Anda di halaman 1dari 21

REFARAT

ROSASEA
Disusun Oleh :

IRFANSA PRANATA SITEPU


211 210 005

Pembimbing :

dr. DAME MARIA PANGARIBUAN, Sp.KK

BAGIAN PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSUD Dr. DJASAMEN SARAGIH PEMATANG SIANTAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA
MEDAN
2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberi rahmat dan kasihNya sehingga dapat menyelesaikan Refarat yang
berjudul Rosasea.
Adapun tujuan tugas laporan kasus ini adalah sebagai salah satu
persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin di RSUD dr. Djasamen Saragih Pematang Siantar.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Dame Maria Pangaribuan, Sp. KK atas bimbingan dan
masukan yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih belum sempurna. Untuk itu
penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi
penyempurnaan tugas ini. Semoga laporan kasus ini dapat berguna bagi kita
semua.

Pematang Siantar, April 2016


Penulis

Irpansa Pranata Sitepu

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2
2.1 Definisi ...................................................................................................... 2
2.2 Epidemiologi .............................................................................................. 2
2.3 Etiologi ...................................................................................................... 3
2.4 Klasifikasi .................................................................................................. 4
2.5 Patogenesis ................................................................................................ 7

2.6 Diagnosis ................................................................................................... 9

2.7 Diagnosis Banding ..................................................................................... 12


2.8 Penatalaksanaan ......................................................................................... 15
2.9 Prognosis .................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 17

1
BAB I
PENDAHULUAN

Rosasea adalah suatu penyakit peradangan yang bersifat kronik pada kulit,
berbentuk seperti akne yang umumnya terjadi pada kelenjar pilosebaseus di wajah
dan dapat merusak kontur wajah sehingga tampak lebih cembung, terutama pada
bagian hidung, pipi, dagu, dan dahi. Penyakit ini ditandai juga dengan adanya
eritema yang berkepanjangan dan telangiektasis disertai dengan papul atau pustul.
Selain itu, pada periode tertentu wajah tampak kemerahan dan terasa panas
terbakar yang terjadi hanya dalam beberapa menit (flushing).(1-3)
Pada kenyataannya tidak semua kasus sesuai dengan gambaran ini, di
mana tidak semua ciri-ciri selalu muncul. Suatu usaha dilakukan baru-baru ini
untuk menentukan kriteria diagnosis menyimpulkan bahwa adanya satu atau lebih
dari tanda-tanda berikut dengan distribusi pada bagian sentral wajah dipikirkan
sebagai rosasea yaitu flushing (kulit kemerahan dan terasa panas terbakar),
eritema non transient, papul, pustul, dan telangiektasis.(2, 4)
Walaupun rosasea telah banyak diketahui secara umum, rosasea tetap
menjadi suatu kontroversi terutama pada ahli-ahli dermatologi, sebagian besar
disebabkan karena patofisiologi yang belum jelas dan variasi gejala klinisnya.
Pada praktiknya para klinisi dapat dengan mudah mengidentifikasi muka merah
sebagai rosasea, walaupun terkadang dermatitis perioral, post adolescent acne,
dan pemberian steroid topikal yang berlebihan memberikan gambaran klinis yang
sama.(5)
Sebagian besar para ahli meyakini bahwa perubahan vaskular, terutama
flushing merupakan suatu gambaran yang khas dan konstan yang diikuti dengan
progresifitas ke arah inflamasi (papul dan pustul) dan adanya limfedema kronik,
penebalan kulit, dan rinofima merupakan suatu komplikasi lanjut. Walaupun
demikian, banyak kasus yang tidak menunjukkan pola yang jelas tentang hal
tersebut.(2)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Rosasea adalah penyakit kulit kronis pada daerah sentral wajah (yang
menonjol/cembung) yang ditandai dengan kemerahan pada kulit dan
telangiektasis disertai episode peradangan yang memunculkan erupsi papul,
pustule, dan edema.
Rosasea adalah suatu penyakit peradangan yang bersifat kronik pada kulit,
berbentuk seperti akne yang umumnya terjadi pada kelenjar pilosebaseus di wajah
dan dapat merusak kontur wajah sehingga tampak lebih cembung, terutama pada
bagian hidung, pipi, dagu, dan dahi. Penyakit ini ditandai juga dengan adanya
eritema yang berkepanjangan dan telangiektasis disertai dengan papul atau pustul.
Selain itu, pada periode tertentu wajah tampak kemerahan dan terasa panas
terbakar yang terjadi hanya dalam beberapa menit (flushing).(1-3)

2.2 Epidemiologi
Rosasea lebih sering terjadi pada bangsa kulit putih (ras kaukasoid).
Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan orang Afrika dan orang Asia
juga dapat menderita rosasea. Pada bangsa kulit putih ditemukan penderita rosasea
sekitar 10% dari jumlah total bangsa kulit putih.(1, 2, 5, 6)
Puncak insiden dan beratnya penyakit terjadi pada dekade ketiga dan
keempat, pada usia 30 40 tahun. Walaupun demikian, anak-anak, remaja,
dewasa muda dan usia lanjut dapat menderita rosasea.(1, 6)
Berdasarkan jenis kelamin, pada umumnya rosasea lebih sering terjadi
pada perempuan dibanding laki-laki.

2
2.3 Etiologi
Etiologi rosasea tidak diketahui secara pasti. Ada berbagai hipotesis
mengenai faktor penyebab, yaitu(4, 6) :
1. Makanan dan minuman
Alkohol dan makanan berbumbu pedas diduga merupakan
penyebab rosasea. Bahkan konstipasi, penyakit gastrointestinal dan
penyakit kelenjar empedu telah pula dianggap sebagai faktor penyebabnya.
2. Psikis/emosional
Belum banyak penelitian mengenai hubungan psikis dengan
insiden terjadinya rosasea. Namun diduga ini terjadi akibat stres yang
berlebihan sehingga mengganggu fungsi kerja hormon yang nantinya
memicu reaksi inflamasi.
3. Obat-obatan
Adanya peningkatan bradikinin yang dilepaskan oleh adrenalin
pada saat kulit kemerahan menimbulkan dugaan adanya peran berbagai
obat, baik sebagai penyebab maupun yang dapat digunakan sebagai terapi
rosasea.
4. Infeksi
Demodex folliculorum dahulu dianggap berperan pada etiologi
rosasea. Walaupun demikian, keterlibatan Demodex folliculorum ini masih
perlu dibuktikan.
5. Musim/iklim
Peran musim panas atau musim dingin termasuk di dalamnya peran
sinar ultraviolet yang dapat menimbulkan kerusakan pembuluh darah kulit
penyebab eritema persisten masih terus diselidiki karena belum jelas dan
bertentangan hasilnya.
6. Imunologi
Di lapisan dermoepidermal penderita rosasea ditemukan adanya
deposit imunoglobulin oleh beberapa peneliti sedangkan di kolagen papiler
ditemukan antibodi antikolagen dan antinuklear antibodi sehingga ada
dugaan faktor imunologi pada rosasea.

3
7. Lainnya
Defisiensi vitamin, hormonal dan sebore pernah disangka berperan pada
etiologi rosasea namun tidak dapat dibuktikan.

2.4 Klasifikasi
National Rosacea Expert (NRS) Commitee, pada tahun 2002 menetapkan
subtipe rosasea dan menggolongkannya ke dalam subtipe eritematotelangiektasis,
papulopustular, phymatous dan okular.(4, 5)
1. Tipe Eritematotelangiektasis (Erythematotelangiectatic type)
Rasa perih pada bagian sentral wajah, sering disertai dengan rasa
panas dan terbakar yang merupakan tanda utama rosasea tipe
eritematotelangiektasis (ETR). Warna kemerahan biasanya tersebar di kulit
sekitar mata. Pasien-pasien dengan rosasea tipe ini memiliki kulit
bertekstur baik dengan penurunan kualitas kelenjar sebasea. Area yang
eritem pada wajah terlihat kasar dengan batas seperti suatu proses yang
kronik, seperti dermatitis ringan. Di bagian pipi juga terlihat pembulh
darah halus. Faktor pencetus yang paling sering menyebabkan rasa
panas/terbakar ini termasuk stres emosional, minuman panas, alkohol,
makanan berbumbu pedas, cuaca dingin atau panas. Pasien mengeluh rasa
panas dan terbakar bertambah ketika menggunakan obat-obat topikal.(4, 7)

Gambar 1. Erythematotelangiectatic type (4)

4
2. Tipe papulopustular (Papulopustular rosacea)
Pada tipe ini timbul kista (benjolan) kecil kecil berwarna merah
dan berisi nanah, bentuknya seperti jerawat.

Gambar 2. Papulopustular rosacea(1)

3. Rosasea phymatous (phymatous rosacea)

Rosasea tipe ini merupakan rosasea dengan penebalan pada kulit


dan permukaan nodul yang iregular di daerah hidung, dagu, dahi, satu atau
kedua telinga, dan atau kelopak mata. Terdapat empat pembagian tipe
rinofima (suatu perubahan pada hidung) secara histologis yaitu tipe
glandula (akibat hiperplasia kelenjar sebasea) dan merupakan tipe yang
lebih dominan, tipe fibrosa (akibat hiperplasia jaringan konektif), tipe
fibroangiomatosis (hiperplasia jaringan ikat dan pelebaran pembuluh
darah), dan tipe aktinik (akibat massa nodular jaringan elastis).(4, 6, 7)

5
Gambar 3. Phymatous rosacea dan inflamasi(4)
4.
Rosasea okular (Ocular rosacea)
Manifestasi okular meliputi blefaritis, konjungtivitis, peradangan
pada kelopak mata dan kelenjar Meibom, hiperemis konjungtiva
interpalpebra dan telangiektasis konjungtiva. Pasien mungkin mengeluh
mata terasa perih atau terbakar, kering, dan iritasi dengan sensasi benda
asing atau sensasi cahaya. Rosasea okular hampir mirip dengan rosasea
phymatous, tetapi memiliki manajemen terapi yang berbeda. Oleh karena
itu, harus ditanyakan pada pasien tentang keluhan dan gejala okular dan
dilakukan pemeriksaan fisis untuk menentukan tipe rosasea.(4, 7)

Gambar 4. Ocular Rosacea(5)

Plewig dan Kligman mengklasifikasikan rosasea berdasarkan stadium


sebagai berikut(1) :
1. Stadium I : eritema persisten dengan telangiektasis
2. Stadium II : eritema persisten, telangiektasis, papul, pustul kecil

6
3. Stadium III : eritema persisten yang dalam, telangiektasis yang
tebal, papul, pustul, nodul, jarang ada edema padat/keras pada
bagian sentral wajah
Pada klasifikasi ini, stadium I analog dengan tipe eritematotelangiektasis,
stadium II dengan tipe papulopustular, dan stadium III analog dengan tipe
phymatous.(5)
Progresi dari satu stadium ke stadium lain tidak selalu terjadi. Rosasea
dapat dimulai dengan stadium II atau III dan stadium-stadium itu dapat terjadi
bersamaan.(1)
2.5 Patogenesis
Patogenesis rosasea adalah multifaktorial, tetapi sangat jelas hubungannya
dengan hiperaktivitas vaskular. Eritema pada rosasea ini disebabkan oleh dilatasi
pembuluh darah superfisial wajah. Diduga terjadi atrofi pars papilare dermis yang
menyebabkan visualisasi kapiler kulit menjadi lebih jelas.(7, 8)
Pasien rosasea memberikan riwayat wajah yang mudah memerah dan
mengeluhkan warna kulit yang memerah sedikit demi sedikit. Makanan dan obat-
obatan yang menginduksi vasodilatasi wajah terlihat sejalan dengan
perkembangan rosasea. Pasien dengan rosasea memiliki kulit yang mudah
teriritasi. Sebagai contoh, pasien sering mengeluh mengalami rasa perih dan
terbakar jika menggunakan kosmetik dan obat-obatan topikal. Vasodilatasi pasien
rosasea lebih besar dan persisten dibandingkan yang terlihat pada orang normal.
Stimulasi suhu adalah penyebab dari food-induced flushing pada kebanyakan
pasien, misalnya suhu kopi dan teh yang panas dapat menyebabkan wajah
kemerahan. Walaupun rosasea tidak secara umum dianggap sebagai penyakit
neurokutaneus, penting diketahui bahwa flushing atau wajah kemerahan dimediasi
oleh suatu fungsi neural dan dengan demikian rosasea pun memiliki dasar
neurologi.(4)

Didapatkan adanya hubungan yang erat antara sistem vaskular dan sistem
imun, sama seperti pemberian anti inflamasi yang pada kenyataan cukup efektif
sebagai terapi rosasea. Hal ini memberi kesan bahwa sel-sel radang seperti

7
neutrofil dan mediator inflamasi lainnya merupakan faktor utama patofisiologi
terjadinya rosasea.(8)

Ketidakstabilan pembuluh darah (vascular instability/vascular lability)


terjadi karena faktor hormon, stres emosional, makanan, paparan sinar matahari,
pelepasan substansi vasoaktif dan infestasi Demodex folliculorum. Hal ini
mengakibatkan terjadi pelepasan mediator inflamasi, di antaranya yaitu sitokin
yang akan menginduksi terjadinya proses inflamasi.(7, 8)

Flushing atau rasa panas pada rosasea lebih sering dimediasi oleh
pelepasan substansi vasoaktif daripada mekanisme refleks saraf, tetapi hal ini
belum dapat ditetapkan sebagai dasar patofisiologi dan kedua mekanisme ini pun
dapat berperan penting. Mediator inflamasi yang dimaksud termasuk serotonin,
bradikinin, prostaglandin, substansi P, peptida opiod dan gastrin. Kadar substansi
P dalam darah meningkat pada beberapa pasien tetapi tidak selalu terjadi. Peptida
opiod dikemukakan sebagai mediator dari flushing pada rosasea berdasarkan aksi
supresi dari antagonis opiod, nalokson. Sering pula dianggap bahwa rosasea
berhubungan dengan gejala-gejala pada gastrointestinal, walaupun hanya sedikit
bukti nyata yang mendukung pendapat ini.(2, 8)

Demodex folliculorum seringkali ditemukan pada folikel pustul yang


meradang pada hidung penderita rosasea. Demodex folliculorum merupakan suatu
tungau yang hidup dalam lumen folikel glandula sebasea pada kepala yang diduga
sebagai penyebab rosasea pada usia pertengahan. Spesies Demodex (tungau yang
secara normal hidup pada folikel rambut manusia) mungkin berperan dalam
patogenesis rosasea. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Demodex
folliculorum menyukai daerah kulit yang merupakan predileksi rosasea seperti
hidung dan pipi. Demodex folliculorum ini terlihat lebih banyak pada pasien
rosasea papulopustular dibandingkan dengan individu normal. Selain itu, folikel
yang didiami oleh tungau ini dapat memberikan respon inflamasi lokal.(2, 4, 9)

8
Banyak peneliti juga mengemukakan bahwa terjadi infiltrasi respon imun
sel T-helper yang mengelilingi antigen Demodex folliculorum pada pasien rosasea.
Walaupun demikian, penelitian lain menunjukkan pula hal yang sebaliknya.
Penelitian tersebut menyatakan bahwa Demodex folliculorum tidak menyebabkan
respon inflamasi pada rosasea. Oleh sebab itu, diperlukan lebih banyak penelitian
dan studi untuk menentukan apakah Demodex folliculorum bersifat patogen.(4)

Kerusakan jaringan yang disebabkan oleh photoaging/solar aging akibat


paparan sinar matahari juga berperan dalam patogenesis rosasea karena terjadi
aktivasi sistem imun yang dapat mengakibatkan inflamasi. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, paparan sinar matahari juga dapat mengakibatkan
ketidakstabilan vaskular yang akhirnya menginduksi pelepasan mediator-mediator
inflamasi. Degradasi aktinik pada vaskular dan kolagen perivaskular serta jaringan
elastis secara langsung menurunkan integritas mekanik pembuluh darah dan
meningkatkan hiperesponsif pembuluh darah kecil di wajah.(4, 7, 8)

Angiogenesis yang dicetuskan oleh inflamasi dapat pula dihubungkan


dengan timbulnya telangiektasis. Faktor angiogenik disimpan dalam matriks
ekstraselular dilepaskan oleh protease neutrofil atau dilepaskan dan diaktivasi oleh
makrofag.(8)

Proses inflamasi selanjutnya berperan dalam patogenesis eritema dan


telangiektasis. Enzim-enzim degradasi, termasuk protease seperti elastase yang
dilepaskan dari neutrofil yang teraktivasi akan merusak jaringan ikat yang
mengelilingi pembuluh darah.(8)

Solar elastosis dapat pula menyebabkan kegagalan sistem limfatik. Ketika


volume eksudat protein berlebih dalam drainase sistem limfatik, cairan
ekstraseluler terakumulasi pada kulit bagian superfisial. Hal ini mengakibatkan
terjadinya edema pada kulit dan peradangan, dimana seringkali didahului dengan
hipertrofi jaringan ikat. Neutrofil ini melepaskan protein yang mendegradasi

9
protein matriks, menyebabkan fibroplasias, suatu proses awal terjadinya rinofima.
(8)

2.6 Diagnosis

a. Manifestasi Klinik

Rosasea terbatas pada wajah dan kulit kepala serta bermanifestasi dalam 4
fase yaitu fase pra rosasea, fase vaskular, fase inflamasi dan fase lanjut.(10)
Pada fase pra rosasea, pasien mengeluhkan kulit yang kemerah-merahan,
disertai dengan rasa perih yang tidak nyaman. Pencetus yang umumnya
dilaporkan untuk kelainan ini di antaranya adalah paparan sinar matahari, stres
emosional, cuaca panas atau dingin, alkohol, makanan berbumbu pedas, latihan
berat, angin, kosmetik, dan air mandi yang panas atau air minum yang panas.
Gejala-gejala ini menetap sepanjang fase lain penyakit ini.(2, 10)
Pada fase vaskular, pasien mengalami eritema pada wajah dan edema
dengan telangiektasis multipel, kemungkinan sebagai akibat dari instabilitas
vasomotor yang persisten atau menetap. Pada fase inflamasi, sering diikuti dengan
perkembangan papul dan pustul yang steril.(6, 10)
Beberapa pasien berkembang ke tahap lanjut rosasea, ditandai dengan
hiperplasia jaringan kasar pada pipi dan hidung (rinofima) yang disebabkan oleh
inflamasi jaringan, deposit kolagen dan hiperplasia glandula sebasea. Rosasea
okular bermanifestasi sebagai kombinasi dari blefarokonjungtivitis, iritis, skleritis,
dan keratitis, menimbulkan rasa gatal, sensasi benda asing, eritema, dan edema
pada mata.(6, 10)
Secara umum, terdapat riwayat wajah kemerahan dan rasa perih/terbakar
dengan peningkatan temperatur kulit sebagai respon dari stimulus panas pada
mulut (saat meminum air panas), makanan pedas, dan alkohol. Paparan sinar
matahari (rosasea sering dihubungkan dengan solar elastosis) dan udara panas
(misalnya pada koki yang selalu berdekatan dengan kompor yang panas) dapat

10
mengakibatkan terjadi eksaserbasi. Akne dapat didahului dengan rosasea selama
bertahun-tahun, meskipun demikian, rosasea mungkin dan biasanya timbul tanpa
didahului riwayat akne atau seboroik.(1, 2)
Lesi pada kulit meliputi(1) :
1. Lesi awal pada kulit
Warna kemerahan yang terasa panas (red face), papul yang kecil dan
papulopustul (2-3 mm), pustul sering kecil dan berada pada apeks papul. Tidak
terdapat komedo.
2. Lesi Lanjut
Wajah berwarna merah dan papul yang merah kehitaman dan terdapat
nodul. Lesi tersebar dan memiliki ciri-ciri tersendiri. Telangiektasis ditandai
adanya hiperplasia kelenjar sebasea dan limfadema pada rosasea yang kronik
menyebabkan ketidakteraturan bentuk hidung, dahi, kelopak mata, telinga dan
dagu. Karakteristik distribusi rosasea adalah lesi yang lokasinya simetris pada
wajah. Jarang pada leher, dada (area berbentuk V), punggung, dan kulit kepala.
3. Lesi yang khas, meliputi rinofima (pembesaran hidung), metofima (pembesaran
pada dahi), blefarofima (pembengkakan kelopak mata), otofima (pembengkakan
daun telinga yang mirip seperti bunga kol), dan gnatofima (pembengkakan dagu)
karena hiperplasia dari glandula sebasea dan terjadi fibrosis. Pada palpasi, lesi
khas tersebut terasa lembut dan kenyal seperti karet.
Keterlibatan mata pada rosasea berakibat blefaritis kronik, konjungtivitis, dan
episkleritis. Keratitis rosasea, sekalipun jarang, dapat timbul.

Gambar 5. Rosasea stadium III dengan rinofima(1)

11
b. Histopatologi
Perubahan histologi tergantung stadium dari proses yang terjadi. Biasanya
terdapat ketidakteraturan pada jaringan ikat kulit bagian atas, ditandai dengan
adanya edema, kerusakan serabut otot dan sering terjadi elastosis yang berat. Fase
inflamasi ditandai adanya sel limfosit, histiosit, polimorfonuklear, sel plasma, dan
benda asing tipe giant cell. Demodex folliculorum seringkali ditemukan pada
folikel rambut daerah yang mengalami gangguan.(6, 9)
Tidak ada gambaran histologis yang spesifik untuk rosasea, tetapi
kombinasi dari beberapa tanda-tanda klinik dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis. Gambaran histopatologis yang paling sering ditemukan pada rosasea
adalah infiltrasi sel radang limfohistiosit dalam jumlah besar yang letaknya agak
berjauhan satu dengan yang lain di sekitar pembuluh darah kulit, telangiektasis,
edema, elastosis, dan terdapat gangguan struktur kulit bagian atas.(2, 11)

Gambar 6. Gambaran histopatologi dari rosasea(2)

c. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada tes diagnostik yang spesifik sebab diagnosis utamanya
didasarkan atas gambaran klinik saja. Kultur bakteri dapat dilakukan jika dicurigai
terdapat infeksi Staphylococcus aureus dan secara khusus infestasi Demodex
folliculorum.(1, 10)

2.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding rosasea terbagi atas dua kelompok gejala klinik rosasea
yaitu papul/pustul wajah dan flushing atau eritema.(1)
1. Papul atau pustul pada wajah

12
a. Akne vulgaris
Dapat terjadi pada umur remaja, kulit seboroik, terdapat komedo,
papul, pustul, nodus, kista. Tempat predileksi muka, leher, bahu, dada,
dan punggung bagian atas. Tidak ada telangiektasis. Sedangkan pada
rosasea, tidak terdapat komedo, ditemukan dilatasi vaskular, terjadi
pada usia pertengahan, dan umumnya terbatas pada 2/3 wajah.(6, 11)

Gambar 7. Akne Vulgaris(1)


b. Dermatitis perioral
Terjadi pada wanita muda, tempat predileksi sekitar mulut dan
dagu, polimorfi tanpa telangiektasis dan keluhan gatal.(6) Berbeda
dengan rosasea, pada dermatitis perioral tidak terdapat telangiektasis
dan flushing.(2)

Gambar 8. Dermatitis perioral(1)

2. Flushing atau eritema pada wajah


a. Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik sering terjadi bersama-sama dengan rosasea,
tetapi yang membedakannya yaitu pada dermatitis seboroik terdapat

13
skuama berminyak dan agak gatal dengan tempat predileksi retroaurikular,
alis mata, dan sulkus nasolabialis.(2, 6)

Gambar 9. Dermatitis seboroik pada wajah. Terlihat eritema dan skuama


kekuningan pada dahi , pipi, sulkus nasolabialis dan dagu(1)

b. Lupus Eritematosus Sistemik


Meskipun SLE dapat menstimulasi terjadinya rosasea, namun
klinis terlihat eritema dan atrofi pada pipi dan hidung dengan batas tegas
dan berbentuk kupu-kupu.(6)

Gambar 10. SLE nampak gambaran eritema pada kedua pipi yang memberi
gambaran mirip kupu-kupu (butterfly rush)(1)
c. Dermatomiositis
Dermatomiositis merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik
yang menyerang kulit dan atau otot rangka. Dermatomiositis ditandai oleh
adanya edema dan inflamasi periorbita, eritema pada wajah, leher, dan
bagian atas tubuh.(1)

14
Gambar 11. Dermatomiositis. Terdapat eritema dan edema pada wajah, terutama
pada daerah sekitar mata(1)
2.8 Penatalaksanaan
Topikal
Penatalaksanaan awal yang dapat dilakukan adalah menjauhkan dari bahan
bahan yang dapat mengiritasi seperti sabun, alkohol, larutan obat, dan yang
dapat merusak kulit. Hanya sabun tertentu yang dapat digunakan. Melindungi diri
dari sinar matahari sangat penting dilakukan yaitu dengan faktor pelindung 15
atau yang lebih tinggi selalu di rekomendasikan seperti spektrum UVA dan UVB.
(5, 6, 11-13)

Biasanya antibiotik efektif pada pasien dengan akne. Tetracycline,


Eritromycin dan Klindamycin dengan konsentrasi 0,5% - 2% sering diberikan.
Metronidazole adalah derivate synthetic antibacteri dan antiprotozoa. Dari
peneitian klinis, metronidazole 0,75% gel tropikal atau krim 1% dapat
menyembuhkan lesi hingga 68% 91%. Bentuk gel adalah yang paling efektif
untuk papul dan pustul rosasea.(1, 5, 6, 11-13)
Imidazole juga biasa digunakan untuk rosasea. Mekanisme kerjanya
adalah sebagai anti inflamasi dan imunosupresan dan bactericidal. Efek toksin
imidazole sangat rendah dan bisa mentoleransi kulit pasien yang sensitif.
Adapalene Neftoic acid derivate terbaru dengan poten retinoid acid reseptor
agonis dan anti inflamasi. Adapalene terbukti aman sebagai penatalaksanaan

15
topikal untuk akne dan kulit yang teriritasi. Adapalene gel 0,1% berefek kuat pada
papul dan pustul tapi kurang signifikan pada eritem dan telangiektasis.(6, 11-14)
Retinoid topikal adalah pilihan lain. Contohnya isotretinoin 0,2% yang
mengurangi iritasi dan inflamasi lesi di stage II dan stage III. Topikal
kortikosteroid bisa digunakan kecuali untuk rosasea fulminant.(6, 11, 14)

The
Sistemik n
e
Rosasea sangat berespon baik terhadap antibiotik oral. Eritromycin w
e
biasanya efektif tetapi tetracyclin yang paling efektif. Tetracyclin-HCL, n
g
oxytetracyclin, doxyciclin dan minocycline biasanya efektif dalam mengontrol la
n
papul dan pustul dari rosasea dan mengurangi eritem. Dapat dimulai dengan dosis dj
o
1 1,5 g tetracyclin-HCL dan oxytetracyclin per hari, serta 50 g minocycline dan u
r
doxyciclyn diberikan dua kali sehari. Tetracyclin oral efektif pada roasea n
al
oftalmica.(1, 2, 6, 11, 12) of
m
Isotretionin juga efektif meskipun mempunyai resiko yang lebih daripada e
di
tetracyclin. Obat ini bisa digunakan untuk rosasea yang resisten terutama yang
tidak berespon terhadap antibiotik, seperti rosasea lupoid, rosasea stage III,
rosasea gram negatif, rosasea conglobate, rosasea fulminant. Dosisnya 0,5 1
mg/kg/hari. Efek samping pada mata yang paling sering terjadi.(1, 2, 5, 6, 11-13)
Pemberian kortikosteroid biasanya diberikan pada rosasea fulminant
contohnya prednisolon 1 mg/kg/hari diberikan selama 7 hari.(11, 12)

2.9 Prognosis
Rosasea umumnya persisten, berangsur bertambah berat melalui episode
akut. Namun ada pula yang remisi secara spontan.(6)

16
DAFTAR PUSTAKA

1 Wolff K, Johnson RA. Rosacea. Disorders of Sebaceous and Apocrine


Glands. In: Wolff K, Johnson RA, editors. Fitzpatricks Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New York: McGraw-Hill
Companies; 2009. p. 3, 9-13, 5, 50, 372, 9.
2 Jones JB. Rosacea. Rosacea, Perioral Dermatitis, and Similar Dermatoses,
Flushing and Flushing Syndrome. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,
Griffths C, editors. Rooks Text Book of Dermatology. 7 th ed.
Massachusets: Blackwell Publishing Company; 2004. p. 2199-204.
3 Diamantis S, Waldorf HA. Rosacea : Clinical Presentation and
Pathophysiology. J Drugs Dermatol. 2006.
4 Crawford GH, Pelle MT, James WD. Rosacea: I. Etiology, pathogenesis,
and subtype classification. J Am Acad Dermatol. 2004;51:327-41.
5 Pelle MT. Rosacea. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks Dermatology In General
Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2008. p. 703-9.
6 Wasitaatmajaya SM. Rosasea. Akne, Erupsi, Akneiformis, Rosasea,
Rinofima. In: Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
p. 261-3.
7 Padova MPD, Iorizzo M, Tosti A. Rosacea. In: Tosti A, Grimes PE,
Padova MPD, editors. Color Atlas of Chemical Peels. New York: Springer;
2002. p. 185-98.
8 Bikowski J, Torok L, Torok H. Rosacea Management: A Three-Pronged
Approach. Practical Dermatology. 2007:60-3.
9 Rosacea. In: James WD, G.Berger T, Elston DM, editors. Andrews
Dissease of The Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Philadelphi: Saunders
Company; 2006. p. 245-8.Wilkin J, Chair, Dahl M, Detmar M, Drake L,
Liang MH, et al. Standard grading system for rosacea: Report of the

17
National Rosacea Society Expert Committee on the Classification and
Staging of Rosacea. J Am Acad Dermatol. 2004;50:907
10 Bolognia JL, Jorizzo J, Rapini RP. Rosacea. Acne and Acneiform
Dermatoses. In: Callen JP, Horn TD, Mancini AJ, Salasche SJ, Schaffer
JV, Schwarz T, et al., editors. Dermatology. 2nd ed. Philadelphia: W.B.
Saunders Company; 1985.
11 Gupta A, Chaudhry M. Rosacea and its management: an overview.
JEADV. 2005;19:273-85.
12 Jansen T, Plewig G. Rosacea: classification and treatment. J R Soc Med.
1997;90:144-50.
13 Altinyazar HC, Koca R, Tekin NS, Esturk E. Adapalene vs. metronidazole
gel for the treatment of rosacea. Int J Dermatol. 2005;44:252-5.
14 Powell FC. Rosacea. N Engl J Med. 2005;352:793-803.

18

Anda mungkin juga menyukai