PENDAHULUAN
Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi
Islam mulai dilakukan dengan pihak yang terlibat dalam pengkajiannya adalah Karnaen A.
Perwaatmadja, M. Dawam Rahardjo, A.M Saefudin, M. Amien Azis, dan lain-lain. Uji
coba padsa skala yang relative terbatas telah diwujudkan pada masa itu yaitu dengan
pembentukan Baitut Tamwil-Salman di Bandung dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta,
yang kedua lembaga keuangan syariah tersebut berbadan hukum koperasi. Pembentukan
ini juga didorong oleh keluarnya Deregulasi Perbankan Paket 1 Juni Tahun 1983, yang
telah membuka belenggu penetapan bunga perbankan oleh pemerintah. Dengan
dibebaskannya penetapan besar bunga kepada masing-masing bank, maka suatu bank dapat
menetapkan bunga sebesar 0% (nol persen) yang memungkinkan beroperasinya bank tanpa
bunga yang berdasarkan bagi hasil keuntungan. Namun, karena belum dimungkinkannya
pendirian bank baru pada masa itu, sedangkan bank-bank yang telah ada belum tertarik
untuk mengaplikasikan sistem bank tanpa bunga yang dinilai kurang mengntungkan, maka
bank syariah belum dapat berdiri di Indonesia, sehingga dibentuklah badan hukum
koperasi sebagai bentuk badan hukumnya.
Pada tahun 1988, gagasan mengenai bank syariah kembali muncul yang
dilatarbelakangi dengan dikeluarkannya Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang berisi
liberalisasi perbankan. Liberalisasi perbankan tersebut memungkinkan didirikannya bank-
bank baru selain yang telah ada. Maka dari itu didirikanlah Bank Perkreditan Rakyat
Syariah dibeberapa daerah di Indonesia, yaitu Badan Perkreditan Syariah (BPRS) Berkah
Amal Sejahtera, BPRS Dana Mardhatillah, dan BPRS Amanah Rabaniah, yang beroperasi
di Bandung, dan BPRS Hareukat di Aceh.
2. Fungsi Investor
3. Fungsi Sosial
Fungsi ini merupakan sesuatu yang melekat pada bank syariah. Ada dua instrumen
yang digunakan oleh bank syariah dalam menjalankan fungsi sosialnya, yaitu
instrumen zakat, infak, sedekah, dan wakaf (Ziswaf) dan instrumen qardhul hasan.
Instrumen Ziswafberfungsi untuk menghimpun ziswaf dari masyarakat, pegawai
bank, serta bank sendiri sebagai lembaga milik para investor. Instrumen qardhul
hasan berfungsi menghimpun dana dari penerimaan yang tidak memenuhi kriteria
halal serta dana infak dan sadaqah yang tidak ditentukan peruntukannya secara
spesifik oleh yang memberi.
1) Mudharabah
Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara shahibul maal (pemilik dana) dan
mudharib (pengelola dana) dengan nisab bagi hasil menurut kesepakatan di muka,
jika usaha mengalami kerugian maka seluruh kerugian ditanggung oleh pemilik
usaha, kecuali jika ditemukan adanya kelalaian atau kesalahan oleh pengelola dana,
seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan dana. Secara umum,
mudharabah dibagi menjadi dua jenis. yaitu:
(a) Mudharabah Muthlaqah, yaitu bentuk kerja sama antara shahibul maal
dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh
spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
(b) Mudharabah Muqayyadah, yaitu kebalikan dari mudharabah
muthalaqah, yaitu si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha.
Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum
si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha.
2) Musyarakah
Musyarakah adalah akad kerjasama atau pencampuran antara dua pihak atau lebih
untuk melakukan suatu usaha tertentu yang halal dan produktif dengan kesepakatan
bahwa keuntungan akan dibagikan sesuai dengan nisab yang disepakati dan resiko
akan ditanggung sesuai dengan porsi kerjasama.
Jenis-jenis musyarakah ada empat, yaitu:
(a) Musyarakah Muwafadhah, yaitu kerjasama dua orang atau lebih pada
suatu obyek dengan syarat tiap-tiap pihak memasukkan modal yang
sama jumlahnya serta melakukan tindakan hukum (kerja) yang sama,
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA