Anda di halaman 1dari 19

PENYAKIT KARAT TUMOR PADA SENGON DAN HAMA

CABUK LILIN PADA PINUS

Oleh :
Illa Anggraeni
(Peneliti Perlindungan Hutan)

KEMENTERIAN KEHUTANAN
BADAN LITBANG KEHUTANAN
PUSLITBANG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN BOGOR 2012

I. PENDAHULUAN
Pembangunan hutan tanaman merupakan suatu kegiatan penting untuk
memenuhi berbagai fungsi produksi dan perlindungan, dan apabila direncanakan
dengan baik dari hutan tanaman dapat diperoleh pula kestabilan lingkungan.
Pembangunan hutan tanaman umumnya dilakukan dengan pola tanam satu jenis
(monokultur), sehingga hutan tanaman merupakan suatu ekologi binaan dengan
budidaya pohon hutan, dan menerapkan silvikultur intensif. Kesengajaan
menyederhanakan ekosistem alam menjadi ekosistem rekayasa seperti pola
pertanaman monokultur tersebut sangatlah rentan terhadap kerusakan hutan
yang disebabkan faktor biotik dan abiotik. Upaya mengurangi dan
menghindarkan hutan tanaman dari kerusakan menjadi bagian dari substansi
strategi silvikultur yang diletakkan sejak awal. Oleh karena itu tindakan
perlindungan hutan tidak dapat dianggap sebagai satu penyelesaian masalah
kerusakan sesaat, atau hanya merupakan tindakan darurat, melainkan lebih
diarahkan untuk mengenali dan mengevaluasi semua sumber kerusakan yang
potensial, agar kerusakan yang besar dapat dihindari.
Perlindungan hutan mengutamakan pencegahan awal terjadinya atau
perkembangan suatu kerusakan hutan melalui perencanaan silvikultur dan
pengelolaan yang baik. Apabila dapat diwujudkan maka prosedur itu akan lebih
efektif daripada pengendalian langsung setelah kerusakan yang besar terjadi.
Oleh karena itu teknik pencegahan dan pengendalian Organisme Pengganggu
Tanaman (OPT) di sektor kehutanan perlu segera mendapat perhatian khusus,
karena masalah OPT sektor kehutanan di Indonesia masih kurang mendapat
perhatian dibandingkan dengan kegiatan perlindungan hutan yang lain. Upaya ini
harus ditempuh karena masalah OPT merupakan bagian integral dari kegiatan
pengelolaan hutan. Para ahli kehutanan mengatakan bahwa banyak faktor yang
dapat menyebabkan kerusakan hutan, baik yang berasal dari luar hutan maupun
faktor-faktor yang berhubungan dengan perkembangan hutan itu sendiri. Faktor-
faktor penyebab kerusakan hutan dapat terdiri dari organisme hidup (biotik) atau
faktorfaktor lingkungan fisik (abiotik). Penyebab kerusakan hutan dari organisme
hidup salah satunya adalah penyakit hutan. Penyakit hutan dapat menimbulkan
kerugian antara lain mengurangi kuantitas dan kualitas hasil dan meningkatnya
biaya produksi.

1
Sejak tahun 2003 sampai sekarang, telah terjadi serangan penyakit karat
tumor pada tanaman sengon, di hampir seluruh areal pertanaman sengon di
Pulau Jawa. Serangan penyakit ini telah mencapai tingkat epidemik dan belum
dapat teratasi. Pada tanaman muda, penyakit ini dapat menyebabkan kematian
dan pada tanaman siap panen, penyakit ini dapat menyebabkan penurunan
kualitas kayu sehingga harga jual kayu sengon dapat menurun. Beberapa
laporan telah menyebutkan kerugian akibat serangan penyakit karat tumor.
Dalam sebuah wawancaranya dengan salah satu media masa, Kepala Badan
Litbang Kehutanan telah menyebutkan bahwa di Propinsi Jawa Timur sendiri,
potensi kerugian akibat serangan penyakit ini dapat mencapai 24 trilyun rupiah.
Kondisi ini, jika dibiarkan akan berdampak pada ketersediaan dan
kesinambungan bahan baku untuk industri kayu berbasis sengon.
Selain penyakit karat tumor pada sengon, telah terjadi serangan hama
cabuk lilin (Pienus boerneri) pada pinus. Hama ini mulai menyerang tanaman
pinus di Baturaden sekitar tahun 1990, kemudian di Bandung Utara sekitar tahun
1994. Selanjutnya diketahui menyebar luas pada tahun 2003 yang menyerang di
sebagian besar hutan pinus di Jawa antara lain di Sumedang, Banyumas Timur,
Kedu selatan, Pekalongan Timur, Surakarta, Lawu Das, Pasuruan, Kediri dan
Probolinggo.

II. HAMA DAN PENYAKIT HUTAN

Agar diperoleh pengertian yang sama tentang hama-penyakit hutan, maka


terlebih dahulu kita jabarkan apa yang disebut hama dan apa yang disebut
penyakit.
Hama adalah semua binatang yang menimbulkan kerugian pada pohon hutan
dan hasil hutan seperti serangga, bajing, tikus, babi, rusa dan lain-lain. Tetapi
kenyataan di lapangan hama yang potensial dan eksplosif menimbulkan kerugian
adalah dari golongan serangga. Sehingga masyarakat umumnya mengidentikan
hama sama dengan serangga.
Penyakit adalah adanya kerusakan proses fisiologis yang disebabkan oleh suatu
tekanan/gangguan yang terus menerus dari penyebab utama (biotik /abiotik)

2
yang mengakibatkan aktivitas sel/jaringan menjadi abnormal, yang digambarkan
dalam bentuk patologi yang khas yang disebut gejala/tanda. Gejala/tanda inilah
yang memberikan petunjuk apakah pohon di dalam hutan sehat atau sakit.
Ada empat faktor utama yang memungkinkan hama dan penyakit dapat
berkembang dengan baik, yaitu adanya tanaman inang (tanaman hutan) yang
rentan dalam jumlah cukup, adanya hama dan patogen yang ganas, kondisi
lingkungan yang sesuai untuk perkembangan hama dan penyakit tersebut, dan
manusia yang ikut mendukung timbul atau tidaknya suatu hamapenyakit. Hama-
penyakit menyerang tanaman hutan mulai dari biji, bibit di persemaian, tanaman
muda di lapangan, tegakan siap tebang, sampai pada hasil hutan yang berada
dipenyimpanan.
Serangan hama-penyakit juga tidak memilih, hampir seluruh bagian tanaman
diserangnya mulai dari akar, batang, sampai pada daun. Perlindungan terhadap
hama-penyakit akan mulai dirasakan pentingnya apabila sudah terjadi serangan
yang sangat hebat (outbreak/eksplosif/wabah), yang sebenarnya keberadaan
hama-penyakit tersebut telah lama, tetapi karena akibatnya belum dirasakan
atau masih sedikit jadi tidak dipedulikannya atau dibiarkan saja. Akibatnya lagi
hamapenyakit makin merajalela sampai akhirnya menimbulkan kerugian yang
tidak sedikit.
Penyakit karat tumor pada sengon
Penyebab penyakit karat tumor pada sengon ialah jenis fungi Uromycladium
tepperianum (Sacc.) McAlpine. Jenis fungi karat umumnya masuk dalam divisi
Basidiomycotina, kelas
Urediniomycetes, ordo Uredinales, famili Pileolariaceae. Seperti patogen karat
yang lain maka Uromycladium juga bersifat parasit obligat yang hanya dapat
hidup apabila memarasit jaringan hidup. Pada U. tepperianum, spora yang
memegang peran penting dalam pembiakan dan pemencarannya adalah
teliospora yang dibentuk dalam jumlah besar.
Fungi karat ini hanya memerlukan satu inang saja yaitu tanaman sengon
sehingga fungi ini daur hidupnya pendek (mycrocyclus). U. tepperianum yang
berdaur pendek adalah sebagai berikut :

3
Piknia (menghasilkan pikniospora)

Telia Basidiospora
(Menghasilkan teliospora) (menginfeksi tanaman)

Penularan penyakit dapat terjadi melalui penyebaran teliospora dengan


bantuan air (embun), angin, serangga dan manusia. Untuk perkecambahan
teliospora diperlukan air, dan lamanya waktu berkecambah sangat tergantung
pada suhu dan kondisi berkabut/gelap juga mempercepat perkecambahan
teliospora. Teliospora sendiri tidak dapat menginfeksi inang. Teliospora harus
berkecambah membentuk basidiospora, yang terbentuk kurang lebih 10 jam
setelah inokulasi. Basidiospora inilah yang dapat secara langsung melakukan
penetrasi menembus epidermis dan membentuk hifa di dalam ataupun di
antara sel-sel epidermis, xilem dan floem. Setelah tujuh hari inokulasi, hifa
vegetatif karat tumor ini berkembang menjadi piknia sebagai pustul coklat yang
memecah epidermis. Infeksi dapat terjadi pada biji, semai maupun tanaman
dewasa di lapangan. Semua bagian tanaman meliputi pucuk daun, daun,
tangkai daun, cabang, batang, bunga dan biji dapat terinfeksi oleh fungi
patogen tersebut. Pada semai sengon, batanglah yang merupakan bagian
tanaman yang paling rentan terhadap serangan fungi karat. Fungi karat masih
bisa tetap hidup di musim kemarau/kering pada bagian tanaman yang
terserang. Pada waktu mulai musim hujan serangan akan bertambah dan terus
tersebar selama musim hujan.
Pengendalian Penyakit Karat Tumor Secara Kimiawi :
Uji coba pengendalian karat tumor telah dilakukan di beberapa tempat,
diantaranya di Kediri dan Ciamis. Di Kediri uji coba dilakukan dari bulan Maret
sampai dengan bulan Oktober 2008, pada tegakan sengon umur 1 tahun

4
dengan jarak tanam 2 m x 3 m yang terletak di petak 110a. Petak percobaan
masuk ke dalam wilayah Resor Polisi Hutan (RPH) Pandantoyo, Bagian
Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Pare, Kesatuan Pemangkuan Hutan
(KPH) Kediri, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Secara administratif RPH
Pandantoyo berada di Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri. Lokasi
penelitian ini terletak pada ketinggian 381 meter 561 meter di atas
permukaan laut, bertopografi datar sampai bergelombang dengan kimiringan di
bawah 10 persen. Jenis tanah regosol vulkan dengan tekstur berpasir dan
lempung berdebu. Struktur tanah lepas, remah dan mudah tererosi. Iklim
menurut Schmidt dan Ferguson (1951) termasuk tipe C dengan curah hujan
rata-rata 2000 2200 mm per tahun. Kelembaban berkisar antara 56%82,5%
dengan suhu minimum 20 C dan suhu maksimum 32 C.
Di Ciamis, percobaan pengendalian penyakit karat tumor pada sengon
dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan Oktober 2009. Percobaan
dilakukan di kebun sengon milik rakyat di Desa Sandingtaman Kecamatan
Panjalu, Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Kecamatan Panjalu berada di wilayah
Ciamis bagian Utara yang secara geografis berada pada posisi 8 Lintang
Utara dan 11 lintang Selatan, di bawah kaki Gunung Sawal. Tinggi tempat 750
1000 m di atas permukaan laut, dengan kelerangan 45%. Jenis tanah
podsolik merah kuning dan sebagian latosol.

Dari hasil uji coba tersebut maka pengendalian karat tumor dapat
menggunakan bahan-bahan sebagai berikut:
kapur : belerang (1:1)
belerang : garam (10:1)
kapur : garam (10:1)
Pengendalian karat tumor dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Setiap tanaman (pohon uji) dibersihkan dari karat tumor dengan cara
pemangkasan (wiwil),
2. Karat tumor dikumpulkan dan dimasukkan dalam lubang kemudian lubang
ditutup.

5
3. Pemberian perlakuan di atas dengan cara melabur pada seluruh permukaan
batang utama dan penyemprotan pada seluruh permukaan pohon.
4. Perlakuan dilakukan setiap dua minggu sekali, penghitungan jumlah karat
tumor pada setiap pohon dilakukan satu bulan sekali.

Cabuk lilin
Hama ini menyerang pohon pinus muda dan tua. Gejala serangan dapat
terlihat jelas pada bagian ranting yang terserang tertutup lilin yang berwarna
putih seperti tepung akibat dari benang-benang lilin yang dikeluarkan oleh
serangga tersebut untuk melindungi dirinya yang lemah. Akibat serangan hama
ini beberapa tanaman muda mengalami kematian atau pertumbuhannya
terhambat. Tanaman tahun 2000 yang berkali-kali diserang kutu lilin tingginya
sekitar 0,5 1 m, padahal tanaman yang sehat tingginya sekitar 3 4 m.
Tanaman tua yang diserang hama ini produksi getahnya menurun. Serangan
ini polifag, terdapat di daerah tropis dan sub tropis. Di Jawa umumnya
menyerang tanaman di dataran tinggi. Penyebarannya dilakukan oleh angin,
hujan, binatang lain seperti semut gramang. Populasinya tinggi pada musim
kemarau terutama jika kelembaban pada siang hari dibawah 75 % dan
berlangsung terus selama 3 - 4 bulan dengan curah hujan kurang dari 10 hari /
bulan.
Pengendalian hama cabuk lilin yang menyerang tanaman pinus muda agar
dilakukan pada waktu serangan hama masih ringan / mulai terjadi serangan
agar dapat sembuh kembali dengan cepat. Pengendalian menggunakan
pestisida hayati berbahan aktif Bacillus thuringiensis (4 gram/liter air) yang
dicampur dengan cuka kayu (40 cc/liter air). Perbandingan pestisida hayati
B. thuringiensis : cuka kayu bila dicampur dengan air 10 liter adalah = 20% :
80% atau 8 gram B. thuringiensis + 320 cc cuka kayu. Perlakuan diulang setiap
1 2 bulan sekali dengan cara semprot.

6
Akibat serangan hama cabuk lilin pada pohon pinus di KPH Bandung Utara
(Foto koleksi S.E.
Intari dan Illa Anggraeni)

III. PENGENDALIAN HAMA/PENYAKIT SECARA UMUM

Maksud dari pengendalian hama/ penyakit adalah untuk memperbaiki


kuantitas dan kualitas hasil produksi tanaman yang diusahakan. Sedangkan
tujuan dari pengendalian hama/penyakit adalah untuk mencegah terjadinya
kerugian ekonomis serta menaikkan nilai produksi dari tanaman yang
diusahakan. Jelaslah maksud dan tujuan dari pengendalian hama/ penyakit
adalah untuk mempertahankan tingkat produksi yang tinggi, mantap dan
berkesinambungan, tetapi secara ekologis dan ekonomis dapat
dipertanggungjawabkan, bahkan sekarang ini dikaitkan dengan kelestarian
lingkungan. Jadi hama/penyakit haruslah ditekan atau dikurangi dan ditiadakan
sampai di bawah ambang ekonomis. Usaha pengendalian dilakukan apabila
biaya yang dikeluarkan lebih kecil daripada kerugian yang terjadi akibat serangan
hama/penyakit. Dalam prakteknya pengendalian hama/penyakit dapat berupa :
- Pencegahan (preventive) artinya kita melakukan suatu tindakan atau
usaha agar tanaman yang masih sehat terhindar dari hama/penyakit
(sebelum adanya hama dan penyakit).
- Pemberantasan (control) artinya kita mengusahakan atau melakukan
tindakan-tindakan terhadap tanaman yang sudah terserang

7
hama/penyakit, dengan harapan agar tanaman itu akan sembuh dan
normal kembali.
Hadi (1990) mengatakan bahwa konsepsi dasar perlindungan hutan dari
serangan hama/penyakit sedikit berbeda dengan yang biasa digunakan untuk
perlindungan tanaman pertanian karena beberapa hal, antara lain
a. Hasil utama yang dipanen dari hutan adalah kayu, meskipun ada
beberapa perkecualian seperti biji pada hutan tengkawang (Shorea
stenoptera), dan hasil hutan non-kayu seperti rotan, bahan obat-obatan
yang terkandung dalam rhizom, daun dan sebagainya.
b. Di dalam hutan, jenis-jenis pohon yang tumbuh tidak dikelola secara
intensif seperti pada pertanaman pertanian, walau di beberapa negara
pengelolaan hutan tanaman mulai dilakukan secara intensif, namun
demikian pada umumnya masih belum seintensif pada pertanaman
pertanian.
c. Bagian pohon yang dikeluarkan dari hutan adalah batangnya apabila
hutan tersebut adalah hutan produksi kayu pertukangan, dan batang
beserta seluruh percabangannya apabila untuk produksi serat dan energi.
d. Daur hutan dapat mencapai puluhan tahun kecuali untuk produksi serat
dan produksi energi, yang lebih pendek.
e. Hutan dapat mempunyai fungsi lain disamping untuk produksi, antara lain
untuk melindungi tanah dari penghanyutan oleh air hujan, tata air,
perlindungan marga satwa dan sebagainya.
f. Banyak hutan terletak di tempat-tempat yang terpencil, tidak mudah
dicapai, dan tidak banyak dihuni manusia yang dapat membatasi
kemungkinan untuk pengelolaannya secara intensif termasuk dalam
upaya perlindungannya terhadap gangguan hama/penyakit.
g. Siklus hidup jenis-jenis pohon yang biasanya panjang, menyebabkan
pemuliaan dalam upaya untuk memperoleh varietas unggul yang resisten
terhadap hama/penyakit, menjadi lebih sulit dan memerlukan program
jangka panjang.

8
Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan selama ini telah berhasil
melakukan pengendalian hama dan penyakit pada sengon, jabon dan gmelina
antara lain sebagai berikut :
HAMA PENGENDALIAN
1. Eurema sp. (kupu kuning) - insektisida berbahan aktif Bacillus
thuringiensis dengan dosis 0,5 2 gram per
liter air dengan cara semprot langsung
pada tubuh larva.
- parasitoid Apanteles sp. (Hymenoptera).
- pestisida nabati dari daun suren yang
direndam 24 jam kemudian diperas, air
perasan tersebut disemprotkan.
2. Boktor/ Xystrocera festiva - jamur Beauveria bassiana diperoleh
(penggerek batang dengan cara memblender 200 gram
sengon), inokulum cendawan kemudian ditambahkan
8 liter air (25gram/liter air).
- insektisida berbahan aktif Bacillus
thuringiensis dengan dosis 0,5 2 gram per
liter air dengan cara semprot langsung
pada tubuh larva.
3. Ulat kantong - jamur Beauveria bassiana diperoleh dengan
cara memblender 200 gram inokulum
cendawan kemudian ditambahkan 8 liter air
(25gram/liter air).
- insektisida nabati perasan umbi gadung 125
gr/l air, perasan biji mahoni 150 gr/l air
dengan cara semprot, bacok oles dan infus
- Insektisida berbahan aktif Bacillus
thuringiensis
- Insektisida sistemik berbahan aktif
imidakloprid Confidor), metamidofos +
boron/boraks (1 : 10)
4. Uret - Menggunakan jamur entomopatogenik
Metarrhizium
- Insektisida berbahan aktif fipronil (Reagent)
5. Ulat grayak - Insektisida berbahan aktif Bacillus
thuringiensis, BPMC (Baycarp) dan
imidakloprid
6. Ulat pemakan daun - Insektisida berbahan aktif BPMC dan
imidakloprid
7.. Belalang - Insektisida berbahan aktif BPMC dan
imidakloprid
8. Kutu putih - Menggunakan cuka kayu + Bacillus
thuringiensis,

9
9. Hama kepik renda - Insektisida berbahan aktiff imidakloprid

PENYAKIT PENGENDALIAN
1. Penyakit Karat tumor - Bahan yang digunakan kapur, belerang dan
garam (belerang : kapur + 1 : 1; belerang :
garam = 10 : 1; kapur : garam = 10 : 1;
belerang : kapur : garam 10 : 10 : 1).
Perlakuan disemprot dan di labur (bahan
untuk semprot lebih encer dan disaring
terlebih dahulu, sedangkan bahan untuk
labur lebih kental)
Sebelum di lakukan penyemprotan dan
pelaburan terlebih dahulu menghilangkan
puru pada tanaman sengon yang terserang,
puru dikumpulkan dan dikubur dalam tanah
agar tidak menular. Setelah puru
dihilangkan batang dilabur dan disemprot
2. Penyakit Bercak daun - Menggunakan cuka kayu 40cc per liter air
- Fungisida berbahan aktif benomil dan
berbahan aktif belerang
3. Penyakit busuk akar, rebah- Menggunakan fungisida antagonis
kecambah dan layu Trichoderma dan Gliocladium
- Fungisida berbahan aktif triadimefon
(Bayleton)
4. Penyakit embun tepung - Menggunakan fungisida berbahan aktif
benomil

RESEP PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT SECARA UMUM


(Kardinan, 1999; Pracaya, 2008)

I. PENGENDALIAN HAMA

1. INSEKTISIDA BERBAHAN AKTIF Bacillus thuringiensis (Nama dagang


Bactospeine) 1 g insektisida + 1 liter air, diaduk dengan rata, masukan
dalam alat semprot. Cairan harus mengenai larva/ulat.

2. FUNGI ENTOMOPATOGENIK Beauveria bassiana

10
25 g biakan masal fungi (media jagung) ditumbuk/diblender tambahkan 1
liter air, diaduk hingga rata. Disaring kemudian dimasukkan dalam alat
semprot. Cairan harus mengenai larva/ulat, bila ulat berada dalam lobang
maka digunakan alat suntik.

3. INSEKTISIDA NABATI

A. Daun mimba 4 ons, lengkuas 3 ons, serai 3 ons dan deterjen/sabun


colek seujung sendok (1 g). Daun mimba + lengkuas + serai ditumbuk
halus kemudian ditambahkan 1 liter air biarkan semalam (24 jam).
Setelah semalam direndam tambahkan 3 liter air dan sabun colek
(diaduk), disaring dan siap disemprotkan.

B. Daun mindi sebanyak 500 gram ditumbuk halus kemudian tambahkan


5 liter air, direndam semalam (24 jam). Setelah direndam tambahkan
sabun 1 g, disaring dan siap untuk disemprotkan.

C. Bawang putih 2 siung ditumbuk halus tambahkan merica halus 2


sendok kemudian tambahkan 4 liter air dan sabun 1 g, disaring dan
siap untuk disemprotkan (kumbang)

D. Rawit 24 buah ditumbuk halus, masukkan 120 g kapur dan 120 g


garam tambahkan 16 liter air dan diaduk hingga merata. Campuran
didiamkan selama 2 jam, kemudian disaring dan siap untuk
disemprotkan (semut, kutu, siput, ulat, virus).

E. Daun pepaya 1 kg ditumbuk halus tambahkan 10 liter air biarkan 2


jam. Setelah dua jam tambahkan sabun 1 gr diaduk hingga merata,
disaring dan siap untuk disemprotkan.

F. Abu cangkir + kapur cangkir + 4 liter air, diaduk hingga rata dan
dibiarkan 2 jam. Apabila digunakan langsung pada perakaran tidak
perlu disaring, dilakukan penyaringan apabila perlakuannya disemprot
(uret dan kumbang).

G. Daun bintaro 1 kg ditumbuk halus ditambah 5 liter air, direndam


semalam tambahkan sabun, disaring dan siap untuk digunakan.

H. Daun suren 1 kg ditumbuk halus ditambah 5 liter air, direndam


semalam tambahkan sabun, disaring dan siap untuk digunakan.

II. PENGENDALIAN PENYAKIT

11
A. Karat tumor : 1 kg belerang + 1 kg kapur + 1 ons garam, ditambah 5 10
liter air diaduk hingga rata. Larutan untuk labur lebih pekat, sedangkan
larutan untuk semprot lebih encer dan harus disaring terlebih dahulu.

B. Fungi antagonis Trichoderma sp dan Gliocladium sp. yang dibiakan


massal pada campuran = sekam : dedak : pupuk kandang : kompos :
pasir = 2 : 2 : 1 : 1 : 1 (barangnya dah jadi, diperagakan saja karena
harus di laboratorium ada sterilisasi, isolasi dll.). Biakan massal
dicampurkan pada media semai untuk mencegah penyakit akar.

C. Cuka kayu : 20 40 cc yang dicampur dengan 1 liter air, disemprotkan


pada daun yang terkena penyakit bercak daun.

D. Jahe 1 0ns + Lengkuas 1 ons + labu siam 1 0ns ditumbuk halus/diparut


airnya diperas, setiap 20 cc air perasan tadi dicampur 1 liter air diaduk
dan disaring kemudian disemprotkan pada tanaman yang terserang
cendawan.

JENIS TUMBUHAN YANG BERPOTENSI SEBAGAI PESTISIDA NABATI


1. Babadotan (A. conyzoides)
2. Serai (A. nardus)
3. Sirsak (Annona muricata)
4. Suren (T. sureni)
5. Gadung (Dioscorea hispida)
6. Tuba (Derris eliptica)
7. Mimba (Azadirachta indica)
8. Mindi (Melia azedarach)
9. Tembakau (Nicotiana tabacum)
10. Jarak (Ricinus communis L.)
11. Kecubung (Datura patula)

PENUTUP

Sebelum melakukan langkah pengendalian terhadap hama dan penyakit


terlebih dahulu melakukan identifikasi jenis hama dan jenis penyebab penyakit,
mengetahui ekobiologi hama dan jenis penyebab penyakit, barulah kemudian
menetapkan strategi pengendaliannya. Mudahmudahan tulisan ini dapat berguna
dan sebagai pedoman bagi para pengelola hutan.
Bila ada yang kurang jelas atau apapun masalah hama dan penyakit dapat
menghubungi Illa

12
Anggraeni (08129980410) E-mail : illa_anggraeni@yahoo.co.id, Neo Endra
Lelana, Wida Darwiati,
Ujang W. D. di Kelompok Peneliti Perlindungan Hutan, Pusat Litbang
Peningkatan Produktivitas Hutan. Jalan Gunung Batu No. 5. Bogor. Telp. 0251-
8631238, Fax 0251-7520005.

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. Academic Press, Inc. London.

Alexopoulos, C.J. and C.W. Mims. 1979. Introductory Mycology. John Wiley & Sons.

Anggraeni, I. dan E. Santoso. 2003. Penyakit karat puru pada sengon (paraserianthes
falcataria) di Pulau Seram. Buletin Penelitian Hutan No. 636/2003. Edisi khusus,
Mycorrhiza. Puslitbang Hutan dan KA. Bogor.
Anggraeni, I. Dan Neo E. Lelana. 2011. Diagnosis Penyakit Tanaman Hutan. Puslitbang
Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor.

Anggraeni, I. Dan Neo E. Lelana. 2011.Penyakit Karat Tumor Pada Sengon. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan> Jakarta.

Dwidjoseputro. 1978. Pengantar Mikologi. Penerbit Alumni. Bandung.

Hadi, S. 1986. Pengelolaan HTI dengan penekanan pada masalah upaya perlindungan
terhadap penyakit. Prosiding Seminar Nasional Fmipa-UI. Jakarta.

Kalshoven,L.G.E. 1953. Important out breaks of insect pest


in the forest of Indonesia.
Tran(X/TH.Intern.Congress.Entomol).

Kardinan, A. 1999. Pestisida Nabati : Ramuan dan Aplikasinya. Penebar Swadaya.


Jakarta.

Notoatmodjo,S.1963. Cara-cara mencegah serangan masal dari boktor Xystrocera


festiva Pascoe pada tegakan Albizia falcata.Laporan LLPH.No.92.

Old, K. 2002. Misi penelitian penyakit madre cacao. Laporan untuk klien, No. 1119, Juni
2002. Klien : Dinas Ppembangunan Internasional Australia.

Pracaya, 2008. Hama dan Penyakit Tanaman: edisi revisi. Penerbit Swadaya, Jakarta

Rahayu, S. 1999. Penyakit tanaman hutan di Indonesia (Gejala, penyebab, dan teknik
pengendaliannya). Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

13
Semangun, H. 1996. Pengantar Penyakit tumbuhan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.

Soeratmo, F.G. 1979. Ilmu Perlindungan Hutan. Bagian Perlindungan Hutan. Fahutan
IPB. Bogor.

Suharti,M. Ragil B. Irianto dan Sugeng S. 1994. Perilaku Hama Penggerek Batang
Sengon dan Teknik Pengendalian Secara Terpadu. Bull. Pen Hutan.No.558

Suharti, M., Irnayuli R. Sitepu, Wida Darwiati dan Illa Anggraeni. 2000. Uji Efikasi
Beberapa Agens Pengendali Biologi, Nabati dan Kimia terhadap Hama Ulat
Kantong. Buletin Penelitian Hutan No. 624/2000. Puslitbang Hutan dan KA.
Bogor.

Suharti, M. 2002. Beberapa Hama dan Penyakit pada Sengon (Paraserianthes


falcataria) dan Teknik Pengendaliannya. Buletin Penelitian Hutan No. 632/2002.
Puslitbang Hutan dan KA. Bogor.

Widyastuti, SM., Sumardi dan Harjono. 2005. Patologi Hutan. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.

14
15
16
17
18

Anda mungkin juga menyukai