Anda di halaman 1dari 30

TUGAS UJIAN MAYOR

Disusun oleh:
Danny Hermawan
030.12.063

Pembimbing :
dr. Santi A, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK BEDAH RSUD BUDHI ASIH


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
PERIODE 19 DESEMBER 2016 - 24 FEBRUARI 2017
AKUT ABDOMEN
Definisi
Abdominal pain (nyeri abdomen) merupakan sensasi subjektif tidak
menyenangkan yang terasa di setiap regio abdomen.Nyeri abdomen akut biasanya
digunakan untuk menggambarkan nyeri dengan onset mendadak, dan atau durasi
pendek.Nyeri abdomen kronis biasanya digunakan untuk menggambarkan nyeri
berlanjut, baik yang berjalan dalam waktu lama atau berulang/ hilang timbul.Nyeri
kronis dapat berhubungan dengan eksaserbasi akut (Pierce A. Grace & Neil R. Borley,
2007).

Jenis nyeri perut


Nyeri perut dapat berupa nyeri viseral maupun nyeri somatik, dan dapat berasal
dari berbagai proses pada berbagai organ di rongga perut atau di luar rongga perut,
misalnya di rongga dada (Sjamsuhidajat dkk, 2010).
a. Nyeri Viseral
Nyeri viseral terjadi bila terdapat rangsangan pada organ atau struktur dalam
ronggaperut, misalnya karena cedera atau radang.Peritoneum viserale yang
menyelimuti organ perutdipersarafi oleh sistem saraf otonom dan tidak peka terhadap
perabaan, atau pemotongan.Dengan demikian sayatan atau penjahitan pada usus dapat
dilakukan tanpa terasaolehpasien. Akan tetapi bila dilakukan tarikan, regangan atau
terjadi kontraksiyang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia,seperti pada
kolik atau radangakan timbul nyeri. Pasien yang mengalami nyeri viseral
biasanyatidak dapat menunjukkan secara tepat letak nyeri sehingga biasanya ia
menggunakanseluruh telapak tangannya untuk menunjuk daerah yang nyeri
(Sjamsuhidajat dkk,2010).
Nyeri viseral memperlihatkan pola yang khas sesuai dengan persarafan
embrionalorgan bersangkutan. Saluran cerna yang berasal dari usus depan (foregut),
yaitu lambung, duodenum, sistem hepatobilier dan pankreas menimbulkan nyeri di
ulu hati atau epigastrium. Bagiansaluran cerna yang berasal dariusus tengah (midgut),
yaitu usus halus dan usus besar sampai pertengahankolon transversum menyebabkan
nyeri di sekitar umbilikus.Bagian saluran cerna lainnyayaitu pertengahan kolon
transversum sampai dengan kolon sigmoidyang berasal dari usus belakang (hindgut)
menimbulkan nyeri di perut bagian bawah.Demikian juga nyeri dari buli-buli dan
rektosigmoid (lihat Gambar 2.1A).Karena tidak disertai rangsanganperitoneum, nyeri
ini tidak dipengaruhi oleh gerakan sehingga penderita biasanya dapat
aktifbergerak(Sjamsuhidajat dkk, 2010).
b. Nyeri somatik
Nyeri somatik terjadi karena rangsangan pada bagian yang dipersarafi saraf tepi,
misalnya regangan pada peritoneum parietalis, dan luka pada dinding perut. Nyeri
dirasakanseperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjuk letak nyeri dengan
jarinya secara tepat. Rangsang yang menimbulkan nyeri ini dapat berupa rabaan,
tekanan, rangsang kimiawi atauproses radang (lihat Tabel 2.1 dan 2.2) (Sjamsuhidajat
dkk, 2010).
Tabel 2.1. Persarafan sensorik organ perut

(Sjamsuhidajat dkk, 2010)


Gesekan antara visera yang meradang akan menimbulkan rangsang peritoneum
danmenyebabkan nyeri. Peradangannya sendiri maupun gesekan antara kedua
peritoneumdapat menyebabkan perubahan intensitas nyeri.Gesekan inilah yang
menimbulkan nyerikontralateral pada apendisitis akut. Setiap gerakan penderita, baik
berupa gerakan tubuh maupungerakan nafas yang dalam atau batuk, akan menambah
rasa nyeri sehinggapenderita gawat perut yang disertai rangsang peritoneum berusaha
untuk tidak bergerak, bernafas dangkal danmenahan batuk (Sjamsuhidajat dkk, 2010).
Tabel 2.2.Letak nyeri somatik

(Sjamsuhidajat dkk, 2010)

Letak nyeri perut


Nyeri viseral dari suatu organ biasanya sesuai letaknya dengan asal organ tersebut
pada masa embrional, sedangkan letak nyeri somatik biasanya dekat dengan organ
sumber nyeri sehingga relatif mudah menentukan penyebabnya (lihat Tabel 2.2,
Gambar 2.1 dan Gambar 2.2).Nyeri pada anak prasekolah sulit ditentukan letaknya,
karena mereka selalu menunjuk daerah sekitar pusat bila ditanya tentang
nyerinya.Anak yang lebih besar baru dapat menentukan letak nyerinya (Sjamsuhidajat
dkk, 2010).

Gambar 2.1 Nyeri peru


A. (1) nyeri viseral dari lambung, duodenum, system hepatobilier, dan pancreas (foregut)
dirasakan di ulu hati, (2) nyeri dari duodenum sampai pertengahan kolon transversum
(midgut) dirasakan di perut tengah, disekitar pusat, (3) kelainan pada saluran cerna dari
pertengahan kolon transversum sampai sigmoid (hindgut) menyebabkan nyeri yang
dirasakan diperut bagian bawah.

B. Kolik empedu pada mulanya mungkin dirasakan di epigastrium atau hipokondrium


kanan; (4) umumnya terdapat nyeri alih ke daerah ujung skapula di punggung (titik
Boas), (5) nyeri dari pelvis renalis dan kolik ureter biasanya dirasakan di genitalia
eksterna dan daerah inguinal.

C. Seperti pada gambar B, (4) titik Boas, (6) kelainan organ dan struktur retroperitoneal
seperti pankreas dan ginjal lazim menyebabkan nyeri pinggang, (7) kelainan uterus dan
rektum dirasakan di region sakrum, (8) nyeri alih dari diafragma dirasakan di bahu

Perut kanan atas : (1) abses amuba, (2) kolesistitis akut, (3) perforasi tukak peptik.

Perut kiri atas : (4) cedera atau abses limpa, (5) pankreatitis akut.

Perut kanan bawah : (6) apendisitis akut, (7) adneksitis akut.

Perut kiri bawah : (8) divertikulitis sigmoid, (9) adneksitis akut.

Sifat nyeri
Berdasarkan letak atau penyebarannya nyeri dapat bersifat nyeri alih, dan nyeri
yang diproyeksikan.Untuk penyakit tertentu, meluasnya rasa nyeri dapat membantu
menegakkan diagnosis.Nyeri bilier khas menjalar ke pinggang dan ke arah belikat
(skapula), nyeri pankreatitis dirasakan menembus ke bagian pinggang.Nyeri pada
bahu menunjukkan adanya rangsangan pada diafragma (lihat Gambar 2.1C)
(Sjamsuhidajat dkk, 2010).

a. Nyeri alih
Nyeri alih terjadi jika suatu segmen persarafan melayani lebih dari satu daerah.
Misalnya diafragma yang berasal dari regio leher C3-C5 pindah ke bawah pada masa
embrional sehingga rangsangan pada diafragma oleh perdarahan atau peradangan
akan dirasakan di bahu (lihat Gambar 2.1C dan 2.3). Demikian juga pada kolestitis
akut, nyeri dirasakan didaerah ujung belikat (lihat Gambar 2.1B dan 2.1C).Abses
dibawah diafragma atau rangsangan karena radang atau trauma pada permukaan atas
limpa atau hati juga dapat menyebabkan nyeri di bahu.Kolik ureter atau kolik pielum
ginjal, biasanya dirasakan sampai ke alat kelamin luar seperti labium mayor atau testis
(lihat Gambar 2.1B). Kadang nyeri ini sukar dibedakan dari nyeri alih (Sjamsuhidajat,
dkk., 2010).
Gambar 2.3 Persarafan diafragma dan bahu; rangsangan pada pleura
atau peritoneum dapat dirasakan sebagai nyeri bahu.

A. Inervasi diafragma dan bahu oleh saraf servikal : (1) saraf C3, C4, dan C5, (2) n.
frenikus.

B. (1) Iritasi n. frenikus dapat dirasakan di bahu : daerah bahu yang disarafi, (2) paru-paru
dan pleura viseralisnya, (3) diafragma dengan pleura parietalis disebelah kranial dan
peritoneum parietalis disebelah kaudal, (4) hepar dan peritoneum viserale, (5) rongga
abdomen.

b. Nyeri proyeksi
Nyeri proyeksi adalah nyeri yang disebabkan oleh rangsangan saraf sensoris
akibatcedera atau peradangan saraf.Contoh yang terkenal ialah
nyerifantom setelahamputasi, atau nyeri perifer setempat pada herpes zoster.Radang
saraf ini pada herpeszoster dapat menyebabkan nyeri hebat di dinding perut sebelum
gejala atau tandaherpes menjadi jelas dan rasa nyeri ini dapat menetap bahkan setelah
penyakitnya sudah sembuh (Sjamsuhidajat dkk, 2010).
c. Hiperestesia
Hiperestesia atau hiperalgesia sering ditemukan dikulit jika ada peradangan pada
rongga dibawahnya.Pada gawat abdomen, hiperestesia sering ditemukan pada
peritonitis local maupun peritonitis umum (Sjamsuhidajat dkk, 2010).
Nyeri peritoneum parietalis dirasakan tepat pada tempat terangsangnya
peritoneum sehingga penderita dapat menunjuk dengan tepat, dan pada tempat itu
terdapat nyeri tekan, nyeri gerak, nyeri batuk, nyeri lepas, serta tanda rangsang
peritoneum lain dan defans muskuler yang sering disertai hiperestesia kulit setempat
(Sjamsuhidajat dkk, 2010).
d. Nyeri kontinu
Nyeri akibat rangsangan pada peritoneum parietale akan dirasakan terus-menerus
karena proses berlangsung terus, misalnya pada reaksi radang. Pada saat pemeriksaan
penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot dinding perut
menunjukkan defans muskuler, kontraksi dinding perut yang terjadi secara refleks
untuk melindungi bagian yang meradang dari tekanan setempat
e. Nyeri kolik
Kolik merupakan nyeri visceral akibat spasme otot polos organ berongga dan
biasanya disebabkan oleh hambatan pasase organ tersebut (obstruksi usus, batu ureter,
batu empedu, peningkatan tekanan intralumen).Nyeri ini timbul karena hipoksia yang
dialami oleh jaringan dinding saluran.Karena kontraksi ini berjeda, kolik dirasakan
hilang timbul.Fase awal gangguan pendarahan dinding usus juga berupa nyeri kolik.
Serangan kolik biasanya disertai perasaan mual, bahkan sampai muntah.Saat
serangan, pasien sangat gelisah, kadang sampai berguling-guling ditempat tidur atau
di jalan.Yang khas adalah trias kolik yang terdiri atas serangan nyeri perut yang
kumatan disertai mual atau muntah dan gerak paksa (Sjamsuhidajat dkk, 2010).

f. Nyeri iskemik
Nyeri perut juga dapat berupa nyeri iskemik yang sangat hebat, menetap, dan
tidak menyurut.Nyeri ini merupakan tanda adanya jaringan yang terancam nekrosis.
Lebih lanjut akan tampak tanda intoksikasi umum, seperti takikardia, merosotnya
keadaan umum, dan syok karena resorbsi toksin dari jaringan nekrosis (Sjamsuhidajat
dkk, 2010).
g. Nyeri pindah
Nyeri dapat berubah sesuai dengan perkembangan patologi.Pada tahap awal
apendisitis, sebelum radang mencapai permukaan peritoneum, nyeri viseral dirasakan
disekitar pusat disertai rasa mual karena apendiks termasuk usus tengah.Setelah
radang terjadi diseluruh dinding termasuk peritoneum viserale, terjadi nyeri akibat
rangsangan peritoneum yang merupakan nyeri somatik.Pada saat ini, nyeri dirasakan
tepat pada letak peritoneum yang meradang, yaitu diperut kanan bawah.Jika apendiks
kemudian mengalami nekrosis dan gangrene (apendisitis gangrenosa), nyeri berubah
lagi menjadi nyeri iskemik yang hebat, menetap dan tidak menyurut, kemudian
penderita dapat jatuh dalam keadaan toksis (lihat Gambar 2.4A) (Sjamsuhidajat dkk,
2010).
Pada perforasi tukak peptik duodenum, isi duodenum yang terdiri atas cairan
asam hidroklorida dan empedu masuk ke rongga abdomen yang sangat merangsang
peritoneum setempat.Si sakit merasa sangat nyeri ditempat rangsangan itu, yaitu
diperut bagian atas. Setelah beberapa waktu, cairan isi duodenum mengalir ke kanan
bawah, melalui jalan di sebelah lateral kolon asendens sampai ke tempat kedua, yaitu
rongga perut kanan bawah, sekitar sekum. Nyeri itu kurang tajam dan kurang hebat
dibandingkan nyeri pertama karena terjadi pengenceran.Pasien sering mengeluh
bahwa nyeri yang mulai di ulu hati pindah ke kanan bawah. Proses ini berbeda sekali
dengan proses nyeri pada apendisitis akut. Akan tetapi kedua keadaan ini, apendisitis
akut maupun perforasi lambung atau duodenum, akan mengakibatkan peritonitis
purulenta umum jika tidak segera di tanggulangi dengan tindak bedah (lihat Gambar
2.4B) (Sjamsuhidajat dkk, 2010).

Gambar 2.4 Nyeri yang pindah

A. Apendisitis akut: awalnya nyeri bersifat difus dan berangsur dirasakan di ulu hati atau
sekitar pusat sebagai nyeri viseral, lalu berubah menjadi nyeri lokal akibat rangsangan
peritoneum setempat kanan bawah yang terasa lebih hebat, menetap, dan dipengaruhi
oleh setiap gerakan peritoneum terhadap organ dan struktur sekitarnya.

B. Pada perforasi tukak peptik duodenum, awal nyeri sangat tajam dan hebat; nyeri ini
berpindah ke fosa iliaka kanan bawah dan berangsur berkurang karena cairan isi
duodenum mengalami pengenceran.

Mula nyeri dan beratnya


Bagaimana bermulanya serangan nyeri dapat menggambarkan sumber
nyeri.Nyeri dapat tiba-tiba hebat atau secara cepat menjadi hebat, tetapi dapat pula
secara bertahap semakin nyeri. Misalnya pada perforasi organ yang berongga,
rangsangan peritoneum akibat zat kimia akan dirasakan lebih cepat dibandingkan
proses inflamasi bakteri. Demikian pula intensitas nyerinya (Sjamsuhidajat dkk,
2010).
Seorang yang sehat tiba-tiba merasakan nyeri perut hebat dapat disebabkan oleh
adanya sumbatan, perforasi, atau puntiran. Nyeri yang bertahap makin hebat biasanya
disebabkan oleh proses radang, misalnya pada kolesistitis akut atau pankreatitis akut
(Sjamsuhidajat dkk, 2010).
Etiologi
Tabel 2.4. Beberapa penyebab penting nyeri perut

Nyeri Yang Berasal Dari Perut

v Inflamasi peritoneum parietal

Kontaminasi bakterial

Apendisitis yang mengalami perforasiatau perforasi viskus lainnya

Penyakit radang pelvis

Iritasi kimiawi

Tukak yang mengalami perforasi

Pankreatitis

Mittelschmerz

v Obstruksi mekanis visera berongga

Obstruksi usus kecil dan besar

Obstruksi percabangan bilier

Obstruksi ureter

v Gangguan vaskuler

Embolisme atau trombosis

Pecahnya vaskuler
Tekanan atau penyumbatan akibat torsi

Anemia sel sabit

v Dinding perut

Distorsi dan traksi mesenterium

Trauma atau infeksi otot-otot

v Distensi permukaan viseral

Perdarahan hatiatau kapsula ginjal

v Peradangan viskus

Apendisitis

Demam tiphoid

Typhlitis

Nyeri Alih Bersumber Di Luar Abdomen

v Toraks

Infark miokard akut

Miokarditis, endokarditis, perikarditis

Gagal jantung kongestif

Pneumonia

Emboli paru

Pleurodinia

Pneumotoraks

Empiema

Penyakit esofagus, spasme, ruptur, peradangan


v Genitalia

Torsio testis

Kausa Metabolik

v Diabetes

v Uremia

v Hiperlipidemia

v Hiperparatiroidisme

v Insifisiensi adrenal akut

v Familial Mediterranean fever

v Porfiria

v Defisiensi inhibitor esterase CI (angioneurotic edema)

Kausa Neurologi/ Psikiatri

v Herpes zoster

v Tabes dorsalis

v Kausalgik

v Radikulitis karena infeksiatau artritis

v Kompresi tulang belakangatauserabut saraf

v Gangguan fungsional

v Gangguan psikiatri

Kausa Racun

v Keracunan timbal
v Gigitan serangga atau hewan lain

Laba-laba black widow

Gigitan ular

Mekanisme lain

v Penggunaan narkoba

v Heat stroke

(Anthony S. Fauci, dkk, 2008)


Gejala klinis
Tabel 2.3. Tanda pemeriksaan fisik pada berbagai gambaran gawat abdomen

Keadaan Tanda klinis penting

Awal perforasi saluran cerna Perut tampak cekung (awal), tegang, bunyi usus
atau saluran lain kurang aktif (lanjut), pekak hati hilang, nyeri tekan,
defans muskuler

Peritonitis Penderita tidak bergerak, bunyi usus hilang (lanjut),


nyeri batuk, nyeri gerak, nyeri lepas, defans
muskuler, tanda infeksi umum, keadaan umum
merosot

Massa, infeksi atau abses Massa nyeri (abdomen, pelvis, rektal), nyeri tinju, uji
lokal (psoas), tanda umum radang

Obstruksi usus Distensi perut;peristalsis hebat (kolik usus) yang


tampak di dinding perut, terdengar (borborigmi), dan
terasa (oleh penderita yang bergerak); tidak ada
rangsangan peritoneum

Ileus paralitik Distensi, bunyi peristalsis kurang atau hilang, tidak


ada nyeri tekan lokal. Pada iskemia/ strangulasi,
distensi tidak jelas (lama), bunyi usus mungkin ada,
nyeri hebat sekali, nyeri tekan kurang jelas, jika kena
usus mungkin keluar darah dari rectum, tanda toksis

Perdarahan Pucat, syok, mungkin distensi, berdenyut jika


aneurisma aorta, nyeri tekan lokal pada kehamilan
ektopik, cairan bebas (pekak geser), anemia

(Sjamsuhidajat dkk, 2010


Diagnosis differensial
Tabel 2.5.Diagnosis DifferensialNyeri AbdomenBerdasarkan Lokasi

Kuadran Atas Kanan Epigastrik Kuadran Atas Kiri

Kolesistitis Ulkus peptikum Infark Limpa

Kolangitis Gastritis Ruptur Limpa

Pankreatitis GERD Abses Limpa

Pneumonia/ Empiema Pankreatitis Gastritis

Pleurisy/ Pleurodynia Infark Miokard Ulkus Gaster

Abses Subdiaphragmatik Perikarditis Pankreatitis

Hepatitis Ruptur Aneurisma Abses

Budd-Chiari syndrome Aorta Subdiaphragmatik

Esofagitis

Kuadran Bawah Kanan Periumbilikus Kuadran bawah Kiri

Apendisitis Apendisitis Awal Divertikulitis

Salpingitis Gastroenteritis Salpingitis

Hernia Inguinalis Bowel obstruction Hernia Inguinalis

Kehamilan Ektopik Ruptur Aneurisma Kehamilan Ektopik

Nefrolitiasis Aorta Nefrolitiasis


Inflammatory bowel disease Irritable bowel syndrome

Mesenteric lymphadenitis Inflammatory bowel

Typhlitis disease

Nyeri Non-Lokalis yang Difus

Gastroenteritis Diabetes

Iskemia Mesenterika Malaria

Bowel obstruction Familial Mediterranean

Irritable bowel syndrome fever

Peritonitis Metabolic diseases

Penyakit Psikiatrik

(Anthony S. Fauci, dkk, 2008)

DAFTAR PUSTAKA

1. Arief Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W.I., dkk. 2000. Kapita Selekta
Kedokteran Jilid 2 Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
2. CordellWH, KeeneKK, GilesBK, etal: TheHighPrevalenceofPain in Emergency
Medicalcare. Am J Emerg Med 20:165-169, 2002.
3. Fauci, Antoni, dkk. 2008. Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi 17.
New York. Mcgrawhill companies.
4. Graff LG, Robinson D: Abdominal Pain and Emergency Department Evaluation.
Emerg MedClin North Am 19:123-136, 2001.
5. Pierce A. Grace & Neil R. Borley, 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi 3.
Jakarta: EMS
6. R,Sjamsuhidajat, Wim de jong.2010.Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC.
7. Sudoyo, Aru W, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V.Jakarta
: Balai Penerbit FKUI.

PERITONITIS

Definisi
Peritonitis adalah keadaan akut abdomen akibat peradangan sebagian atau seluruh
selaput peritoneum parietale ataupun viserale pada rongga abdomen4,5,6. Peritonitis
seringkali disebabkan dari infeksi yang berasal dari organ-organ di cavum abdomen.
Penyebab tersering adalah perforasi dari organ lambung, colon, kandung empedu atau
apendiks. Infeksi dapat juga menyebar dari organ lain yang menjalar melalui darah.6

Etiologi
Penyebab yang paling serius dari peritonitis adalah terjadinya suatu hubungan
(viskus) ke dalam rongga peritoneal dari organ-organ intra-abdominal (esofagus,
lambung, duodenum, intestinal, colon, rektum, kandung empedu, apendiks, dan
saluran kemih), yang dapat disebabkan oleh trauma, darah yang menginfeksi
peritoneal, benda asing, obstruksi dari usus yang mengalami strangulasi, pankreatitis,
PID (Pelvic Inflammatory Disease) dan bencana vaskular (trombosis dari
mesenterium/emboli).4
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat
penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis),
ruptur saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang sering
menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon pada kasus ruptur apendiks,
sedangkan stafilokokus dan stretokokus sering masuk dari luar.7

Diagnosis
Menegakkan diagnosis peritonitis secara cepat adalah penting sekali6. Diagnosis
peritonitis didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.2
Diagnosis peritonitis biasanya ditegakkan secara klinis. Kebanyakan pasien
datang dengan keluhan nyeri abdomen. Nyeri ini bisa timbul tiba-tiba atau
tersembunyi. Pada awalnya, nyeri abdomen yang timbul sifatnya tumpul dan tidak
spesifik (peritoneum viseral) dan kemudian infeksi berlangsung secara progresif,
menetap, nyeri hebat dan semakin terlokalisasi (peritoneum parietale). Dalam
beberapa kasus (misal: perforasi lambung, pankreatitis akut, iskemia intestinal) nyeri
abdomen akan timbul langsung secara umum/general sejak dari awal.9

Mual dan muntah biasanya sering muncul pada pasien dengan peritonitis. Muntah
dapat terjadi karena gesekan organ patologi atau iritasi peritoneal sekunder.9
Anamnesis mengandung data kunci yang dapat mengarahkan diagnosis gawat
abdomen. Sifat, letak dan perpindahan nyeri merupakan gejala yang penting.
Demikian juga muntah, kelainan defekasi dan sembelit. Adanya syok, nyeri tekan,
defans muskular, dan perut kembung harus diperhatikan sebagai gejala dan tanda
penting. Sifat nyeri, cara timbulnya dan perjalanan selanjutnya sangat penting untuk
menegakkan diagnosis.3
Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi,
pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum melakukan pemeriksaan
abdomen. Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi atau sepsis juga
perlu diperhatikan.3
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya tidak baik.
Demam dengan temperatur >380C biasanya terjadi. Pasien dengan sepsis hebat akan
muncul gejala hipotermia. Takikardia disebabkan karena dilepaskannya mediator
inflamasi dan hipovolemia intravaskuler yang disebabkan karena mual damuntah,
demam, kehilangan cairan yang banyak dari rongga abdomen. Dengan adanya
dehidrasi yang berlangsung secara progresif, pasien bisa menjadi semakin hipotensi.
Hal ini bisa menyebabkan produksi urin berkurang, dan dengan adanya peritonitis
hebat bisa berakhir dengan keadaan syok sepsis.9
Pada pemeriksaan abdomen, pemeriksaan yang dilakukan akan sangat
menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien, namun pemeriksaan abdomen ini harus
dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan terapi yang akan dilakukan. Pada
inspeksi, pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi menununjukkan
kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan gambaran usus atau gerakan
usus yang disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis biasanya akan
ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau distended.2
Minta pasien untuk menunjuk dengan satu jari area daerah yang paling terasa
sakit di abdomen, auskultasi dimulai dari arah yang berlawanan dari yang ditunjuik
pasien. Auskultasi dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara bising
usus. Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau menghilang
sama sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh sehingga
menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik). Sedangkan pada
peritonitis lokal bising usus dapat terdengar normal.8
Palpasi. Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral yang
sangat sensitif. Bagian anterir dari peritoneum parietale adalah yang paling sensitif.
Palpasi harus selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak dikeluhkan
nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding antara bagian yang tidak nyeri dengan
bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan defans muskular (rigidity) menunjukkan adanya
proses inflamasi yang mengenai peritoneum parietale (nyeri somatik). Defans yang
murni adalah proses refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa
reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan.8
Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot
dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks untuk melindungi bagian
yang meradang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat.3
Perkusi. Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya udara
bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui pemeriksaan
pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis, pekak hepar akan
menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena adanya udara bebas tadi.8
Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus dilakukan pemeriksaan
colok dubur dan pemeriksaan vaginal untuk membantu penegakan diagnosis.2,3
Nyeri yang difus pada lipatan peritoneum di kavum doglasi kurang memberikan
informasi pada peritonitis murni; nyeri pada satu sisi menunjukkan adanya kelainan di
daeah panggul, seperti apendisitis, abses, atau adneksitis. Nyeri pada semua arah
menunjukkan general peritonitis. Colok dubur dapat pula membedakan antara
obstruksi usus dengan paralisis usus, karena pada paralisis dijumpai ampula rekti yang
melebar, sedangkan pada obstruksi usus ampula biasanya kolaps. Pemeriksaan vagina
menambah informasi untuk kemungkinan kelainan pada alat kelamin dalam
perempuan.3
Pemeriksaan penunjang
kadang perlu untuk mempermudah mengambil keputusan, misalnya pemeriksaan
darah, urin, dan feses. Kadang perlu juga dilakukan pemeriksaan Roentgen dan
endoskopi.
Beberapa uji laboratorium tertentu dilakukan, antara lain nilai hemoglobin dan
hemotokrit, untuk melihat kemungkinan adanya perdarahan atau dehidrasi. Hitung
leukosit dapat menunjukkan adanya proses peradangan. Hitung trombosit dan dan
faktor koagulasi, selain diperlukan untuk persiapan bedah, juga dapat membantu
menegakkan demam berdarah yang memberikan gejala mirip gawat perut.3
Pencitraan diagnostik yang perlu dilakukan biasanya foto abdomen 3 posisi
(supine, upright and lateral decubitus position) untuk memastikan adanya tanda
peritonitis, udara bebas, obstruksi, atau paralisis usus. Pemeriksaan ultrasonografi
sangat membantu untuk menegakkan diagnosis kelainan hati, saluran empedu, dan
pankreas.3
Kadang-kadang, aspirasi cairan dengan jarum (peritoneal fluid culture) dapat
digunakan untuk pemeriksaan laboratorium. Dimana cairan yang diambil diperiksa
untu mengetahui organisme penyabab, sehingga dapat diketahui antibiotik yang
efektif yang dapat digunakan. Prosedur ini cukup sederhana, dan dapat dilakukan
pada saat pasien berdiri atau pun berbaring.6
Dalam mengevaluasi pasien dengan kecurigaan iritasi peritoneal, pemeriksaan
fisik secara komplit, adalah penting. Proses penyakit di thoraks dengan iritasi
diafragma (misal: emyema), proses ekstra peritoneal (misal: pyelonefritis, cystitis,
retensi urin) dan proses pada dinding abdomen (misal: infeksi, hematoma dari rektus
abdominis) dapat menimbulkan gejala dan tanda yang serupa dengan peritonitis.
Selalu periksa pasien dengan hati-hati untuk menyingkirkan hernia inkarserat yang
juga menimbulkan gejala serupa.9
Penatalaksanaan
Prinsip umum pengobatan adalah mengistirahatkan saluran cerna dengan
memuasakan pasien, pemberian antibiotik yang sesuai, dekompresi saluran cerna
dengan penghisapan nasogastrik atau intestinal, penggantian cairan dan elektrolit yang
hilang yang dilakukan secara intravena, pembuangan fokus septik (apendiks) atau
penyebab radang lainnya, bila mungkin dengan mengalirkan nanah keluar dan
tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.7
Prinsip umum dalam menangani infeksi intraabdominal ada 4, antara lain: (1) kontrol
infeksi yang terjadi, (2) membersihkan bakteri dan racun, (3) memperbaiki fungsi
organ, dan (4) mengontrol proses inflamasi.9
Eksplorasi laparatomi segera perlu dilakukan pada pasien dengan akut peritonitis.

Penatalaksanaan peritonis meliputi, antara lain:


1. Pre Operasi
Resusitasi cairan
Oksigenasi
NGT, DC
Antibiotika
Pengendalian suhu tubuh
2. Durante Operasi
Kontrol sumber infeksi
Pencucian rongga peritoneum
Debridement radikal
Irigasi kontinyu
Ettapen lavase/stage abdominal repair
3. Pasca Operasi
Balance cairan
Perhitungan nutrisi
Monitor vital Sign
Pemeriksaan laboratorium
Antibiotika

Status lokalis pada peritonitis


Inspeksi: Distensi (+), Daram Contour (-)
Auskultasi: BU (+) menurun.
Palpasi: defans muskular (+),
Perkusi: hipertimpani pada semua kuadran.

DAFTAR PUSTAKA

1. M Qureshi, Abrar, ...[et al.], 2005. Predictive Power Of Mannheim Peritonitis


Index. Original Article.
2. Buku-ajar ilmu bedah/editor, R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. -Ed.2.- Jakarta:
EGC, 2004.
3. Molmenti, Hebe, 2004. Peritonitis. Medical Encyclopedia. Medline Plus
http://medlineplus.gov/
4. Anonim, 2003. Peritonitis. The Merck Manuals.
http://www.merck.com/
5. Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit =
Pathophysiology.clinical concepts of disease processes/Sylvia Anderson Price,
Lorraine McCarty Wilson; alih bahasa, Peter Anugerah; editor, Caroline Wijaya.
Ed.4.- Jakarta: EGC, 1994.
6. Reksoprodjo, Soelarto, 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
7. Genuit, Thomas,...[et al], 2004. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Emedicine
Instant Access to The Minds of Medicine
http://www.emedicine.com/

SEPSIS

Definisi
Terminologi mengenai sepsis yang banyak dipakai saat ini adalah hasil
konferensi American Collage of Chest Physician/Society of Critical Care
Medicine pada tahun 1992, yang menghasilkan suatu konsensus :
1. Infeksi merupakan suatu fenomena mikrobiologi yang ditandai dengan adanya
invasi terhadap jaringan normal/sehat/steril oleh mikroorganisme atau hasil
produk dari mikroorganisme tersebut (toksin).
2. Bakteriemia berarti terdapatnya bakteri dalam aliran darah, akibat suatu fokus
infeksi yang disertai dengan adanya bakteri yang terlepas / lolos ke dalam sistem
sirkulasi.
3. SIRS (Sistemic Inflamatory Response Syndrome) adalah respon inflamasi
sistemik yang dapat dicetuskan oleh berbagai insult klinis yang berat. Respon ini
ditandai dengan dua atau lebih dari gejala-gejala berikut :
demam (suhu tubuh > 38 oC) atau hipotermia (< 36 oC)
takhikardi (denyut nadi > 90 x/menit)
takhipneu (frekuensi respirasi > 20 x/menit) atau Pa CO2 <32 torr (< 4.3 kPa)
leukositosis (jumlah leukosit >12000/mm3 ) atau leukopenia (jumlah leukosit
< 4000/mm3) atau adanya bentuk leukosit yang immature > 10%.
4. Sepsis adalah suatu SIRS yang disertai oleh suatu proses infeksi.
5. Sepsis Berat (Severe Sepsis) adalah bentuk sepsis yang disertai disfungsi organ,
hipoperfusi jaringan (dapat disertai ataupun tidak disertai keadaan asidosis laktat,
oliguria, gangguan status mental/kesadaran) atau hipotensi.
6. Syok Septik diartikan sebagai sepsis yang disertai dengan hipotensi dan tanda-
tanda perfusi jaringan yang tidak adekuat walaupun telah dilakukan resusitasi
cairan (asidosis laktat, oliguria, gangguan status mental/kesadaran).

Penatalaksanaan
Terapi yang dilakukan dapat bervariasi tergantung lamanya waktu setelah insult
dan tahapan klinis sepsis. Hal yang sangat penting adalah meminimalkan trauma
langsung terhadap sel serta mengoptimalkan perfusi dan membatasi iskemia.
Dibutuhkan perencanaan terapi yang terintegrasi untuk mencapai hal tersebut. Sebagai
pedoman dalam perencanaan, pendekatan terapi dapat ditujukan untuk mencapai tiga
sasaran :
1. Memperbaiki dan memperthankan perfusi yang adekuat
2. Mengontrol respon pasien terhadap trauma
3. Menghindari terjadinya penyakit iatrogenik

Memperbaiki dan mempertahankan perfusi yang adekuat


Hal ini merupakan faktor kunci untuk meminimalkan trauma iskemia inisial dan
mengurangi iskemia akibat yang terjadi karena respon terhadap stress.
Berikut ini adalah tindakan untuk memperbaiki perfusi :
a. Mempertahankan saturasi oksigen arteri
Dilema yang sering terjadi adalah bagaimana mempertahankan saturasi oksigen
yang adekuat tanpa memberikan efek barotrauma maupun toksik terhadap paru-paru.
Tekanan oksigen arterial sebesar 75 mmHg atau diatasnya akan memberikan saturasi
oksigen yang cukup (> 90%).
b. Ekspansi cairan
Ekspansi cairan merupakan terapi inisial terpilih untuk semua fase sepsis.
Peningkatan tekanan pengisian akan memberikan tekanan cardiac output dan
membuka kembali mikrosirkulasi yang hipoperfusi merupakan pendekatan resusitasi
primer, dimana saturasi oksigen harus dipertahankan diatas 90%. Cairan inisial yang
dipakai adalah cairan kristaloid isotonik, yang diberikan secara cepat sebanyak 3 liter,
kemudian dilanjutkan pemberian cairan koloid. Albumin juga berperan penting untuk
mempertahankan tekanan onkotik plasma, juga sebagai antioksidan, pengikat asam
lemak bebas, endotoksin amupun obat-obatan. Oleh karena itu kadar albumin harus
tetap dipertahankan diatas 2,5 g/dL.
c. Inotropik
Zat inotropik hanya diberikan untuk mempertahankan keadaan hiperdinamik bila
ekspansi cairan tidak cukup untuk memperbaiki perfusi. Dopamin dosis rendah akan
mencukupi sebagai pilihan awal, karena biasanya terjadi penurunan perfusi ginjal dan
splanknik walaupun pada keadaan parameter perfusi umum yang mencukupi.
Dopamin dipakai untuk meningkatkan cardiac indeks pada tekanan baji yang normal
(14-16 mmHg), sementara dobutamin digunakan pada tekanan baji lebih dari 16
mmHg.
d. Transfusi darah
Kadar hemoglobin untuk menjamin perfusi harus ditinjau kembali. Pada pasien
yang muda, stabil dan sehat, kadar hemoglobin 8 g/dL akan mencukupi. Pasien
dengan MOD membutuhkan kadar hemoglobin sampai 10 g/dL karena pada pasien ini
terjadi gangguan pembentukan sel darah merah.
e. Vasodilator
Penggunaan vasodilator dapat memberikan keuntungan, terutama bila terjadi
peningkatan tahanan vaskuler sistemik karena peningkatan tekanan darah sistemik.
Cairan salin hipertonik dapat meningkatkan aliran darah mikrovaskuler. Sedangkan
obat yang biasa dipakai adalah golongan nitroprusid.
f. Vasokonstriktor
Penambahan zat a-agonist hanya diperlukan bila tekanan sistolik lebih rendah
dari 90 mmHg atau MAP lebih rendah dari 70 mmHg dengan keadaan tekanan
pengisian yang cukup tinggi dan cardiac indeks lebih dari 4 L/menit/m2. Penambahan
dopamin sampai norepinefrin atau fenilefrin dalam dosis rendah nampak dapat
melindungi sirkulasi ginjal dan splanknik dari pengaruh vasokonstriksi zat a-agonist.
Vasokonstriktor diindikasikan hanya untuk hipotensi yang refrakter dan hanya
digunakan dalam waktu yang terbatas. Terapi yang ideal adalah dengan mengontrol
reaksi yang berlebihan dari vasodilator.

2. Mengontrol respon pasien terhadap trauma


Hal ini dapat dicapai dengan :
a. Mongontrol fokus lokal inflamasi sistemik
Harus dimulai sejak awal perawatan pasien. Tujuan tindakan bedah adalah :
1. Meminimalkan trauma lebih lanjut
2. Debridemen yang agresif
3. Drainase dini (misalnya : pus, hematom)
4. second-look procedure
Tindakan ini harus dikerjakan secepatnya sebelum timbulnya respon hiperdinamik
yang menunjukkan telah terjadinya reaksi inflamasi sistemik. Pemberian antibiotika
spektrum luas secara empirik harus segera dimulai sementara menunggu hasil tes
kultur dan resistensi.
b. Modifikasi respon stress hormonal
Peningkatan kadar hormon katekolamin, kortisol dan glukagon berperan penting
dalam terjadinya gangguan metabolisme yaitu peningkatan glukoneogenesis dan
proteolisis yang merupakan karakteristik dari fase hiperdinamik. Reaksi ini akan
meningkatkan kebutuhan metabolik dan dapat mengakibatkan kardiomiopati.
Penggunaan zat -antagonist dalam dosis sedang dapat menurunkan kerja jantung dan
kebutuhan metabolik, khususnya pada pasien cedera kepala.
c. Mencegah reaksi inflamasi yang berlebihan
Semua fokus infeksi yang belum terangkat dalam fase resusitasi inisial harus
secepatnya diangkat, sebelum terjadi respon dari tubuh pasien.
Insult sekunder harus dihindari. Insult sekunder ini biasanya berasal dari infeksi
nosokomial (biasanya dari kateter pembuluh darah, pneumonia), hipovolemia (sering
pada operasi kedua), pankreatitis atau komplikasi intraabdomen yang lain, dan
endotoksin atau bakteri yang tidak diketahui asalnya seperti dari usus.
Translokasi bakteri dan endotoksin yang dapat keluar melalui barier usus yang
terganggu dapat diusahakan untuk dicegah. Pendekatan pertama adalah dengan
mendeteksi iskemia splanknik. Teknik gastric tonometri telah banyak digunakan
namun validitasnya untuk mendeteksi iskemia usus belum jelas dilaporkan.
Tidak adanya nutrisi enteral akan menyebabkan atrofi mukosa, terutama pada saat
respon stress dan pemberian nutrisi enteral yang dini dinilai efektif untuk
mempertahankan barier mukosa. Beberapa studi klinis juga membuktikan penurunan
kejadian MOD sekunder pada pasien bedah dengan pemberian nutrisi enteral dini,
khususnya pada pasien multitrauma.

3. Menghindari terjadinya penyakit iatrogenic


Setiap tambahan insult pada fase inisial atau disfungsi organ sekunder akan
memperberat proses penyakit. Komplikasi yang paling perlu diperhatikan adalah
infeksi nosokomial.
Komplikasi iatrogenik yang sering terjadi adalah :
Organ Komplikasi
Paru-paru ARDS karena infeksi nosokomial
Pneumonia nosokomial
Barotrauma
Keracunan O2
Hipervolemia
Usus Cedera karena infeksi / endotoksin
Malnutrisi
Keracunan obat
Kolitis pseudomembran
Hipovolemia
Hati Cedera karena infeksi / endotoksin
Overfeeding
Keracunan obat
Ginjal Cedera karena infeksi / endotoksin
Keracunan obat
Hipovolemia
Sistemik Malnutrisi
Penggunaan cairan / nutrient yang tidak tepat

Modalitas Terapi Baru


Antibodi anti-endotoksin adalah yang pertama kali dicoba. Meskipun terapi ini
berhasil memperbaiki angka survival namun penggunaannya terbentur pada
ketidakstabilan cairan injeksi, kesulitan menentukan dosis dan resiko penularan
penyakit dari serum asal antibodi tersebut. Dengan rekayasa genetika akhirnya dapat
dibuat E5, suatu antibodi Lipid A IgM, namun terapi ini terutama hanya memberi
hasil untuk pasien yang terinfeksi kuman gram negatif. Obat ini terutama dapat
memberikan perbaikan yang bermakna pada disfungsi organ. Juga berhasil ditemukan
anti-endotoksin monoclonal IgM (HA-1A) nemun masih perlu dilakukan studi lebih
lanjut untuk penggunaan obat ini.
Penelitian juga dilakukan terhadap antibodi TNF monoclonal. Produk ini dinilai
mampu memberikan efek proteksi terhadap sistem kardiovaskuler, meredakan syok
septik karena endotoksin. Juga tampak mampu menaikkan tekanan darah arteri dan
parameter hemodinamik yang lain. Namun penggunaan obat ini juga masih
membutuhkan studi lebih lanjut.
Strategi lain yang dicoba adalah mencegah kontak antara mediator dengan
reseptor pada sel target. Dengan melalui rekayasa genetika berhasil didapatkan IL-1 ra
atau antagonis IL-1. Obat ini berhasil menurunkan angka kematian dengan
tergantung dosis. Studi lebih lanjut masih dilakukan.
Untuk antagonis PAF (Platelet Activating Factor), dipakai BN 52021,
Lexipafant dan PAF asetilhidrolase. Sementara Ibuprofen dipakai untuk antagonis
prostaglandin. Antagonis bradikinin sampai saat ini masih diteliti. Untuk mengurangi
produksi NO (Nitrit Oksida) dipakai NMMA (N-monomethyl arginine) yang
dapat menghambat enzim NO-sintase. Bahaya obat ini adalah dapat mengakibatkan
hipertensi pulmonal dan komplikasi jantung.
Strategi terakhir yang dikembangkan adalah dengan eliminasi semua mediator
menggunakan cara plasmapheresis (PE).

Konsep Baru Pengobatan Sepsis


Activated Protein C (APC), adalah suatu antikoagulan yang berbentuk
rekombinan Protein C teraktivasi. Merupakan agen antiinflamasi pertama yang
terbukti efektif pada pengobatan sepsis. APC menginaktivasi faktor Va dan VIIIa,
sehingga mencegah pembentukan thrombin. Inhibisi pembentukan thrombn oleh APC
menurunkan proses inflamasi melalui inhibisi aktivasi platelet, penarikan netrofil dan
degranulasi sel mast. APC juga memiliki efek ininflamasi langsung, termasuk
menghambat produksi sitokin oleh monosit dan menghambat adhesi sel. Walaupun
demikian, masih terdapat perdebatan mengenai penggunaan APC terutama
berhubungan dengan efek sampingnya, yaitu perdarahan. Saat ini, APC diberikan
hanya pada pasien sepsis berat dengan trombosit > 30.000/mm3 yang mengalami
ancaman kegagalan organ berat dan mempunyai kemungkinan kematian yang tinggi.
Terapi insulin intensif pada hiperglikemia, penelitian Van den Berghe et al,
menunjukkan bahwa pemberian terapi insulin intesif yang mempertahankan kadar
glukosa darah pada 80 110 mg/dL menurunkan angka morbiditas dan mortalitas
pasien-pasien kritis daripada terapi konvensional yang mempertahankan kadar
glukosa darah pada 180 200 mg/dL.Terapi insulin mengurangi angka kematian
akibat kegagalan multi organ pada pasien sepsis, tanpa memandang riwayat diabetes
melitus pasien tersebut. Mekanisme protektif insulin pada sepsis masih belum
diketahui. Fungsi fagositosis netrofil yang terganggu oleh keadaan hiperglikemia
ternyata dapat diperbaiki oleh koreksi hiperglikemia. Insulin juga mencegah apoptosis
sel-sel mati akibat berbagai sebab melalui aktivasi jalur phosphatidylinositol 2-kinase-
akt.
Resusitasi volume cairan dini yang agresif,
penelitian early goal-directed therapy oleh Rivers et al menunjukkan bahwa terapi
cairan dini yang agresif yang mengoptimalkan preload, afterload dan kontraktilitas
jantung pada pasien sepsis berat dan syok septik meningkatkan survival pasien.
Penelitian ini menggunakan infus cairan koloid dan kristaloid, agen vasoaktif, dan
tranfusi darah untuk meningkatkan pengantaran oksigen. Pasien pasien dalam
penelitian ini mendapat lebih banyak cairan, inotropik dan transfusi daripada pasien
kontrol yang mendapat terapi standar pada 6 jam pertama penanganan sepsis. Selama
periode 7 sampai 72 jam setelah penanganan, pasien pada kelompok penelitian ini
memiliki konsentrasi oksigen vena sentral yang lebih tinggi, kadar laktat yang lebih
rendah dan defisit basa yang lebih rendah dibandingkan pasien pada kelompok
kontrol.
Kortikosteroid dosis fisiologis, pemberian kortikosteroid dosis tinggi (misalnya:
metilprednisolon 30mg/ kg berat badan) terbukti tidak meningkatkan survival diantara
pasien-pasien sepsis dan dapat memperburuk keadaan karena meningkatnya kejadian
infeksi sekunder. Penelitian oleh Annane menunjukkan bahwa pasien sepsis yang
mengalami syok persisten yang membutuhkan vasopresor dan ventilasi mekanik
mendapat perbaikan klinis karena pemberian kortikosteroid dengan dosis fisiologis.
Hal ini mungkin karena desensitasi respon kortikosteroid melalui down-regulation
reseptor adrenergik. Katekolamin meningkatkan tekanan arteri melalui efek reseptor
adrenergik di vaskular; kortikosteroid meningkatkan ekspresi reseptor adrenergik.
Diperlukan uji untuk mengetahui pasien dengan keadaan insufisiensi adrenal relatif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Baue AE. History of MOF and Definition of Organ Failure. In : Multiple Organ
Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE
(Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:3-11.
2. Fry DE. Systemic Inflamatory Response and Multiple Organ Dysfunction
Syndrome : Biologic Domino Effect. In : Multiple Organ Failure Patophysiology,
Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag, New
York, 2000:23-9.
3. Fry DE. Microsirculatory Arrest Theory of SIRS and MODS. In : Multiple Organ
Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE
(Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:92-100.
4. Hotchkiss RS, Karl IE. The Pathophysiology and Treatment of Sepsis. N Engl J
Med 2003, 348; 138-50.
5. Marshall JC. SIRS, MODS and the Brave New World Of ICU Acronyms : Have
They Helped us. In : Multiple Organ Failure Patophysiology, Prevention and
Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:14-
22.
6. Martin GS, Mannino, DM, Eaton S, Moss M. The Epidemiology of Sepsis in the
United States from 1979 through 2000. N Engl J Med 2003, 348; 1546-54.
7. Rivers E, Nguyen B, Havstad S et al. Early Goal-Directed Therapy in Treatment
of Severe Sepsis and Septic Shock. N Engl J Med 2001, 345; 1368-77.

Anda mungkin juga menyukai