Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tukak Peptikum
2.1.1 Etiologi
Penyebab pasti tukak lambung belum jelas karena penderitanya dapat
berada dalam keadaan normoklohidria, hipoklorhidria atau agak jaran
hiperklorhidria. Akan tetapi penyebab umum tukak lambung adalah gastritis
akibat H.pylori sehingga terjadi difusi balik asam-pepsin melalui mukosa yang
terluka. Adanya obat yang menyebabkan tukak peptik (alkohol, nikotin, steroid,
aspirin dan NSAID) dan makanan yang mengiritasi lambung.1

2.1.2 Gejala Klinis


Sekitar 75% penderita kelainan ini adalah laki- laki. Penyakit ini paling
sering diderita olehnorang berusia lanjut dengan puncak kejadian pada kelompok
usia 40- 60 tahun. Gejalanya bevariasi. Nyeri epiastrium, bila ada, tidak berbatas
tegas dan timbul sampai 30menit sampai 3 jam setelah makan. Umumnya terdapat
mual dan muntah, dengan menurunnya berat badan.
Pemeriksaan radiologi dengan kontras ganda dapat menemukan lebih dari 90%
kasus. Bila pada pemeriksaan radiologi ditemukan tukak. Harus dilakukan
endoskopi.1

2.1.3 Perforasi Gaster Akibat Tukak Peptikum1


Perforasi pada tukak peptik dapat di sebabkan oleh tukak membandel
yaitu tukak yang tidak berespon terhadap pengobatan atau tukak sering kambuh.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang
mulai di epigastrium dan meluas ke seluruh peritoneum akibat peritonitis
generalisata. Keadaan umum penderita yang lambung atau duodenumnya
mengalami perforasi harus diperbaiki prabedah. Pemberian cairan dan koreksi
elektrolit, pemasangan pipa nasogastrik, dan pemberian antibiotik mutlak
diperlukan. Laparotomi segera dilakukan setelah upaya perbaikan keadaan pra
bedah dilakukan.

2
2.1.4 Patofisiologi
Dalam keadaan normal, lambung relatif bersih dari bakteri dan
mikroorganisme lain karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi. Kebanyakan
orang yang mengalami trauma abdominal memiliki fungsi gaster normal dan tidak
berada dalam resiko kontaminasi bakteri setelah perforasi gaster.4
Namun, mereka yang sebelumnya sudah memiliki masalah gaster beresiko
terhadap kontaminasi peritoneal dengan perforasi gaster. Kebocoran cairan asam
lambung ke rongga peritoneal sering berakibat peritonitis kimia yang dalam. Jika
kebocoran tidak ditutup dan partikel makanan mencapai rongga peritoneal,
peritonitis kimia bertahap menjadi peritonitis bakterial. Pasien mungkin bebas
gejala untuk beberapa jam antara peritonitis kimia awal sampai peritonitis
bakterial kemudian.4
Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang influks sel-sel inflamasi
akut. Omentum dan organ dalam cenderung untuk melokalisasi tempat inflamasi,
membentuk flegmon (ini biasanya terjadi pada perforasi usus besar). Hipoksia
yang diakibatkan di area memfasilitasi pertumbuhan bakteri anaerob dan
menyebabkan pelemahan aktivitas bakterisid dari granulosit, yang mengarah pada
peningkatan aktivitas fagosit granulosit, degradasi sel, hipertonisitas cairan
membentuk abses, efek osmotik, mengalirnya lebih banyak cairan ke area abses,
dan pembesaran abses abdomen. Jika tidak diterapi, bakteremia, sepsis general,
kegagalan multi organ, dan syok dapat terjadi.4

2.2 Syok

Syok adalah sindrom gangguan perfusi dan oksigenisasi sel secara


menyeluruh sehingga kebutuhan metabolisme jaringan tidak terpenuhi. Akibatnya,
terjadi gangguan fungsi sel atau jaringan atau organ, berupa gangguan kesadaran,
fungsi pernapasan, sistem pencernaan, perkemihan serta sistem sirkulasi itu
sendiri. Sebagai respon terhadap menurunnya pasokan oksigen, metabolisme
energi sel akan berubah menjadi metabolisme anaerobik. Keadaan ini hanya dapat
di toleransi tubuh untuk sementara waktu, dan jika berlanjut, timbul kerusakan
nirpulih pada jaringan organ vital yang dapat menyebabkan kematian. Syok

3
bukanlah suatu penyakit dan tidak selalu disertai kegagalan perfusi jaringan. Syok
dapat terjadi setiap waktu pada siapa pun.1

2.2.1 Dasar Fisiologi Syok

Dasar fisiologis syok adalah perkembangan dari hipoperfusi jaringan, tidaklah


sepenting perluasan hipotensi dan/atau penurunan pengantaran oksigen.
Hipoperfusi jaringan akan mengarah pada hipoksia jaringan, metabolisme anaerob
dan gangguan integritas seluler. Mekanisme kompensasi pada awalnya membantu
menjaga perfusi organ-organ vital. Mekanisme kompensasi itu antara lain adalah:

1. Respon Neurohumoral
Respon neurohumoral meningkatkan rangsang simpatetik, dimana hal ini
akan menaikkan kontraktilitas miokardial dan vasokonstriksi peripheral,
serta melepaskan hormon-hormon stres seperti epinefrin, glukagon,
aldosteron, kortisol, dan hormon antidiuretik.

2. Respon Metabolik
Respon metabolik melepaskan hormon-hormon anti insulin yang akan
merangsang resistensi insulin, hiperglikemia dan lipolisis.

3. Pelepasan Mediator Inflamasi


Pelepasan mediator inflamasi menyebabkan proteolisis otot, menghasilkan
asam amino yang penting untuk menyokong sintesis protein sebagai dasar
pertahanan host (misalnya reaktan-reaktan fase akut). Keadaan katabolik
yang umum ini dapat menyebabkan muscle wasting kelemahan,
penyembuhan luka yang buruk, kehilangan integritas muko
gastrointestinal, hipoalbuminemia dan energi. Luka seluler juga dapat
disebabkan oleh reperfusi jaringan ketika oksigen, metabolit-metabolit
lokal dan enzim-enzim oksidatif menghasilkan radikal-radikal bebas dan
zat-zat sitotoksik lainnya.

2.2.2 Patofisiologi

4
Hipoperfusi jaringan pada syok menyebabkan terganggunya pasokan
oksigen ke sel sehingga metabolisme sel terganggu dan akibatnya pembentukan
ATP berkurang. Hipoperfusi juga mencetuskan refleks aktivasi sistem simpatis
yang meningkatkan kotraktilitas dan frekuensi denyut jantung sehingga
meningkatkan curah jantung. Selain itu, terjadi pengeluaran ketokolamin,
angiotensin, vasopresin serta endotelin yang akan meningkatkan tonus pembuluh
darah agar tekanan perfusi dapat di pertahankan dan perfusi menjadi cukup.1

Hipoksis membuat jaringan berusahan mengekstraksi O2 semaksimal


mungkin agar kebutuhan metabolisme tercukupi. Ketika segala refleks pertahanan
tersebut sampai pada batas toleransi dan hipoksia tidak teratasi, maka sel akan
terganggu dan pembentukan ATP menurun. Semua sistem dalam tubuh pun tidak
berfungsi sehingga terjadi kegagalan organ menyeluruh, seperti gagal otak, gagal
jantung, vasoplegia, penumpukan asam laktat, gagal ginjal, gagal sistem
pencernaan yang diikuti translokasi kuman dan bahan toksin dan berakhir dengan
kematian. Kegagalan organ multipel dan kematian berbanding lurus dengan lama
dan beratnya hipoksia.1

2.2.3 Macam- Macam Syok

Syok terbagi atas empat jenis, yaitu syok hipovolemik, obstruktif, kardiogenik dan
distributif.

1. Syok Hipovolemik

Syok hipovolemik merupakan jenis syok yang paling sering di temukan,


dan hampir semua jenis syok memiliki komponen syok hipovolemik di
dalamnya akibat menurunnya beban hulu (preload). Syok hipovolemik
disebabkan oleh tidak cukupnya volume sirkulasi, seperti akibat pedarahan
dan kehilangan cairan tubuh lain.1

Syok hipovolemik dapat digolongkan kedalam syok hemoragik atau non-


hemoragik. Perdarahan dapat bersifat terlihat misalnya akibat luka atau
hematemesis pada tukak lambung atau tidak terlihat pada perdarahan dari
saluran cerna seperti pada tukak duodenum, cedera limfa, kehamilan diluar

5
uterus, patah tulang pelvis dan patah tulang besar atau majemuk. Perdarahan
dalam jumlah banyak akan mengganggu perfusi jaringan sehingga timbul
hipoksia. Respon jaringan terhadap hal ini bervariasi. Otot merupakan
jaringan yang lebih tahan terhadap hipoksia di bandingkan dengan otak. 1

Syok hipovolemik non hemoragik terjadi akibat hilangnya cairan tubuh


total dan keluarnya cairan intravaskuler ke kompartemen ekstravaskulerr atau
interstisial, seperti pada luka bakar luas, muntah hebat atau diare, obstruksi
ileus, diabetes atau penggunaan diuretik kuat, sepsis berat, pankreatitis akut
atau peritonitis purulenta difus.1

2. Syok obstruktif

Syok obstruktif terjadi akibat obstruksi mekanis aliran darah di


luarjantung, paling sering akibat tamponade jantung, sehingga perfusi
sistemik menurun. Akibatnya terjadi gangguan pengisian ventrikel dan
perubahan volume aliran balik vena akibat kompresi cairan perikardium yang
mengganggu curah jantung. Jika hal ini berlansung lama, akan terjadi
gangguan perfusi sistemik dan oksigenasi jaringan sehingga timbul kerusakan
sel. Jumlah cairan perikardium yang dapat memengaruhi pengisian diastolik
jantung bergantung pada akumulasi cairan dan daya regang perikardium.1

Selain itu, syok obstruktif disebabkan juga oleh tromboemboli paru,


obstruksi mekanis a.pulmonaris, hipertensi pulmonal, dan tension
pneumothoraks, yang mengganggu curah jantung.

3. Syok kardiogenik

Penyebab syok kardiogenik adalah kegagalan fungsi jantung sebagai


pompa sehingga curah jantung menurun. Delapan puluh persen syok
kardiogenik disebabkan oleh gangguan fungsi ventrikel kiri akibat infark
miokard dengan elevasi ST. Selain karena disfungsi miokard, penurunan
kontratilitas jantung, obstruksi aliran ventrikel ke luar jantung, kelainan
pengisian ventrikel, disritmia, dan defek septum juga trut menggagalkan
fungsi jantung. Mortalitas syok kardiogenik sekitar 50%.1

6
4. Syok distributive

Syok distributif adalah jenis syok yang timbul akibat kesalahan distribusi
aliran dan volume darah. Berbagai keadaan yang termasuk ke dalam kelompok
syok distributif antara lain syok septik, syok anafilaktik dan syok neurogenik.1

Syok septik dipengaruhi oleh berbagai perubahan fisiologis yang dipicu


oleh sepsis. Syok septik disebabkan oleh septikemia yang biasanya disebabkan
oleh kuman gram negatif dan menyebabkan kolaps kardiovaskular.
Endotoksin gram negatif menyebabkan vasodilatasi perfer menyebabkan
hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler
menyebabkan kehilangan cairan intravaskuler yang terlihat sebagai udem.1

Syok anafilaktik. Jika seseorang hipersensitif terhadap suatu antigen dan


kemudian terpajan lagi pada antigen tersebut, akan timbul reaksi
hipersensitivitas umum tipe 1. Antigen yang bersangkutan terikat pada
antibodi di permukaan sel mast sehingga terjadi degranulasi pengeluaran
histamin dan zat vasoaktif lain. Akibatnya permeabilitas kapiler meningkat
dan seluruh kapiler berdilatasi. Hipovolemia relatif akibat vasodilatasi lain
menimbulkan syok, sedangkan meningkatnya permeabilitas kapiler
menyebabkan udem. Pada syok anafilaksis, terjadi bronkospasme yang
menurunkan ventilasi. Syok anafilaksis sering disebabkan oleh obat, terutama
obat intravena, seperti antibiotik atau media kontras. Sengatan lebah juga
dapat menimbulkan syok pada orang yang rentan.1

Syok neurogenik sering disebut juga sinkope. Pada syok ini, terjadi reaksi
vasovagal berlebihan yang menyebabkan vasodilatasi menyeluruh di regio
splanknikus sehingga perdarahan otak berkurang. Reaksi vasovagal bisanya
disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut atau nyeri. Syok
neurogenik pada trauma sering terjadi karena hilangnya tonus simpatis,
misalnya pada cedera tulang belakang atau yang sangat jarang cedera batang
otak. Hipotensi pada pasien dengan cedera tulang belakang disertai dengan
pasokan yang cukup karena curah jantung tinggi meskipun tekanan darahnya
rendah. Penderita merasa pusing dan biasanya kemudian jatuh pingsan.

7
Denyut nadi lambat, tetapi umumnya kuat dan isinya cukup. Setelah penderita
dibaringkan umumnya keadaan membaik spontan tanpa meninggalkan
penyulit, kecuali jika terjadi cedera karena jatuh.1

2.2.4 Gambaran Klinis

Penurunan tekanan darah sistolik dianggap merupakan tanda syok


hipovolemik. Sebelum tekanan darah menurun, tubuh mengompensasi dengan
melakukan vasokontriksi kapiler kulit sehingga kulit menjadi pucat dan dingin.
Selain itu, terjadi penurunan diuresis dan takikardi untuk mempertahankan curah
jantung dan peredaran darah. Akibat tindakan kompensasi ini, tekanan darah
untuk sementara waktu tidak menurun. Metabolisme jaringan hipoksik
menghasilkan asam laktat yang menyebabkan asidodis metabolik sehingga
takipnea. Akhirnya, karena terus menerus kehilangan cairan intravaskular,
tindakan kompensasi tidak dapat mempertahankan tekanan darah yang memadai
sehingga terjadi dekompensasi yang mengakibatkan penurunan tekanan darah
secara tiba- tiba.1

2.3 Penatalaksanaan Awal Syok2


Upaya diagnostik dan penanganan syok harus dilaksanakan secara
simultan. Penanganan segera dimulai sebagaimana syok hipovolemik sampai
tampak jelas bahwa kausa berbeda. Prinsip penanganan dasar syok adalah stop
perdarahan dan pergantian volume darah/cairan yang hilang.2

1. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik ditujukan langsung pada diagnosis segera atas


cedera yang mengancam jiwa dan meliputi ABCDE. Pencatatan data- data
awal penting untuk memonitor respon pasien- pasien terhadap terapi. Tanda-
tanda vital, produksi urin, dan tingkat kesadaran merupakan faktor penting.
Bila kondisi memungkinkan, pemeriksaan yang lebih detil perlu
dilaksanakan.2

2. Airway dan Breathing

8
Menjamin airway dan breathing yang paten dengan ventilasi dan
oksigenisasi yang adekuat merupakan prioritas pertama. Pemberian oksigen
tambahan diberikan untuk mempertahankan sirkulasi lebih dari 95%.2

3. Sirkulasi-Kontrol Perdarahan

Prioritas dalam sirkulasi kontrol peradarahan yang jelas terlihat,


memperoleh akses intravena yang cukup dan menilai perfusi jaringan.
Perdarahan dari luka- luka luar umumnya dapat dikontrol dengan bebat tekan
langsung pada tempat perdarahan.2

4. Disability Pemeriksaan Neurologiss

Pemeriksaan neurologis singkat dapat menentukan tingkat kesadaran,


pergerakan mata dan respon pupil, serta fungsi motorik dan sensorik.
Informasi ini sangat berguna dalam menilai perfusi otak untuk mengikuti
perkembangan kelainan neurologis dan meramalkan pemulihan selanjutnya.
Perubahan fungsi sistem syaraf sentral pada pasien- pasien dengan hipotensi
akibat syok hipovolemik tidak selalu di sebabkan cedera intrakranial tetapi
mungkin mencerminkan perfusi otak yang kurang adekuat. Pemulihan perfusi
dan oksigenisasi otak harus dicapai sebelum menganggap bahwa penemuan-
penemuan tersebut berasal dari intrakranial.2

5. Dilatasi Lambung dekompresi

Sering terjadi pada pasien- pasien trauma, terutama anak- anak, dapat
menyebabkan hipotensi atau distrimia jantung, biasanya bradikardia akibat
stimulasi vagal yang berlebihan. Pada pasien- pasien yang tidak sadar, dilatasi
lambung meningkatkan risiko terjadinya aspirasi isi lambung. Ini merupakan
komplikasi yang bisa fatal. Dekompresi lambung dilakukan dengan
memasang selang/pipa lambung lewat hidung atau mulut dan
menghubungkan nya dengan penghisap untuk mengeluarkan isi lambung.
Tetapi,pemasangan pipa lambung yang sudah benar, tidak menjamin terbebas
dari risiko terjadinya aspirasi.2

6. Pemasangan Kateter Urin

9
Kateterisasi kandung kencing digunakan untuk penilaian urin akan
adanya hematuria dan evaluasi terhadap perfusi ginjal dengan memonitor
produksi urin. Darah pada meatus uretra dan prostat letak tinggi, mobile atau
tidak tersentuh pada pria merupakan kontraindikasi mutlak untuk pemasangan
kateter uretra sebelum ada konfirmasi radiografis tentang uretra, yang utuh.2

7. Akses Vaskuler

Akses pada sistem pembuluh darah harus didapat dengan benar. Hal
paling baik dilakukan adalah memasang 2 kateter intravena ukuran besar pada
vena perifer sebelum dipertimbangkan jalur vena sentral. Kecepatan aliran
berbanding terbalik dengan 4 kali radius kanul dan berbanding terbalik
dengan panjangnya (Hukum Pousille). Dengan demikian kateter intravena
yang pendek dan kaliber besar merupakan pilihan tepat untuk dapat
memasukkan cairan dan pompa infus dapat digunakan pada pendarahan
massif dan hipotensi yang berat.2

Tempat terbaik untuk intravena perifer pada orang dewasa adalah vena
di lengan bawah atau kubiti. Bila keadaan tidak memungkinkan penggunaan
pembuluh darah perifer, maka digunakan pembuluh darah sentral (vena- vena
femoralis, jugularis, atau vena subglavia) dengan menggunakan teknik
seldinger atau melakukan vena seksi pada safena di kaki, tergantung tingkat
keterampilan dan pengalaman dokternya.2

Seringkali dalam keadaan emergensi, akses vena sentral tidak dapat


dilaksanakan dengan sempurna atau dalam kondisi steril. Oleh sebab itu, bila
kondisi pasien sudah memungkinkan, jalur vena sentral harus diubah atau di
perbaiki. Juga harus diperhatikan adanya potensi komplikasi serius terkait
dengan pemasangan kateter vena sentral seperti pneumotoraks atau
hemotoraks pada pasien-pasien yang mungkin sudah tidak stabil.2

Pada anak- anak dibawah 6 tahun, pemasangan jarum intraosseus


sebaiknya diusahakan sebelum menggunakan jalur intraosseus sebaiknya
diusahakan sebelum menggunakan jalur vena sentral. Faktor penentu penting
dalam memilih prosedur atau memilih jalur untuk penetepan akses vaskuler

10
adalah pengalaman dan keterampilan dokter. Akses intraosseus juga bisa
digunakan pada orang dewasa namun membutuhkan peralatan khusus.2

Bila kateter intravena sudah terpasang, contoh darah diambil untuk


pemeriksaan golongan darah dan crossmatch, pemeriksaan laboratorium yang
sesuai pemeriksaan radiologi yang sesuai, pemeriksaan toksikologi, dan tes
kehamilan pada wanita usia subur. Analisis gas darah arteri juga dapat
dilakukan pada saat ini. Foto toraks harus diambil setelah pemasangan CVP
pada vena subklavia atau vena jugularis interna untuk mengetahui posisi
kateter dan mengevaluasi kemungkinan terjadinya penumotoraks atau
hemotoraks.2

8. Terapi Cairan Awal

Larutan elektrolit isotonik hangat, misalnya Ringer laktat atau normal


saline, digunakan untuk resusitasi awal. Cairan jenis ini mengisi volume
intravaskuler dalam waktu yang singkat dan juga menstabilkan volume
vaskuler dengan cara menggantikan kehilangan cairan penyerta yang hilang
ke dalam ruang interstitial dan intraseluler. Alternatif cairan awal adalah
dengan larutan garam hipertonik, walaupun menurut kepustakaan terbaru
tentu menguntungkan.2

Tahap awal, bolus cairan hangat diberikan secepatnya. Dosis


umumnya 1 hingga 2 liter untuk dewasa dan 20 ml/kg untuk anak anak.
Mungkin ini memerlukan penggunaan alat pompa (mekanis atau manual)
pada awalnya. Respon pasien diobservasi selama pemberian cairan awal ini
dan keputusan terapi dan diagnosis selanjutnya didasarkan pada respon ini.2

Tujuan resusitasi adalah untuk mengembalikan perfusi organ. Ini


dapat dicapai dengan penggunaan cairan resusitasi untuk mengganti volume
cairan intravaskular yang hilang dengan ditandai kembalinya tekanan darah
yang normal. Namun perlu dicatat, bila tekanan darah meningkat dengan
cepat sebelum perdarahan benar-benar terkontrol, perdarahan yang lebih
parah akan mungkin terjadi. Hal ini dapat dilihat pada beberapa pasien dalam
kategori transient dan nonresponder. Infus terus menerus dengan volume

11
cairan yang besar dalam upaya untuk mencapai tekanan darah yang normal
bukan merupakan tindakan kontrol perdarahan yang definitif.2

Resusitasi cairan dan menghindari terjadinya hipotensi merupakan


prinsip terpenting pada penanganan awal pasien akibat trauma tumpul,
terutama mereka dengan cedera kepala pada cedera tembus dengan
pendarahan, penundaan resusitasi cairan yang agresif hingga perdarahan
benar-benar terkontrol, dapat mencegah terjadinya perdarahan tambahan.
Walaupun komplikasi-komplikasi yang berkaitan dengan trauma resusitasi
tidak disukai, adanya perdarahan berat sampai eks-sanguinasi lebih tidak
disukai lagi. Kehati-hatian dan penanganan seimbang dengan re-evaluasi
yang berulang kali sangat dibutuhkan. Keseimbangan tercapainya perfusi
organ dengan risiko perdarahan ulang pada kondisi tekanan darah yang
sedikit rendah (dibawah normal) memiliki beberapa istilah yaitu resusitasi
terkontrol, resusitasi seimbang, resusitasi hipotensif dan hipotensi yang
permisif.2

Tujuan utamanya adalah kembalinya keseimbangan bukan


hipotensinya. Strategi resusitasi seperti itu adalah cara, namun, bukan
pengganti tindakan bedah pada kontrol perdarahan. Penggantian volume
intravaskuler merupakan dasar dari perawatan hipotensi dan syok, terutama
syok hipovolemik dan syok distributif. Pasien dengan diagnosis tipe syok
yang lain juga memerlukan evaluasi dan optimalisasi status cairan mereka.
Penggantian volume yang tepat membutuhkan pengertian tentang
hemodinamik dan pilihan sistem pengawasan yang tepat. Sayangnya, tidak
ada parameter tunggal yang dapat digunakan sebagai pedoman terpercaya
volume resusitasi. Resusitasi yang inadekuat dapat terlihat dari hipoperfusi
jaringan, tetapi penggantian volume yang berlebihan dapat menyebabkan
edema jaringan, gagal jantung kongestif, kekacauan metabolisme dan
koagulopati.3

Larutan kristaloid yang paling sering dipakai adalah Ringer Lactate


dan normal saline. Larutan-larutan ini hampir isotonik cepat keluar dari ruang
intravaskuler dan volumenya setara kali defisit intravaskuler yang

12
dibutuhkan untuk mengembalikan volume sirkulasi. Keuntungan larutan
kristaloid termasuk biaya rendah, penyimpanan yang mudah dan
ketersediaan. Larutan yang mengandung Dextrose tidak boleh digunakan
dalam resusitasi volume karena bahaya hiperglikemia dan kesukaran
mengawasi level glukosa darah dengan tepat selama resusitasi. Sedikit
volume Hypertonic saline (3% NaCl) dapat memenuhi volume intravaskuler
tanpa menaikkan volume intravaskuler secara signifikan dan dapat berguna
pada resusitasi pasien dengan/tanpa cidera kepala.3

Larutan Koloid meningkatkan tekanan onkotik plasma dan menjaga


volume sirkulasi lebih lama disbanding kristaloid. Koloid termasuk larutan
alami dan sintesis.3

1) Human albumin adalah turunan dari pooled human plasma dan


tersedia sebagai larutan normal saline 5% dan 25%. Terapi panas
mengurangi risiko penularan infeksi virus.
2) Allogenic blood products seperti paket sel darah merah dan plasma
segar beku tidak dianjurkan karena potensinya menularkan penyakit
virus (albeit low), imunosupresi dan terbatasnya ketersediaan serta
biaya yang tinggi.
3) Dextran adalah larutan glukosa polimer sintesis salah satu dari 40 kd
(D-40) atau 70 kd (D-70). Kekurangan utama dari dextran adalah
tingginya reaksi anafilaktik (1%-5%). Hampir seluruh dextran telah
digantikan oleh komponen dari bahan dasar zat tepung.
4) Hydroxyethyl starch (HES) adalah komponen glukosa highpolymeric
yang tersedia dalam sediaan dan konsentrasi yang bervariasi.
Frekuensi reaksi anafilaktik karena HES jauh lebih sedikit
dibandingkan larutan berbahan dextran. HES memiliki efek yang
bergantung dari dosis pada level faktor VIII, sehingga merusak fungsi
platelet. Dosis maksimum yang dianjurkan untuk meminimalisasi efek
samping negative adalah 1500 ml/24 jam.

Tidak ada bukti yang mendukung bahwa suatu tipe cairan itu lebih
baik dibanding yang lainnya dalam meresusitasi syok. Walaupun beberapa
studi eksperimental mengatakan superioritas suatu larutan dibanding

13
lainnya melihat pada keluaran yang spesifik seperti fungsi sel, edema usus
dan pertukaran gas, satu-satunya percobaan yang luas, prospektif dan acak
dari koloid (human albumin) versus kristaloid untuk resusitasi volume
dalam populasi ICU yang heterogen menunjukkan tidak ada keuntungan
dalam penggunaan koloid. Karena memberikan perbedaan yang signifikan
dalam harga, kami menganjurkan kristaloid sebagai solusi utama yang
digunakan untuk resusitasi volume secara umum.

2.2.5 Farmakologi Terapi Hipotensi dan Syok

Bila penggantian cairan yang tepat gagal untuk mengembalikan


tekanan arah dan perfusi organ yang adekuat, tetapi vasopresor harus
segera dilakukan. Terapi vasopresor juga dibutuhkan untuk menjaga
perfusi organ dihadapi hipotensi yang mengancam nyawa bahkan ketika
fluid challenge masih berlangsung dan hipovolemia belum terkoreksi
sepenuhnya. Obat yang tepat dipilih berdasarkan etiologi dan patofisiologi
tipe syok yang dicurigai pada pasien.3

A. Zat inotropik Menaikkan Kontraktilitas Jantung


1. Dopamin adalah pelopor norepinefrin dan epinefrin. Pada dosis
rendah akan mempengaruhi vascular 1-dopamine receptors (ginjal
dan mesenterika) mengarah ke vasodilatasi. Pada dosis yang lebih
tinggi, dopamine akan mempengaruhi B-1adrenergic receptors yang
bergabung dengan inotropik positif dan efek kronotropik. Pada dosis
yang jauh lebih tinggi dopamine akan mengajak a1-adrenergik
receptors yang akan bergabung dengan efek vasokonstriktif.
Dopamine sering dipilih sebagai zat utama untuk syok karena potensi
efeknya yang bermanfaat dalam sikrulasi ginjal dan CO. Namun efek
kronotropik dan prodisritmik yang diperkirakan akan berkurang pada
pasien dengan iskemia miokardial.
2. Dobutamin juga menstimulasi reseptor B-adrenergik, tetapi tidak
berefek pada dan a-mediated. Oleh karena itu dobutamine menaikkan
kontraktilitas jantung dan menurunkan denyut vaskuler. Kombinasi
efek ini membuat dobutamine menjaadi zat yang sempurna untuk
perawatan syok kardiogenik. Yang membatasi kerja dobutamine

14
adalah efek vasodilator intrinsiknya, dimana hal ini menyebabkan
hipotensi sistemik dan efek kronotropik yang lumayan.
3. Dopexamin adalah turunan sintesis dari dopamine dengan dan B2
yang lebih baik dibandingkan aktifitas B1 serta tidak ada aktifitas
a,sehingga mengurangi tipikal efek kronotropik dan efek pro-distrimik
dopamine. Dopexamine tidak diizinkan untuk penggunaan klinis
diUSA, dan penggunaannya di Eropa dihindari karena harganya yang
mahal.
4. Epinefrin adalah katekolamin kuat yang menstimulasi reseptor a-,b-,
dan B2-adrenergik. Epinefrin tetap pilihan utama untuk resusitasi
kardiopulmonar. Efeknya terhadap BP tergantung pada efek positif
inotropik dan kronotropik serta dasar vasokonstriksi vaskuler,
terutama kulit, mukosa dan ginjal. Efek b2 epinefrin yang kuat
memicu brokondilasi dan menghambat degranulasi sel mast. Sehingga
membuat epinefrin menjadi obat pilihan untuk anafilaksis. Pada
dewasa, pemberian epinefrin IV 0,1-0,5 mg (0,1-0,5 ml dalam larutan
1:1000) merupakan dosis awal umum yang tepat untuk pasien
hipotensi berat, diikuti infus kontinyu 1-4 ug/menit.
Norepinefrin atau katekolamin, memiliki aktifitas a-dan b-adrenergik.
Efek vasokonstriksi dan inotropiknya yang kuat menjadikan norepinefrin
sebagai obat pilihan di ICU untuk mengatasi ketidakstabilan hemodinamik
pada pasien yang membutuhkan bantuan untuk denyut vaskuler dan
kontraktilitas miokardial. Contol tipikal adalah pasien-pasien syok septic
yang memiliki derajat preexistent atau disfungsi miokardial akut.
Dibandingkan dengan epinefrin, norepinefrin tidak memiliki aktifitas b2.
Inhibitor Phosphodiesterase-III (PDE-III). Amrinone dan milrinone
menggunakan efek hemodinamiknya melewati inhibisi dari PDE-III,
dimana hal ini meningkatkan jumlah cyclic guanosine monphosphate
(GMP) dalam endothelium, sehingga meningkatkan kontraktilitas
miokardial dan relaksasi diastolik serta menurunkan denyut vaskuler. Efek
efek ini berguna dalam mengatasi gagal jantung sistolik. Infus intravena
dimulai dengan dosis bolus diikuti dengan infusi. Amrinone telah banyak
digantikan oleh milrinone karena durasi kerja yang lebih pendek dan

15
titrabilitasnya yang lebih mudah. Milrinone diberikan dalam bolus
50ug/kg diikuti oleh infus kontinyu ... 60 menit, dibandingkan dengan 2-3
jam amrinone. Hipotensi dan takikardi adalah efek samping utama yang
membatasi kerja milrinone.3
Vasopresor Phenylephrine adalah agonis a1 selektif yang
menyebabkan vasokonstriksi arterial murni. Fenilefrin meningkatkan BP
dengan cepat, berkaitan dengan reflek bradikardi. Fenilefrin adalah obat
yang berguna untuk mengatasi vasodilatasi murni dan sedang, seperti
mengikuti pemberian obat hipnotik kuat atau anestesi lokal epidural atau
dalam kejadian infeksi ringan atau sedang. Karena onsetnya yang cepat
dan pengurangan titrasi (obat ini tidak sekuat norepinefrin), fenilefrin
sering digunakan melalui akses IV perifer sebagai tindakan pertama
mengatasi hipotensi agar cepat menunjukkan kembali BP yang adekuat.
Walaupun ketetapan penggunaanya perlu direvisi setelah kestabilan
tercapai. Karena efek vasokonstriksinya yang murni, fenilefrin dapat
merusak pada pasien dengan fungsi ventrikuler kiri yang membahayakan.3

2.4 Fluid Challenge Test4


Fluid challenge test adalah suatu pengujian kepada seseorang yang
mengalami syok hipovolemik. Dengan memberikan pasien cairan kristaloid,
misalnya NaCl 0,9% sebanyak 250ml IV dengan kecepatan maksimal.
Tujuannya adalah untuk melihat respon pasien terhadap cairan yang
diberikan tersebut, dengan melihat tekanan darah pasien dan urin output.
Bila pasien dengan keadaan syok, tekanan darah rendah, nadi cepat, lemah,
maka dapat dilakukan fluid challenge test ini untuk melihat apakah syok pada
pasien merupakan syok hypovolemik atau bukan. Bila dengan fluid challenge test
ini, tekanan darah meningkat atau nadi menjadi normal, maka pasien mengalami
hipovolemik. Kemudian kita juga bisa melihat urin yang dihasilkan. Bila pasien
tidak menghasilkan urin (anuri) setelah challenge test, kita dapat menggunakan
furosemid 100-400mg IV. Bila setelah penggunaan furosemid, pasien tetap dalam
keadaan anuri, maka kemungkinan pasien mengalami Acute Tubular Necrosis.
Monitoring tekanan vena sentral merupakan panduan yang sangat
membantu untuk terapi cairan. Pengukuran tekanan vena sentral menunjukkan

16
kapabilitas jantung kanan untuk menerima beban cairan tambahan. Dijumpai
beberapa variasi dari metode fluid challenge namun secara umum 50
sampa 200 ml crystalloid diberikan secara sekuen, dan diukur tingkat tekanan
vena sentral setelah 10 menit pemberian cairan.
CVP awal diukur
Cairan diberikan dengan kecepatan 20 ml/menit selang periode 10
menit
Pembacaan dilakukan tiap 10 menit
o Jika CVP > 5 cmH20 diatas penilaian awal maka fluid
challenge dihentikan, diasumsikan bahwa ventrikel kanan tidak
mampu menerima tambahan beban cairan
o Peningkatan antara 3 dan 5 cmH20 diatas penilaian awal
mempunyai arti yang kurang tegas (equivocal) sehingga pengukuran
dilakukan lagi setelah 30 menit.
o Peningkatan < 2 cmH20 diatas penilaian awal menunjukkan adanya
deplesi volume.
o Fluid challenge diulang sampai dijumpai adanya ekspansi
volume yang adekuat.
o Fluid challenge dihentikan segera jika dijumpai tanda tanda syok atau
adanya tanda tanda ketidakmampuan jantung.
Fluid Challenge test adalah metode yang aman untuk memulihkan volume
sirkulasi berdasarkan kebutuhan fisiologis dibandingkan menggunakan fixed
hemodynamics end-point. Cairan diberikan dalam kuantitas kuantitas kecil untuk
memproduksi suatu peningkatan volume sirkulasi dengan menilai respon
perubahan hemodinamik pada tiap jumlah cairan yang diberikan. Teknik ini
merupakan tes diagnostik untuk hipovolemi dan metode titrasi dari dosis optimal
cairan untuk kebutuhan individu.
Tidak ada protokol standar untuk fluid challenge. Tujuan utamanya adalah
untuk memastikan bahwa tes ini meningkatkan ventrikular preload dan kecepatan
infusi lebih penting dibandingkan jumlah infusan untuk mencapai tujuan ini.

17
Indikator dalam tes ini yang utama adalah stroke volume atau cardiac
output. Namun dapat juga mengukur penigkatan cairan dengan memonitor CVP
dan/atau PAWP atau indikator indikator lain. Parameter parameter yang dapat
digunakan terdapat pada tabel 1 dibawah.
Pemilihan penggunaan cairan berbeda dari tiap sumber, namun keduanya
dapat dipakai. Penggunaan koloid lebih menguntungkan dibandingkan kristaloid
didasarkan oleh ketahanan koloid dalam volume intravaskular yang lebih lama
dibandingkan kristaloid. Kristaloid akan cepat terekstravasasi ke jaringan
dibandingkan koloid sehingga pengukuran volume vaskular akan lebih sulit jika
menggunakan kristaloid. Namun pada pasien dengan permeabilitas vaskular
meningkat, hal ini tidak akan berarti. Cairan hiperonkotik juga akan menarik
cairan dari interstitial ke dalam intravaskular sehingga akan meningkatkan jumlah
cairan intravaskular melebihi dari jumlah yang diberikan.
Kecepatan pemberian lebih penting dibandingkan jumlah dan tipe cairan.
Bukti cukup kuat pada beberapa penelitian, didapatkan bahwa pemberian sedikit
cairan bolus (250ml atau 3ml/kg dan biasanya koloid) pada waktu yang singkat
(5-10 menit). Respon terhadap stroke volume yang didapat dengan CO monitor
dinilai positif jika terdapat peningkatan SV sebesar 10-15%
Pada ventrikel yang kurang terisi degan baik, test ini meningkatkan SV.
Gagal untuk meningkatkan SV dengan fluid challenge dapat berarti sirkulasi
kurang responsif terhadap cairan atau inadequate challenge. Jika CVP atau PAWP
gagal untuk naik minimal 3 mmHg, dan SV gagal untuk meningkat, makan

18
peningkatan volume sirkulasi mengisi kekurangan rongga vaskular periferal dan
tidak meningkatkan cardiac filling. Maka fluid challenge harus diulang kembali.
SV dimonitor dibandingkan CO selama tes berlangsung karena penurunan HR
merupakan respon pada fluid challenge dapat berakibat turunnya CO walaupun
terjadi penigkatan SV.
Dasar dari fluid challenge adalah untuk mengetahui peningkatan volume
intravaskulardengan penginfusan yang cepat Perubahan peningkatan CVP dan
pulmonary artery wedge pressure (PAWP) setelah penambahan cairan akan
bergantung pada volume awal intravaskular. Jika tidak terdapat perubahan pada
CVP, maka volume intravaskular rendah. Peningkatan CVP yang signifikan akan
terjadi jika terdapat penambahan yang berarti terhadap volume intravaskular.
Begitu pula pada PAWP. Peningkatan (minimum 3mmHg) CVP atau PAWP
menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan dan mungkin merupakan
indikasi dari volume sirkulasi yang adekuat.penilaian terhadap respon klinis dan
kecukupan perfusi jaringan juga penting untuk diperhatikan. Jika tidak adekuat,
maka perlu dimonitor stroke volume sebelum dilakukan fluid challenge test lebih
lanjut atau dipertimbangkan untuk dilakukan batuan sirkulasi lebih lanjut.

2.5 Pengaruh Obat Anestesi Pada Pasien Dehidrasi


Anestesi intravena biasa digunakan untuk general anestesi,
mempertahankan general anestesi dan sedasi ketika local atau regional anestesi.
Setelah injeksi bolus intravena obat beremulsi lemak seperti propofol, thiopental,
dan etomidate terdistribusi secara cepat ke jaringan yang mempunyai perfusi
tinggi seperti otak dan jantung, yang menyebabkan efek yang sangat cepat.
Konsentrasi obat di plasma secara cepat menurun ketika obat terdistribusi ke otot
dan jaringan lemak. Ketika konsentrasi obat di plasma telah menurun drastis obat
ini secara cepat meredistribusi keluar dari otak dan efek obat pun menghilang.
Bahan aktif obat masih berada didalam tubuh sehingga pembersihan masih
dibutuhkan terutama oleh metabolism hepar dan eliminasi melalui renal. Waktu
paruh didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan untuk obat dalam plasma
konsentrasinya menurun sampai 5% ketika fase pembersihan. Context sensitive
half time (CSHT) didefinisikan sebagai waktu penurunan 50% konsentrasi obat

19
dalam durasi yang spesifik.5 maka untuk memasukkan obat-obatan anestesi tubuh
harus dalam keadaan cairan tubuh yang seimbang.

20

Anda mungkin juga menyukai