Anda di halaman 1dari 3

1.

Patofisiologi Aminoglikosida (antibiotic)


Mekanisme ototoksisitas aminoglikosida dimediasi oleh gangguan pada sintesis
protein mitokondira, dan pembentukan radikal oksigen bebas. Dasar seluler pada kehilangan
pendengaran akibat aminoglikosida adalah kerusakan sel rambut koklear, terutama sel rambut
di bagian luar. Aminoglikosida tampaknya membentuk radikal bebas didalam telinga bagian
dalam dengan mengaktivasi sintetase nitrit oksida sehingga meningkatkan konsentrasi nitrat
oksida. Oksigen radikal kemudian bereaksi dengan nitrit oksida untuk membentuk
peroksinitrat radikal yang bersifat destruktif, yang dapat secara langsung merangsang
kematian sel.

2. Patofisiologi Cisplatin (anti kanker)


Mekanisme ototoksisitas cisplatin dimediasi oleh produksi radikal bebas dan kematian
sel. Senyawa platinum merusak stria vaskularis dalam scala media dan menyebabkan
kematian sel rambut pada bagian luar.radikal bebas dihasilkan oleh NADPH oksidase pada
sel rambut bagian dalam setelah terpapar cisplatin.NADPH oksidase merupakan enzim yang
mengkatalisa pembentukan radikal superoksida. Bentuk NADPH oksidase tertentu, NOX3,
diproduksi didalam telinga bagian dalam dan merupakan sumber pembentukan radikal bebas
yang penting dalam koklea, yang dapat berperan dalam terjadinya kehilangan pendengaran.
Radikal bebas yang dihasilkan melalui mekanisme ini kemudian menyebabkan kematian sel
apoptotic yang dimediasi mitokondria dan dimediasi caspase, yang pada akhirnya menyebabkan
kehilangan pendengaran yang permanen.

3. Patofisiologi ethacrynic (Loop Diuretic)


Efek ototoksisitas dari loop diuretic tampaknya berkaitan dengan striavascularis, yang
dipengaruhi oleh perubahan dalam gradient ionic diantara perilimfe dan endolimfe.
Perubahan ini menyebabkan edema epithelium dari striavascularis. hal ini biasanya
bergantung pada dosis dan reversible. Ototoksisitas yang disebabkan oleh asam ethacrynic
tampaknya terjadi secara lebih bertahap dan lebih lama disembuhkan dari pada yang
disebabkan oleh furosemide atau bumetanide. Secara keseluruhan, ototoksisitas yang
disebabkan oleh obat loopdiuretic biasanya dapat sembuh sendiri pada pasien dewasa.

4. Patofisiologi kina (anti malaria)


Kina adalah alkaloid penting yang diperoleh dari kulit pohon sinkona. Kina digunakan dalam
terapi malaria. Efek ototoksisitasnya berupa gangguan pendengaran sensorineural dan tinitus. Kuinin
dapat menyebabkan sindroma berupa gangguan pendengaran sensorineural, tinnitus dan
vertigo. Tetapi bila pengobatan dihentikan biasanya pendengaran akan pulih dan tinitusnya
akan hilang. Studi terbaru menyatakan bahwa kuinin mengganggu motilitas sel-sel rambut.
Pada pemakaian klorokuin pada dosis tinggi (lebih dari 250 mg sehari) atau penggunaan lama
(diatas 1 tahun), efek sampingnya lebih hebat, yaitu rambut rontok, tuli menetap, dan
kerusakan menetap.
Perlu dicatat bahwa kina dan klorokuin dapat melalui plasenta. Pernah ada laporan
kasus tentang tuli kongenital dan hipoplasi koklea karana pengobatan malaria
waktu ibu sedang hamil.
Tabel. Obat-obat ototoksik

Golongan obat Contoh Obat Efek terhadap pendegaran

Tuli dapat terjadi pada dosis tinggi,


Salisilat Aspirin tetapi biasanya reversivel

Tuli dapat terjadi pada dosis tinggi


Kuinolin Klorokuin atau pemakaian jangka panjang,
tetapi biasanya reversibel apabila
NSAID obat dihentikan

Dapat menyebabkan tuli sementara


Loop Diuretik Bumetamid atau permanen. Jika dikombinasikan
dengan obat-obat ototoksik lainnya,
Furosemid resiko kerusakan permanen
meningkat.
Asam Etackrinat

Tuli dapat terjadi pada dosis tinggi


Aminoglikosida Amikasin atau pemakaian jangka panjang. Tuli
dapat bersifat permanen.
Gentamisin

Macam obat golongan Aminoglikosida dan interaksinya


Streptomisin:
Streptomisin adalah aminoglikosida yang pertama diterapkan secara klinis dan bberhasil
digunakan untuk melawan bakteri gram negatif di masa lalu. Lebih mempengaruhi sistem
vestibular daripada sistem pendengaran. Kerusakan Vestibular akibat streptomisin adalah
umum dengan penggunaan jangka panjang dan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Karena sifatnya yang ototoksik agen ini jarang digunakan saat ini. Namun, penggunaan
streptomisin meningkat untuk pengobatan TBC.
Gentamicin:
Seperti streptomisin, gentamisin memiliki kecenderungan untuk mempengaruhi sistem
vestibular. Indeks terapi sebesar 10-12 mcg / mL pada umumnya dianggap aman tapi masih
dapat bersifat ototoksik pada beberapa pasien. Hati-hati dalam pemberian dosis pada pasien
dengan penyakit ginjal.
Neomycin:
Agen ini adalah salah satu yang paling cochleotoxic bila diberikan secara peroral dan dalam
dosis tinggi, karena itu, penggunaan sistemik umumnya tidak dianjurkan. Neomisin
merupakan salah satu aminoglikosida yang paling lambat untuk mempengaruhi Perilimfe;
akibatnya dapat muncul 1-2 minggu setelah konsumsi ataupun dapat terjadi kemudian setelah
penghentian terapi. Neomisin Meskipun umumnya dianggap aman bila digunakan topikal
dalam saluran telinga atau pada lesi kulit kecil, sama efektifnya alternatif yang tersedia.
Kanamycin:
Meskipun kurang bersifat ototoksiks dibandingkan neomisin, kanamycin cukup bersifat
ototoxic. Kanamycin memiliki kecenderungan mendalam menyebabkan kerusakan sel rambut
koklea, ditandai frekuensi tinggi gangguan pendengaran, dan lengkap tuli. Efek yang merusak
terutama ke koklea, sedangkan sistem vestibular biasanya terhindar dari cedera. penggunaan
klinis saat ini sudah dibatasi. Sepertihalnya dengan neomisin, penggunaan secara parenteral
umumnya tidak dianjurkan.
Amikacin:
amikasin adalah turunan dari kanamycin dan memiliki toksisitas sangat sedikit terhadap
organ vestibular. Efek yang merugikan terutama yang melibatkan sistem pendengaran, namun
itu dianggap kurang ototoxic dari pada gentamisin.
Tobramycin:
Ototoxicity dari tobramisin adalah serupa dengan amikasin; menyebabkan tuli pada nada
berfrekuensi tinggi. Seperti halnya dengan kanamycin, jarang menyebabkan terjadinya
ototoksik terhadap organ vestibuler. Tobramisin sering digunakan secara otic dan topikal.
Terapi Topikal digunakan, umumnya dianggap aman.

Pencegahan
Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat ototoksik , maka pencegahan menjadi lebih
penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk mempertimbangkan pengguanaan obat-
obat ototoksik, menilai kerentanan pasien, memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan
memperhatikan gejala-gejala ototoksisitas pada telinga dalam yang timbul seperti tinnitus,
kurang pendengaran dan vertigo.
Pada pasien yang menunjukan mulai ada gejala-gejala tersebut harus dilakukan evaluasi
audiologik dan menghentikan pengobatan

Prognosis
Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah , lamanya pengobatan, dan kerentanan
pasien. Pada umumnya prognosis tidak begitu baik

Anda mungkin juga menyukai