Anda di halaman 1dari 19

Penggunaan Antibiotika yang Rasional

Fitriardi Sejati

Penggunaan antibiotika yang tidak tepat terhadap infeksi virus


sering ditemukan. Sebuah penelitian di Manitoba (Kanada)
menunjukkan bahwa peresepan antibiotika mencapai 45% kunjungan
akibat infeksi saluran napas karena virus. Hal ini berkaitan dengan
peningkatan risiko terjadinya resistensi antibiotika. Resistensi
antibiotika semakin mempersulit pengobatan infeksi dan
1
meningkatkan risiko kesakitan dan kematian.

Keputusan memulai terapi antibiotika dan memilih antibiotika


2,3
yang sesuai merupakan tantangan bagi dokter. Pemilihan antibiotika
tidak cukup hanya didasarkan pada kemungkinan patogen penyebab
dan keberhasilan antibiotika sebelumnya di masa lampau.
Pengetahuan mengenai pola resistensi kuman juga penting. Tulisan ini
bertujuan untuk membahas faktor-faktor penting yang menjadi dasar
pertimbangan pengguanaan dan pemilihan antibiotika.

Indikasi Pemberian Antibiotik

Indikasi pemberian antibiotik adalah pada infeksi yang


disebabkan oleh bakteri. Identifikasi infeksi bakteri secara dini dapat
memandu terapi, mengurangi penggunaan antibiotik yang tidak tepat
dan memperbaiki luaran pasien. Identifikasi infeksi bakteri secara dini
masih merupakan tantangan dalam praktek sehari-hari. Cara yang
paling tepat untuk mendiagnosis infeksi bakteri adalah dengan
melakukan biakan. Namun, biakan bakteri memerlukan waktu yang
dapat menunda pemberian antibiotik pada pasien yang membutuhkan
antibiotik. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu petanda yang spesifik
4
terhadap infeksi bakteri.

Petanda infeksi yang sering digunakan adalah hitung leukosit,

hitung jenis, prokalsitonin,dan protein C-reaktif. Peningkatan jumlah

leukosit merupakan indikator


yang tidak sensitif maupun spesifik
terhadap infeksi bakteri. Peningkatan sel polimorfonuklear (PMN) lebih
akurat dalam menentukan adanya infeksi bakteri dibandingkan
5
peningkatan leukosit.

Prokalsitonin memiliki sensitivitas 92% dan spesifisitas 73%,

sedangkan protein C-reaktif memiliki sensitivitas 86% dan spesifisitas

70% yang artinya prokalsitonin merupakan petanda yang lebih akurat

dibanding protein C-reaktif dalam membedakan infeksi bakteri dan

infeksi virus serta membedakan infeksi bakteri dan penyebab inflamasi

non-infeksi.4

Kadar protein C-reaktif lebih dari 20 mg/L dan prokalsitonin > 2


ng/ml menandakan suatu infeksi bakteri dan atau infeksi berat. Jika
protein C-reaktif lebih rendah dari 8 mg/ml dan prokalsitonin lebih
rendah dari 0,5 ng/ml, maka kemungkinan infeksi bakteri hanya
6
sebesar 2%.

Demam pada 90-95% disebabkan oleh virus, hanya 5-10% yang


disebabkan oleh bakteri. Karakterisitik demam dapat membantu
membedakan infeksi bakteri dengan virus. Demam dengan suhu tinggi
dan durasi yang lama umumnya disebabkan oleh bakteri dibandingkan
oleh virus. Pasien immunocompromised yang demam harus dianggap
sebagai infeksi bakteri sampai terbukti bukan.

Beberapa tanda yang dapat membantu membedakan demam

yang disebabkan oleh infeksi bakteri dengan infeksi virus antara lain: 7

Curiga Infeksi Virus

Terdapat riwayat kontak dengan orang yang memiliki keluhan


yang sama
Protein C-reaktif dan hitung leukositnormal. leukopenia,
limfositosis (atau hitung leukosit dan hitung netrofil yang

Curiga Infeksi Bakteri

o
Demam tinggi (>39 C), durasi > 3 hari
Banyak organ yang terlibat pada saat Terlokalisasi pada satu
organ bersamaan, umumnya mengenai salurannapas atas
Tidak terlihat sakit berat, masih dapat Irritable, letargis, tampak
sakit berat, bermain dan berinteraksi dengan baik menangis
lemah dan tidak tertarik dengan dengan orang lingkungan
sekitar
Protein C-reaktif, laju endap darah (LED), (limfositopenia) dan
trombositopenia tinggi

Adapun Antibiotik dapat diberikan pada pasien dengan demam yang


7
memenuhi salah satu kriteria berikut:
Pasien dengan fokus infeksi yang sugestif disebabkan oleh bakteri

Semua anak dan neonatus yang tampak sakit berat

o
Anak dengan suhu demam >40 C dan usia kurang dari 36 bulan tanpa
fokus infeksi yang jelas

Anak tanpa fokus infeksi yang jelas dengan hasil tes penyaring (darah
perifer lengkap, protein C-reaktif, urinalisis) yang abnormal.

Pemberian antibiotik yang tepat adalah bila sesuai dengan


organisme patogen yang ditemukan pada bagian tubuh yang
8
seharusnya steril dan sesuai dengan hasil resistensi antibiotik.
Pemberian antibiotik yang tidak tepat merupakan penyebab utama
9
resistensi antibiotik.

Jenis-jenis Antibiotik

Antibiotika yang digunakan dalam mengatasi infeksi bakteri pada


dapat dikelompokkan

10
menjadi 5 golongan:

1. -laktam

Antibiotika golongan ini bekerja dengan cara menghambat


sintesis dinding bakteri melalui ikatannya dengan transpeptidase.
Enzim tersebut berperan dalam sistesis lapisan peptidoglikan dinding
sel bakteri. Aktivitas bakterisid antibiotika golongan ini ditentukan oleh
lamanya kadar optimal antibiotika bertahan dalam darah (time-
dependent). Yang termasuk dalam golongan ini adalah penisilin alami
(Penisilin V dan G), aminopenisilin (ampisilin dan amoksisilin), penisilin
resisten penisilase (metisilin), extended spectrum penicillin
(piperasilin), sefalosporin (sefadroksil, sefepim), monobaktam
(aztreonam), karbasepem (lorakarbef), dan karbapenem (meropenem).

Prokalsitonin dalam batas normal. Kadar Prokalsitonin >1,2 ng/ml atau


>5 ng/ml sitokin yang rendah, kecuali IFN-. pada infeksi bakteri yang
berat.

2. Glikopeptida

Yang termasuk dalam golongan ini adalah vankomisin. Cara


kerjanya adalah dengan mengganggu sintesis dinding sel, mengubah
permeabilitas membran sitoplasma, dan mengganggu sintesis
asamribonukleat. Vankomisin mengganggu sintesis dinding sel tahap
dua dengan cara membentuk kompleks dengan peptida prekursor
sehingga membentuk ikatan silang dengan peptidoglikan (lapisan
struktural dinding sel). Golongan ini termasuk time-dependent
antibiotic.

3. Aminoglikosida

Aminoglikosida merupakan antibiotika yang memiliki peranan


pentinga dalam pengobatan infeksi berat oleh basil gram negatif
aerob dan enterokokus. Antibiotika golongan ini menunjukkan
aktivitas bakterisid yang cepat dan tergantung konsentrasinya pada
lokasi infeksi (dose-dependent).
Cara kerjanya adalah dengan membentuk ikatan ireversibel
dengan ribosom subunit 30 S yang menyebabkan inhibisi sintesis
protein dan kesalahan translasi protein. Terdapat 8 jenis
aminoglikosida yang disetujui di Amerika Serikat, yakni streptomisin,
kanamisin, amikasin, tobramisin, gentamisin, netilmisin, neomisin,
dan paromomisin.

4. Makrolid

Makrolid yang digunakan pada anak adalah eritromisin,


azitromisin, dan klartitromisin. Cara kerjanya adalah dengan
membentuk ikatan reversibel dengan ribosom subunit 50 S dan
menghambat sisntesis protein. Aktivitas antibakterialnya berupa
bakteriostatik, namun pada konsentrasi yang tinggi dapat menjadi
bakterisid terhadap bakteri yang aktif membelah.

5. Lain-lain

Kloramfenikol, bekerja dengan cara membentuk


ikatan reversibel dengan ribosom subunit 50 S
(menghambat sintesis protein) dan menghambat
enzim peptidil transferase sehingga bakteri tidak
dapat memperpanjang peptidanya. Kloramfenikol
bersifat bakteriostatik, namun dapat bersifat
bakterisid pada konsentrasi tinggi (terhadap
meningokokus dan H influenza).

Kolistin (sodium kolestimetat, polimiksin E), bekerja


dengan cara merusak membrane sitoplasma dengan
cara menggeser kalsium dan magnesium serta
berikatan dengan molekul lipopolisakarida. Yang
terjadi selanjutnya adalah gangguan permeabilitas
membran sel.

Fluorokuinolon, bekerja menghambat sintesis


asamdeoksirubonukleat (AND) dengan cara berikatan
dengan girase ADN dan topoisomerase IV.
Penggunannya pada anak terbatas karena
kemungkinan menginduksi kerusakan tulang rawan
yang menyebabkan artropati.

Linkosamid, memiliki cara kerja yang sama dengan


eritromisisn dan kloramfenikol. Antibiotika ini bersifat
bakteriosatatik, namun pada konsentrasi tinggi
bersifat bakterisid terhadap bakteri tertentu yang
rentan. Contoh golongan antibiotika ini adalah
klindamisin.

Linezolid, merupakan generasi pertama


oksazolidinon yang bekerja dengan cara
menghambat sistesis ribosom melalui ikatannnya
dengan ribosom ARN 23 S pada domain V.

Rifampisin, terdiri dari rifampisin dan rifabutin. Cara


kerjanya adalah dengan membentuk ikatan yang
kuat denagn DNA-dependent RNA polymerase.

Tetrasiklin, bersifat bakteriostatik dengan cara


membentuk ikatan reversible dengan ribosom
subunit 30 S dan menghambat sintesis protein.
Antibiotika golongan ini terdiri dari tetrasiklin,
oksitetrasiklin, dimeklosiklin, doksisiklin, dan
minosiklin.
G Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Antibiotika

G Hal berikut ini merupakan faktor-faktor penting yang memepengaruhi


pemilihan antibiotika:

Adakah indikasi pemberian antibiotik?

1 Indikasi pemberian antibiotik adalah kecurigaan kuat


terdapatnya infeksi bakterial.

G Hal ini harus didasarkan atas tanda dan gejala infeksi yang jelas, usia
pasien, riwayat penyakit pasien, serta ada atau tidaknya penyulit pada
11
pasien.

Apa organisme penyebab tersering dan resistensinya?

Secara umum, bakteri terbanyak penyebab infeksi pada


komunitas adalah bagian dari flora normal. Bakteri tersebut didapat
dari paparan oleh lain di komunitas.

Infeksi kulit dan jaringan lunak umumnya disebabkan oleh S


aureus atau streptokokus beta hemolitikus, sementara infeksi saluran
napas atas dan bawah umumnya disebabkan oleh S pneumonia dan H
influenza. Resistensi terhadap antibiotika dapat terjadi pada berbagai
bakteri. Data epidemiologi lokal merupakan kunci untuk menilai pola
2
prevalens dan resistensi di komunitas.

Kerentanan patogen spesifik terhadap antibiotika spesifik dapat

diukur dengan cara menilai konsentrasi antibiotika terendah yang


dapat menghambat pertumbuhan patogen. Inilah yang kita kenal

sebagai
minimum inhibitory concentration (MIC). Pola kerentanan ini
tidak sama pada satu jenis patogen tertentu, tetapi dipengaruhi oleh
wilayah, periode waktu, dan lokasi isolasi bakteri (darah, cairan telinga
2,3
tengah, cairan serebrospinal).

Metode lain untuk menilai kerentanan bakteri terhadap


antibiotika adalah minimum bactericidal concentration (MBC), yakni
konsentrasi antibiotika yang dibutuhkan yang dibutuhkan untuk
membunuh 99,9% bakteri setelah inkubasi 24 jam. Biasanya nilai MBC
3
sama atau kebanyakan 2 kali nilai MIC.

Pola resistensi berubah dari waktu ke waktu. Selama lebih dari 5 tahun
terdapat peningkatan community acquired methicillin resistance
Staphylococcus aureus. Bakteri ini resisten terhadap meticilin dan
antibiotika beta laktam lain karena terdapat perubahan pada penicillin-
binding protein 2a yang dihasilkan oleh gen mecA.

Munculnya pola resistensi seperti ini, menekankan pentingnya


mengambil biakan dan resistensi antibiotika terutama pada kasus yang
tidak menunjukkan respon terhadap antibiotika yang sebelumnya
2
dianggap efektif. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa resistensi
(pneumokokus terhadap -laktam) di komunitas dapat dikurangi
dengan membatasi penggunaan -laktam serta menggunakan dosis
10
yang lebih besar.

Bagaimana farmakodinamik antibiotik yang dipilih?

Farmakodinamik merupakan konsep penting dalam memprediksi


keberhasilan klinis dan mikrobiologis terapi antibiotika. Keberhasilan
antibiotika menghambat atau membunuh bakteri tergantung jenis
antibiotika dan patogen penyebab. Secara umum, efek antibiotika
berhubungan langsung dengan konsentrasi yang dicapai pada lokasi
infeksi (dose-dependent) dan lamanya kadar antibiotika efektif
bertahan pada lokasi infeksi (time- dependent).

Pada aminoglikosida dan fluorokuinolon, konsentrasi dan paparan


antibiotika yang lebih tinggi menghasilkan daya bunuh yang lebih
cepat. Paparan antibiotika berhubungan dengan total area di bawah
kurva yang didapat dengan membuat kurva kadar obat dalam darah
sejak awal pemberian hingga eliminasi.

Pada -laktam, makrolid, klindamisin, vankomisin, dan linezolid,


aktivitas optimal berhubungan dengan persentase lamanya kadar
antibiotika di atas MIC bertahan pada lokasi infeksi terhadap interval
dosis. Hal ini dikenal dengan percent-time-above-MIC. Aktivitas inhibisi
dapat dioptimalkan jika konsentrasi antibiotika di atas MIC pada lokasi
infeksi dapat bertahan lebih dari 40% interval dosis (contohnya untuk
2
interval 12 jam, kadar antibiotika harus bertahan lebih dari 4,8 jam).

Bagaimana farmakokinetik antibiotik yang dipilih?Panduan dosis


antibiotika biasanya berdasarkan atas uji klinis pada orang normal
yang sehat atau merupakan ekstrapolasi dari data pada dewasa.
Absorpsi, konsentrasi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi antibiotika
pada anak sakit yang mungkin mengalami gangguan fungsi organ
tidak dapat sepenuhnya diprediksi secara tepat. Varibilitas
farmokinetik antarpasien harus diantisipasi. Pemilihan bentuk dan
dosis obat harus mempertimbangkan bioavailabilitas, kepatuhan, rasa,
2
dan komplikasi yang mungkin menyertai pemberian obat.
Sebagian besar antibiotika -laktam yang diberikan secara oral
memiliki bioavailabilitas yang kurang baik, hanya sekitar 5-10%
bioavailabilitas jika diberikan secara parenteral. Sebaliknya kuinolon
dan oksazolidinon secara oral memiliki bioavailibalilitas yang
mendekati pemberian parenteral. Pemberian secara parenteral tidak
dipengaruhi oleh kepatuhan pasien, namun penggunaan kateter
intravena dapat menimbulkan komplikasi. Sementara itu terapi oral
memiliki komplikasi yang lebih kecil, namun sangat dipengaruhi
2
kepatuhan, absorpsi dan rasa.

Bagaimanakah keadaan host yang mempengaruhi terapi?

Faktor host mempengaruhi kemungkinan jenis bakteri yang


menjadi patogen, farmakokinetik, dan efek samping berbagai
antibiotika. Neonatus, terutama prematur, memiliki imunitas yang
belum matur dan kerusakan sawar mukosa dan kulit akibat
penggunaan ventilator dan kateter intravena.

Penggunaan dosis menjadi kompleks karena profil farmakokinetik


neonatus sangat berbeda dengan anak. Dosis per kilogram berat
badan yang digunakan pada neonatus lebih besar untuk
menkompensasi volume distribusi yang lebih luas, serta frekuensi yang
2
lebih jarang untuk mengkompensasi eksresi renal yang lebih lambat.

Terapi Antibiotik Deeskalasi

Bagaimana spektrum antibiotik yang dipilih?Terapi antibiotik de-


eskalasi adalah pemberian antibiotik spektrum luas dalam jangka
waktu pendek, kemudian diikuti oleh pemberian antibiotik dengan
spektrum sempit yang disesuaikan dengan hasil kultur. Pemberian
antibiotik dengan cara ini tidak menyebabkan pasien terkena efek
samping dari infeksi serius yang tidak tertangani atau komplikasi yang
berhubungan dengan penggunaan antibiotik spektrum luas jangka
panjang, yaitu berupa kemunculan organisme yang resisten terhadap
efek antibiotik atau infeksi baru.

Pendekatan ini biasanya digunakan saat menghadapi kondisi


yang membahayakan nyawa pasien , terutama pada infeksi yang
terjadi pada pasien-pasien yang dirawat dalam kondisi kritis, pasien
immunocompromised, dan pasien dengan risiko infeksi nosokomial.
Pemilihan antibiotik awal harus berdasarkan data pola kuman dan
11
resistensi setempat.

Monoterapi atau kombinasi?Terapi kombinasi yaitu penggunaan


dua atau lebih antibiotik diindikasikan pada pengobatan awal infeksi
berat yang penyebabnya belum diketahui, dicurigai terdapat beberapa
bakteria sebagai penyebab serta untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya resistensi dan toksisitas.
Jose Garnacho-Montero, Ana Escoresca-Ortega and Esperanza Ferna ndez-Delgado. Antibiotic de-escalation in
the ICU: how is it best done? Wolters Kluwer Health 2015

Apa risiko efek samping?Keamanan merupakan pertimbangan

utama dalam pemilihan antibiotika pada anak. Semua antibiotika

memiliki efek samping yang potensial dan klinisi harus mewaspadai hal

ini. Antibiotika -laktam terbukti paling aman pada anak. Makrolid,

aminoglikosida,
glikopeptida, sulfonamide, dan kuinolon memiliki
toksisitas bahkan beberapa dapat mempengaruhi metabolisme obat
2
lain.

Antibiotik deeskalasi ditoleransi dengan baik dan


direkomendasikan untuk pasien pasien dengan penyakit kritis dan
sepsis berat.
Dari data yang tersedia penggunaan antibiotic deeskalasi
menurunkan jumlah dan lama penggunaan antibiotik dan menurunkan
angka mortalitas. dan tidak lupa, kita juga memerlukan informasi akan
pasien pasien mana saja yang akan dihentikan penggunaan
antibiotiknya dan penghentian penggunaan terapi empirik bila ternyata
18
hasil kulturnya negatif.

Antibiotika yang memiliki efek samping yang lebih sering akan


dikonsumsi lebih jarang dengan durasi yang lebih pendek oleh pasien.
Oleh karena itu pemilihan antibiotika dengan efek samping terkecil
3
merupakan pilihan terbaik apabila efikasinya sama.

Apakah cost effective?Penggunaan antibiotik yang rasional tidak


saja memiliki keuntungan secara klinis bagi pasien, namun jiuga
memiliki keuntungan secara ekonomis. Pemilihan terapi antibiotik yang
tidak sesuai akan menyebabkan kegagalan terapi dan efek samping,
sehingga akan memperpanjang lama rawat di rumah sakit serta
11
meningkatkan biaya perawatan.

Pemantauan terapi antibiotik

Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan setelah antibiotik


diberikan: berapa lama antibiotik akan diberikan serta parameter klinis
dan laboratorium apa yang akan digunakan untuk memantau
12
efektivitas antibiotik.

Lama pengobatan antibiotika disesuaikan dengan


guidelines
terapi masing-masing penyakit. Masing-masing penyakit memiliki
durasi pemberian antibiotik yang berbeda- beda, meskipun
12
menggunakan antibiotik yang sama.
Misal: Kotrimoksazol pada diare enterotoksigenik diberikan
selama 5-7 hari, sedangkan pada sistitis akut diberikan selama 7-10
2
hari.

Parameter terbaik mengenai efektifitas antibiotik adalah dengan

mengukur kadar antibiotik pada lokasi infeksi. Hal ini sulit untuk

dilakukan sehingga digunakan parameter lain yang dianggap dapat

mewakili yaitu kadar obat dalam serum.13

Obat-obatan yang perlu dipantau adalah golongan aminoglikosida,


vankomisin dan kloramfenikol.

Terdapat empat hal yang mendukung untuk memantau konsentrasi


12
obat dalam serum, yaitu:

Indeks terapeutik obat yang sempit

Variasi pasien yang luas

Tidak mudah menetukan keberhasilan pengobatan secara farmakologik

Terdapat hubungan antara kadar obat dalam serum dengan efek


samping.

Selama terapi antibiotik selain respon klinis pasien, perlu


diperhatikan juga parameter laboratorium antara lain hitung leukosit,
urinalisis, prokalsitonin dan protein C-reaktif. penurunan salah satu
marker (prokalsitonin atau protein C-reaktif) tersebut menunjukkan
adekuat atau tidaknya terapi antimikroba serta keluaran pasien yang
14
lebih baik. Suatu penelitian multisenter pada orang dewasa
menghasilkan suatu rekomendasi penggunaan prokalsitonin sebagai
15
parameter untuk memulai atau meneruskan terapi antibiotik, yaitu:
Procalcitonin (ug/l) rekomendasi :

0,25 - 0,5 Pemberian antibiotik tidak disarankan atau penghentian


antibiotik disarankan

> 1 Pemberian antibiotik sangat disarankan atau mengganti


antibiotik sangat disarankan

< 0,25 Pemberian antibiotik sangat tidak disarankan atau


penghentian antibiotik sangat disarankan

0,5-1 Pemberian antibiotik atau meneruskan antibiotik disarankan

Kesimpulan

Keputusan memulai terapi antibiotika harus didasarkan pada


kecurigaan infeksi bakteri yang dibuktikan dengan biakan. Secara klinis
infeksi bakteri umumnya berupa demam tinggi lebih dari 3 hari disertai
tampilan anak yang tampak sakit berat ditunjang dengan penanda
infeksi bakteri seperti hitung jenis leukosit, protein C-reaktif, atau
prokalsitonin. Pemilihan antibiotika harus mempertimbangkan aspek
mikrobiologi, farmakodinamik, farmakokinetik, pejamu, dan efek
samping. Antibiotik deeskalasi ditoleransi dengan baik dan
direkomendasikan untuk pasien pasien dengan penyakit kritis dan
sepsis berat
DAFTAR PUSTAKA

1. Kozyrskyj AL, Dahl ME, Chateau DG, Mazowita GB, Klassen TP, Law BJ.
Evidence-based prescribing of antibiotics for children: role of socioeconomic
status and physician characteristics. CMAJ. 2004;171:139-45.

2. Pong AL, Bradley JS. Guidelines for the selection of antibacterial therapy in
children. Pediatr Clin N Am. 2005;52:869 894

3. Pichichero ME. Evaluating the need, timing and best choice of antibiotic
therapy for acute otitis media and tonsillopharyngitis infections in children .
Pediatr Infect Dis J, 2000;19:S131-40

4. Simon L, Gauvin F, Amre DK, dkk. Serum Procalcitonin and C-Reactive Protein
Levels as Markers of Bacterial Infection: A Systematic Review and Meta-
analysis. Clinical Infectious Disease. 39:206-17, 2004.
5. Kofteridis DP, Samonis G, Karatzanis AD, dkk. C-Reactive Protein and Serum
Procalcitonin Levels as Markers of Bacterial Upper Respiratory Tract
Infections. Am. J. Infect. Dis., 2009 5(4): 282-287.

6. Jimenez AJ, Reyes MJ, Miguel RO, dkk. Utility of Procalcitonin and C-Reactive
Protein in The Septic Patient in The Emergency Departement. Emergencias.
2009; 21:23-7.

7. El-Radhi A.S, Caroll J, Klein N, Walsh A. Management of Fever. Dalam: El-Radhi


A.S, Caroll J, Klein N, penyunting. Clinical Manual of Fever in Children. Berlin:
Springer. 2009. h.223-48.

8. Schleiss MR. Principles of Antibacterial Therapy. Dalam: Kliegman RM,


Behrman RE, Jenson HB, stanton BF, penyunting. Nelson Textbook of
Pediatrics, Edisi ke 18. Philadelphia: Elsevier. 2007. h.1110-22.

9. Feverish Illness in Children, assessment and initial management in children


younger than 5 years. National Institute for Health and Clinical Excelence. Mei
2007.

10. Michelow IC,McCracken Jr GH. Antibacterial therapeutic agents. Dalam: Feigin


R, Cherry J, Demmler-Harrison G, Kaplan S, editor. Textbook of pediatric
infectious disease. Edisi 6. Philadelphia;Saunders Elsevier:2009.

11. National Antibiotic Guidelines. Ministry of Health Malaysia. 2008.

12. Opatowski L, Mandel J, Varon E, Bolle PY, Temime L, Guillemot D. Antibiotic


dose impact on resistance selection in the community: a mathematical model
of -lactams and Streptococcus pneumoniae dynamics. Antimicrobial Agents
and Chemotherapy. 2010;54:2330-7

13. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan
Pediatri Tropis, Edisi kedua. Jakarta: IDAI. 2008. H.66-82.

14. Schleiss MR. Principles of Antibacterial Therapy. Dalam: Kliegman RM,


Behrman RE, Jenson HB, stanton BF, penyunting. Nelson Textbook of
Pediatrics, Edisi ke 18. Philadelphia: Elsevier. 2007. h.1110-22.

15. Seligman R, Meisner M, Lisboa TC, Hertz FT, Filippin TB. Decreases in
Procalcitonin and C-Reactive Protein are Strong Predictors of Survival in
Ventilator-Associated Pneumonia. Critical Care, 2006: 125.

16. Bouadma L, dkk. Use of Procalcitonin to Reduce Patients Exposure To


Antibiotics in Intensive Care Units: A multicentre randomised controlle trial.
Lancet 2010; 375: 463.

17. Sun HY, Chen YC, Wang YW, Gau CS, Chang SC. A prospective study of
antimicrobial- related adverse drug reactions in hospitalized patients. J
Microbiol Immunol Infect. 2008; 41:151-9

18. Jose Garnacho-Montero, Ana Escoresca-Ortega and Esperanza Ferna


ndez-Delgado. Antibiotic de-escalation in the ICU: how is it best done?
Wolters Kluwer Health 2015

Anda mungkin juga menyukai