Anda di halaman 1dari 6

CIDERA OTAK PRIMER

Cidera otak primer adalah cidera otak yang terjadi segera cidera kepala
baik akibat impact injury maupun akibat gaya akselerasi-deselerasi,
cidera otak primer ini dapat berlanjut menjadi cidera otak sekunder, jika
cidera primer tidak mendapat penanganan yang baik, maka cidera primer
dapat menjadi cidera sekunder.
1. Cidera pada SCALP
Fungsi utama dari lapisan kulit kepala dengan rambutnya adalah
melindugi jaringan otak dengan cara menyerap sebagian gaya yang akan
diteruskan melewati jaringan otak. SCALP merupakan singkatan dari Skin,
subCutan, Aponeurosis galea, Loose arerolar, Periosteum. Cidera pada
scalp dapat berupa:
Eskoriasi.
Vulnus apertum.
Hematom subcutan
Hematom subgaleal
Hematom subperiosteal.
Pada eskoriasi dapat dilakukan wound toilet, yakni mencuci luka serta
menghilangkan jaringan yang sudah tidak berfungsi maupun benda asing,
sedangkan pada vulnus apertum harus dilihat jika vulnus tersebut sampai
mengenai galea aponeurotika maka galea harus dijahit (untuk
menghindari dead space antara periosteum dan subcutis sedangkan
didaerah subcutan banyak mengandung pembuluh darah, demikian juga
rambut banyak mengandung kuman sehingga adanya hematom dan
kuman menyebabkan terjadinya infeksi sampai terbentuknya abses).
Penjahitan pada galea memakai benang yang dapat diabsorbsi dalam
jangka waktu lama (tetapi kalau tidak ada dapat dijahit dengan benang
nonabsorbsable tetapi dengan simpul yang terbalik, untuk menghindari
terjadinya "druck necrosis/nekrosis akibat penekanan , pada kasus
terjadinya excoriasi yang luas dan kotor hendaknya diberikan injeksi anti
tetanus.
Pada kasus dengan hematom subcutan sampai hematom subperiosteum
dapat dilakukan bebat tekan kemudian diberikan analgesia, jika selama 2
minggu hematom tidak diabsorbsi dapat dilakukan punksi steril, Pada bayi
dan anak anak dimana hematom yang lebih dari 2minggu tidak dapat
diserap, harus dipikirkan terjadinya fraktur kalvaria.
Hati-hati cidera scalp pada anak-anak/bayi karena perdarahan begitu
banyak dapat terjadinya shok hipovolumik
2. Fraktur linier kalvaria
Fraktur linier pada kalvaria dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja
pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala
bending dan terjadi fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga
intrakranial, tidak ada terapi khusus pada fraktur linier ini tetapi karena
gaya yang menyebabkan terjadinya fraktur tersebut cukup besar maka
kemungkinan terjadinya hematom intrakranial cukup besar, dari penelitian
di RS. Dr. Sotomo Surabaya didapatkan 88% epidural hematom disertai
dengan fraaaktur linier kalvaria.Jika gambaran fraktur tersebut kesegala
arah disebut "Steallete fracture", jika fraktur mengenai sutura disebut
diastase fraktur

3. Fraktur depresi
Secara definisi yang disebut fraktur depresi apabila fragmen dari fraktur
masuk rongga intrakranial minimal setebal tulang fragmen tersebut,
berdasarkan pernah tidaknya fragmen fraktur berhubungan dengan udara
luar maka fraktur depresi dibagi 2 yaitu : fraktur depresi tertutup dan
fraktur depresi terbuka.
Fraktur depresi tertutup. Pada fraktur depresi tertutup biasanya tidak
dilakukan tindakan operatip kecuali bila fraktur tersebut menyebabkan:
(1). Gangguan neurologis, misal kejang-kejang, hemiparese/plegi,
penurunan kesadaran, (2) Secara kosmetik jelek misal : fraktur depresi
didaerah frontal yang berhubungan dengan pekerjaannya. Tindakan yang
dilakukan adalah mengangkat fragmen tulang yang menyebabkan
penekanan pada jaringan otak.setelahnya mengembalikan dengan fiksasi
pada tulang disebelahnya, sedangkan fraktur depresi didaerah temporal
tanpa disertai adanya gangguan neurologis tidak perlu dilakukan operasi.
Fraktur depresi terbuka. Semua fraktur epresi terbuka harus dilakukan
tindakan operatif debridemant untuk mencegah terjadinya proses infeksi
(meningoencephalitis) Yaitu mengangkat fragmen yang masuk,
membuang jaringan yang devitalized seperti jaringan nekrosis benda-
benda asing, evakuasi hematom, kemudian menjahit duramater secara
"water tight"/kedap air kemudian fragmen tulang dapat dikembalikan
atau pun dibuang, fragmen tulang dikembalikan jika : (a) Tidak melebihi
golden periode (24 jam), (b) Duramater tidak tegang. Jika fragmen tulang
berupa potongan-potongan kecil maka pengembalian tulang dapat secara
mozaik
4. Fraktur Basis kranii
Secara anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis kranii dan
kalvaria yaitu:
Pada basis kranii tulangnya lebih tipis dibandingkan tulang daerah
kalvaria.
Duramater daerah basis kranii lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria
Duramater daerah basis lebih melekat erat pada tulang dibandingkan
daerah kalvaria
Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis mengakibatkan robekan
duramater
Klinis ditandai dengan:
Bloody otorrhea.
Bloody rhinorrhea
Liquorrhea
Brill Hematom
Batles sign
Lesi nervus cranialis yang paling sering N I, NVII, dan N VIII
Diagnose fraktur basis kranii secara klinis lebih bermakna dibandingkan
dengan diagnose secara radiologis oleh karena:
Foto basis cranii posisinya hanging Foto , dimana posisi ini sangat
berbahaya tertutama pada cidera kepala disertai dengan cidera vertebra
cervikal ataupun pada cidera kepala dengan gangguan kesadaran yang
dapat menyebabkan gangguan pernafasan
Adanya gambaran fraktur pada foto basis kranii tidak akan merubah
penatalaksanaan dari fraktur basis kranii.
Pemborosan biaya perawatan karena penambahan biaya foto basis kranii.
Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi:
Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah
batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.
Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu
dilakukan tampon steril (Consul ahli THT) pada tanda bloody otorrhea/
otoliquorrhea,
Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea /otoliquorrhea
penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang
sehat.
Pemberian antibiotika profilaksis untuk mencegah terjadinya
meningoensefalitis masih kontroversial, di SMF Bedah Saraf RSU Dr.
Soetomo kami tetap memberikan antibiotika profilaksis dengan alasan
penderita fraktur basis kranii dirawat bukan diruangan steril / ICU tetapi
di ruang bangsal perawatan biasa dengan catatan pemberian kami batasi
sampai bloody rhinorrhea/otorrhea berhenti.
Komplikasi yang paling sering terjadi dari fraktur basis kranii meliputi:
Mengingoensefalitis
abses serebri.
Lesi nervii cranialis permanen
Liquorrhea.
CCF (Carotis cavernous fistula).
5. Komosio serebri
Secara definisi komosio serebri adalah gangguan fungsi otak tanpa
adanya kerusakan anatomi jaringan otak akibat adanya cidera kepala.
Sedangkan secara klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak
sadar selama kurang dari 15 menit, disertai sakit kepala, pusing, mual-
muntah adanya amnesi retrogrde ataupun antegrade. Pada pemeriksaan
radiologis CT Scan : tidak didapatkan adanya kelainan.
6. Kontusio serebri
Secara definisi kontusio serebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi
otak akibat adanya kerusakan jaringan otak, secara klinis didapatkan
penderita pernah atau sedang tidak sadar selama lebih dari 15 menit atau
didapatkan adanya kelaianan neurologis akibat kerusakan jaringan otak
seperti hemiparese/plegi, aphasia disertai gejala mual-muntah, pusing
sakit kepala, amnesia retrograde/antegrade, pada pemeriksaan CT Scan
didapatkan daerah hiperdens di jaringan otak, sedangkan istilah laserasi
serebri menunjukkan bahwa terjadi robekan membran pia-arachnoid pada
daerah yang mengalami contusio serebri.yang gambaran pada CT Scan
disebut "Pulp brain "
7. Epidural hematom (EDH = Epidural hematom)
Epidural hematom adalah hematom yang terletak antara duramater dan
tulang, biasanya sumber perdarahannya adalah robeknya :
Arteri meningica media (paling sering)
Vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria)
Vena emmisaria.
Sinus venosus duralis
Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang disertai
lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri
dan kanan tubuh) yang dapat berupa :
hemiparese/plegi
pupil anisokor
reflek patologis satu sisi
Adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukkan lokasi dari EDH.
Pupil anisokor /dilatasi dan jejas pada kepala letaknya satu sisi/ipsilateral
dengan lokasi EDH sedangkan Hemiparese/plegi letaknya kontralateral
dengan lokasi EDH, sedangkan gejala adanya lucid interval bukan
merupakan tanda pasti adanya EDH karena dapat terjadi pada
perdarahan intrakranial yang lain, tetapi lucid interval dapat dipakai
sebagai patokan dari prognosenya makin panjang lucid interval makin
baik prognose penderita EDH (karena otak mempunyai kesempatan untuk
melakukan kompensasi)
Pada pemeriksaan radiologis CT Scan didapatkan gambaran area
hiperdens dengan bentuk bikonvek diantara 2 sutura,
Sedangkan indikasi operasi jika:
Terjadinya penurunan kesadaran
Adanya lateralisasi
Nyeri kepala yang hebat dan menetap yang tidak hilang dengan
pemberian anlgesia.
Pada CT Scan jika perdarahan volumenya lebih dari 20 CC atau tebal lebih
dari 1 CM atau dengan pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5
mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom, menghentikan
sumberperdarahan sedangkan tulang kepala dapat dikembalikan jika saat
operasi tidak didapatkan adanya edema serebri sebaliknya tulang tidak
dikembalikan jika saat operasi didapatkan duramater yang tegang dan
dapat disimpan subgalea.
Pada penderita yang dicurigai adanya EDH yang tidak memungkinkan
dilakukan diagnose radiologis CT Scan maka dapat dilakukan diagnostik
eksplorasi yaitu " Burr hole explorations " yaitu membuat lubang burr
untuk mencari EDH biasanya dilakukan pada titik-titik tertentu yaitu
(berurutan)
pada tempat jejas/hematom
pada garis fratur
pada daerah temporal
pada daerah frontal (2 CM didepan sutura coronaria)
pada daerah parietal
pada daerah occipital.
Prognose dari EDH biasanya baik, kecuali dengan GCS datang kurang dari
8, datang lebih dari 6 jam umur lebih dari 60 tahun
8. Subdural hematom (SDH)
Secara definisi hematom subdural adalah hematom yang terletak dibawah
lapisan duramater dengan sumber perdarahan dapat berasal dari :
Bridging vein (paling sering)
A/V cortical
Sinus venosus duralis
Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan maka subdural hematom dibagi
3:
Subdural hematom akut : terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian
Subdural hematom subakut: terjadi antara 3 hari 3 minggu
Subdural hematom kronis jika perdarahan terjadi lebih dari 3 minggu.
Secara klinis subdural hematom akut ditandai dengan penurunan
kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa
hemiparese/plegi.
Sedangkan pada pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran
hiperdens yang berupa bulan sabit (cresent)..
Indikasi operasi menurut EBIC (Europe brain injury commition) pada
perdarahan subdural adalah :
Jika perdarahan tebalnya lebih dari 1 CM.
Jika terdapat pergeseran garis tengah lebih dari 5mm.
Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom, menghentikan sumer
perdarahan oleh karena biasanya disertai dengan edema serebri biasanya
tulang tidak dikembalikan (dekompresi) dan disimpan subgalea.
Prognose dari penderita SDH ditentukan dari GCS awal saat operasi,
lamanya penderita datang sampai dilakukan operasi, lesi penyerta
dijaringan otak serta usia penderita, pada penderita dengan GCS kurang
dari 8 prognosenya 50 %, makin rendah GCS, makin jelek prognosenya
makin tua penderita makin jelek prognosenya adanya lesi lain akan
memperjelek prognosenya.

9. Intracerebral hematom (ICH)


Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan
otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan
otak. Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang
kadang-kadang disertai lateralisasi, pada pemeriksaan CT scan
didapatkan adanya daerah hiperdens yng disertai dengan edema
disekitarnya (perifokal edema)
Indikasi dilakukan operasi jika:
Single
Diameter lebih dari 3 CM
Perifer.
Adanya pergeseran garis tengah
Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan gangguan neurologis
/lateralisasi
Operasi yang dilakukan biasanya adalah evakuasi hematom disertai
dekompresi dari tulang kepala.
Faktor-faktor yang menentukan prognosenya hampir sama dengan faktor-
faktor yang menentukan prognose perdarahan subdural
10. Diffuse axonal injury (DAI)
Secara definisi yang disebut diffuse axonal injury adalah koma lebih dari 6
jam yang pada pemeriksaan CT Scan tidak didapatkan kelainan
(gambaran hiperdens), jadi yang dipakai sebagai golden standart
diagnostic adalah CT Scan. Secara klinis DAI dibagi menjadi 3 gradasi:
1 DAI ringan : jika koma terjadi antara 6 24 jam.
2 DAI sedang: jika koma lebih dari 24 jam tanpa disertai tanda-tanda
deserebrated decorticated.
3 DAI. Berat: Jika koma lebih dari 24 jam yang disertai tanda-tanda
deserebrated / decorticated.
Sedangkan menurut WHO yang disebut koma jika GCS kurang dari 8.
(Unopen eyes, unuterred words and unobey commands)
Pada kasus dengan DAI berat, biasanya prognosenya jelek.

Anda mungkin juga menyukai