Penggolongan antibiotic
Penggolongan Antibiotik berdasarkan mekanisme kerjanya :
Inhibitor sintesis dinding sel bakteri, mencakup golongan Penicillin, Polypeptide
dan Cephalosporin
Inhibitor transkripsi dan replikasi, mencakup golongan Quinolone,
Inhibitor sintesis protein, mencakup banyak jenis antibiotik, terutama dari
golongan Macrolide, Aminoglycoside, dan Tetracycline
Inhibitor fungsi membran sel, misalnya ionomycin, valinomycin;
Inhibitor fungsi sel lainnya, seperti golongan sulfa atau sulfonamida,
Antimetabolit, misalnya azaserine.
Manfaat dari pembagian ini dalam pemilihan antibiotika mungkin hanya terbatas, yakni
pada kasus pembawa kuman (carrier), pada pasien-pasien dengan kondisi yang sangat
lemah
(debilitated) atau pada kasus-kasus dengan depresi imunologik tidak boleh memakai
antibiotika
bakteriostatik, tetapi harus bakterisid.
1. Golongan Penisilin
Penisilin diklasifikasikan sebagai obat -laktam karena cincin lactam mereka yang unik.
Mereka memiliki ciri-ciri kimiawi, mekanisme kerja, farmakologi, efek klinis, dan
karakteristik imunologi yang mirip dengan sefalosporin, monobactam, carbapenem, dan
-laktamase inhibitor, yang
juga merupakan senyawa -laktam.
3. Golongan Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan inhibitor yang poten terhadap sintesis protein mikroba.
Kloramfenikol bersifat bakteriostatik dan memiliki spektrum luas dan aktif terhadap
masing masing bakteri gram positif dan negatif baik yang aerob maupun anaerob
(Katzung, 2007).
4. Golongan Tetrasiklin
Golongan tetrasiklin merupakan obat pilihan utama untuk mengobati infeksi dari
M.pneumonia, klamidia, riketsia, dan beberapa infeksi dari spirokaeta. Tetrasiklin juga
digunakan untuk mengobati ulkus peptikum yang disebabkan oleh H.pylori. Tetrasiklin
menembus plasenta dan juga diekskresi melalui ASI dan dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan tulang dan gigi pada anak akibat ikatan tetrasiklin dengan kalsium.
Tetrasiklin diekskresi melalui urin dan cairan
empedu (Katzung, 2007).
5. Golongan Makrolida
Eritromisin merupakan bentuk prototipe dari obat golongan makrolida yang disintesis
dari S.erythreus. Eritromisin efektif terhadap bakteri gram positif terutama pneumokokus,
streptokokus, stafilokokus, dan korinebakterium. Aktifitas antibakterial eritromisin
bersifat bakterisidal dan meningkat pada pH basa (Katzung, 2007).
6. Golongan Aminoglikosida
Yang termasuk golongan aminoglikosida, antara lain: streptomisin, neomisin, kanamisin,
tobramisin, sisomisin, netilmisin, dan lain lain. Golongan aminoglikosida pada
umumnya digunakan untuk mengobati infeksi akibat bakteri gram negatif enterik,
terutama pada bakteremia dan sepsis, dalam kombinasi dengan vankomisin atau penisilin
untuk mengobati endokarditis, dan pengobatan tuberkulosis (Katzung, 2007).
7. Golongan Sulfonamida dan Trimetoprim
Sulfonamida dan trimetoprim merupakan obat yang mekanisme kerjanya menghambat
sintesis asam folat bakteri yang akhirnya berujung kepada tidak terbentuknya basa purin
dan DNA pada bakteri. Kombinasi dari trimetoprim dan sulfametoxazole merupakan
pengobatan yang sangat efektif terhadap pneumonia akibat P.jiroveci, sigellosis, infeksi
salmonela sistemik, infeksi saluran kemih, prostatitis, dan beberapa infeksi
mikobakterium non tuberkulosis (Katzung, 2007).
8. Golongan Fluorokuinolon
Golongan fluorokuinolon termasuk di dalamnya asam nalidixat, siprofloxasin,
norfloxasin, ofloxasin, levofloxasin, dan lainlain. Golongan fluorokuinolon aktif
terhadap bakteri gram negatif. Golongan fluorokuinolon efektif mengobati infeksi saluran
kemih yang disebabkan oleh pseudomonas. Golongan ini juga aktif mengobati diare yang
disebabkan oleh shigella, salmonella, E.coli, dan Campilobacter (Katzung, 2007).
Sumber
1. Lalwani, Anil K. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology: Head &
Neck Surgery. New York: McGraw Hill Medical, 2012. Print.
2. FESS
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus
Surgery (FESS) adalah teknik operasi pada sinus paranasal dengan
menggunakan endoskop yang bertujuan memulihkan mucociliary clearance dalam
sinus. Prinsipnya adalah membuang jaringan yang menghambat komplek osteomeatal dan
memfasilitasi drainase dengan tetap mempertahankan struktur anatomi normal.
BSEF merupakan operasi yang membutuhkan visualisasi yang baik dimana darah
tidak menggenangi lapangan operasi dan darah tidak menutupi lensa endoskop mengingat
sempitnya wilayah operasi. Perdarahan yang sedikit saat operasi merupakan salah satu
faktor yang menentukan keberhasilan operasi serta menghindari komplikasi yang
membahayakan.
Dengan alat endoskop maka mukosa yang sakit dan polip-polip yang
menyumbat diangkat sedangkan mukosa sehat tetap dipertahankan agar transportasi
mukosilier tetap berfungsi dengan baik sehingga terjadi peningkatan drenase dan ventilasi
melalui ostiumostium sinus. Teknik bedah BSEF sampai saat ini dianggap sebagai terapi
terkini untuk sinusitis kroniks dan bervariasi dari yang ringan yaitu hanya membuka
drainase dan ventilasi kearah sinus maksilaris (BSEF mini) sampai kepada pembedahan
lebih luasmembuka seluruh sinus (fronto-sfeno-etmoidektomi).
Naso-endoskopi prabedah untuk menilai anatomi dinding lateral hidung
dan variasinya. Pada pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung,
anatomi dan variasi dinding lateral misalnya meatus medius sempit karena deviasi
septum, konka media bulosa, polip meatus medius, konka media paradoksikal dan
lainnya. Sehingga operator bisa memprediksi dan mengantisipasi kesulitan dan
kemungkinan timbulnya komplikasi saat operasi.1
CT Scan. Gambar CT scan sinus paranasal diperlukan untuk mengidentifikasi
penyakit dan perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi anatomi organ sinus
paranasal dan hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta mempelajari daerah
daerah rawan tembus ke dalam orbita dan intra kranial. Konka-konka, meatus-meatus
terutama meatus media beserta kompleks ostiomeatal dan variasi anatomi seperti
kedalaman fossa olfaktorius, adanya sel Onodi, sel Haller dan lainnya perlu diketahui dan
diidentifikasi, demikian pula lokasi a.etmoid anterior, n.optikus dan a.karotis interna
penting diketahui.1
Gambar CT scan penting sebagai pemetaan yang akurat untuk panduan operator
saat melakukan operasi. Berdasarkan gambar CT tersebut, operator dapat mengetahui
daerah-daerah rawan tembus dan dapat menghindari daerah tersebut atau bekerja hati-hati
sehingga tidak terjadi komplikasi operasi. Untuk menilai tingkat keparahan inflamasi
dapat menggunakan beberapa sistem gradasi antaranya adalah staging Lund-Mackay.
Sistem ini sangat sederhana untuk digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka
hasil gambaran CT scan.
3. Caldwell luq
Salah satu operasi sinusitis yang diterapkan pada bagian maksilaris adalah operasil
Caldwell-Luc, dimana jenis operasi ini biasa diterpakan pada seseorang yang sebelumnya
mengalami infeksi sinus akut. Operasi ini akan ditempuh setelah hasil pemeriksaan CT
Scan atau pemeriksaan lainnya menunjukkan adanya pembengkakan serius pada bagian
sinus maksilaris. Operasi ini dilakukan dengan cara mengambil dan memebersihkan
jaringan sinus maksilaris yang mengalami penngumpalan lender ataupun pertumbuhan
sel maksilaris yang mengarah pada tumor.
Sumber :
2. https://thtkl.wordpress.com/2009/06/19/bedah-sinus-endoskopik-fungsional-bsef-
menghilangkan-gejala-rinosinusitis/ diakses pada 25 agustus 2016
4. Allergen adalah senyawa yang dapat menginduksi imunoglobulin E (IgE) melalui
paparan berupa inhalasi (dihirup), ingesti (proses menelan), kontak, ataupun injeksi.
[1]
Respon tubuh terhadap suatu alergen terjadi melalui proses yang kompleks dan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sifat inang, lingkungan, dan sifat fisik dari
alergen.[1] Sebagian besar alergen merupakan protein yang dapat merangsang respon
imun tubuh melalui reaksi enzimatik atau aktivasi reseptor
pada sel epitelium mukosa secara langsung.
5.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA
kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex)
yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi imunoglobulin E (IgE).
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE
di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit
dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed
Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4
(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5,
IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain.
Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler
meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga
menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter
Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta
peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO).
Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan
kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil
pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada
saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan
dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa,
sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam
tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil
seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan.
Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi
respon tersier.
3. Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis
(immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan
tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan
yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi
Sumber :
3. http://jurnal.unej.ac.id/index.php/STOMA/article/viewFile/2063/1669 diakses
pada 27 agustus 2016