Anda di halaman 1dari 15

Laporan Praktikum

Teknologi Pengolahan Limbah dan Sisa Hasil Ternak

PRAKTIKUM I

TEKNOLOGI PENGOLAHAN FESES TERNAK MENJADI PUPUK


PADAT (KOMPOS)

Oleh

Nama : Abd. Qayyum

Nim : I111 14 314

Kel / Gel : IV/I

Waktu : Sabtu, 4 Maret 2017

Asisten : R.H. Muh. Anugerah

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Limbah merupakan bahan organik atau anorganik yang tidak

termanfaatkan lagi, sehingga dapat menimbulkan masalah serius bagi lingkungan

jika tidak ditangani dengan baik. Limbah dapat berasal dari berbagai sumber hasil

buangan dari suatu proses produksi salah satunya limbah peternakan. Limbah

tersebut dapat berasal dari rumah potong hewan, pengolahan produksi ternak, dan

hasil dari kegiatan usaha ternak. Limbah ini dapat berupa limbah padat, cair, dan

gas yang apabila tidak ditangani dengan baik akan berdampak buruk pada

lingkungan (Adityawarman dkk, 2015).

Limbah yang berasal dari peternakan tersebut akan bernilai ekonomi tinggi

apabila diolah dengan perlakuan yang tepat. Ada banyak cara yang dapat

dilakukan untuk mengolah limbah peternakan tersebut. Salah satunya pengolahan

kotoran menjadi pupuk kandang, cara ini merupakan cara yang paling sederhana

yang sering kita jumpai yaitu kotoran ternak dibiarkan hingga kering. Namun

dengan cara pengolahan kotoran tersebut belum bisa dikatakan ramah lingkungan,

karena kotoran ternak yang diolah dengan cara dikeringkan akan menimbulkan

pencemaran dalam bentuk gas atau bau. Bau yang menyengat yang ditimbulkan

dari kotoran ternak akan mengganggu pernafasan yang menyebabkan gangguan

kesehatan lingkungan (Adityawarman dkk, 2015).

Pemanfaatan limbah peternakan (kotoran ternak) merupakan salah satu

alternatif yang sangat tepat untuk mengatasi naiknya harga pupuk dan kelangkaan
bahan bakar minyak. Apalagi pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber bahan

bakar dalam bentuk biogas. Teknologi dan produk tersebut merupakan hal baru

bagi masyarakat petani dan peternak. Pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber

energi, tidak mengurangi jumlah pupuk organik yang bersumber dari kotoran

ternak (Rahayu, 2009). Hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya praktikum

pengolahan limbah dan sisa hasil ternak tentang teknologi pengolahan feses sapi

menjadi pupuk padat.

Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dilakukan praktikum teknologi pengolahan feses sapi menjadi

pupuk padat yaitu untuk memanfaatkan ternak sebagai sumber daya alam yang

berdaya guna tinggi (pupuk organik) dan untuk mengurangi polusi lingkungan

yang diakibatkan oleh ternak.

Kegunaan dilakukan praktikum teknologi pengolahan feses sapi menjadi

pupuk padat yaitu agar mahasiswa dapat memanfaatkan ternak sebagai sumber

daya alam yang berdaya guna tinggi (pupuk organik) dan untuk mengurangi

polusi lingkungan yang diakibatkan oleh ternak.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Umum Feses Sapi Kadar Air 50%

Kotoran sapi mengandung 50% kadar air sehingga menyediakan kondisi

lingkungan yang optimal untuk mikroorganisme melakukan proses dekomposisi.

kadar air berkaitan dengan ketersediaan oksigen untuk aktivitas mikroorganisme

aerobik, bila kadar air bahan berada pada kisaran 40%-60,5%, maka

mikroorganisme pengurai akan bekerja optimal (Sudrajat, 2002).

Proses pembuatan kompos aerob sebaiknya dilakukan di tempat terbuka

dengan sirkulasi udara yang baik. Karakter dan jenis bahan baku yang cocok

untuk pengomposan aerob adalah material organik yang mempunyai

perbandingan unsur karbon (C) dan nitrogen (N) kecil (dibawah 30:1), kadar air

40-50% dan pH sekitar 6-8 (Subekti, 2015).

Kotoran sapi berpotensi dijadikan kompos karena memiliki kandungan

kimia sebagai berikut : nitrogen 0.4 - 1 %, phospor 0,2 - 0,5 %, kalium 0,1 1,5

%, kadar air 85 92 %, dan beberapa unsure-unsur lain (Ca, Mg, Mn, Fe, Cu, Zn).

Namun untuk menghasilkan kompos yang baik memerlukan bahan tambahan,

karena pH kotoran sapi 4,0 - 4,5 atau terlalu asam sehingga mikroba yang mampu

hidup terbatas. Bahan tambahan tersebut yang mudah didapat dari lokasi

penelitian antara lain : serbuk gergajian kayu, sekam, daan rumput (Dewi dkk.,

2017).
Tinjauan Umum Kompos

Kompos merupakan pupuk organik yang berasal dari sisa tanaman dan

kotoran hewan yang telah mengalami proses dekomposisi atau pelapukan. Selama

ini sisa tanaman dan kotoran hewan tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan

sebagai pengganti pupuk buatan. Kompos yang baik adalah yang sudah cukup

mengalami pelapukan dan dicirikan oleh warna yang sudah berbeda dengan warna

bahan pembentuknya, tidak berbau, kadar air rendah dan sesuai suhu ruang.

Proses pembuatan dan pemanfaatan kompos dirasa masih perlu ditingkatkan agar

dapat dimanfaatkan secara lebih efektif, menambah pendapatan peternak dan

mengatasi pencemaran lingkungan (Prihandini dan Purwanto, 2007).

Kompos merupakan pupuk organik yang berasal dari sisa tanaman dan

kotoran hewan yang telah mengalami proses dekomposisi atau pelapukan. Proses

pembuatan kompos (komposting) dapat dilakukan dengan cara aerobik maupun

anaerobik. Kompos yang baik digunakan di lahan adalah yang sudah matang dan

dicirikan oleh warna yang sudah berbeda dengan warna bahan pembentuknya,

tidak berbau, kadar air rendah dan sesuai suhu tanah. Proses pengomposan adalah

proses menurunkan C/N bahan organik hingga sama dengan C/N tanah ( 20).

Keunggulan dari pupuk kompos ini adalah ramah lingkungan, dapat menambah

pendapatan peternak dan dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan

memperbaiki kerusakan fisik tanah akibat pemakaian pupuk anorganik (kimia)

secara berlebihan (Subekti, 2015).

Bahan pembuatan pupuk kompos pada umumnya menggunakan kotoran

sapi. Hal ini dikarenakan bahan tersebut mudah didapatkan dan pengolahannya
tidak sulit. Kotoran sapi juga mempunyai kandungan N, P dan K yang tinggi

sebagai pupuk kompos, sehingga dapat mensuplai unsur hara yang dibutuhkan

tanah dan memperbaiki struktur tanah menjadi lebih baik (Subekti, 2015).

Peran Bakteri pada Proses Pengomposan

Pada dasarnya pengomposan adalah dekomposisi dengan menggunakan

aktivitas mikroba, oleh karena itu kecepatan dekomposisi dan kualitas kompos

tergantung pada keadaan dan jenis mikroba yang aktif selama proses

pengomposan. Penguraian secara alami memerlukan waktu yang cukup lama

sampai terbentuknya kompos. Ada beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk

mengubah sampah organik menjadi kompos, salah satunya adalah menggunakan

bioaktivator (Hermawan, 2011).

Pengomposan (komposting) adalah proses dimana bahan organik

mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang

memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah

mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk

lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang,

pemberian air yang cukup, mengaturan aerasi, dan penambahan aktivator

pengomposan (Subekti, 2015).

Bioaktivator merupakan larutan yang mengandung mikroorganisme lokal

yang bisa dibuat dari sampah rumah tangga. Bioaktivator memiliki kelebihan,

diantaranya mempercepat proses pengomposan, menghilangkan bau dari sampah,

menyuburkan tanah, starter untuk membuat pupuk cair. Untuk mengetahui


pengaruh bioaktivator kotoran sapi pada laju dekomposisi berbagai jenis sampah

daun perlu diadakan suatu penelitian tertentu (Hermawan, 2011).

Fungsi Bahan Tambahan pada Pembuatan Kompos

Bahan tambahan pada pembuatan kompos berbahan baku kotoran sapi

memiliki fungsi sebagai penyediaan rongga udara, sehingga proses pengomposan

dapat berlangsung secara optimal. Berdasarkan kandungan yang terdapat pada

masing-masing bahan tambahan yang digunakan dapat menyatakan ketiga jenis

bahan tambahan tersebut berpotensi digunakan pada proses pengomposan kotoran

sapi. Rasio karbon nitrogen berkisar 22-30.09, kadar air 50% w.b dan pH sekitar

4.3 4.4 dari biomassa akan membantu proses pengomposan menjadi lebih baik

dan optimal, karena mikroorganisme dapat bekerja secara optimal. Selain itu juga

berdasarkan penelitian Setiyo (2007), dengan kerapatan massa bahan 200-300

kg/m3 menyebabkan oksigen akan tersedia pada proses pengomposan.

Kotoran sapi berpotensi dijadikan kompos karena memiliki kandungan

kimia sebagai berikut : nitrogen 0.4 - 1 %, phospor 0,2 - 0,5 %, kalium 0,1 1,5

%, kadar air 85 92 %, dan beberapa unsure-unsur lain (Ca, Mg, Mn, Fe, Cu, Zn).

Namun untuk menghasilkan kompos yang baik memerlukan bahan tambahan,

karena pH kotoran sapi 4,0 - 4,5 atau terlalu asam sehingga mikroba yang mampu

hidup terbatas. Bahan tambahan tersebut yang mudah didapat dari lokasi

penelitian antara lain : serbuk gergajian kayu, sekam, daan rumput (Dewi dkk.,

2017).

Serbuk kayu adalah kayu halus yang memiliki ukuran kecil yang

dihasilkan dari proses pemotongan kayu. Secara umum serbuk kayu mengandung
selulosa, hemiselulosa, lignin, pentosan. Menurut Haygreen (1996), sebuk kayu

albesia memiliki kandungan selulosa dan lignin sedangkan menurut Abdurahim, et

al.,(1981), kayu jati memiliki kandungan selulosa sebesar 47.5%, lignin sebesar

29.9% dan pentose sebesar 14.4%.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompos yang Baik/Berhasil

Suhu pengomposan sekitar 28-31,3o C, Hal ini menunjukkan bahwa

mikroba yang aktif adalah mikroba mesofilik, yaitu mikroba yang dapat hidup

pada suhu antara 20-35o C. Aktifitas mikroba mesofilik dalam proses penguraian

akan menghasilkan panas dengan mengeluarkan CO2 dan mengambil O2 dalam

tumpukan kompos sampai mencapai suhu maksimum (Isroi dan Yuliarti, 2009).

Perubahan warna kompos dari coklat menjadi coklat kehitaman

menunjukkan adanya bakteri yang melakukan aktivitas dekomposisi, sehingga

mampu mengubah warna kompos. Proses pengomposan akan terjadi penguraian

bahan organik oleh aktivitas mikroba, yaitu mikroba akan mengambil air, oksigen

dan nutrisi dari bahan organik yang kemudian akan mengalami penguraian dan

membebaskan CO2 dan O2. Hal ini terjadi karena pangaruh bahan activator yaitu

kotoran sapi yang mempercepat proses pematangan kompos (Gaur 1986).

Percobaan menggunakan aerator, pada hari pertama masih tercium bau

yang sangat menyengat, akan tetapi pada hari kedua, bau sudah tidak tercium lagi.

Pada percobaan yang tidak menggunakan aerator juga terjadi hal yang sama. Hal

ini bisa terjadi karena kotoran sapi cepat mengalami dekomposisi dan juga

campuran dari serbuk gergaji membuat kadar air kotoran sapi berkurang (Subekti,

2015).
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

Waktu dan Tempat

Praktikum pembuatan kompos ini dilaksanakan pada tanggal 4 11 Maret

2017 di Laboratorium Teknologi Pengolahan Sisa Hasil Ternak, Fakultas

Peternakan, Universitas Hasanuddin.

Materi Praktikum

Alat yang digunakan pada praktikum pengomposan ini yaitu ember,

timbangan, kantong plastik, dan thermometer.

Bahan yang digunakan pada praktikum pengomposan ini yaitu feses sapi 5

kg, dedak 5% (5kg), gula pasir 200 gram, serbuk gergaji 3% (5kg), EM4 8cc dan

abu gosok 2% (5kg).

Metode Praktikum

Menyiapkan feses sapi sebanyak 5kg, kemudian mencampukan feses

dengan dedak 5% dari 5kg, gula pasir 200 gram, serbuk gergaji 3% dari 5kg, EM4

8cc, dan abu gosok 2% dari 5kg. Mencampurkan feses ayam dengan bahan

lainnya hingga homogen. Memasukkan kedalam kantong plastik hingga tertutup

rapat (Anaerob) selama 7 hari dan melakukan pengujian parameter yang telah

ditentukan. Adapun diagram alir proses pembuatan kompos sebagai adalah

berikut:
Bahan : Alat :
Menyiapakan Alat dan
Feses sapi 5 kg Bahan Ember, timbangan,
Dedak 5 %,gula Termoneter
pasir 200 gram,
serbuk gergaji 3%,
EM4 8cc, abu
gosok 2% Homogenisasi Bahan

Memasukkan dalam
Kantong Plastik ( Media
Anaerob)

Mengukur Suhu

Uji Organoleptik

Menutup Plastik Hingga


Anaerob

Gambar 1. Diagram alir pembuatan kompos


Parameter penelitian :

Warna

Coklat Muda Coklat Kehitaman

1 2 3 4 5 6

Bau

Feses Tape Fermentasi

1 2 3 4 5 6

Tekstur

Sangat menggumpal Tidak menggumpal

1 2 3 4 5 6
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan praktikum Teknologi Pengolahan Limbah dan Sisa Hasil

Ternak mengenai teknologi pengolahan feses sapi menjadi pupuk padat

didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil Uji Organoleptik Pembuatan Pupuk Padat


Indikator Skala
Suhu 29oC (awal & akhir)
Berat 5,2 kg (awal), 5,4 kg (akhir)
Warna 3 (awal), 1 (akhir)
Bau 2 (awal), 4,6 (akhir)
Terkstur 3 (awal), 3,4 (akhir)
Sumber : Data Hasil Praktikum Teknologi Pengolahan Limbah dan Sisa Hasil
Ternak, 2016

Berdasarkan praktikum Teknologi Pengolahan Limbah dan Sisa Hasil

Ternak mengenai teknologi pengolahan feses sapi menjadi pupuk padat

didapatkan suhu awal dan akhir yaitu 29oC, ini menandakan bakteri yang aktif

pasa saat pengomposan adalah bakteri mesofilik. Hal ini sesuai dengan pendapat

Isroi dan Yuliarti (2009) mikroba mesofilik adalah mikroba yang dapat hidup pada

suhu antara 20-35o C. Aktifitas mikroba mesofilik dalam proses penguraian akan

menghasilkan panas dengan mengeluarkan CO2 dan mengambil O2 dalam

tumpukan kompos sampai mencapai suhu maksimum.

Berdasarkan praktikum Teknologi Pengolahan Limbah dan Sisa Hasil

Ternak mengenai teknologi pengolahan feses sapi menjadi pupuk padat

didapatkan berat awal 5,2 kg sedangkan berat akhir 5,4 kg. ini berarti bahwa kadar

airnya meningkat artinya kompos kualitasnya kurang baik karena kompos yang

baik adalah kadar airnya rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Prihandini dan
Purwanto (2007) bahwa kompos yang baik adalah yang sudah cukup mengalami

pelapukan dan dicirikan oleh warna yang sudah berbeda dengan warna bahan

pembentuknya, tidak berbau, kadar air rendah dan sesuai suhu ruang.

Berdasarkan praktikum Teknologi Pengolahan Limbah dan Sisa Hasil

Ternak mengenai teknologi pengolahan feses sapi menjadi pupuk padat

didapatkan warna awal dengan skala 3 berwarna cokelat dan warna akhir dengan

skala 1 berwarna cokelat muda. Adanya perubahan warna pada kompos

disebabkan oleh aktivitas bakteri dalam kompos. Hal ini sesuai dengan pendapat

Gaur (1986) bahwa perubahan warna kompos dari coklat menjadi coklat

kehitaman menunjukkan adanya bakteri yang melakukan aktivitas dekomposisi,

sehingga mampu mengubah warna kompos.

Berdasarkan praktikum Teknologi Pengolahan Limbah dan Sisa Hasil

Ternak mengenai teknologi pengolahan feses sapi menjadi pupuk padat

didapatkan bau awal dengan skala 2 agak berbau feses dan bau akhir dengan skala

4,6 berbau tape fermentasi. Adanya perubahan bau yang dihasilkan oleh kompos

disebabkan oleh campuran-campuran bahan terutama bahan utama yaitu feses sapi

yang memiliki unsur kimia yang menyebabkan perubahan bau pada kompos. Hal

ini sesuai dengan pendapat Dewi dkk, (2016) bahwa kotoran sapi memiliki

kandungan kimia sebagai berikut : nitrogen 0.4 - 1 %, phospor 0,2 - 0,5 %, kalium

0,1 1,5 %, kadar air 85 92 %, dan beberapa unsure-unsur lain (Ca, Mg, Mn,

Fe, Cu, Zn).

Berdasarkan praktikum Teknologi Pengolahan Limbah dan Sisa Hasil

Ternak mengenai teknologi pengolahan feses sapi menjadi pupuk padat


didapatkan tekstur awal dengan skala 3 menggumpal dan tekstur akhir dengan

skala 3,4 sedikit menggumpal. Adanya perbedaan tektur pada kompos disebabkan

oleh adanya proses dekomposisi yang cepat sehingga kadar airnya turun. Hal ini

sesuai dengan pendapat Subekti (2015) bahwa kotoran sapi cepat mengalami

dekomposisi dan juga campuran dari serbuk gergaji membuat kadar air kotoran

sapi berkurang.
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, N.M.E.Y., Y. Setiyo dan I.M. Nada. 2017. Pengaruh bahan tambahan pada
kualitas kompos kotoran sapi. Program Studi Teknik Pertanian. Universitas
Udayana.

Gaur, A.C., 1986, A Manual of rural Composting, FAO/UNDP Regional Project


Divition of Microbiology, New Delhi, Indian, Agriculture Institute.

Haygreen JG, Bowyer JL., 1996. Forest Product and Wood Science: An
Introduction.

Isroi dan Yuliarti, 2009, Kompos Cara Mudah, Murah dan Cepat Menghasilkan
Kompos, Lily Publisher, Yogyakarta.

Prihandini, P.W. dan T. Purwanto. 2007. Pembuatan Kompos Berbahan Kotoran


Sapi. Departemen Pertanian.

Setiyo, Y., Hadi K.P., Subroto, M.A, dan Yuwono, A.S., 2007. Pengembangan
Model Simulasi Proses Pengomposan Sampah Organik Perkotaan. Journal
Forum Pascasarjana Vol 30 (1) Bogor.

Subekti, K. 2015. Pembuatan kompos dari kotoran sapi (komposting). Fakultas


teknologi pertanian. Universitas gadjah mada. Yogyakarta.

Sudrajat. 2002. Mengelola sampah kota, solusi mengatasi maslah sampah kota
dengan manajemen terpadu dan mengolahnya menjadi energi listrik dan
kompos. Penebar Swadaya. Depok.

Anda mungkin juga menyukai