Anda di halaman 1dari 11

Neuropati Perifer et causa Isoniazid pada Pasien Tuberkulosis

Eriya zaetun A 102012303/ Judo darfin 102013012/ Winda linting S lolok 102013100/
Magdalena 102013248/ Raemon alexandro mau 102013297/ Ayu prisilia todingrante 102013315/
Muhammad zulyusri bin ghazali 102013491/ Batrisyia binti basir 102013503
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510

Pendahuluan

Banyak individu dewasa ini membeli obat dengan bebas tanpa pengawasan oleh dokter
karena mendengar bahwa obat tertentu ampuh pada individu satu dan menyamakan bahwa obat
itu akan ampuh juga pada individu lainnya. Pada kenyataannya, obat memiliki dosis yang
berbeda bagi individu satu dan lainnya. Efek obatpun akan berbeda-beda hasilnya, banyak hal
yang mempengaruhi hal ini. Keanekaragaman ini dipengaruhi oleh berbagai penyebab, baik yang
berasal dari obat maupun dari individu yang bersangkutan. Farmakogenetik merupakan salah
satu bidang dalam farmakologi klinik yang mempelajari keanekaragaman (respons) obat yang
dipengaruhi atau disebabkan oleh karena faktor genetik. Atau dengan kata lain merupakan studi
pengaruh genetik terhadap respons obat.

Studi farmakogenetik ini sangatlah penting karena berperan untuk mengetahui atau
mengenali individu-individu tertentu dalam suatu populasi, yang dikarenakan adanya ciri-ciri
genetik tertentu, akan bereaksi atau mendapatkan pengaruh obat yang tidak sewajarnya
dibandingkan anggota populasi lain pada umumnya. Sehingga dapat dilakukan upaya-upaya
pencegahan agar pengaruh yang tidak dikehendaki tidak sampai terjadi, misalnya dengan
menyesuaikan besar dosis atau dengan menghindari pemakaian obat tertentu pada individu
tertentu.

Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan kesemutan. Kesemutan atau parestesia adalah sensasi
sentuh abnormal seperti rasa terbakar, tertusuk, atau kesemutan, seringkali tanpa adanya
rangsangan luar. Kesemutan atau parestesia merupakan salah satu gejala neuropati. Neuropati
dapat disebabkan banyak penyebab.
1
Pertanyaan yang harus diajukan pada pasien untuk mengetahui penyebab dari neuropati
adalah apakah terdapat riwayat kontak dengan bahan toksik seperti thalium (alopesia), logam
lain seperti tembaga, seng (Zn), dan air raksa (Hg)? Pertimbangkan kemungkinan keracunan
bahan organik dan kontak akibat pekerjaan.1 Tanyakan kemungkinan penggunaan obat-obat yang
dapat menyebabkan neuropati. Nitrofurantoin dan Isoniazid (INH) sering menimbulkan
neuropati.
Apakah pernah menderita penyakit sistemik yang berkaitan dengan neuropati seperti
hipotiroidisme, myeloma, lepra (bercak anestesi pada kulit), lupus eritematosus, AIDS,
sarkoidosis, poliarteritis, anemia pernisiosa, diabetes melitus, dsb. Apakah gejala nya terjadi
berulang? Salah satu yang paling penting adalah CIDP (Chronic Inflammatory Demyelinating
Polyneuropathy) dengan jenis polyneuropati yang memberi respon baik dengan pemberian
steroid, neuropati berulangkali mungkin disebabkan alkohol, porfiria, atau keracunan timah.
Gejala apa yang menyertai kesemutan seperti mual, muntah, mudah lelah, pusing, dsb? Apakah
pasien seorang pengonsumsi minuman beralkohol? Sebab alkohol diketahui dapat menyebabkan
neuropati juga.2
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan neuropati perifer dimulai dengan pemeriksaan sistem sensorik yaitu


sentuhan ringan, sensasi getaran, dan tes sensasi nyeri, suhu, dan raba.
a. Sentuhan Ringan
Tes ini memakai kapas yang dipilin sehingga ujungnya berbentuk lancip, sentuh dengan lembut
bagian kulit pasien. Lalu, bekerja samalah dengan pasien, dengan meminta pasien merespon
apabila merasakan sesuatu hal ketika di tes dan bandingkan pada bagian kulit lainnya.3
b. Sensasi Getaran dan posisi
Tes sensasi getaran menggunakan garpu tala dan tes posisi menggunakan tes ibu jari kaki. Ketika
melakukan tes sensasi getaran dan posisi, pertama lakukan tes tersebut pada jari tangan dan kaki.
Jika hasilnya normal, dapat diasumsikan bahwa daerah yang lebih proksimal juga memberikan
hasil yang normal.
c. Tes sensasi nyeri, suhu, dan raba.
Ketika melakukan pemeriksaan ini bandingkan daerah distal extremitas dengan daerah proksimal
nya. Tes rasa nyeri gunakan jarum atau peniti, minta pada pasien menyebutkan apakah benda
yang disentuhkan ke bagian tubuhnya itu tajam atau tumpul. Tes suhu dengan menggunakan

2
tabung reaksi yang diisi air panas dan dingin. Pada neuropati diabetik akan terlihat penurunan
atau hilang nya sensasi getaran dan nyeri. Pada perjalanan klinik secara progresif dapat terjadi
paresis simetris yang mulai pada otot kedua kaki yang kemudian secara progresif menuju ke atas
yaitu paresis otot tungkai, badan, tangan, lengan, dst. Pemeriksaan berikut yang perlu dianjurkan
adalah reflex tendon dalam.3
d. Refleks Tendon Dalam
Untuk menimbulkan reflex tendon dalam, minta pasien untuk rileks, kemudian tempatkan
ekstremitasnya dalam posisi yang benar serta simetris, dan ketuk tendonnya dengan pergerakan
pergelangan tangan yang cepat. Ketukan pemeriksa harus cepat dan langsung, bukan hanya
mengambang. Dapat menggunakan ujung palu reflex yang lancip atau datar. Respon reflex
sebagian bergantung pada kekuatan rangsangan yang pemeriksa berikan. Refleks dapat
berkurang atau hilang sama sekali jika sensasi nya terganggu, atau segmen spinal yang terkait
mengalami lesi atau jika saraf tepinya rusak. Untuk kasus ini berhubung pasien mengalami
kesemutan di tangan maka pemeriksa perlu memeriksa reflex biseps, triseps, dan brakioradialis.
Jika pasien mengalami keluhan di bagian kaki maka perlu diperiksa juga reflex pergelangan kaki
( Achilles) dan reflex Patella.5Pada neuropati, akan terlihat hypoactiveatau bahkan tidak
ada.Lakukanpengujiankekuatan danmemeriksa apakah adaatrofiototekstremitasKarena penyakit
kesemutan ( neuropati ) berhubungan dengan pemakaian obat anti-TBC perlu dilakukan
beberapa pemeriksaan yang berhubungan dengan defisiensi vitamin B6 yang hubungannya akan
dijelaskan pada bagian patofisiologi. Inspeksi oral diperlukan untuk mengetahui apakah terdapat
glositis atau cheilosis.

Pemeriksaan Penunjang
Walaupun dengan riwayat klinis sudah cukup mendapatkan kunci untuk mendiagnosis
neuropati, tapi harus ditunjang pula dengan pemeriksaan laboratorium lainnya. Pemeriksaan
laboratorium bertujuan membedakan neuropati et causa defisiensi vitamin B6 dan neuropati jenis
lain.
1. Pemeriksaan CBC dan serum piridoksin
Defisiensi Piridoksin (vitamin B 6) : CBC ( complete blood count ) menunjukkan anemia,
hipokromik mikrositik dengan tingkat zat besi yang normal. Kadar piridoksin serum
adalah <25 mg / mL
Alkoholik neuropati : low platelet count dan anemia megaloblastik.4
2. Hemoglobin A1C
3
Hemoglobin A1C dan glukosa plasma puasa adalah tes skrining penting laboratorium
pada neuropati diabetik. Hemoglobin A1C pengukuran yang berguna untuk menilai
kecukupan kontrol diabetes terakhir, tingkat kemungkinan akan meningkat pada pasien
dengan neuropati diabetes.
Hemoglobin A terdiri dari 91-95 % dari jumlah hemoglobin total. Molekul glukosa
berikatan dengan Hb A1 yang merupakan bagian dari hemoglobin A.
Hb A1C merupakan indicator yang baik untuk pengendalian Diabetes Mellitus.
Peningkatan kadar HbA1C >8 % mengindikasikan diabetes mellitus yang tidak terkendali
dan pasien berisiko tinggi mengalami komplikasi jangka panjang, seperti nefropati,
neuropati, retinopati, dan / atau kardiomiopati.
Nilai normal HbA1C : non diabetic : 2-5 %. 5
3. Serum folat
Pada neuropati et causa defisiensi folat, kadar serum folat akan menurun.
Nilai rujukan : 3-16 ng / mL

Diagnosis Kerja
Respons berbagai obat bervariasi antara satu individu dengan individu lainnya biasanya
disebabkan oleh adanya faktor genetik, yang mana terdapat istilah faktor penentu genetik
mempunyai distribusi Gaussian. Polimorfisme genetik adalah ilmu tentang bagaimana faktor
penentu genetik mempengaruhi kerja obat. Dalam keadaan normal, variasi dalam respon
terhadap obat yang paling sering ditemukan dalam observasi ialah yang mempunyai distribusi
normal atau distribusi Gaussian. Variasi respons obat sering diobservasi pada orang Caucasian.
Hasil observasi menunjukkan bahwa dalam satu populasi, respon terhadap obat-obat tersebut
memperlihatkan distribusi kontinu, dan populasi tersebut terbagi 2 atau lebih kelompok (dengan
variasi kontinu pada tiap kelompok) yang menunjukkan adanya suatu gen tunggal yang sangat
menentukan.
Distribusi variasi respon yang berbentuk diskontinu ini disebut polimodal (bimodal dan
trimodal) dan karena dipengaruhi oleh faktor genetik, maka disebut polimorfisme genetik yang
menunjukkan adanya polimorfisme gen tunggal. Sifat tersebut dipengaruhi oleh satu gen tunggal
(monogenik) dalam satu lokus kromosom. Dalam hal ini, individu dalam suatu populasi terbagi
menjadi 2 atau lebih golongan fenotip yang berlainan, seperti yang ditunjukkan oleh respon obat
Isoniazid dengan terdapatnya fenotip asetilator cepat dan fenotip asetilator lambat.

4
Keanekaragaman genetik umumnya, dan khususnya polimorfisme genetik dalam
pengaruh atau respons individu terhadap obat terjadi melalui 2 proses utama dalam tubuh, yaitu
proses farmakodinamik, yaitu dengan terjadinya proses interaksi antara molekul obat dengan
reseptornya, dan terdapat kepekaan yang abnormal dari reseptor obat terhadap molekul obat.
Lalu yang kedua proses farmakokinetik, yaitu proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan
ekskresi obat. Proses ini paling banyak ditemukan pada polimorfisme klinik dalam proses
metabolisme obat, sedangkan polimorfisme genetik yang ditemukan pada proses absorbsi,
distribusi, dan ekskresi obat tidak banyak dijumpai dan diketahui.
Diagnosis Banding

Neuropati Perifer et causa Diabetes melitus


Proses tejadinya Neuropati Diabetik (ND) berawal dari hipoglikemia yang
berkepanjangan. Hiperglikemia persisten menyebabkan aktivitas jalur poliol meningkat, yaitu
terjadi aktivitas enzim aldose-reduktase. Yang merubah glukosa menjadi sorbitol, yang kemudian
dimetabolisasi oleh sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. Akumulasi sorbitol dan fruktosa
dalam sel saraf merusak sel saraf melalui mekanisme yang belum jelas. Salah satu
kemungkinannya ialah akibat akumulasi sorbitol dalam sel saraf menyebabkan keadaan
hipertonik intraseluler sehingga mengakibatkan edem saraf. Peningkatan sintesis sorbitol
berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf. Penurunan mioinositol dan
akumulasi sorbitol secara langsung menimbulkan stress osmotic yang akan merusak mitokondria
dan akan menstimulasi protein kinase C (PKC). Aktivitas PKC ini akan menekan fungsi Na-K-
ATP-ase, sehingga kadar Na intraseluler menjadi berlebihan, yang berakibat terhambatnya
mioinositol masuk ke dalam sel saraf sehingga terjadi gangguan transduksi sinyal pada saraf.

Polineuropati
Segenap saraf perifer terutama pada bagian distal dapat mengalami gangguan akibat
infeksi, proses imunpatologik, defisiensi makanan dan sebagainya. Istilah yang digunakan untuk
keadaan itu adalah polyneuropati. Gejala utamanya dapat bersifat sensorik atau motorik.
Manifestasinya simetris dan terkena terutama bagian-bagian distal ekstremitas.6
Polyneuropati defisiensi makanan meruapakan polyneuropati campuran yang berarti manifestasi
sensorik dan motorik sama beratnya. Gangguan sensorik berupa hipestesia/parastesia pada
bagian distal lengan dan tungkau dengan pola sarung tangan dan kaos kaki. Polyneuropati
lainnya dapat disebabkan oleh intoksikasi As, alkohol, CO, trichloroethylene, dan sebagainya.
5
Intoksikasi eksotoksin kuman difteri, intoksikasi Pb, INH, penisilin dan sebaginya lebih sering
menghasilkan mononeuropati daripada polyneuropati.
Epidemiologi
Respon manusia terhadap obat akan bervariasi dari satu individu ke individu yang lain
yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Perbedaan distribusi obat serta kecepatan metabolisme obat
dan eliminasi obat dipengaruhi oleh faktor genetik dan variabel non-genetik seperti umur, jenis
kelamin, ukuran hati, fungsi hati, ritme carcadian, suhu tubuh, faktor-faktor lingkungan dan
nutrisi Fenotip asetilator lambat terjadi kira-kira 50% dari penduduk kulit hitam dan kulit putih
di Amerika Serikat, 40-70% pada orang Caucasian, lebih sering pada orang Eropa serta jauh
lebih sedikit orang Asia (10-20%) dan Eskimo. Distribusi INH pada asetilator lambat dan cepat
(kira-kira 50% pada tiap kelompok etnik) nilainya sama pada kebanyakan kelompok (etnik)
manusia, namun pada orang-orang Jepang, lebih 90% populasi Jepang adalah asetilasi
(inaktivator) cepat.

Etiologi
Contoh paling banyak ialah pemakaian Isoniazid (INH), keragaman efek obat yang
disebabkan oleh faktor genetik. Isoniazid (INH) adalah suatu obat anti-tuberkulosis yang
diperkenalkan pada tahun 1952. Pada kira-kira separuh (50%) dari pasien (orang-orang
Kaukasia) yang diobati dengan INH, diketahui bahwa INH mengalami metabolisme (asetilasi)
secara lambat dan kadar INH dalam plasma tinggi setelah pemberian suatu dosis INH.
Metabolisme INH pada 50% lainnya berlangsung dengan cepat dan kadar INH dalam plasma
rendah setelah pemberian dosis yang sama. Proses metabolisme INH ialah dengan reaksi asetilasi
yang dikatalisis oleh enzim N-asetil transferase hepar yang memperlihatkan polimorfisme
genetik (enzim ini tidak dapat diinduksi sehingga perbedaan dalam aktivitas enzim diantara
individu bukan disebabkan oleh perbedaan dalam pengobatan/pengaruh obat lain). Enzim ini
berfungsi memindahkan gugus asetil dari donor asetil (asetil koenzim A) ke obat akseptor
sehingga terbentuk metabolit N-asetilisoniazid.

Analisis keturunan dari 2 fenotip metabolisasi S (slow) dan R (rapid), menunjukkan


bahwa sifat asetilator cepat pada seseorang individu ternyata ditentukan oleh gen autosom
dengan sifat asetilatornya dipercepat oleh gen dominan (R) dan asetilator diperlambat oleh gen
resesif (r). Dengan demikian, genotype seorang asetilator cepat mungkin homozigot dominan
6
(RR) atau heterozigot (Rr), sedangkan asetilator lambat adalah homozigot resesif (rr). Perbedaan
antara kedua fenotipe (asetilator cepat dan asetilator lambat) tersebut terletak pada aktivitas
(kuantitas, jumlah ezim) dari enzim N-asetil transferase tersebut dalam hepar.

Dibandingkan asetilator cepat, asetilator lambat lebih mudah mengalami neuropati perifer
yang merupakan salah satu penyulit utama yang mungkin terjadi pada pengobatan isoniazid
jangka panjang, dan yang jelas disebabkan karena pengaruh samping toksik obat tersebut.

Patofisiologi
Dinamika/Kinetika Obat. Pada saat dipakai Isoniazida akan mencapai kadar plasma
puncak dalam 1 2 jam sesudah pemberian peroral dan lebih cepat sesudah suntikan im; kadar
berkurang menjadi 50 % atau kurang dalam 6 jam. 8 Mudah difusi kedalam jaringan tubuh, organ,
atau cairan tubuh; juga terdapat dalam liur, sekresi bronkus dan cairan pleura, serobrosfina, dan
cairan asitik. Metabolisme dihati, terutama oleh karena asetilasi dan dehidrazinasi(kecepatan
asetilasi umumnya lebih dominan ). Waktu paro plasma 2-4 jam diperlama pada insufiensi hati,
dan pada inaktivator lambat. Lebih kurang 75-95 % dosis diekskresikan di kemih dalam 24
jam sebagai metabolit, sebagian kecil diekskresikan di liur dan tinja. Melintasi plasenta dan
masuk kedalam ASI. Dari segi farmakodinamik Isoniazid adalah inhibitor kuat untuk cytochrome
P-450 isoenzymes, tetapi mempunyai efek minimal pada CYP3A. 8 Pemakaian Isoniazide
bersamaan dengan obat-obat tertentu, mengakibatkan meningkatnya konsentrasi obattersebut dan
dapat menimbulkan risiko toksis. Antikonvulsan seperti fenitoin dan karbamazepin adalah yang
sangat terpengaruh oleh isoniazid.

Polimorfisme genetik adalah adanya variasi genetik yang menyebabkan perbedaan


aktivitas dan kapasitas suatu enzim dalam menjalankan fungsinya. 8 Adanya perbedaan ekspresi
genetik antara tiap individu akan dapat memberikan respon yang berbeda terhadap nasib obat
dalam tubuh. Hal ini dapat kita tinjau terutama dari aspek metabolisme tubuh. Proses
metabolisme terjadi oleh adanya bantuan enzim.8, Enzim merupakan suatu protein yang
keberadaanya merupakan hasil dari ekspresi genetik (sintesis protein). Kapasitas enzim yang
dihasilkan tiap individu berbeda-beda. Hal inilah yang salah satunya yang memacu terhadap
perbedaan respon yang tubuh terhadap pemakaian obat yang sama.

Mekanisme neuropati perifer Karena INH

7
Isoniazid merupakan obat yang digunakan sebagai antituberkolosis. Studi terhadap
kecepatan asetilasi isoniazid (N-asetilasi) menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan
asetilasi dari masing-masing individu yang berdasarkan faktor genetiknya, memiliki 2 tipe, yaitu
tipe asetilator cepat dan asetilator lambat. Reaksi asetilasi itu sendiri merupakan reaksi pada jalur
metabolisme obat yang mengandung gugus amina primer, seperti amina aromatik primer dan
amina alifatik skunder. Sedangkan fungsi dari reaksi asetilasi itu sendiri adalah untuk proses
detoksifikasi, serta mengubah obat/senyawa induk, menjadi senyawa metabolitnya yang bersifat
tidak aktif, lebih bersifat polar, agar selanjutnya mudah untuk dieksresikan.8,Aktivitas dari obat
INH sebagai antituberkolosis ini, sangat tergantung pada tingkat kecepatan reaksi asetilasinya.
Pada isoniazid, terdapat perbedaan respon dari beberapa individu berupa perbedaan dalam
kecepatan proses asetilasinya terhadap obat tersebut. Profil asetilasi terhadap isoniazid yang
merupakan obat anti tuberkulosis ini digolongkan dalam asetilator cepat dan lambat. Individu
yang tergolong dalam asetilator lambat ternyata aktivitas enzim N-asetilastransferase-nya sangat
lambat. Perbedaan tersebut ternyata disebabkan oleh adanya variasi genetik dari gen yang
menyandi ekspresi dari enzim N-asetilastransferase. Bagi individu yang mempunyai kelainan
yang disebabkan oleh autosomal recessive allele, berupa variasi polimorfik maka aktivitas enzim
N-asetilastransferase menjadi lambat. Aktivitas enzim N-asetilastransferase ini sangat bervariasi
untuk setiap suku atau ras. Bagi orang barat (Amerika dan Eropa) 50% dari penduduknya
ternyata tergolong asetilator lambat, sedangkan untuk orang Jepang dan Eskimo sebagian besar
tergolong asetilator cepat.

Jika isoniazid diberikan pada individu bertipe asetilator lambat, maka enzim N-
asetiltransferase yang dimiliki tidak sebanyak enzim N-asetilastransferase yang dihasilkan oleh
individu yang memiliki tipe asetilator cepat. 10 Dengan demikian, maka kemampuan untuk
isoniazid dapat dieksresikan dalam bentuk asetil-isoniazid yang bersifat tidak aktif berlangsung
lambat. Sehingga INH akan memiliki masa kerja (t ) yang panjang yaitu 140-200 menit.
Dengan demikian, maka individu tipe asetilator lambat, memerlukan dosis pengobatan yang
rendah, agar tidak menimbulkan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan oleh INH.10 Untuk
individu tipe asetilator lambat ini, pemberian INH tidak harus dilakukan berulangkali/frekuensi
yang tinggi, hal ini karena metabolisme INH berlangsung lambat, sehingga INH dapat
menimbulkan efek yang konstan dengan durasi yang lama setelah diminum.

8
Namun hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa karena obat dimetabolisme dalam
bentuk asetilisoniazid yang bersifat tidak aktif dengan kecepatan yang lambat, maka
kemungkinan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan oleh INH lebih tinggi, efek toksik dapat
timbul karena persaingan INH dengan piridoxin (B6) yang merupaka sebuat neuroprotektor.
Selain itu, menurut studi yang telah dilakukan, individu bertipe aetilator lambat ini, memiliki
kemungkinan untuk menimbulkan efek samping, yaitu neuritis perifer yang lebih tinggi dari pada
individu bertipe asetilator cepat.

Manifestasi Klinik
Kesemutan atau rasa baal pada ektremitas atas ataupun bawah. Pada tingkat yang lebih
parah dapat menyebabkan koordinasi tubuh terganggu, gugup, gelisah, cemas, emosi-marah,
lekas marah, insomnia, depresi, kelelahan, tekanan darah rendah, pusing, gangguan kulit seperti
jerawat, rambut rontok, cheilosis (retak di sudut mulut), lidah sakit, anoreksia dan mual, anemia,
gangguan penyembuhan luka, arithitis. Hal tersebut merupakan hasil dari defisiensi/kekurangan
vitamin B6 menimbulkan keluhan dan gejala seperti, gangguan neurologis/system saraf.9

Penatalaksanaan
Medika Mentosa
Pengobatan dengan INH, asetilator lambat akan lebih mudah menderita efek samping
INH berupa neuropati perifer karena defisiensi vitamin B-6. INH akan menghambat pemakaian
vitamin B-6 oleh jaringan dan akan memperbesar ekskresi vitamin B-6. Asetilator (inaktivator)
lambat dapat menyebabkan obat lebih banyak terakumulasi dan lebih jelas memperlihatkan efek
toksisitas dibanding dengan asetilator cepat dalam regimen dosis yang sama. 10

Asetilator cepat umumnya lebih resisten terhadap pengobatan. Asetilator cepat akan
memerlukan dosis obat yang lebih tinggi dan pemberian yang lebih sering untuk
mempertahankan suatu level terapi yang efektif dan adekuat.

Neuropati perifer paling banyak terjadi dengan dosis isoniazid 5mg/kgBB/hari. Bila
pasien tidak diberi piridoksin frekuensinya mendekati 2%. Bila diberikan dosis lebih tinggi, pada
sekitar 10 sampai 20% pasien dapat terjadi neuropati perifer.10 Pemberian vitamin B-6 pada
pasien dengan pengobatan INH. Vitamin B-6 disarankan lebih baik diberikan juga sebagai
profilaksis. Atau saat ini juga telah tersedia sediaan obat INH yang telah disertai dengan Vitamin
B6.11
9
Komplikasi
Hipersensitivitas terhadap isoniazid dapat berakibat demam, berhagai erupsi kulit,
hepatitis, serta ruam morbiliform, makulopapular, purpuria, dan urtikaria. Reaksi-reaksi hematologis
juga mungkin terjadi (agranulositosis, eosinofilia, trombositopenia, anemia). Vaskulitis yang
terkait dengan antibodi antinukleus dapat muncul selama pengobatan tetapi akan hilang jika obat
ini dihentikan. Gejala-gejala artritis (nyeri punggung; dipengaruhinya sendi interfalangeal proksimal
bilateral; artralgia pada lutut, siku, dan pergelangan tangan; dan sindrom "bahu-tangan") telah
dihubungkan dengan obat ini. Insiden reaksi yang merugikan akibat pemakaian isoniazid
diperkirakan 5,4% pada lebih dari 2000 pasien yang mendapat obat ini; reaksi yang paling
menonjol adalah ruam (2%), demam (1,2%), ikterus (0,6%), dan neuropati perifer (0,2%). 10

Prognosis
Prognosis baik bila diberikan penanganan sebelum terjadinya kronik.

Kesimpulan
Diperlukannya pengetahuan akan farmakogenetika yang mana hal tersebut dapat
mencegah hal-hal yang tidak kita inginkan. Selebihnya pengetahuan akan terus berkembang agar
dapat menyeimbangkan akan ras dan gen tertentu dalam pemakaian farmakoterapi.
Pemakaian piridoksin pada pasien dengan asetilator lambat yang dibarengi dengan
pemberian Isoniazid dapat mencegah terjadinya efek samping defisiensi B6 yang bermanifestasi
kesemutan apabila diberikan tanpa piridoksin. Hal ini juga dapat dijadikan suatu profilaksis.

10
Daftar Pustaka
1. Langkah-Langkah Penatalaksanaan Neuropati. Dalam : Weiner, Howard dan Lawrence
Levitt.Buku Saku Pemeriksaan Neurologi. Edisi 5. Jakarta: EGC; 2006. h.136-7
2. Neuropati Perifer. Dalam Gleadle, Jonathan. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan
Fisik. Jakarta: Erlangga; 2007.h.182
3. Pemeriksaan Neurologi Sistem Sensorik. Dalam : Bickley, Lynn. Bates Buku Ajar
Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan. Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC ; 2009.h.593-5
4. Pemeriksaan Refleks Tendon Dalam. Dalam : Bickley, Lynn. Bates Buku Ajar
Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan. Edisi 8. Jakarta: EGC ; 2009. h.596-600
5. Hemoglobin A1C. Dalam : Joyce LK. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan
Diagnostik. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2008.h.237
6. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat,2008.h.104-5
7. Subekti I. Neuropati Diabetik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
MK, Setiati S. Buku Ajar ilmu Penyaki Dalam, Edisi ke-4. Jilid 3. Jakarta: Pusat Penerbit
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,2007.h.1902-3.
8. Wattimena. R. J.; dkk, Farmakodinami dan Terapi Antibiotik, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung, penerbit Gadjah Mada University press,
Yogyakarta;2000. hal 136-177.
9. Hemoglobin A1C. Dalam : Joyce LK. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan
Diagnostik. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2008.h.237

10. Prinsip Farmakogenetik, Syamsuir Munaf, Staf pengajar departemen farmakologi FK


universitas sriwijaya, Kumpulan kuliah Farmakologi, Rio Rahardjo ed, edisi 2, cetakan 1,
2009, jakarta, penerbit buku kedokteran (EGC), h311-3.
11. Istiantoro YH, Setiabudy. Tuberkulostatik dan leprostatik. Dalam: Gunawan SG,
Nafrialdi, Setiabudy R, Elysabeth, editor. Farmaklogi dan Terapi. Edisi ke-5. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2008.h.613-5.

11

Anda mungkin juga menyukai