Anda di halaman 1dari 33

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penuaan adalah suatu proses akumulasi dari kerusakan sel somatik yang diawali oleh
adanya disfungsi sel hingga terjadi disfungsi organ dan pada akhirnya akan meningkatkan risiko
kematian bagi seseorang. Apabila dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, proses penuaan
merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik
dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu.

Pada hakikatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah
melalui tiga tahap kehidupannya, yaiyu : masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa tua. Tiga
tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki masa tua berarti
mengalami kemunduran baik fisik maupun psikis.

Corak perkembangan proses penuaan bersifat lambat namun dinamis dan bersifat
individual baik secara fisiologis maupun patologis, karena banyak dipengaruhi oleh riwayat
maupun pengalaman hidup di masa lalu yang terkait dengan faktor biologis, psikologis, spiritual,
fungsional, lingkungan fisik dan sosial. Perubahan struktur dan penurunan fungsi sistem tubuh
tersebut diyakini memberikan dampak yang signifikan terhadap gangguan homeostasis sehingga
lanjut usia mudah menderita penyakit yang terkait dengan usia misalnya: stroke, Parkinson, dan
osteoporosis dan berakhir pada kematian. Penuaan patologis dapat menyebabkan disabilitas pada
lanjut usia sebagai akibat dari trauma, penyakit kronis, atau perubahan degeneratif yang timbul
karena stres yang dialami oleh individu. Stres tersebut dapat mempercepat penuaan dalam waktu
tertentu, selanjutnya dapat terjadi akselerasi proses degenerasi pada lanjut usia apabila
menimbulkan penyakit fisik.

Oleh karena itu diperlukannya pelaksanaan program terapi yang diperlukan suatu
instrument atau parameter yang bisa digunakan untuk mengevaluasi kondisi lansia, sehingga
mudah untuk menentukan program terapi selanjutnya. Tetapi tentunya parameter tersebut harus
disesuaikan dengan kondisi lingkungan dimana lansia itu berada, karena hal ini sangat individual
sekali, dan apabila dipaksakan justru tidak akan memperoleh hasil yang diharapkan. Dalam
keadaan ini maka upaya pencegahan berupa latihan-latihan atau terapi yang sesuai harus
dilakukan secara rutin dan berkesinambungan.
1.2. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan terapi medis ?

2. Apa yang dimaksud dengan terapi komplementer ?

3. Terapi medic dan komplementer apa yang lazim digunakan pada lansia ?

1.3. Tujuan

1. Mengetahui tentang terapi medis

2. Mengetahui tentang terapi komplementer

3. Mengetahui terapi medic dan komplementer yang lazim digunakan pada lansia
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Terapi medis

Rehabilitasi merupakan semua tindakan yang bertujuan untuk mengurangi dampak


disability serta handicap agar individu lansia dapat berintegrasi dalam masyarakat.

Rehabilitasi adalah aspek yang tidak dapat dipisahkan dalam pelayanan kesehatan lansia.(
British G. Society ).

Terapi medic adalah proses pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk mengembangkan
kemampuan fungsional dan fisikologik dan kalau perlu mengembangkan mekanisme
kompensasinya agar individu dapat mandiri.

Terapi medik adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk memulihkan
atau mengoptimalkan kemampuan seseorang setelah mengalami gangguan kesehatan yang
berakibat pada penurunan kemampuan fisik.

Reintegrasi adalah rentetan usaha untuk kembali pada kemampuan fungsional yang
pernah dimiliki. Reintegrasi terhadap kehidupan normal adalah hal yang samgat di dambakan
oleh seorang pasien. Harapan inilah yang mewakili kualitas hidup yang diinginkan . upaya
reintegrasi diartikan sebagai reorganisasi kondisi fisik, psikis, dan social serta spiritual menuju
kesatuan yang harmonis sehingga adaptasi terhadap kehidupan dapat diperoleh, setelah
mengalami sakit atau trauma.

Dengan demikian dapat di tarik kesimpulan bahwa inti upaya mempertahankan dan
meningkatkan kualitas hidup seseorang yang menderita sakit adalah yang melaksanakan upaya
berdasarkan konsep rehabilitasi. Konsep rehabilitasi menyatu dan berkesinambungan dengan
proses penyembuhan penyakit, termasuk berbagai reaksi dan efek samping terapi, khususnya
pada penyakit geriatric.
2.2 Terapi komplementer

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Terapi adalah usaha untuk memulihkan
kesehatan orang yang sedang sakit; pengobatan penyakit; perawatan penyakit. Komplementer
adalah bersifat melengkapi, bersifat menyempurnakan.

Menurut WHO (World Health Organization), Pengobatan komplementer adalah


pengobatan non-konvensional yang bukan berasal dari negara yang bersangkutan, sehingga
untuk Indonesia jamu misalnya, bukan termasuk pengobatan komplementer tetapi merupakan
pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional yang dimaksud adalah pengobatan yang sudah
dari zaman dahulu digunakan dan diturunkan secara turun temurun pada suatu negara. Tetapi di
Philipina misalnya, jamu Indonesia bisa dikategorikan sebagai pengobatan komplementer.

Terapi Komplementer adalah cara Penanggulangan Penyakit yang dilakukan sebagai


pendukung kepada pengobatan medis konvensional atau sebagai pengobatan pilihan lain diluar
pengobatan medis yang Konvensional.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan definisi pengobatan Komplementer


tradisional-alternatif adalah pengobatan non konvensional yang di tunjukan untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat, meliputi upaya promotiv, preventive, kuratif, dan rehabilitatif yang
diperoleh melalui pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan, dan evektivitas yang tinggi
berandaskan ilmu pengetahuan biomedik tapi belum diterima dalam kedokteran konvensional.
Dalam penyelenggaraannya harus sinergis dan terintregrasi dengan pelayanan pengobatan
konvensional dengan tenaga pelaksanaanya dokter,dokter gigi, dan tenaga kesehatan lainnya
yang memiliki pendidikan dalam bidang pengobatan komplementer tradisional-alternatif. Jenis
pengobatan komplementer tradisional-alternatif yang daoat diselenggarakan secara sinergis dan
terintergrasi harus di tetapkan oleh menteri kesehatan setelah memalui pengkajian.

Terapi komplementer banyak menggunakan pada efektifitas dari beberapa terapi (Snyder
dan lindquist, 1998). Florence nightingale menggambarkan penggunaan terapi komplementer,
seperti musik, didalam perawatan holistik klien (nigthingale, 1860/1969).

Surver di afrika mengemukakan bahwa 42% reponden menggunakan 1 atau lebih terapi
komplementer (eisenberg dkk, 1998). Penggunaan terapi komplementer meningkatkan hampir
10% berdasarkan hasil survei tahun 90 (eisenberg dkk, 1993). Terapi komplementer lebih
populer di Eropa daripada di Amerika Serikat (peletier, 2000). Di jerman penggunaan herbal
merupakan bagian dari keperawatan kesehatan. Hasil penelitian tentang obat herbal
menunnjukkan bahwa 70 90 % dari terapi kesehatan diseluruh dunia menggunakan terapi
komplementer secara rutin sebagai bagian perawatan kesehatan ( kraitzer dan jansen, 2000).
2.2.1 Pengertian Terapi komplementer

Istilah terapi modalitas dalam ilmu keperawatan lebih dikenal dengan terapi
komplementer, terapi alternativ, terapi holistis, terapi nonbiomedis, pengobatan integratif atau
perawatan kesehatan, perawatan nanalopati, dan perawatan nontradisional. Terapi modalitas
merupakan metode pemberian terapi yang menggunakan kemampuan fisik atau elektrik. Terapi
modalitas bertujuan untuk membantu proses penyembuhan dan mengurangi keluhan yang
dialami klien ( lundy dan jenes , 2009). Terapi komplementer adalah istilah untuk terapi yang
bukan bagian dari tepi medis kofensional.

Terapi komplementer atau terapi modalitas di akui sebagai upaya kesehatan nasional oleh
nasional center for complementary/ alternative medicine (NCCAM) di amerika. Penggunaan
istilah komplementer disebabkan karena pemakaian bersama terapi lain, bukan sebagai pengganti
dan pengobatan biomedis. Terapi komplementer juga digunakan dalam praktik keperawatan
profesional sebagai terapi alternativ di beberapi klinik keperawatan, misalnya latihan relaksasi
oto progesif pada penanganan klien dengan epilepsi yang menyertai penggunaan obat
antiepilepsi. Study menunjukkan bahwa penggunaan relaksasi otot progesif dapat meningkatkan
kontrol kejang ( whaitma dkk., 1990). Namun demikian, tera[i komplkementer dapat digunakan
mandiri atau tidak berhubungan dengan terapi biomedis karena di posisikan sebagai upaya
promosi kesehatan, misalnya klien dpijat secara rutin untuk mencegah munculnya stres.

Terapi komplementer merupakan terapi holistis atau terapi nonbiomedis. Hasil penelitian
tentang psikoneuroimunologi mengungkapkan bahwa proses interaktif pada manusia
dengantubuh, pikiran, dan interaksi sosial mempengaruhi kesejahteraan seseorang. NCCAM.
Menetapkan bahwa terapi komplementer secara garis besar di dasarkan sebagai kategori terapi
pikiran penghubung tubuh (mind body terapies) sementara terapi biomedis lebih banyak
mempengaruhi seluruh tubuh dan berfokus pada dampak terapi terhadap pengibatan atau
penanganan masalah fisik. Sebagai contoh, pada terapi biomedis, evaluasi efek obat
antihipertensi hanya ditentukan melalui tekanan darah dan tidak memperhatikan bagaimana obat
mempengaruhi alam rohani dan psikologis.

NCCAM mendefinisikan terapi komplementer adalah suatu penyembuhan yang


mencakup sistem kesehatan, modalis, praktik dan teori serta keyakinana dari masyarakat atau
budaya dalam periode secara tertentu . CAM mencakup semua praktik serta ide ide yang
dimaknai sebagai upaya mencegah atau mengobati penyakit atau mempromosikan kesehatan dan
kesejahteraan .
2.2.2 Klasifikasi Terapi komplementer

Terdapat lebih dari 1800 terapi komplementer yang diidentifikasi berdasarkan sistem
perawatan , terapi yang cukup dikenal luas dan digunakan, variasi dari terapi, praktik budaya asli
yang tidak dikenal, dan mekanisme ang mendasari tindakan terapi yang tidak diketahui.

Kategori terapi konmpkementer menurut NCCAM adalah sebagai berikut :

1. Terapi pikiran, tubuh ( mind body terapies)

2. Terapi berbasis biologi ( biologokalli based terapies)

3. Terapi manipulatife dan berbasis tubuh(manipulatife and body based terapies)

4. Terapi energi yang termasuk dalam kategori energi hayati bioelektro magnetik( energi and
biofild terapies)

Menurut NCCAM terapi komplementer menjadi pengobatan untuk kondisi tertentu dan
merupakan bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan ternasuk profesi perawat.

Basis filosofi yang mendasari penggunaan terapi komplementer berbeda dengan modal biomedis
konfensional. Biomedis berusaha menghilangkan dan memperbaiki etiologi atau masalah yang
mendasari serta menekankan pada pengobatan trauma maupun situasi darurat lainya (weil,
1995). Sementara itu tujuan terapi komplementer dalam sistem keperawatan adalah untuk
mencapai keselarasan dan keseimbangan dalam diri seseorang. Zollman dan vickers
(1999)menyatakan tujuan dari intervensi terapeutik adalah untuk mengembalikan keseimbangan
dan memfasilitasi respon tubuh daripada menyembuhkan proses penyakit atau penghentian
gejala. Oleh karena itu, perawat memberikan perawatan yang mencakup modifikasi gaya hidup,
perubahan diet, olah raga, pengobatan khusus, konseling, latihan, bimbingan, pada pernafasan,
relaksasi, serta resep herbal. Konsep ini menenkan pentingnya sistem perawatan yang
menerapkan pendekatan kepedulian holistik terhadap perawatan klien yang akan meningkatkan
pelayanan kesehatan.

2.2.3 Penggunaan terapi komplementer

Foktor yang mempengaruhi perkembangan atau penggunaan terapi komplementer (Astin,


1998:kaptchuk dan eisenberg 1998 : jobs,1998 : mitzdorf dkk,1999) antara lain:

1. Adanya kenyakinan bahwa terapi biomedis tidak menyentuh seluruh dominan yang dimiliki
individu.

2. Adanya efek biomedis yang dianggap lebih buruk daripada efek terapi yang diharapkan;

3. Konsumen menginginkan penyedia layanan kesehatan yang pesuli (carig).


4. Konsumen menginginkan pengakuan dan perlakuan secarautuh atau holistis.

5. Konsumen menginginkan keterlibatandalam pengambilan keputusan dalam menangani


masalahkesehatan yang di hadapi.

6. Faktor lain yang telah meningkatkan penggunaan terapi komplementer adalah peningkatan
pengeseran budaya yang menggunakan pelayanan kesehatan selain sistem biomedis.

Terapi komplementer sangat penting dalam klien dengan kondisi kesahatan fonis yang
meliputi spiritual, sosial, psikologi, dan masalah fisik (haines, McKibbon dan Kanani, 1996).

Terapi komplementer keperawatan Nightingale menyerahkan penggunaan terapi komplementer


dalam perawatan klien. Fundamental of nursing menjelaskan beberapa penggunaan prinsip terapi
komplementer seperti pijat (massage), panas dan dingin, dan gizi. Pada akhir 1950 an, proses
keperawatan diperkenalkan dengan menggunakan 5 langkah pendekatan pemecahan masalah
untuk keperawatan yaitu pengakajian, diagnosis keperawatan, perencanaan, intervensi, dan
evaluasi. Keterampilan pengakajian sangat penting karena berkaitan dengan langkah selanjutnya,
yaitu intervensi. Perpedaan dalam menyusun intervensi dipengaruhi oleh pengelompokan
yangmeliputi tundakan dependen (dependent), kolaborasi (interdependent), mandiri
(independent).

Perawat memiliki otonomi yang luas dalam memberikan intervensi, terutama tindakan
mandiri, sebagai tindakan profesi yang ditunjang pendidikan tinggi. Kondisi ini memberikan
kesempatan kepada perawat untuk dapat memberikan praktik keperawatan komplementer.
Menurut Sydner, Bulechek, dan McCloskey (1985), beberapa intervensi keperawatan mandiri
yang termasuk terapi komplementer antara lain musik, imagery, relaksasi otot progesif, jurnaling,
reminis chance, dan pijat. Indetifikasi dan klasifikasi intervensi keperawatan oleh internasional
council of nurses poject (ICNP) dan national intervention clssification project (NIC) telah
memperluas ruang lingkup intervensi yang mencangkup seluruh kegiatan keperawatan (ICNP,
1997; McCloskey, dan bulechek. 1996). Dengan demikian berdasarkan konsep keperawatan,
istilah intervensi tidak membedakan terapi komplementer dengan tindakan keperawatan lainnya
sperti pemantauan status perawatan klien atau koordinasi. Perawat harus menggunakan terapi
komplementer yang lebih banyak untuk membantu klien mencapai hasil ksehatan yang lebih
optimal.
menetapkan Fungsional Assessment Instrument untuk menggolongkan kemandian merawat diri
pada lansia dengan berbagai macam penyakit, misal fraktur collum femoris, infark cerebri,
arthritis, paraplegia, keganasan, dll. adapun aktivitas yang dinilai adalah Bathing, Dressing,
Toileting, Transfering, Continence dan Feeding.

3.1. Gangguan sistem muskuloskeletal dan integumen : osteoporosis

3.1.1 Pengertian

Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan massa tulang total. Terdapat
perubahan pergantian tulang homeostasis normal, kecepatan resorpsi tulang lebih besar dari
kecepatan pembentukan tulang, pengakibatkan penurunan masa tulang total. Tulang secara
progresif menjadi porus, rapuh dan mudah patah; tulang menjadi mudah fraktur dengan stres
yang tidak akan menimbulkan pengaruh pada tulang normal (Brunner&Suddarth, 2000).

Osteoporosis adalah gangguan metabolisme tulang sehingga masa tulang berkurang. Resorpsi
terjadi lebih cepat dari pada formasi tulang, sehingga tulang menjadi tipis (Pusdiknakes, 1995).
Jadi osteoporosis adalah kelainan atau gangguan yang terjadi karena penurunan masa tulang
total.

3.1.2 Etiologi

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengurangan massa tulang pada usia lanjut:

a. Determinan Massa Tulang

1) Faktor genetik

Perbedaan genetik mempunyai pengaruh terhadap derajat kepadatan tulang. Beberapa


orang mempunyai tulang yang cukup besar dan yang lain kecil. Sebagai contoh, orang kulit
hitam pada umumnya mempunyai struktur tulang lebih kuat/berat dari pacia bangsa Kaukasia.
Jacii seseorang yang mempunyai tulang kuat (terutama kulit Hitam Amerika), relatif imun
terhadap fraktur karena osteoporosis

2) Faktor mekanis

Beban mekanis berpengaruh terhadap massa tulang di samping faktor genetk.


Bertambahnya beban akan menambah massa tulang dan berkurangnya beban akan
mengakibatkan berkurangnya massa tulang. Dengan perkataan lain dapat disebutkan bahwa ada
hubungan langsung dan nyata antara massa otot dan massa tulang. Kedua hal tersebut
menunjukkan respons terhadap kerja mekanik Beban mekanik yang berat akan mengakibatkan
massa otot besar dan juga massa tulang yang besar. Sebagai contoh adalah pemain tenis atau
pengayuh becak, akan dijumpai adanya hipertrofi baik pada otot maupun tulangnya terutama
pada lengan atau tungkainya; sebaliknya atrofi baik pada otot maupun tulangnya akan dijumpai
pada pasien yang harus istrahat di tempat tidur dalam waktu yang lama, poliomielitis atau pada
penerbangan luar angkasa. Walaupun demikian belum diketahui dengan pasti berapa besar beban
mekanis yang diperlukan dan berapa lama untuk meningkatkan massa tulang di sampihg faktor
genetik

3) Faktor makanan dan hormon

Pada seseorang dengan pertumbuhan hormon dengan nutrisi yang cukup (protein dan
mineral), pertumbuhan tulang akan mencapai maksimal sesuai dengan pengaruh genetik yang
bersangkutan. Pemberian makanan yang berlebih (misainya kalsium) di atas kebutuhan
maksimal selama masa pertumbuhan, disangsikan dapat menghasilkan massa tulang yang
melebihi kemampuan pertumbuhan tulang yang bersangkutan sesuai dengan kemampuan
genetiknya.

b. Determinan Penurunan Massa Tulang

1) Faktor genetik

Faktor genetik berpengaruh terhadap risiko terjadinya fraktur. Pada seseorang dengan
tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat risiko fraktur dari pada seseorang dengan tulang
yang besar. Sampai saat ini tidak ada ukuran universal yang dapat dipakai sebagai ukuran tulang
normal. Setiap individu mempunyai ketentuan normal sesuai dengan sitat genetiknya serta beban
mekanis den besar badannya. Apabila individu dengan tulang yang besar, kemudian terjadi
proses penurunan massa tulang (osteoporosis) sehubungan dengan lanjutnya usia, maka individu
tersebut relatif masih mempunyai tulang tobih banyak dari pada individu yang mempunyai
tulang kecil pada usia yang sama

2) Faktor mekanis

Di lain pihak, faktor mekanis mungkin merupakan faktor yang terpenting dalarn proses
penurunan massa tulang schubungan dengan lanjutnya usia. Walaupun demikian telah terbukti
bahwa ada interaksi panting antara faktor mekanis dengan faktor nutrisi hormonal. Pada
umumnya aktivitas fisis akan menurun dengan bertambahnya usia; dan karena massa tulang
merupakan fungsi beban mekanis, massa tulang tersebut pasti akan menurun dengan
bertambahnya usia.

3) Kalsium

Faktor makanan ternyata memegang peranan penting dalam proses penurunan massa
tulang sehubungan dengan bertambahnya Lisia, terutama pada wanita post menopause. Kalsium,
merupakan nutrisi yang sangat penting. Wanita-wanita pada masa peri menopause, dengan
masukan kalsiumnya rendah dan absorbsinya tidak bak, akan mengakibatkan keseimbangan
kalsiumnya menjadi negatif, sedang mereka yang masukan kalsiumnya baik dan absorbsinya
juga baik, menunjukkan keseimbangan kalsium positif. Dari keadaan ini jelas, bahwa pada
wanita masa menopause ada hubungan yang erat antara masukan kalsium dengan keseimbangan
kalsium dalam tubuhnya. Pada wanita dalam masa menopause keseimbangan kalsiumnya akan
terganggu akibat masukan serta absorbsinya kurang serta eksresi melalui urin yang bertambah.
Hasil akhir kekurangan/kehilangan estrogen pada masa menopause adalah pergeseran
keseimbangan kalsium yang negatif, sejumiah 25 mg kalsium sehari.

4) Protein

Protein juga merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi penurunan massa
tulang. Makanan yang kaya protein akan mengakibatkan ekskresi asam amino yang mengandung
sulfat melalui urin, hal ini akan meningkatkan ekskresi kalsium.

5) Estrogen.

Berkurangnya/hilangnya estrogen dari dalam tubuh akan mengakibatkan terjadinya


gangguan keseimbangan kalsium. Hal ini disebabkan oleh karena menurunnya eflsiensi absorbsi
kalsium dari makanan dan juga menurunnya konservasi kalsium di ginjal.

6) Rokok dan kopi

Merokok dan minum kopi dalam jumlah banyak cenderung akan mengakibatkan
penurunan massa tulang, lebih-lebih bila disertai masukan kalsium yang rendah. Mekanisme
pengaruh merokok terhadap penurunan massa tulang tidak diketahui, akan tetapi kafein dapat
memperbanyak ekskresi kalsium melalui urin maupun tinja.

7) Alkohol

Alkoholisme akhir-akhir ini merupakan masalah yang sering ditemukan. Individu dengan
alkoholisme mempunyai kecenderungan masukan kalsium rendah, disertai dengan ekskresi lewat
urin yang meningkat. Mekanisme yang jelas belum diketahui dengan pasti .
3.1.3 Manifestasi Klinik

Gejala yang paling sering dan paling mencemaskan pada osteoporosis adalah :

- Nyeri dengan atau tanpa fraktur yang nyata.

- Nyeri timbul mendadak

- Sakit hebat dan terlokalisasi pada vertebra yg terserang

- Nyeri berkurang pada saat istirahat di tempat tidur

- Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan dan akan bertambah oleh karena melakukan
aktivitas

- Deformitas vertebra thorakalis

- Penurunan tinggi badan

3.1.4 Penatalaksanaan Medis

Adapun penatalaksanaan pada klien dengan osteoporososis meliputi :

a. Pengobatan

Meningkatkan pembentukan tulang, obat-obatan yg dapat meningkatkan pembentukan


tulan adalah Na-fluorida dan steroid anabolik

Menghambat resobsi tulang, obat-obatan yang dapat mengahambat resorbsi tulang adalah
kalsium, kalsitonin, estrogen dan difosfonat

b. Pencegahan

Pencegahan sebaiknya dilakukan pada usia pertumbuhan/dewasa muda, hal ini bertujuan:

1) Mencapai massa tulang dewasa Proses konsolidasi) yang optimal

2) Mengatur makanan dan life style yg menjadi seseorang tetap bugar seperti:

Diet mengandung tinggi kalsium (1000 mg/hari)

Latihan teratur setiap hari

Hindari:

- Makanan tinggi protein


- Minuman beralkohol

- Merokok

- Minum kopi

Teknik terapi komplementer

a. Mencegah Osteoporosis

Osteoporosis adalah suatu sindroma penurunan densitas tulang (matrix dan mineral
berkurang), terapi rasio matrik dan mineral tetap normal. Osteoporosis terjadi karena
ketidakseimbangan antara resorpsi tulang dan pembentukan tulang. Densitas mineral tulang
berkurang sehingga tulang menjadi keropos dan mudah patah walaupun dengan trauma minimal.

Contoh latihan yang harus dihindari :

1. Sit Up

2. Menyentuh jari kaki pada posisi berdiri

3. Duduk dengan punggung membungkuk

4. Mengangkat beban dengan ayunan punggung

b. Menjaga Kebugaran Jasmani

Kebugaran jasmani adalah suatu aspek fisik dari kebugaran menyeluruh. Kebugaran
jasmani pada lansia adalah kebugaran yang berhubungan dengan kesehatan yaitu kebugaran
jantung-paru dan peredaran darah serta kekuatan otot dan kelenturan sendi.

c. Mengangkat dan Mengangkut

Melihat berbagai perubahan karena penuaan, cara mengangkat dang mengakut yang
efektif, efisien, dan aman merupakan kebutuhan bagi lansia. Untuk menunjang prinsip kinetic
dalam mengangkat dan mengangkut dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:

1) Pegangan harus tepat, kerja statis local dihindari

2) Pegangan/tangan berada sedekat mungkin dengan tubuh

3) Punggung harus lurus

4) Dagu (kepala) diusahakan segera ke posisi tegak


5) Kaki diusahakan sedemikian rupa sehingga keseimbangannya kuat

6) Menfaatkan berat badan sebagai gaya tarik/dorong

7) Beban berada sedekat mungkin dengan garis vertical yang melalui pusat gravitasi tubuh.

d. Perlindungan sendi

Usaha perlindungan sendi dapat dilakukan dengan menghindari pemakaian sendi secara
berlebihan, menghindari trauma, mengurangi pembebanan, berusaha menggunakan sendi yang
lebih kuat atau lebih besar, dan istirahat sejenak disela-sela aktivitas.

e. Konservasi Energi

Konservasi energy adalah suatu cara melakukan aktivitas dengan energy yang relative
minimal, namun dapat memperoleh hasil aktivitas yang baik. Teknik konservasi energy dapat
dicapai apabila dalam setiap aktivitas memperhatikan hal-hal berikut :

1) Rencanakan aktivitas yang akan dilakukan sehingga tidak ada gerakan kejut yang akan
meningkatkan strees fisik atau emosional.

2) Atur lingkungan aktivitas sedemikian rupa sehingga pada waktu melaksanakan aktivitas,
energy dapat digunakan secra efisien

3) Jika mungkin, aktivitas dilakukan dalam posisi duduk

4) Jangan menjinjing atau mengangkat barang jika dapat didorong atau digeser.

5) Gunakan alat aktivitas yang relatife ringan

6) Lakukan aktivitas dengan cara yang sama karena akan membuat lebih efisien.

7) Dalam setiap aktivitas, harus sering diselingi istirahat. Salah satu pedoman adalah sepuluh
menit istirahat untuk setiap satu jam bekerja.

8) Bagi aktivitas menjadi beberapa bagian kemudian kerjakan pada waktu yang berbeda.

f. Peningkatan Kekuatan Otot

Peningkatan kekuatan otot pada lansia lebih ditujukan agar mampu melakukan gerak
fungsional tanpa adanya hambatan. Dalam latihan ini, jenis latihan yang dianjurkan adalah
latihan isotonic, dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

1) Tentukan kemampuan otot maksimal

2) Latihan pada 60%-80% kemampuan otot maksimal

3) Ukur ulang setiap minggu


4) 3X seri latihan, tiap seri 8-10 ulangan

5) Istirahat 1-2 menit diantara seri

6) Lakukan 3X seminggu, min selama 8 minggu

3.2. Gangguan persepsi-sensori : demensia

3.2.1. Pengertian

Dalam Durand dan Barlow (2006) demensia adalah onset-gradual fungsi otak yang
melibatkan kehilangan ingatan, ketidakmampuan mengenali berbagai objek atau wajah, dan
kesulitan dalam merencanakan dan penalaran abstrak. Keadaan ini berhubungan dengan frustasi
dan kehilangan semangat. Menurut WHO dalam Clinical Deskriptions and Diagnostic Guidelines
for Mental and Behavioural Disorders dan International Classification of Diseases (10th
Revision) (ICD-10) (2008) demensia memiliki ciri-ciri yang harus ada diantaranya:

1. Kemunduran kemampuan intelektual terutama memori yang sampai menganggu


aktivitas- aktivitas keseharian sehingga menjadikan penderita sulit bahkan tidak
mungkin untuk hidup secara mandiri.
2. Mengalami kemunduran dalam berfikir, merencanakan dan mengorganisasikan
hal-hal dari hari ke hari.
3. Awalnya, mengalami kesulitan menyebutkan nama-nama benda, orientasi waktu,
tempat.
4. Kemunduran pengontrolan emosi, motivasi, perubahan dalam perilaku sosial yang
tampak dalam kelabilan emosi, ketidak mampuan melakukan ritual keseharian,
apatis (tidak peduli) terhadap perilaku sosial seperti makan, berpakaian dan
interaksi dengan orang lain.

Ada bermacam-macam jenis demensia, menurut Durland dan Barlow (2006) ada lima golongan
demensia berdasarkan etiologinya yang telah didefinisikan yaitu : (1) demensia tipe Alzheimer,
(2) demensia vaskular, (3) demensia larena kondisi medis umum, (4) demensia menetap yang
diinduksi oleh substansi tertentu, dan (5) demensia karena etiologi ganda/multiple, (6) demensia
yang tak tergolongkan.

Demensia Alzheimer adalah demensia yang paling banyak terjadi dan dicirikan oleh kemunduran
intelektual yang progresif. Faktor risiko utama adalah usia yang lanjut, keturunan dan trauma
kepala.

Demensia vaskuler (multi infrak) adalah demensia kedua yang banyak terjdai setelah demensia
Alzheimer. Demensia vaskuler seringkali dicirikan oleh adanya tanda dan gejala tertentu seperti
kemunduran yang bertahap (step-wise), riwayat sroke atau hipertensi, bukti adanya
aterosklerosis, gejala neurologis fokal, dan emosi stabil.
3.2.2. Etiologi

1. Penyebab secara biologis

a. Adanya penumpukan protein yang lengket yang disebut anyloid plauques yang
berakumulasi di otak pada penderita demensia. Plak amiloid juga ditemukan pada lansia
yang tidak memiliki gejala-gejala demensia, tetapi juga dalam jumlah yang jauh lebih
sedikit (Bourgeois dkk dalam Durand dan Barlow, 2006)
b. Di dalam otak ditemukan jaringan abnormal (disebut plak senilis dan serabut saraf yang
semrawut) dan protein abnormal, yang bisa terlihat pada otopsi. Demensia sosok Lewy
sangat menyerupai penyakit Alzheimer, tetapi memiliki perbedaan dalam perubahan
mikroskopik yang terjadi di dalam otak.
c. Penyebab yang lain dari demensia adalah serangan stroke yang berturut-turut.Stroke
tunggal ukurannya kecil dan menyebabkan kelemahan yang ringan atau kelemahan yang
timbul secara perlahan. Stroke kecil ini secara bertahap menyebabkan kerusakan jaringan
otak, daerah otak yang mengalami kerusakan akibat tersumbatnya aliran darah disebut
infark. Demensia yang berasal dari stroke kecil disebut demensia multi-infark. Sebagian
besar penderitanya memiliki tekanan darah tinggi atau kencing manis, yang keduanya
menyebabkan kerusakan pembuluh darah di otak.
d. Demensia juga bisa terjadi setelah seseorang mengalami cedera otak atau cardiac arrest.
Penyebab lain dari demensia adalah penyakit parkinson, penyakit pick, AIDS, penyakit
paru, ginjal, gangguan darah, gangguan nurtrisi, keracunan metabolism, diabetes.
e. Penyebab biologis demensia tidak diketahui penyebabnya hanya saja masalah kerusakan
cortex (jaringan otak). Penelitian otopsi mengungkapkan bahwa lebih dari setengah
penderita yang meninggal karena demensia senile mengalami penyakit Alzheimer jenis
ini. Pada kebanyakan penderita, besar kasar otak pada saat otopsi jauh lebih rendah yang
ventrikel dan sulkus jauh lebih besar dibandingkan yang normal yang seukuran usia
tersebut. Demielinasi dan peningkatan kandungan air pada jaringan otak ditemukan
berdekatan dengan ventrikel lateral dan dalam beberapa daerah lain di bagian dalam
hemifsfer serebrum pad penderita manula.
f. Faktor genetik yang berhubungan dengan apoprotein E4 (Apo E4), alela (4) kromosom
19 pada penderita Alzheimer familial/sporadic. Mutasi 21,1, 14 awal penyakit. Penyebab
lainnya yaitu neorotransmiter lain yang berkurang (defisit) yaitu non adrenergic
presinaptik, serotonin, somatostatin, corticotrophin, releasing faktor, glutamate, dll.

2. Penyebab secara psikologis


Penderita yang mengalami depresi memiliki risiko dua kali lebih besar mengalami demensia. Hal
ini diperkuat dari hasil penelitian oleh Epidemiological Pathways Follow-Up Study yang
dilakukan selama lima tahun pasien yang sudah di diagnosis menderita demensia dikeluarkan
dari penelitian ini.

Selama periode lima tahun 36 dari 445, atau 7.9 persen dari pasien diabetes dengan depresi berat
didiagnosis dengan demensia. Di antara 3.382 pasien dengan diabetes saja, 163 atau 4,8 persen
mengembangkan gejala demensia. Para peneliti menemukan hasil bahwa depresi berat dengan
diabetes mengalami peningkatan 2.7 kali lipat untuk mengalami demensia, dibanding dengan
pasien diabetes tanpa mengalami depresi berat.

Depresi meningkatkan risiko demensia, karena kelainan biologis afektif ini berhubungan dengan
penyakit, termasuk tingginya kadar hormon stres kortisol, atau masalah sistem saraf otonom
yang dapat mempengaruhi jantung, pembekuan darah. Selain itu faktor-faktor lain yang
meningkatkan risiko demensia karena perilaku umum dalam kondisi seperti merokok, makan
berlebihan, kurang olahraga, dan kesulitan dalam mengikuti rejimen pengobatan dan perawatan.

3. Penyebab secara sosial

Gaya hidup seseorang mungkin melibatkan kontak dengan faktor-faktor yang dapat
menyebabkan demensia, misalnya penyalahan substansi yang dapat mengakibatkan demensia.
Gaya hidup seperti diet, olahraga, dan stres mempengaruhi penyakit kardiovaskuler dan dapat
membantu menentukan siapa saja yang akan mengalami demensia vaskuler. Gaya hidup yang
sehat seperti diet, olahraga dan kontrol terhadap makanan dapat meminimalisir kemungkinan
terjadinya stroke dan tekanan darah tinggi yang menyebabkan demensia vaskuler. Sedangkan
gaya hidup yang tidak sehat seperti stres, tidak mengontrol makanan, jarang berolahraga dapat
meningkatkan risiko terkena stroke dan tekanan darah tinggi yang menyebabkan demensia
vaskuler.

Faktor-faktor kultural juga dapat memengaruhi seseorang mengalami demensia. Sebagai contoh,
hipertensi dan stroke menonjol di kalangan orang-orang Afrika-Amerika dan orang-orang Asia-
Amerika tertentu (Cruickshank dan Beevers dalam Durand dan Barlow, 2006), yang menjelaskan
mengapa demensia vaskular lebih sering dialami oleh kelompok ini. Hal ini terjadi akibat gaya
hidup yang kurang sehat seperti dikalangan orang-orang Afrika-Amerika yang sering
mengkonsumsi alkohol dan makanan-makanan cepat saji dan berpengawet yang meningkatkan
risiko terkena hieprtensi dan stroke yang menyebabkan demensia varskuler ( de la Monte, et all
dalam Durand dan Barlow, 2006).

3.2.3. Manifestasi Klinis


Gejala-gejala klinis demensia menurut Yatim (2003) meliputi:

a. Hilang atau menurunnya daya ingat serta penurunan intelektual.


b. Kadang-kadang gejala ini begitu ringan hingga luput dari perhatian pemeriksa bahkan
dokter ahli yang berpengalaman sekalipun.
c. Penderita kurang perhatian terhadap sesuatu yang merupakan kejadian sehari-hari dan
tidak mampu berfikir jernih atas kejadian yang di hadapi sehari-hari, kurang inisiatif,
serta mudah tersinggung.
d. Kurang perhatian dalam berfikir.
e. Emosi yang mudah berubah-ubah terlihat dari mudahnya gembira, tertawa terbahak-
bahak lalu tiba-tiba sedih berurai air mata hanya karena sedikit pengaruh lain.
f. Muncul refleks sebagai tanda regresi (kemunduran kualitas fungsi seperti: refleks
mengisap, rrefleks memegang, dan refleks glabella).
g. Banyak perubahan perilaku diakibatkan oleh penyakit syaraf, maka terlihat dalam bentuk
lain yang dikaburkan oleh gejala penyakit syaraf.

Pada gejala klinis usia lanjut telihat dari penurunan perkembangan pemahaman yang terlihat
sebagai berikut:

1. Penurunan daya ingat.


2. Salah satu gangguan pengamatan:
3. Aphasia (kurang lancar berbahasa).
4. Apraxia (tidak ada kemauan).
5. Agnosia (kurang mampu merasakan rangsangan bau, penciuman dan rasa).
6. Penurunan pengamatan timbul secara bertahap dan terus menurus dari waktu ke waktu
sehingga menggangu kerja dan hubungan masyarakat.

3.2.4. Penatalaksanaan Medis

Hasil dari consensus epidemiologi di atas menyatakan bahwa prosentase untuk prevalensi
orang yang mengalami demensia semakin meningkat setiap tahunnya, sehingga perlu diupayakan
tindakan-tindakan promotif, preventif maupun kuratif. Baik bagi mereka tanpa masalah maupun
yang sudah bermasalah sesuai dengan yang sudah dibahas di atas.

Penanganan yang bisa dilakukan:


a. Farmakologis (dengan obat): hal ini perlu pemeriksaan dan pertimbangan secara
individual.
b. Non-Farmakologis (tanpa obat): hal ini bisa dilakukan oleh semua warga senior tanpa ada
pertimbangan baik sebagai upaya promotif, prefentif maupun kuratif.

Penanganan secara farmakologis yang dilakukan (Yatim, 2003) diantaranya:

a. Mengobati penyakit-penyakit yang memperberat kejadian demensia.


b. Mengobati gejala-geja gangguan jiwa yang mungkin menyertai demensia.
c. Mengatasi masalah penyimpangan perilaku dengan obat-obat penenang (tranzquillizer
dan hypnotic) serta memberikan obat-obatan anti kejang bila perl
d. Intervensi lain yaitu dengan antipsykotics, Anxiiolitycs, Selegiline, Antimanic drugs,
Acetlcholinesterase inhibit ( Gaskel, 2007)
Konsep penanganan Non-farmakologis bisa menggunakan rekreasi terapeutik.
Konsep ini bermanfaat untuk meningkatkan dan mempertahankan kebutuhan psikososial
warga senior serta bertujuan meningkatkan dan mempertahankan kepercayaan diri,
motivasi, mobilitas tantangan, interaksi sosial dan kebugaran mental.

Aktivitas-aktivitas yang memiliki dampak terapeutik (Kusumoputro & Sidiarto, 2006)


diantaranya:

a. Reminisensi
b. Orientasi realitas
c. Stimulasi kognitif
d. Stimulasi sensorik
e. Stimulasi fisik (berupa gerak dan latihan otak, GLO)

Pelaksanaan program dilakukan dengan jumlah peserta yang tidak terlampau banyak, dipimpin
seorang koordinator yang memahami konsep ini. Peserta harus dalam kelompok kebersamaan.

Aktivitas reminisensi dilakukan dengan berbincang-bincang mengenai masalah yang lampau,


mengingat kembali masa lampaunya dengan memori episodik (materi tentang waktu dan tempat
kejadian). Dengan mengaktifkan memori episodik yang naratif, imajinatif dan emosional akan
meningkatkan daya ingat kembali. Bersamaan dengan aktivitas tersebut juga dilakukan aktivitas
orientasi nyata dengan mengingatkan lokasi, waktu dan perang orang-orang di masa lampau.

Sebagai aktivitas rekreasi terapeutik ini juga dilakukan stimulasi kognitif disebut juga memory
training, memory retraining atau cognitive rehabilitation. Aktivitas ini perlu ditambah dengan
aktivitas fisik seperti senam ataupun menurut selera masing-masing. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan kerja jantung dan paru untuk mengalirkan darah yang penuh oksigen ke bagian-
bagian tubuh terutama otak selain itu juga memiliki tujuan renovasi sel tubuh. Berbagai hal yang
disebutkan tadi juga menguntungkan bagi kondisi klinis prademensia seperti mild cognitive
impairment, MCI dan vascular cognitive impairment, VCI serta kondisi klinis demensia vaskuler
dan Alzeimer.
Dalam jurnal yang meniliti melalui efek dari terapi musik terhadap lansia penderita demensia
(Wall, & Duffy, 2010 ). Dalam jurnal tersebut dijelaskan melalui kebiasaan mendengarkan
music walaupun secara singkat akan sangat bermanfaat untuk melatih ingatan para lansia
penderitanya. Tingkat kegelisahannya pun akan menurun, termasuk perilaku agresif verbal
maupun non-verbalnya.

Terapi lain dengan pendekatan psikososial adalah :

1. Care giver : mengoptimalkan kemampuan yang masih ada


2. Mengurangi perilaku sulit
3. Menjaga keselamatannya
4. Memperbaiki kualitas hidup
5. Mengurangi stres terhadap care giver
6. Memberi kepuasaan kepada care giver

Terapi life review

Life review terapi adalah suatu fenomena yang luas sebagai gambaran pengalaman kejadian,
dimana didalamnya seseorang akan melihat secar cepat tentang totalitas riwayat kehidupan.

Teori terapi life review

Terapi tersebut akan membawa seseorang untuk bisa menjadi lebih akrab pada realita kehidupan.
Terapi ini membantu seseorang untuk mengaktifkan ingatkan jangka panjang dimana akan terjadi
mekanisme recall tentang kejadian pada kehidupan masa lalu hingga sekarang. Dengan ini lansia
akan lebih mengenal siapa dirinya dan dapat mempertimbangkan kualitas hidup menjadi lebih
baik dibandingkan sebelumnya.

Manfaat live review terapi

1. Menurunkan depresi
2. Meningkatkan kepercayaan diri
3. Meningkatkan kemampuan individu untuk beraktivitas sehari-hari
4. Meningkatkan kepuasan hidup

Indikasi live review terapi

Menurut Jones (2008), live review terapi merupakan penanganan yang direkomendasikan untuk
lansia yang mengalami defisit kognitif dengan :

1. Depresi
2. Penyakit demensia Alzheimer
3. Perawatan saat menjelang ajal
4. Perawatan terminal dan paliatif

Kontraindikasi live review terapi

1. Bahwa live review terapi dapat lebih menimbulkan efek menyakiti dibandingkan efek
membantu pada lansia yang memiliki peristiwa-peristiwa hidup negatif. Beberapa lansia
mungkin akan menolak melakukan live review terapi, bukan karena mereka tidak mau,
melainkan karena akan menjadi depresi ketika lansia melakukannya karena perasaan
kehilangan yang mereka alami (Colins, 2006)
2. Lansia dengan gangguan memory jangka panjang dimana akan menjadi kesulitan untuk
melakukan mengingat kejadian masa lalu.

Teknik live review terapi

Teknik ini dilakukan dengan cara melibatkan orang yang dicintai karena akan
mempermudah proses komunikasi. .Perawat berusaha mengkomunikasikan riwayat masa lalu
melalui buku memory yang dijelaskan sebagai berikut :

a. Menggunakan album foto dengan ukuran halaman yang besar sebagai media
untuk meletakkan semua gambar atau dokumen dalam berbagai ukuran. Jika
lansia mengalami gangguan penglihatan, maka sebisa mungkin gunakan ukuran
gambar yang lebih besar agar terlihat lebih jelas.
a. Mengumpulkan album foto dari berbagai kehidupan masa lalu lansia
mulai dari kecil, dewasa hingga menua
b. Lansia mampu menyebutkan satu persatu situasi foto yang ditampilkan
c. Lansia menjelaskan situasi yang ada pada foto, seperti siapa saja yang ada
didalam foto, dimana tempatnya, kapan terjadinya, serta apa yang
dilakukan atau situasi yang terjadi pada saat mengambil foto tersebut.
b. Menjelaskan tentang nama bagian-bagian dari tingkatan kehidupan yang pernah
dijalani seperti :
a. Keluarga inti (informasi kelahiran, kehidupan, dan kematian mengenai
ayah, ibu, kakek, nenek)
b. Tahun awal (kelahiran dari anak yang paling mudah)
c. Riwayat pekerjaan (tugas anak, riwayat pekrjaan dan pensiun)
d. Bersikap ramah dan perkawinan
e. Riwayat pasangan
f. Pernikahan anak
g. Keluarga dan teman
h. Rekreasi, hobi, ketertarikan , dan liburan
i. Memperingati hari keagamaan
c. Membuat narasi pada masing-masing kehidupan yang pernah dijalan lansia. Saat
membuat narasi dapat didampingi oleh yang disayangi agar lebih mudah
dikomunikasikan
3.3. Gangguan konsep diri : depresi

3.3.1. Pengertian

Ada beberapa definisi depresi menurut para ahli, mari kita simak :

a) Menurut Rice PL (1992), depresi adalah gangguan mood, kondisi


emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental
(berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang. Pada umumnya mood
yang secara dominan muncul adalah perasaan tidak berdaya dan
kehilangan harapan.
b) Menurut Kusumanto (1981) depresi adalah suatu perasaan kesedihan yang
psikopatologis, yang disertai perasaan sedih, kehilangan minat dan
kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju kepada meningkatnya
keadaan mudah lelah yang sangat nyata sesudah bekerja sedikit saja, dan
berkurangnya aktivitas. Depresi dapat merupakan suatu gejala, atau
kumpulan gejala (sindroma).
c) Menurut Kartono (2002) depresi adalah kemuraman hati (kepedihan,
kesenduan, keburaman perasaan) yang patologis sifatnya. Biasanya timbul
oleh; rasa inferior, sakit hati yang dalam, penyalahan diri sendiri dan
trauma psikis. Jika depresi itu psikotis sifatnya, maka ia disebut
melankholi.
d) Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang
mewarnai seluruh proses mental (berpikir, berperasaan dan berperilaku)
seseorang, muncul perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapanyang
disertai perasaan sedih, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya
energi yang menuju kepada meningkatnya keadaan mudah lelah yang
sangat nyata dan berkurangnya aktivitas.

3.3.2. Etiologi

Beberapa ahli juga memberikan penjelasan mengenai penyebab depresi. Menurut Kaplan
dalam Tarigan (2003) Faktor-faktor yang dihubungkan dengan penyebab dapat dibagi atas: faktor
biologi, faktor genetik dan faktor psiko sosial. Dimana ketiga faktor tersebut juga dapat saling
mempengaruhi satu dengan yang lainnya

1. Faktor Biologi
Dalam penelitian biopsikologi, norepinefrin dan serotonin merupakan dua
neurotransmitter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood.
Beberapa peneliti juga menemukan bahwa gangguan mood melibatkan patologik
dan sistem limbiks serta ganglia basalis dan hypothalamus.
2. Faktor Genetik
Data genetik menyatakan bahwa faktor yang signifikan dalam perkembangan
gangguan mood adalah genetik. Pada penelitian anak kembar terhadap gangguan
depresi berat, pada anak kembar monozigot adalah 50 %, sedangkan dizigot 10
25 %.
3. Faktor Psikososia
Mungkin faktor inilah yang banyak diteliti oleh ahli psikologi. Faktor psikososial
yang memyebabkan terjadinya depresi antara lain;

.3.3.3. Manifestasi Klinis

Individu yang terkena depresi pada umumnya menunjukkan gejala psikis, gejala fisik &
sosial yang khas. Beberapa orang memperlihatkan gejala yang minim, beberapa orang lainnya
lebih banyak. Tinggi rendahnya gejala bervariasi pada individu dan juga bervariasi dari waktu ke
waktu. Berikut ini beberapa gejala dari depresi :

a) Terus menerus merasa sedih, cemas, atau suasana hati yang kosong
b) Perasaan putus asa dan pesimis.
c) Perasaan bersalah, tidak berdaya dan tidak berhar
d) Kehilangan minat atau kesenangan dalam hobi dan kegiatan yang pernah
dinikmati.
e) Penurunan energi dan mudah kelelahan.
f) Kesuultan berkonsentrasi, mengingat, atau membuat keputusan.
g) Insomnia, pagi hari terbangun, atau tidur berlebihan.
h) Nafsu makan berkurang bahkan sangat berlebihan. Penurunan berat badan
bahkan penambahan berat badan secara drastis.
i) Selalu berpikir kematian atau bunuh diri, percobaan bunuh diri
j) Gelisah dan mudah tersinggung
k) Terus menerus mengalami gejala fisik yang tidak respon terhadap
pengobatan, seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, dan sakit kronis

3.3.4. Penatalaksanaan Medis

a. Terapi Medis

a) Obat Anti Depresan golongan serotonin Selektif Reuptake Inhibitor (SSRI) dan
Serotonin Norephinephrine Reuptake Inhibitor (SNRI)
b) Benzodiazepine (obat penenang)
c) Alphrazolam, Lorazepam, (anti cemas)

b.Terapi Komplementer
Pengertian

Terapi rekreasi adalah kegiatan penyegaran kembali tubuh dan pikiran dan kegiatan yang
menggembirakan hati seperti hiburan atau piknik. Rekreasi dapat meningkatkan daya kreasi
manusia dalam mencapai kesinambungan antara bekerja dan beristirahat.

Terapi rekreasi pada lansia adalah aktivitas yang dilakukan pada waktu senggang
bertujuan untuk membentuk serta meningkatkan kembali kesegaran fisik, mental, pikiran dan
daya rekreasi (individual maupun kelompok) yang hilang akibat aktivitas rutin sehari hari
dengan cara mencari kesenangan, hiburan, dan kesibukan yang berbeda. Rekreasi dapat
memberikan kepuasan serta kegembiraan yang ditujukan bagi kepuasan lahir dan batin lansia.

Teori terapi rekreasi

Terapi rekreasi yang diberikan kepada lansia akan memengaruhi kondisi fisik dan psikis lansia.
Secara fisik terapi rekreasi mampu membantu lansia dalam mengembalikan atau memperbaiki
kondisi fisik yang sudah lama jarang digerakkan akibat hospitalisasi yang lama.

Secara psikis terapi rekreasi akan mempengaruhi psikis lansia seperti membantu
menyegarkan otak dan pikiran, membuat perasaan menjadi tenang, senang, serta nyaman. Dan
demikian, lansia tidak akan merasa cemas, stress maupun depresi.

Tujuan terapi rekreasi

1. Menciptakan dan membina hubungan manusia.

2. Mempertahankan nilai nilai budaya.

3. Menimbulkan kesenangan dan kepuasan karena dapat memenuhi rasa ingin tahu.

4. Memulihkan kesehatan jasmani dan rohani.

Indikasi terapi rekreasi

1. Lansia yang baru keluar dari rumah sakit setelah perawatan selama lebih dari 2 minggu.

2. Lansia yang sedang mengalami cemas, stress, maupun depresi.

3. Lansia yang mempunyai penyakit kronis.

Kontraindikasi terapi rekreasi

1. Lansia yang kondisinya harus tirah baring total msalnya sroke atau pasca operasi tumor
otak.
2. Lansia yang mengalami demensia, ganguan jiwa, dan ketergantungan total.

Teknik terapi rekreasi

Persiapan

Persiapan alat:

1. Tidak membutuhkna alat khusus untuk jenis rekreasi yang tujuannya jalan jalan.

2. Untuk rekreasi yang bersifat olahraga dibutuhkan alat olahraga yang akan dilakukan,
misalnya peralatan golf jika olahraga yang dilakukan adalah golf.

3. Untuk rekreasi yang bersifat permainan, perlu dipersiapkan alat permainan seperti
permainan catur.

4. Bagi lansia yang aktivitas setiap harinya membutuhkan kacamata, tongkat, kursi roda,
maupun alat bantu jalan yang lain, keluarga perlu mempersiapkan.

Persiapan lingkungan:

1. Tidak ada persiapan khusus untuk lingkungan, hanya tergantung dari tingkat rekreasi mana
yang akan dikunjungi.

2. Hindari lokasi yang akan menimbulkan resiko cidera bagi lansia seperti tangga,gunung atau
tempat yang tinggi-jangan meninggalkan lansia sendirian di tepi tangga,kolam renang atau laut.

3. Hindari tempat yang terlalu ramai karena akan membuat pusing lansia.

4. Hindari tempat yang panas,ajak ke tempat yang suasananya sejuk. Terutama pada lansia
yang memiliki ganguuan pernafasan.

Persiapan klien:

1. Pastikan klien dalam kondisi yang sehat

2. Jangan mengajak lansia pergi rekreasi dengan paksaan sebab dapat mempengaruhi fungsi
dari rekreasi dan lansia tidak akan menikmati piknik.

3. Pastikan alat yang biasa di gunakan lansia selalu dibawa.

Prosedur

1. Memilih jenis rekreasi yang di inginkan lansia.


2. Memilih tujuan rekreasi yang akan dikunjungi.

3. Mempersiapakan kebutuhan yang akan diperlukan lansia.

4. Jangan lupa melihat kondisi lansia sebelum, selama perjalanan, saat di tempat tujuan, dan
setelah rekreasi.

Kriteria evaluasi

1. Tanyakan apakah lansia merasa senang dan puas dengan rekreasi yang dilakukan.

2. Pastikan bahwa lansia tidak merasa cemas, stress, maupun depresi setelah perjalan rekreasi
tersebut.

3. Pantau kondisi lansia seperti kondisi fisik seperti lemah.

4. Pastikan lansia tidak lupa untuk menkonsumsi obat obatan apabila sedang sakit.

5. Evaluasi apakah tempat rekreasi yang dikinjungi tadi bisa dijadikan tempat berkunjung
rutin atau justru tidak cocok dikunjungi lagi.

3.4. Gangguan sistem pencernaan : gastritis

3.4.1 Pengertian

Gastritis atau lebih dikenal sebagai magh berasal dari bahasa yunani yaitu gastro, yang
berarti perut/lambung dan itis yang berarti inflamasi/peradangan. Gastritis bukan merupakan
penyakit tunggal, tetapi terbentuk dari beberapa kondisi yang kesemuanya itu mengakibatkan
peradangan pada lambung. Biasanya, peradangan tersebut merupakan akibat dari infeksi oleh
bakteri yang sama dengan bakteri yang dapat mengakibatkan borok di lambung yaitu
Helicobacter pylori. Tetapi factor factor lain seperti trauma fisik dan pemakaian secara terus
menerus beberapa obat penghilang sakit dapat juga menyebabkan gastritis.

Secara sederhana definisi gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa
lambung. Gastritis merupakan gangguan kesehatan yang paling sering dijumpai di klinik, karena
diagnosisnya sering hanya berdasarkan gejala klinis bukan pemeriksaan histopatologi.

Definisi Gastritis menurut para ahli adalah :

- Gastritis adalah suatu peradangan mukosa lambung yang dapat bersifat akut, kronik, difus atau
lokal. Sylvia A. Price (1995)

- Gastritis adalah suatu iritasi atau infeksi yang menjadikan dinding merah, bengkak, berdarah
dan berparut. Dr. Robert B. Cooper (1996).
- Gastritis adalah inflamasi dari mukosa lambung. Arif Mansjoer (1999).

- Gastritis adalah inflamasi dari lambung terutama pada mukosa gaster. Sujono Hadi (1999).

- Gastritis adalah peradangan lokal atau penyebaran pada mukosa lambung dan berkembang
dipenuhi bakteri. Charlene J (2001).

Klasifikasi Gastritis

Gastritis menurut jenisnya terbagi menjadi 2, yaitu (David Ovedorf 2002) :

1. Gastritis akut

Disebabkan oleh mencerna asam atau alkali kuat yang dapat menyebabkan mukosa
menjadi gangren atau perforasi. Gastritis akut dibagi menjadi dua garis besar yaitu :

Gastritis Eksogen akut ( biasanya disebabkan oleh faktor-faktor dari luar, seperti bahan
kimiamisal : lisol, alkohol, merokok, kafein lada, steroid , mekanis iritasi bakterial, obat
analgetik, anti inflamasi terutama aspirin (aspirin yang dosis rendah sudah dapat menyebabkan
erosi mukosa lambung) ).

Gastritis Endogen akut (adalah gastritis yang disebabkan oleh kelainan badan ).

2. Gastritis Kronik

Inflamasi lambung yang lama dapat disebabkan oleh ulkus benigna atau maligna dari
lambung, atau oleh bakteri Helicobacter pylory (H. Pylory). Gastritis kronik dikelompokkan lagi
dalam 2 tipe yaitu tipe A dan tipe B. Dikatakan gastritis kronik tipe A jika mampu menghasilkan
imun sendiri. Tipe ini dikaitkan dengan atropi dari kelenjar lambung dan penurunan mukosa.
Penurunan pada sekresi gastrik mempengaruhi produksi antibodi. Anemia pernisiosa
berkembang pada proses ini. Gastritis kronik tipe B lebih lazim. Tipe ini dikaitkan dengan
infeksi helicobacter pylori yang menimbulkan ulkus pada dinding lambung.

3.4.2 Etiologi

1. Infeksi kuman Helicobacter pylori (bakteri yang tumbuh di dalam sel penghasil lendir di
lapisan lambung).

Tidak ada bakteri lainnya yang dalam keadaan normal tumbuh di dalam lambung yang bersifat
asam, tetapi jika lambung tidak menghasilkan asam, berbagai bakteri bisa tumbuh di lambung.
Bakteri ini bisa menyebabkan gastritis menetap atau gastritis sementara.

2. Penggunaan antibiotik
Penggunaan antibiotik untuk infeksi paru dicurigai mempengaruhi penularan kuman di
komunitas karena antibiotika tersebut mampu mengeradikasi infeksi Helicobacter pylori
walaupun presentase keberhasilannya rendah.

3. Gangguan fungsi sistem imun

Sistem imun yang dimiliki oleh seseorang akan dapat menjadi pemacu reaksi imunologis
terhadap infeksi virus atau jamur. Terdapat beberapa jenis virus yang dapat menginfeksi mukosa
lambung misalnya enteric rotavirus dan calici virus. Autoimmune atrophic gastritis terjadi ketika
sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel sehat yang berada dalam dinding lambung. Hal ini
mengakibatkan peradangan dan secara bertahap menipiskan dinding lambung, menghancurkan
kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung dan menganggu produksi faktor intrinsic (yaitu
sebuah zat yang membantu tubuh mengabsorbsi vitamin B-12). Kekurangan B-12, akhirnya,
dapat mengakibatkan pernicious anemia, sebuah konsisi serius yang jika tidak dirawat dapat
mempengaruhi seluruh sistem dalam tubuh. Autoimmune atrophic gastritis terjadi terutama pada
orang tua.

4. Penggunaan Obat analgesik anti inflamasi nonsteroid

Obat analgesik anti inflamasi nonsteroid (AINS) seperti aspirin, ibuprofen dan naproxen dapat
menyebabkan peradangan pada lambung dengan cara mengurangi prostaglandin yang bertugas
melindungi dinding lambung. Jika pemakaian obat - obat tersebut hanya sesekali maka
kemungkinan terjadinya masalah lambung akan kecil. Tapi jika pemakaiannya dilakukan secara
terus menerus atau pemakaian yang berlebihan dapat mengakibatkan gastritis.

5. Penggunaan alkohol secara berlebihan

Alkohol dapat mengiritasi dan mengikis mukosa pada dinding lambung dan membuat dinding
lambung lebih rentan terhadap asam lambung walaupun pada kondisi normal.

6. Penggunaan kokain

Kokain dapat merusak lambung dan menyebabkan pendarahan dan gastritis.

7. Stress fisik

Stress fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar atau infeksi berat dapat
menyebabkan gastritis dan juga borok serta pendarahan pada lambung.

8. Radiasi and kemoterapi

Perawatan terhadap kanker seperti kemoterapi dan radiasi dapat mengakibatkan peradangan pada
dinding lambung yang selanjutnya dapat berkembang menjadi gastritis dan peptic ulcer. Ketika
tubuh terkena sejumlah kecil radiasi, kerusakan yang terjadi biasanya sementara, tapi dalam
dosis besar akan mengakibatkan kerusakan tersebut menjadi permanen dan dapat mengikis
dinding lambung serta merusak kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung.

3.4.3 Manifestasi Klinis

a. Dapat terjadi ulserasi superfisial dan mengarah pada hemoragi

b. Beberapa pasien menunjukan asimptomatik

c. Dapat terjadi kolik dan diare jika makan yang mengiritasi tidak dimuntahkan tetapi malah
mencapi usus

d. Perdarahan saluran cerna berupa hematemesis dan melena.

e. Pasien biasa nya pulih kembali sekitar sehari, meskipu nafsu makan mungkin hilang selama
2-3 hari

f. Nyeri disekitar ulu hati

g. Mual

h. Muntah

i. Kembung

j. Anorexia

3.4.4 Penatalaksanaan Medis

Obat yang dipergunakan untuk gastritis adalah Obat yang mengandung bahan-bahan yang
efektif menetralkan asam dilambung dan tidak diserap ke dalam tubuh sehingga cukup aman
digunakan (sesuai anjuran pakai tentunya). Semakin banyak kadar antasida di dalam obat maag
maka semakin banyak asam yang dapat dinetralkan sehingga lebih efektif mengatasi gejala sakit
gastritis dengan baik.
Pengobatan gastritis tergantung pada penyebabnya. Gastritis akut akibat konsumsi
alkohol dan kopi berlebihan, obat-obat NSAID dan kebiasaan merokok dapat sembuh dengan
menghentikan konsumsi bahan tersebut. Gastritis kronis akibat infeksi bakteri H. pylori dapat
diobati dengan terapi eradikasi H. pylori. Terapi eradikasi ini terdiri dari pemberian 2 macam
antibiotik dan 1 macam penghambat produksi asam lambung, yaitu PPI (proton pump inhibitor).

Untuk mengurangi gejala iritasi dinding lambung oleh asam lambung, penderita gastritis
lazim diberi obat yang menetralkan atau mengurangi asam lambung, misalnya (Mayo
Clinic,2007) :

1. Antasid : Obat bebas yang dapat berbentuk cairan atau tablet dan merupakan obat yang
umum dipakai untuk mengatasi gastritis ringan. Antasida menetralkan asam lambung sehingga
cepat mengobati gejala antara lain promag, mylanta, dll.

2. Penghambat asam (acid blocker) : Jika antasid tidak cukup untuk mengobati gejala, dokter
biasanya meresepkan obat penghambat asam antara lain simetidin, ranitidin, atau famotidin.

3. Proton pump inhibitor (penghambat pompa proton) : Obat ini bekerja mengurangi asam
lambung dengan cara menghambat pompa kecil dalam sel penghasil asam. Jenis obat yang
tergolong dalam kelompok ini adalah omeprazole, lanzoprazole, esomeparazol, rabeprazole, dll.
Untuk mengatasi infeksi bakteri H. pylori, biasanya digunakan obat dari golongan penghambat
pompa proton, dikombinasikan dengan antibiotika.

Terapi relaksasi nafas dalam

Menurut brunner & suddart (2002), relaksasi nafas adalah pernafasan abdomen dengan
frekuensi lambat atau perlahan, berirama dan nyaman yang dilakukan dengan memejamkan
mata.

Teori terapi relaksasi nafas dalam

Teknik relaksasi meliputi berbagai metode untuk perlambatan bawah tubuh dan pikiran.
Meditasi, relaksasi otot progresif, latihan pernafasan, petunjuk gambar merupakan teknik
relaksasi yang sering digunakan dalam pengaturan klinis klien untuk membantu reaksi stres dan
mengatur kesejahteraan secara keseluruhan.

Distraksi atau pengalihan perhatian akan menstimulasi kontrol desenden, yaitu suatu sistem
serabut yang barasal dari dalam otak bagian bawah dan bagian tengah dan berakhir pada serabut
interneural inhibitor dalam kornudorsalis dari medulla spinalis, yang mengakibatkan
berkurangnya stimulasi nyeri yang ditransmisikan ke otak (smeltzher, 2002)

Manfaat terapi relaksasi nafas dalam


1. Lansia mendapatkan perasaan yang nyaman dan tenang

2. Mengurangi nyeri

3. Lansia tidak mengalami stress

4. Melemaskan otot untuk menurunkan ketegangan dan kejenuhan yang biasanya menyertai
nyeri

5. Mengurangi kecemasan yang memburuk persepsi nyeri

6. Relaksasi nafas dalam mempunyai efek distraksi atau pengalihan perhatian.

Indikasi terapi relaksasi nafas dalam

1. Lansia yang mengalami nyeri akut tingkat ringan sampai dengan sedang akibat penyakit
yang kooperatif

2. Lansia dengan nyeri kronis ( nyeri punggung)

3. Nyeri pasca operasi

4. Lansia yang mengalami stress

Kontraindikasi terapi relaksasi nafas dalam

Terapi relaksasi nafas dalam tidak diberikan pada klien yang mengalami sesak nafas

Teknik Terapi relaksasi nafas dalam

Menurut earnest (1989), teknik terapi relaksasi nafas dalam dijabarkan sebagai berikut :

1. Klien menarik nafas dalam dan mengisi paru dengan udara, dalam tiga hitungan (hirup,
dua, tiga)

2. Udara dihembuskan perlahan-lahan sambil membiarkan tubuh menjadi relaks dan nyaman.
Lakukan pengitungan bersama klien (hembuskan, dua, tiga)

3. Klien bernafas beberapa kali dengan irama normal

4. Ulangi kegiatan menarik nafas dalam dan menghembuskannya. Biarkan hanya kaki dan
telapak kaki yang relaks. Perawat meminta klien mengonsentrasikan pikiran pada kakinya yang
terasa ringan dan hangat.

5. Klien mengulangi lang ringan dan hangat.

6. Klien mengulangi langkah keempat dan mengonsentrasikan pikiran pada lengan, perut,
punggung dan kelompok otot yang lain.
7. Setelah seluruh tubuh klien merasa relaks, anjurkan untuk bernafas secara perlahan-lahan.
Bila nyeri bertambah hebat, klien dapat bernafas secara dangkah keempat dan
mengonsentrasikan pikiran pada lengan, perut, punggung dan kelompok otot yang lain.

8. Setelah seluruh tubuh klien merasa relaks, anjurkan untuk bernafas secara perlahan-lahan.
Bila nyeri bertambah hebat, klien dapat bernafas secara dangkal dan cepat.

Kriteria evaluasi

1. Catat skala nyeri yang dirasakan klien sesudah tindakan

2. Catat ekspresi klien sesudah tindakan

3. Catat tanda-tanda vital klien.

BAB 3

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Terapi medis adalah meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup pasien. Optimalisasi
terapi medis harus aman, efektif, pemilihan terapi secara bijak dan pelayanan kesehatan secara
akurat serta adanya kesepakatan antara pasien dan pemberi pelayanan berdasarkan informasi
terkini.

Terapi komplementer merupakan terapi holistis atau terapi nonbiomedis. Hasil penelitian
tentang psikoneuroimunologi mengungkapkan bahwa proses interaktif pada manusia
dengantubuh, pikiran, dan interaksi sosial mempengaruhi kesejahteraan seseorang. NCCAM.
Menetapkan bahwa terapi komplementer secara garis besar di dasarkan sebagai kategori terapi
pikiran penghubung tubuh (mind body terapies) sementara terapi biomedis lebih banyak
mempengaruhi seluruh tubuh dan berfokus pada dampak terapi terhadap pengibatan.

4.2 Saran

Dengan adanya makalah yang kami buat ini tentang terapi medik dan terapi komlementer
diharapkan pembaca atau teman-teman sejawat dapat memperoleh manfaat dari makalah yang
kami buat. Jika ada pengembangan yang bermanfaat mohon untuk dilayangkan pada penulis
makalah ini karena masukan dari pembaca atau bapak/ ibu dosen sangat mendukung demi
kesempurnaan makalah yang kami buat.

DAFTAR PUSTAKA

Kusumanto, R., Iskandar, Y., 1981. Depresi, Suatu problema Diagnosa dan Terapi pada praktek
umum. Jakarta: Yayasan Dharma Graha

Kartono, Kartini. 2002. Patologi Sosial 3, Gangguan-gangguan Kejiwaan. Jakarta: Rajawali Pers.
Martono, Hadi dan Kris Pranarka. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan
Usia Lanjut).Edisi IV. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Mubarak, Wahid Iqbal. 2009. Ilmu Keperawatan Komunitas Konsep dan Aplikasi.J akarta :
Salemba Medika

Maryam, R.Siti. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta : Salemba Medika

Maslim, Rusdi. 2001. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta: Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.

Pudjiastuti, Sri Surini dan Budi Utomo. 2003. Fisioterapi Pada Lansia. Jakarta : EGC

Setyoadi, Kushariyadi. 2011. Terapi Modalitas keperawatan pada klien psikogeriatik. Jakarta :
Salemba medika

Stockslager, Jaime L. 2007. Buku Saku Asuhan Keparawatan Geriatrik. Edisi II. Jakarta : EGC

Tarigan, C., Julita 2003. Perbedaan Depresi Pada Pasien Dispepsia Fungsional dan Dispepsia
Organik. Diakses dalam http://www.usu.go.id.

Watson, Roger. 2003. Perawatan Pada Lansia. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai