Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PUJILESTARI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
2017
TINJAUAN PUSTAKA
Etiologi
Patofisiologi
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel yang
melapisi nasofaring.Sel karsinoma nasofaring 95% ke atas berdiferensiasi buruk,
tingkat keganasan tinggi, tumbuh infiltratif, dapat langsung berekspansi hingga
menginfiltrasi ke struktur yang berbatasan. Ke atas, dapat langsung merusak basis
kranial. Juga dapat melalui foramen spinosum, kanalis karotis internal atau sinus
sfenoid dan selula etmoidal posterior dll. Lubang saluran atau retakan alamiah
menginfiltrasi kranial, mengenai saraf kranial; ke anterior menyerang rongga
nasal, sinus maksilaris, selula etmoidalis anterior, kemudian ke dalam orbita, juga
dapat melalui intrakranium, fisura orbitalis superior atau kanalis pterigoideus,
resesus pterigopalatina lalu ke orbita. Ke lateral tumor dapat menginfiltrasi celah
parafaring, fosa intratemporal dan kelompok otot kunyah dll. Ke posterior
menginfiltrasi jaringan lunak prevertebra servikal, vertebra servikal. Ke inferior
mengenai orofaring bahkan laringofaring.
Submukosa nasofaring kaya akan jaringan limfatik, drainase limfatik dapat
melintasi garasi tengah ke sisi leher kontra-lateral. Penyebaran limfogen ke
kelenjar limfe leher dari kanker nasofaring terjadi secara dini. Lokasi metastasis
kelenjar limfe tersering ditemukan pada kelenjar limfe profunda leher atas di
bawah otot digastrik, yang kedua adalah kelenjar limfe leher profunda kelompok
tengah dan kelenjar limfe rantai nervus aksesorius di trigonum servikal posterior.
Metasasis jauh kanker nasofaring berkaitan erat dengan metastasis ke
kelenjar leher, menyusul limfadenopati servikal, jumlahnya bertambah, peluang
metastasis juga meningkat jelas.Lokasi metastasis jauh tersering adalah ke tulang,
lalu ke paru, dan sering terjadi metastais ke banyak organ sekaligus (Desen, 2008)
tetapi, jarang ke hati (Brennan, 2006).
Manifestasi Klinis
Sekitar 3 dari 4 pasien mengeluh benjolan atau massa di leher ketika
pertama kali datang ke dokter. Hal ini di sebabkan oleh karena kanker telah
menyebar ke kelenjar getah bening di leher, menyebabkan mereka menjadi lebih
besar dari normal (kelenjar getah bening yang seukuran kacang mengumpuli sel
sistem imun di seluruh tubuh). Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi atas 4
kelompok (Roezin, 2010, American Cancer Society, 2011, Mansjoer, 2003,
Herawati, 2002, dan Soetjipto, 1989) yaitu :
a. Gejala nasofaring: berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung, dan pilek.
b. Gejala telinga: gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat dengan
muara tuba eustachius ( fossa roodden muller). Gangguan dapat berupa
tinitus, rasa tidak nyaman di telinga (otalgia) hingga nyeri dan infeksi telinga
yang berulang.
c. Gejala mata dan saraf: gangguan saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut
karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak
ke III, IV,VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang diplopia lah yang
membawa pasien dahulu ke dokter mata. Neuralgia merupakan gejala yang
sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.
Proses karsinoma yang lanjut dapat mengenai saraf ke IX, X, XI, dan XII
manifestasi kerusakannya ialah:
N IX: gangguan pengecapan yang terjadi pada sepertiga belakang lidah
dan terjadi kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior.
N X: hiper/hipo/anastesi pada mukosa palatum mole, faring dan laring
diikuti gangguan respirasi dan salivasi.
N XI: kelumpuhan dan atrofi pada otot-otot trapezius,
sternokleidomastoideus, serta hemiparesis palatum mole.
N XII: terjadi hemiparalisis dan atrofi pada sebelah lidah.
Jika penjalaran melewati foramen jugulare yang disebut sindrom
jackson, dan jika mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral
serta dapat terjadi destruksi tulang tengkorak dengan prognosis yang
buruk.
d. Gejala atau metastasis di leher: dalam bentuk benjolan di leher yang
mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak ada keluhan lain.
e. Gejala metastasis jauh: ke hati, paru, ginjal, limpa, tulang, dsb.
PemeriksaanDiagnostik
a. Pemeriksaan nasofaring
Nasofaring diperiksa dengan cara rinoskopi posterior, dengan atau tanpa
menggunakan kateter (American Cancer Society, National Cancer Institute,
2011)
b. Pemeriksaan saraf kranial
Ditujukan pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok otot kunyah dan
lidah kadang perlu diperiksa berulang kali barulah ditemukan hasil positif
(Desen, 2008).
c. Radiologi
Computed tomography (CT) scan nasofaring
Chest x-ray
Foto polos x-ray dada mungkin dilakukan untuk menilai penyebaran
kanker ke paru-paru.
Magnetic resonance imaging (MRI) scan
MRI selain dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur
nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara lebih dini menunjukkan
infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara pasca fibrosis pasca
radioterapi dan rekurensi tumor, MRI juga lebih bermanfaat (Desen,
2008 dan American Cancer Society, National Cancer Institute, 2011).
Foto tengkorak (AP, lateral, dasar tengkorak dan waters
Untuk memastikan adanya destruksi pada tulang dasar tengkorak
serta adanya metastasis jauh (National Cancer Institute, 2011 dan,
Soetjipto, 1989).
Pencitraan tulang seluruh tubuh
Berguna untuk diagnosis kanker nasofaring dengan metastasis ke
tulang, lebih sensitif dibandingkan ronsen biasa atau CT, umumnya lebih
dini 3-6 bulan dibandingkan ronsen. Setelah dilakukan bone-scan, lesi
umumnya tampak tampak sebagai akumulasi radioaktivitas; sebagian
kecil tampak sebagai area defek radioaktivitas (Desen, 2008 dan
Soetjipto, 1989).
(Positron emission tomography) PET
Disebut juga pencitraan biokimia molekular metabolik in vivo.
Pasien akan menerima injeksi glukosa yang terdiri dari atom radioaktif.
Jumlah radioaktif yang digunakan sangat rendah. Karena sel kanker di
dalam tubuh bertumbuh dengan cepat, kanker mengabsorpsi sejumlah
besar gula radioaktif (Desen, 2008 dan National Cancer Institute 2011).
Biopsy nasofaring
Penghapusan sel atau jaringan sehingga dapat dilihat dibawah
mikroskop oleh patologi untuk memastiakan tanda-tanda kanker
(National Cancer Institute, 2011).
Pemeriksaan serologis EBV
Penatalaksanaan
a. Stadium I : Radioterapi.
b. Stadium II&III : Kemoradiasi
c. Stadium IV dengan N<6cm : Kemoradiasi.
d. Stadium IV dengan N>6cm : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan
kemoradiasi
Radioterapi
Radioterapi adalah pengobatan kanker yang menggunakan X-ray energi
atau radiasi tipe lain untuk memusnahkan sel kanker atau menghambat
pertumbuhan sel kanker. Ada dua tipe terapi radiasi. Terapi radiasi external
menggunakan mesin yang berada di luar tubuh untuk memberikan radiasi
kepada kanker. Terapi radiasi internal menggunakan zat radioaktif yang
dimasukkan melalui jarum, radioaktive seeds, wires atau kateter yang
ditempatkan secara langsung kedalam atau di dekat kanker. Cara pemberian
terapi radiasi tergantung pada tipe dan satdium kanker yang diobati.
Sumber radiasi menggunakan radiasi Co-60, radiasi energi tinggi atau
radiasi X energi tinggi dari akselerator linier, terutama dengan radiasi luar
isosentrum, dibantu brakiterapi intrakavital, bila perlu ditambah radioterapi
stereotaktik (Desen, 2008).
Kemoterapi
Pemberian kemoterapi diberikan dalam banyak siklus, dengan setiap periode
diikuti dengan adanya waktu istirahat untuk memberikan kesempatan tubuh
melakukan recover. Siklus-siklus kemoterapi umumnya berakhir hingga 3
sampai 4 minggu. Kemoterapi sering tidak dianjurkan bagi pasien yang
kesehatannya memburuk. Tetapi umur yang lanjut bukanlah penghalang
mendapatkan kemoterapi.
Terapi bedah
Pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher
yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah
penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang
dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi, serta tidak adanya
ditemukan metastsis jauh. Juga dilakukan pada karsinoma nasofaring dengan
diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma skuamosa grade I, II,
adenokarsinoma, komplikasi radiasi (parasinusitis radiasi, dll) (Desen, 2008
dan Roezin, 2010).
Terapi paliatif
Terapi paliatif adalah terapi atau tindakan aktif untuk meringankan beban
penderita kanker dan memperbaiki kualitas hidupnya, terutama yang tidak
dapat disembuhkan lagi. Tujuan terapi paliatif adalah:
Meningkatkan kualitas hidup penderita
Menghilangkan nyeri dan keluhan berat lainnya
Menjaga keseimbangan fisik, psikologik, dan sosial penderita
Membantu penderita agar dapat aktif sampai akhir hayatnya
Membantu keluarga mengatasi kesulitan penderita dan ikut berduka cita
atas kematian penderita.
Pencegahan
a. Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan
risiko tinggi (Roezin, 2010).
b. Mengurangi konsumsi ikan asin ternyata dapat menurunkan insidens secara
nyata (Soetjipto, 1989).
c. Mengurangi konsumsi alkohol atau berhenti merokok.
d. Makan makanan yang bernutrisi dan mengurangi serta mengeontrol stress
e. Berolahraga secara teratur (American Cancer Society, 2011).
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
Nama : Ny. N
Usia : 39 tahun
Alamat : Garut
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Sunda
Status Marital : Menikah
Tanggal Pengkajian : 16 Maret 2017
Nomor Medrek : 0001592028
Diagnosa Medis : Suspect Ca. Nasofaring
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Klien mengeluh sulit menelan
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Kurang lebih 1 bulan yang lalu, klien mengeluh timbul benjolan di
rongga mulut sebelah kiri.
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Tidak ada
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tidak ada riwayat penyakit diabetes mellitus, riwayat hipertensi (+)
e. Riwayat Psikososial Spiritual
Benjolan yang ada membuat rasa percaya diri klien berkurang. Namun,
klien menerima bahwa penyakit ini merupakan ujian dari Allah dan
klien hanya bisa pasrah dengan penyakit ini dan berusaha untuk
melakukan pengobatan demi kesembuhan klien.
f. Riwayat ADL
Kebutuhan Sebelum Sakit Setelah sakit
1. Nutrisi
Makan 3x/hari, tidak ada pantangan, 2x/hari, makan-makanan
makan dengan nasi, sayur, bertekstur lembek seperti
lauk pauk bubur dan menghindari
makanan pedas.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Penampilan umum : Klien tampak tenang
Kesadaran : Compos mentis dengan GCS 15
b. Tanda-tanda vital
Suhu : 36,5oC
Denyut Nadi : 88x/menit
Respirasi : 24x/menit
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
c. Antropometri
BB : 50 kg
TB : 154 cm
IMT : 21,1 (Normal)
d. Pemeriksaan fokus
Tampak benjolan di rongga mulut sebelah kiri, palpasi : refleks menelan
berkurang
4. Pemeriksaan Diagnostik
Rencana akan dilakukan biopsi, pemeriksaan lab, dan EKG
5. Terapi
Rencana kemoradiasi.
ANALISA DATA, ETIOLOGI, MASALAH
DIAGNOSA KEPERAWATAN
CATATAN PERKEMBANGAN
Nama Pasien : Ny. N Ruangan : Poliklinik THT-KL
No. RM : 00001592028 Nama Mahasiswa : Puji
NO. DX TANGGAL/JAM EVALUASI PARAF
1. 16 Maret 2017 S : klien mengeluh sulit menelan
Pukul 11.00 O : tampak benjolan pada leher kiri
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi : radioterapi,
kemoterapi, nutrisi parenteral,
enteral, edukasi
DAFTAR PUSTAKA
American cancer society, 2011. Nasopharingeal cancer. USA: American Cancer Society.
Diunduh:http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003124-
pdf.pdf (Pada tanggal 15 September 2016)
Brennan, B., 2006. Nasopharyngeal Carcinoma. BioMed Central Ltd.
USA. Diunduh:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1559589/
(Pada tanggal 15 September 2016)
Desen, W., 2008. Buku ajar onkologi klinis edisi kedua. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 263-278.
Gardjito, W., 2005. Kepala dan Leher. Dalam: Sjamsuhidjarat. R., dan Wim de
jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta. 351-352.
Herawati, S., Dan Sri R. 2002. Buku Ajar
IlmuPenyakitTelingaHidung Tenggorok UntukMahasiswaFakultasKedokteran
Gigi. EGC. Jakarta. 40-42.
Lin HS, Fee WS., 2009. Malignant Nasopharyngeal Tumors. Medscape
Reference Drugs, Disease, & Procedures.
Diunduh:http://emedicine.medscape.com/article/848163-overview (Pada tanggal
15 September 2016)
Mansjoer, A., Kuspaji T., Rakhmi S., Dkk. 2003. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga.
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 110-111.
Munir, D., 2010. Karsinoma Nasofaring Kangker Tenggorok; Edisi Revisi.
USU Press. Medan. Diunduh:http://usupress.usu.ac.id/terbitan-
2010/366- karsinoma-nasofaring-kangker-tenggorok-edisi-revisi.html (Pada
tanggal 15 September 2016)
National Cancer Institute at the national institutes of health,
2011. Nasopharyngeal Cancer Treatment (PDQ). USA: National Cancer
Institute.
Diunduh: http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/nasopharynge
al/Patient/All Pages/Print (Pada tanggal 15 September 2016).
Roezin, A., dan Marlinda A. 2010. Karsinoma Nasofaring. dalam: Soepardi,
Efianty A., Nurbaiti I., Jenny B.,dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga- Hidung-Tenggorok Kepala Leher edisi keenam. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 182-187.
Soetjipto, D., 1989. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Iskandar, N., Masrin M.,
Dan Damayanti S. Tumor-hidung-tenggorok diagnose &penatalaksanaan.
FakultasKedokteranUniversitas Indonesia. 71-83.
Sudiana, I., 2008. Patobiologi Molekuler Kanker. Salemba Medika. Jakarta. 41-42.
Sukardja, I., 2002. Onkologi klinik edisi 2. Airlangga University Press.
Surabaya. 229-237.