Tanpa demokrasi masyarakat sipil tidak terwujud, secara umumnya
demokrasi adalah suatu tatanan sosial-politik yang bersumber dan dilakukan oleh,
dari, dan untuk warga negara.
c. Toleransi
Toleransi adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat.
Menurut pandangan Nurcholish Madjid toleransi adalah persoalan ajaran dan
kewajiban melaksanakanajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara
pergaulan yang menyenangkan antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka
hasil itu harus dipahami sebagai hikmahatau manfaat dari pelaksanaan ajaran yang
benar. Dalam perspektif ini, toleransi bukan hanya sekedar tuntunan sosial
masyarakat mejemuk belaka, tetapi sudah menjadi bagian penting dari pelaksanaan
ajaran moral agama.
d. Kemajemukan (pluralism)
Pluralism tidak hanya dipahami sebatas sikap harus mengakui dan menerima
kenyataan sosial yang beragam, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk
menerima kenyataan perbedaan sebagai suatu yang almiah dan rahmat Tuhan yang
bernilai positif bagi kehidupan masyarakat.
e. Keadilan sosial (Social justice)
Keadilan sosial adalah adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional atas
hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan:
ekonomi, politik, pengetahuan, dan kesempatan.
f. Partisipasi sosial
Partisipasi sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa merupakan awal yang baik
bagi terciptanya masyarakat madani. Partisipasi sosial yang bersih dapat terjadi
apabila tersedia iklim yang memungkinkan otonomi individu terjaga.
7
2. Masih rendahnya sikap toleransi baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun
beragama,
3. Masih rendahnya kesadaran individu dalam keseimbangan dan pembagian yang
proporsional antara hak dan kewajiban,
4. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang belum memadai karena pendidikan
yang belum merata,
5. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat,
6. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter,
7. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja terbatas,
8. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar,
9. Kondisi sosial politik yang belum pulih pasca reformasi.
8
depan dengan kecanggihan tata sosial dan pembangunan sistem politiknya (Hatta,
2001:1).
Nabi Muhammad SAW melakukan penataan negara tersebut, dengan cara: pertama,
membangun infrastruktur negara dengan masjid sebagai simbol dan perangkat utamanya.
Kedua, menciptakan kohesi sosial melalui proses persaudaraan antara dua komunitas
yang berbeda, yaitu Quraisy dan Yatsrib, serta komunitas Muhajirin dan Anshar dalam
bingkai solidaritas keagamaan.
Ketiga, membuat nota kesepakatan untuk hidup berdampingan dengan komunitas lain,
sebagai sebuah masyarakat pluralistik yang mendiami wilayah yang sama, melalui
Piagam Madinah. Keempat, merancang sistem negara melalui konsep jihad fi sabilillah
(berjuang di jalan Allah).
Dengan dasar ini, negara dan masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad
SAW merupakan negara dan masyarakat yang kuat dan solid. Peristiwa hijrah telah
menciptakan keberagaman penduduk Madinah. Penduduk Madinah tidak terdiri dari
Suku Aus, Khazraj dan Yahudi saja, tetapi juga Muhajirin Quraisy dan suku-suku Arab
lain. Nabi SAW menghadapi realitas pluralitas, karena dalam struktur masyarakat
Madinah yang baru dibangun terdapat beragam agama, yaitu: Islam, Yahudi, Kristen,
Sabiin, dan Majusiditambah ada pula yang tidak beragama (atheis) dan bertuhan
banyak (polytheis). Struktur masyarakat yang pluralistik ini dibangun oleh Nabi SAW di
atas pondasi ikatan iman dan akidah yang nilainya lebih tinggi dari solidaritas kesukuan
(ashabiyah) dan afiliasi-afiliasi lainnya.
Selain itu, masyarakat pada saat itu terbagi ke dalam beberapa kelompok yang didasarkan
atas ikatan keimanan, yaitu: mu'minun, munafiqun, kuffar, musyrikun, dan Yahudi.
Dengan kata lain, masyarakat Madinah pada saat itu merupakan bagian dari komunitas
masyarakat yang majemuk atau plural. Kemajemukan masyarakat Madinah diawali
dengan membanjirnya kaum Muhajirin dari Makkah, hingga kemudian mengakibatkan
munculnya persoalan-persoalan ekonomi dan kemasyarakatan yang harus diantisipasi
dengan baik. Dalam konteks itu, sosialisasi sistem persaudaraan menjadi kebutuhan
mendesak yang harus diwujudkan.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Nabi Muhammad SAW bersama semua unsur
penduduk madinah secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat Madinah yang
mengatur kehidupan dan hubungan antarkomunitas, yang merupakan komponen
masyarakat majemuk di Madinah. Kesepakatan hidup bersama yang dituangkan dalam
9
suatu dokumen yang dikenal sebagai Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) dianggap
sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Piagam ini tidak hanya sangat
maju pada masanya, tetapi juga menjadi satu-satunya dokumen penting dalam
perkembangan konstitusional dan hukum di dunia.
Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain,
kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, serta tanggung
jawab sosial dan politik, khususnya pertahanan secara bersama. Dalam piagam tersebut
juga ditempatkan hak-hak individu, yaitu kebebasan memeluk agama, persatuan dan
kesatuan, persaudaraan (al-ukhuwwah) antaragama, perdamaian, toleransi, keadilan
(al-'adalah), tidak membeda-bedakan (anti diskriminasi), dan menghargai kemajemukan.
Dengan kemajemukan tersebut, Nabi Muhammad SAW mampu mempersatukan mereka.
Fakta ini didasarkan pada: pertama, mereka hidup dalam wilayah Madinah sebagai
tempat untuk hidup dan bekerja bersama. Kedua, mereka bersedia dipersatukan dalam
satu umat untuk mewujudkan kerukunan dan kemaslahatan secara bersama-sama. Ketiga,
mereka menerima Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi dan pemegang otoritas
politik yang legal dalam kehidupan. Otoritas tersebut juga dilengkapi dengan institusi
peraturan yang disebut Piagam Madinah yang berlaku atas seluruh individu dan setiap
kelompok.
Dalam konstitusi Piagam Madinah, secara umum masyarakat berada dalam satu ikatan
yang disebut ummah. Yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok sosial
yang disatukan dengan ikatan sosial dan kemanusiaan yang membuat mereka bersatu
menjadi ummah wahidah. Oleh karena itu, perbedaan agama bukan merupakan
penghambat dalam mencipatakan suasana persaudaraan dan damai dalam masyarakat
plural.
Muhammad Abduh dalam tafsirnya, al-Manar, mengakui bahwa agama bukanlah satu-
satunya faktor ikatan sosial dalam suatu umat, melainkan ada faktor universal yang dapat
mendukung terwujudnya suatu umat, yaitu unsur kemanusiaan. Karenanya unsur
kemanusiaan sangat dominan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial atau
makhluk politik. Demikian juga Muhammad Imarah, dalam karyanya berjudul Mafhum
al-Ummah fi Hadharat al-Islam, menyatakan bahwa umat yang dibentuk oleh Nabi
Muhammad SAW di Madinah merupakan umat yang sekaligus bersifat agama dan politik
(Bahri, 2001).
10
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa umat yang dibentuk Nabi Muhammad SAW di
kota Madinah bersifat terbuka, karena Nabi mampu menghimpun semua komunitas atau
golongan penduduk Madinah, baik golongan yang menerima risalah tauhid beliau
maupun yang menolak.
Perbedaan akidah atau agama di antara mereka tidak menjadi alasan untuk tidak bersatu-
padu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, gagasan dan
praktik membentuk satu umat dari berbagai golongan dan unsur sosial pada masa itu
merupakan sesuatu yang baru, yang belum pernah dilakukan oleh kelompok masyarakat
manapun sehingga seorang penulis Barat, Thomas W Arnold menganggapnya sebagai
awal dari kehidupan berbangsa dalam Islam, atau merupakan kesatuan politik dalam
bentuk baru yang disatukan oleh Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah).
Konstitusi Piagam Madinah, yang berjumIah 47 pasal itu (Sukardja, 1995:47-57), secara
formal mengatur hubungan sosial antarkomponen dalam masyarakat. Pertama, antar
sesama Muslim. Bahwa sesama Muslim itu satu umat walaupun mereka berbeda suku.
Kedua, hubungan antara komunitas Muslim dengan non-Muslim didasarkan pada prinsip
bertetangga yang baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela
mereka yang teraniaya, saling menasihati, dan menghormati kebebasan beragama. Dari
Piagam Madinah ini, setidaknya ada dua nilai dasar yang tertuang sebagai dasar atau
fundamental dalam mendirikan dan membangun negara Madinah. Pertama, prinsip
kesederajatan dan keadilan (al-musawah wa al-adalah). Kedua, inklusivisme atau
keterbukaan. Kedua prinsip ini, ditanamkan dalam bentuk beberapa nilai humanis
universal lainnya, seperti konsistensi (iltizam), seimbang (tawazun), moderat (tawassut),
dan toleransi (tasamuh). Kesemuanya menjadi landasan ideal sekaligus operasional dalam
menjalin hubungan sosial-kemasyarakatan yang mencakup semua aspek kehidupan, baik
politik, ekonomi maupun hukum.
Pada masa awal Nabi SAW membangun Madinah, peran kelompok-kelompok
masyarakat cukup besar dalam pengambilan keputusan, sebagaimana tercermin dalam
Piagam Madinah. Tetapi seiring dengan semakin banyaknya wahyu yang turun, sistem
negara Madinah masa Nabi kemudian berkembang menjadi sistem teokrasi. Negara,
dalam hal ini dimanifestasikan dalam figur Nabi SAW yang memiliki kekuasaan amat
besar, baik kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
11
Segala sesuatu pada dasarnya dikembalikan kepada Nabi SAW, dan ketaatan umat kepada
Nabi SAW pun semakin mutlak sehingga tidak ada kemandirian lembaga masyarakat
berhadapan dengan negara.
Meskipun demikian, berbeda dengan umumnya penguasa dengan kekuasaan besar yang
cenderung despotik (sewenang-wenang), Nabi SAW justru meletakkan nilai-nilai dan
norma-norma keadilan, persamaan, persaudaraan, dan kemajemukan yang menjadi dasar
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, di samping mendukung keterlibatan
masyarakat (sahabat) dalam pengambilan keputusan secara musyawarah.
Pada masa al-Khulafa al-Rasyidun, sistem negara tidak lagi berbentuk teokrasi
melainkan nomokrasi, yaitu prinsip ketuhanan yang diwujudkan dalam bentuk
supremasi syariat. Namun peran masyarakat menjadi lebih besar, di mana hal itu
mengindikasikan mulai terbangunnya masyarakat madani. Mereka melakukan kontrol
terhadap pemerintah, dan rekrutmen kepemimpinan pun yang didasarkan pada kapasitas
individual. Tetapi, setelah masa al-Khulafa al-Rasyidun, situasi mulai berubah, peran
masyarakat mengalami penyusutan, rekrutmen pimpinan tidak lagi berdasarkan pilihan
rakyat (umat), melainkan atas dasar keturunan. Lembaga keulamaan merupakan satu-
satunya lembaga masyarakat madani yang masih relatif independen. Pada masa
kekhilafahan, yakni dari masa al-Khulafa al-Rasyidun sampai menjelang runtuhnya
Dinasti Ustmani akhir abad ke-19, umat Islam telah memiliki struktur religio-politik
(politik berbasis agama) yang mapan, yakni lembaga legislatif dipegang oleh ulama.
Mereka memiliki kemandirian dalam berijtihad dan menetapkan hukum.
Dari pandangan ini, tercermin bahwa sebenarnya masyarakat madani yang bernilai
peradaban itu dibangun setelah Nabi Muhammad SAW melakukan reformasi dan
transformasi pada individu yang berdimensi akidah, ibadah, dan akhlak. Dalam
praktiknya, iman dan moralitaslah yang menjadi landasan dasar bagi Piagam Madinah.
Prinsip-prinsip dan nilai-nilai tersebut menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan, baik
politik, ekonomi, dan hukum pada masa Nabi SAW.
Posisi Piagam Madinah adalah sebagai kontrak sosial antara Nabi Muhammad SAW
dengan penduduk Madinah yang terdiri dari pendatang Quraisy, kaum lokal Yastrib, dan
orang-orang yang menyatakan siap berjuang bersama mereka.
Posisi Rasul SAW adalah sebagai pimpinan yang mereka akui bersama, dan telah
meletakkan Islam sebagai landasan bermasyarakat dan bernegara. Itulah sebabnya
penjanjian tersebut, dalam konteks teori politik, disebut sebagai Piagam Madinah atau
12
Konstitusi Madinah. Di dalamnya, terdapat pasal-pasal yang menjadi hukum dasar
sebuah negara kota yang kemudian disebut Madinah (al-Madinah al-Munawarah atau
Madinah al-Nabi). Nilai-nilai yang tercermin dalam masyarakat Madinah saat itu pastilah
nilai-nilai Islami yang tertuang di dalam Piagam Madinah.
Kontrak sosial yang dilakukan Nabi SAW itu dinilai identik dengan teori Social Contract
dari Thomas Hobbes, berupa perjanjian masyarakat yang menyatakan sumber kekuasaan
pemerintah adalah perjanjian masyarakat. Pemerintah memiliki kekuasaan, karena adanya
perjanjian masyarakat untuk mengurus mereka. Teori Social Contract J.J. Rousseau
bahwa otoritas rakyat dan perjanjian politik harus dilaksanakan untuk menentukan masa
depan rakyat serta menghancurkan monopoli yang dilakukan oleh kaum elite yang
berkuasa atas nama kepentingan rakyat, juga identik dengan teori Nabi Muhammad SAW
ketika membangun ekonomi dengan membebaskan masyarakat dari cengkeraman kaum
kapitalis.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masyarakat Madinah yang dibangun Nabi
SAW itu sebenarnya identik dengan civil society, karena secara sosio-kultural
mengandung substansi keadaban atau peradaban. Nabi SAW menjadikan masyarakat
Madinah pada saat itu sebagai classless society (masyarakat tanpa kelas), yakni tidak
membedakan antara si kaya dan si miskin, pimpinan dan bawahandi mana seluruhnya
sama dan sejajar di hadapan hukum.
Dari uraian di atas, secara terminologis masyarakat madani yang berkembang dalam
konteks Indonesia setidaknya berada dalam dua pandangan, yakni: masyarakat Madinah
dan masyarakat sipil (civil society). Keduanya tampak berbeda, tetapi sama. Berbeda,
karena memang secara historis keduanya mewakili budaya yang berbeda, yakni
masyarakat Madinah yang mewakili historis peradaban Islam. Sedangkan masyarakat
sipil adalah hasil dari peradaban Barat, seperti telah dipaparkan di atas. Perbedaan
lainnya, masyarakat Madinah menjadi tipe ideal yang sangat sempurna, karena komunitas
masyarakat dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW.
Apabila masyarakat madani diasosiasikan sebagai penguat peran masyarakat sipil, maka
masyarakat madani hanya bertahan di era empat al-Khulafa al-Rasyidun. Setelah itu,
masyarakat Islam kembali kepada masa monarki, di mana penguasaan negara (state
power) kembali menjadi besar, dan peran masyarakat (society participation) menjadi
kecil. Oleh sebab itu, ketiga prinsip yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan sebagai
13
elemen penting terbentuknya masyarakat madani, yaitu masyarakat yang memegang
teguh ideologi yang benar, berakhlak mulia, bersifat mandiri secara kultural-politik-
ekonomi, memiliki pemerintahan sipil, memiliki prinsip kesederajatan dan keadilan, serta
prinsip keterbukaan.
Timbul pertanyaan, nilai substansial seperti apakah yang dapat mewakili kecenderungan
masyarakat Madinah? Apabila dikaji secara umum, setidaknya nilai subtansial dari
semangat Islam dalam pemberdayaan masyarakat mencakup tiga pilar utama, yakni:
musyawarah (syura), keadilan (adl), dan persaudaraan (ukhuwwah). Sedangkan
masyarakat sipil (civil society) bermula dari semangat dan pergumulan pemikiran
masyarakat Barat untuk mengurangi peranan negara (state) dalam kehidupan masyarakat.
Seperti diketahui bahwa pada abad pertengahan masyarakat Barat dikuasai oleh dua
kekuatan yang sangat dominan, yakni gereja dan kerajaan-kerajaan. Sehingga para
sejarahwan Barat menyebutnya sebagai Abad Kegelapan (the Dark Ages). Selanjutnya,
muncul gerakan perlawanan dari para ilmuwan yang menghadirkan gerakan sekularisme
dan humanisme, di mana mereka menyatakan lepas dari keyakinan gereja, dan manusia
dianggap sebagai pusat segalanya (antrophosentris).
Dengan demikian, ada konsep baru yang ditawarkan Nabi SAW bahwa negara itu
melampaui batas-batas wilayah geografis. Negara itu lebih cocok dengan nilai-nilai dasar
kemanusiaan (basic values of humanity), sebab yang menjadi dasar utama
kewarganegaraannya bukan nasionalisme, suku, ras atau pertalian darah. Tetapi manusia
dapat memilih konsep hidup tertentu atau akidah tertentu. Manusia secara bebas dan
merdeka menentukan pilihan akidahnya, tanpa ada tekanan dan paksaan dari pihak mana
pun dan oleh siapa pun. Negara baru yang dibangun Nabi SAW adalah negara ideologi
yang didasarkan pada asas kemanusiaan yang terbuka, sesuai dengan firman Allah SWT
dalam Q.S. al-Baqarah:256.
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar dari jalan yang sesat.
Dengan demikian, konsep negara yang ditawarkan Nabi SAW benar-benar baru dan
orisinil, karena negara menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Di dalam Q.S. al-
Saba:15, Allah SWT mengilustrasikan profil masyarakat ideal sebagai berikut:
"Sebuah negeri yang aman sentosa dan masyarakatnya terampuni dosanya."
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya kesejahteraan umat
maka kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat suatu perubahan yang
signifikan. Selain itu, kita juga harus dapat menyesuaikan diri dengan apa yang
15
sedang terjadi di masyarakat sekarang ini. Agar di dalam kehidupan bermasyarakat
kita tidak ketinggalan berita.
Selain memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi
manusia yang ada di masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam
diri manusia sangat mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena
semakin besar potensi yang dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam
maka akan semakin baik pula hasilnya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang
memiliki potensi yang kurang di dalam membangun agamanya maka hasilnya pun
tidak akan memuaskan. Oleh karena itu, marilah kita berlomba-lomba dalam
meningkatkan potensi diri melalui latihan-latihan spiritual dan praktek-praktek di
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
16