Latar Belakang
Latar Belakang
Pajak merupakan kewajiban kenegaraan yang menunjukan peran seta dari seluruh
masyarakat dalam pembiayaan pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan dan
pembangunan. Pajak telah terbukti menjadi sumber utama dalam APBN Indonesia yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembiayaan pengeluaran negara
yang bersumber dari pajak menunjukan adanya kemandirian bangsa untuk mencapai cita-cita
luhur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pajak pada dasarnya merupakan peralihan sebagian kekayaan dari masyarakat kepada
negara yang dimungkinkan oleh undang-undang pajak. Peralihan kekayaan tersebut membuat
pajak dipandang dari dua sisi yang berbeda. Bagi masyarakat seringkali pajak dinggap
sebagai beban. Di sisi lain bagi pemerintah dan fiskus pajak harus dipungut karena terbukti
pajak memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan pajak, baik dengan
usaha intensifikasi maupun ekstensifikasi pajak.
Dalam pengenaan dan pemungutan pajak, satu hal yang mendasar dan harus diketahui
adalah dasar pengenaan pajak. Apa yang menjadi dasar pengenaan pajak disesuaikan dengan
jenis pajak yang akan ditanggung oleh seorang wajib pajak. Biasanya apa yang mnejadi dasar
pengenaan pajak diatur dalam hukum pajak material. Sesuai dengan Pasal 1 angka 17
Undang-Undang PPN dan PPnBM, dasar pengenaan pajak adalah jumlah harga jual,
penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai yang lain yang dipakai sebagai dasar
menghitung pajak terutang.
Pemungutan pajak di Indonesia berasal dari kesepakatan rakyat dan pemerintah, yang
dituangkan dalam berbagai undang-undang pajak. Hal ini melahirkan adanya hukum pajak di
Indonesia.
1. Konsep Dasar PPN dan PPnBM
A. Pengertian PPN dan PPnBM
Pengertian PPN dan PPnBM
Pajak pertanbahan nilai atas barang dan jasa adalah pajak yang dikenakan atas
penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean Indonesia yang dilakukan oleh
pengusaha, impor barang kena pajak, penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean
Indonesia yang dilakukan oleh pengusaha, pemanfaatan barang kena pajak tidak terwujud
dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean Indonesia, pemanfaatan jasa kena pajak dari
luar daerah pabean di dalam daerah pabean Indonesia, atau ekspor barang kena pajak oleh
pengusaha kena pajak.
PPN secara efektif mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 April 1985, walaupun
berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 dinyatakan berlaku pada
tanggal 1 Januari 1984.
PPN ditetapkan dengan Undang- undang Nomor 18 Tahun 2000 merupakan pajak yang
dikenakan terhadap pertambahan nilai (value added) yang timbul akibat dipakainya faktor-
faktor produksi di setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan,
dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen.
Semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba termasuk bunga modal, sewa
tanah, upah kerja, dan laba perusahaan adalah merupakan unsure nilai tambah. Jadi nilai
tambah dapat diperoleh dalam kegiatan industri maupun perdagangan, bukan diperoleh dari
perubahan bentuk atau sifat barang.
Nilai tambah dapat dirumuskan sebagai hasil penjumlahan unsur-unsur biaya dan laba
dalam proses produksi atau distribusi barang atau jasa. Dalam dunia perdagangan nilai
tambah dapat diketahui dari pengurangan harga jual dengan harga beli.
Pajak pertambahan nilai ditetapkan untuk mengganti peranan pajak penjualan, karena
PPN tidak mengenal pengenaan pajak berganda. Hal ini dikarenakan jumlah PPN yang
disetor kepada negara adalah selisih lebih antara PPN yang dipungut PKP dengan PPN yang
dibayar ke PKP pada waktu membeli barang atau jasa. Selisih tersebut yang disetor ke kas
negara adalah pajak yang dikenakan atas nilai tambah.
Pajak pertambahan nilai yang lebih menunjukan sebagai identitas dari suatu sistem
pemungutan pajak atas konsumsi daripada nama suatu jenis pajak, mengenakan pajak atas
nilai tambah yang timbul pada barang atau jasa tertentu yang dikonsumsi. Namun sebelum
barang atau jasa tersebut sampai pada tingkat konsumen, PPN telah dikenakan pada setiap
mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Meskipun demikian, pemungutan pajak
secara bertingkat ini tidak menimbulkan efek ganda karena adanya metode perolehan kembali
pajak yang telah dibayar (kredit bayar) oleh Pengusaha Kena Pajak sehingga persentase
beban pajak yang dipikul oleh konsumen tetap sama dengan tarif pajak yang berlaku. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa panjang pendek jalur produksi atau distribusi tidak
mempengaruhi persentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen.
Dengan mengenakan PPN atas nilai tambah dari Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
yang diserahkna oleh Pengusaha Kena Pajak maka kekhawatiran timbul efek pengenaan
pajak berganda dapat dihindarkan. Adapun yang dimaksud dengan nilai tambah adalah suatu
nilai yang merupakan hasil penjumlahan biaya produksi atau distribusi yang meliputi
penyusutan, bunga modal, gaji, upah, sewa telepon, listrik serta pengeluaran lainnya dan laba
yang diharapkan oleh pengusaha. Secara sederhana, nilai tambah di bidang perdagangan
dapat juga diartikan sebagai selisih antara harga jual dengan harga beli barang dagangan.
Pajak penjualan atas barang mewah merupakan pajak yang dikenakan atas penyerahan
barang kena pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan
barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah pabean Indonesia dalam
usaha atau pekerjaannya dan impor barang yang tergolong mewah. Sebelum beranjak lebih
jauh kita harus terlebih dahulu memahami istilah impor.
Istilah impor didefinisikan dalam UU PPN 1984 adalah semua kegiatan memasukan
barang ke dalam daerah pabean. Definisi ini menunjukan bahwa kegiatan memasukan barang
dari pelabuhan bebas atau bonded area ke daerah pabean adalah pula termasuk pemgertian
impor. Demikian pula kegiatan memasukan barang dari luar negeri ke pelabuhan bebas atau
bonded area adalah bukan termasuk pengertian impor. Berarti pula istilah impor adalah
semua kegiatan yang memasukan barang dari luar negeri ke daerah Republik Indonesia,
kecuali Pelabuhan Bebas.
Namun, sesuai dengan sifat pajak pertambahan nilai sebagai pajak untuk konsumsi dalam
negeri maka dari kedua kegiatan tersebut hanya kegiatan impor yang terhutang Pajak
Pertambahan Nilai. Terhadap kegiatan ekspor, meskipun pada dasarnya tidak terhutang pajak
pertambahan nilai, namun sebagai sarana untuk menopang kegiatan ekspor maka atas ekspor
tersebut dikenakan pajak pertambahan nilai dengan tarif 0%, sehingga eksportir yang telah
memilih menjadi PKP dapat mengkreditkan pajak masukannya.
Kembali pada bahasan tentang PPnBM. PPnBM merupakan pungutan tambahan di
samping PPN. PPnBM hanya dikenakan satu kali, yaitu pada saat impor atau pada saat
penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha kena pajak pabrikan.
Penyerahan berikutnya tidak lagi dikenakan PPnBM. Hal ini membuat PPnBM tidak dapat
dikreditkan, sehingga diperlakukan sebagai biaya. Dengan demikian pembayaran PPnBM
oleh pengusaha kena pajak yang menerima penyerahan atau yang melakukan impor barang
kena pajak yang tergolong mewah dapat dimasukan ke dalam harga jual barang tersebut.
Dalam hal barang kena pajak yang tergolong mewah diekspor, maka PPnBM yang telah
dibayar pada saat perolehannya dapat diminta kembali atau direstitusi oleh wajib pajak.
Pengenaan PPnBM atas impor barang kena pajak yang tergolong mewah tidak
memperhatikan siapa yang mengimpor barang kena pajak tersebut serta tidak memperhatikan
apakah impor tersebut dilakukan secara terus-menerus atau hanya sekali saja. Selain itu,
pengenaan PPnBM terhadap suatu penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah
tidak memperhatikan apakah suatu bagian dari bagian dari barang kena pajak tersebut telah
dikenakan atau tidak dikenakan PPnBM pada transaksi sebelumnya.
Dari uraian di atas tampak bahwa walaupun yang membayar PPnBM adalah pengusaha
kena pajak yang menerima penyerahan ataupun pihak yang melakukan impor kena pajak
yang tergolong mewah sebenarnya pada akhirnya bukan mereka yang menanggung beban
pajak tersebut. Karena PPnBM yang terutang tersebut pada akhirnya dimasukan sebagai
unsur biaya yang menambah harga barang maka yang menanggung beban pajak tersebut pada
akhirnya adalah konsumen terakhir. Karena pembebanan pajak yang dapat digeserkan kepada
pihak lain merupakan cirri dari pajak tidak langsung maka PPnBM mrupakan salah satu jenis
pajak tidak langsung yang saat ini diberlakukan di Indonesia.
Adapun penjelasan dari karakteristik dan jiwa PPN dan PPnBM yaitu seperti berikut ini.
1. PPN merupakan pajak tidak langsung.
Konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul beban pajak dengan penanggung jawab atas
pembayaran pajak berada pada pihak yang berbeda.
Pemikul beban pajak ini secara nyata berkedudukan sebagai pembeli barang kena pajak atau
penerima jasa kena pajak. Sedangkan penanggung jawab atas pembayaran pajak adalah
pengusaha kena pajak yang bertindak selaku penjual barang kena pajak atau pengusaha kena
pajak. Sudut pandang ekonomi, beban pajak dialihkan kepada pihak lain, yaitu pihak yang
akan mengkonsumsi barang atau jasa kena pajak.
Sudut pandang yuridis ini membawa konsekuensi filosofi bahwa dalam pajak tidka langsung
apabila pembeli atau penerima jasa telah membayar pajak yang terutang kepada penjual atau
pengusaha jasa, pada hakikatnya sama dengan telah membayar pajak tersebut kepada kas
negara.
2. PPN sebagai pajak objektif.
Pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh
faktor objektif, yaitu adanya keadaan atau peristiwa. Timbulnya kewajiban untuk membayar
PPN ditentukan oleh objek pajak. Kondisi subjek pajak tidak menentukan. PPN tidak
membedakan antara konsumen berupa orang atau badan, antara konsumen yang
berpenghasilan tinggi dengan konsumen yang berpenghasilan rendah. Sepanjang mereka
mengkonsumsi barang atau jasa dari jenis yang sama, mereka diperlakukan sama.
3. Multi stage tax.
PPN dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi dan distribusi. Setiap penyerahan
barang yang menjadi objek PPN mulai dari tingkat manufaktur sampai dengan konsumen
akhir dikenakan PPN.
4. PPN terutang dibayar ke kas negara dihitung menggunakan Indirect Substraction Method/
Credit Method/ Invoice Method.
Pajak yang dipungut PKP tidak otomatis wajib dibayar ke kas negara. PPN terutang yang
wajib dibayar ke kas negara merupakan hasil perhitungan mengurangkan PPN yang dibayar
ke PKP lain (pajak masukan) dengan PPN yang dipungut dari pembeli (pajak keluaran). Pola
ini dinamakan Indirect Substraction Method.
Pajak yang dikurangkan dengan pajak untuk memperoleh jumlah pajak yang akan dibaya ke
kas negara dinamakan Tax Credit. Maka pola ini juga dinamakan Credit Method.
Untuk mendeteksi jumlah kebenaran jumlah pajak masukan dan pajak keluaran yang terlibat
dalam mekanisme ini dibutuhkan suatu dokumen penunjang sebagai alat bukti, dokumen
tersebut adalah faktur pajak sehingga metode ini juga dinamakan metode faktur.
5. PPN adalah pajak atas konsumsi umum dalam negeri.
PPN hanya dikenakan atas konsumsi barang kena pajak dan jasa kena pajak yang dilakukan
di dalam negeri.
6. PPN bersifat netral.
Netralitas PPN dibentuk oleh faktor PPN dikenakan atas konsumsi barang dan jasa, serta
faktor dalam pemungutannya PPN menganut prinsip tempat tujuan.
Prinsip tempat tujuan PPN dipungut di tempat barang atau jasa dikonsumsi.komoditi impor
akan menanggung beban pajak yang sama denga produksi barang dalam negeri. Kompetisi
antara produk impor dnegan produk domestic tidka dipengaruhi oleh PPN.
7. Tidak menimbulkan dampak pengenaan pajak berganda.
PPN dipungut atas nilai tambah saja. PPN yang dibayar kepada pemasok pada mata rantai
sebelumnya dapat diperhitungkan dengan PPN yang dipungut dari mata rantai jalur distribusi
berikutnya.
2. DASAR HUKUM
a. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 yang tetap dinamakan
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18
Tahun 2000.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang
Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak
yang Tergolong Mewah yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor
12 Tahun 2006.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 tentang Impor dan atau Penyerahan
Barang Kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang
Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003.
f. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan
Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007.
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan BKP atau JKP meliputi baik Pengusaha
yang telah dikukuhkan menjadi PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun
Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi PKP, tetapi belum dikukuhkan. Dengan
demikian, jika ada pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai PKP namun tidak
melaporkan usahanya maka dapat dikukuhkan secara jabatan.
Penyerahan yang dikenai PPN harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (Penjelasan
pasal 4 ayat (1) huruf a dan c)
syarat tersebut sifatnya kumulatif sehingga bila ada satu atau lebih syarat tersebut tidak
terpenuhi maka atas penyerahan tersebut tidak dikenai PPN
BKP adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang
bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-undang ini.
Semua barang adalah BKP dan dikenai PPN kecuali jenis barang yang tidak dikenai PPN
yang tercantum dalam Pasal 4A ayat (2) UU PPN.
JKP adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan
hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk
dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau
permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan, yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-undang ini.
Semua jasa adalah JKP dan dikenai PPN kecuali jasa yang tidak dikenai PPN yang tercantum
dalam Pasal 4A ayat (3) UU PPN.
Yang termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah: Pasal 1A ayat (1) UU Nomor 42
Tahun 2009
2. pengalihan BKP oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna
usaha (leasing);
5. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
6. penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar
cabang;
8. penyerahan BKP oleh PKP dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah,yang penyerahannya dianggap langsung dari PKP kepada
pihak yang membutuhkan BKP.
Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah: (pasal 1a angka 1)
3. Penyerahan BKP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f dalam hal PKP
melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
o Dalam hal PKP mempunyai lebih dari satu tempat kegiatan usaha, baik
sebagai pusat maupun cabang perusahaan, dan PKP tersebut telah
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak,
pemindahan BKPdari satu tempat kegiatan usaha ke tempat kegiatan usaha
lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya atau antar cabang) dianggap tidak
termasuk dalam pengertian penyerahan BKP, kecuali pemindahan BKP antar
tempat pajak terutang.
5. BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang
masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas
perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 9 ayat (8)
huruf b dan huruf c.
6. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, yang Pajak
Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(8) huruf b dan/atau aktiva berupa kendaraan bermotor sedan dan station wagon, yang
Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c, tidak termasuk dalam pengertian Penyerahan BKP.
Pengusaha Kena Pajak, sering disebut PKP adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) 1984 dan perubahannya, tidak termasuk
Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali
Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Sedangkan Pengusaha dapat didefinisikan sebagai orang pribadi atau badan dalam bentuk
apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor
barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar
Daerah Pabean.
Pengertian Faktur Pajak
Bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena
Pajak kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.
Faktur Pajak
Yaitu Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak untuk
setiap penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
Yaitu Faktur Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang meliputi
seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak
dan atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan
kalender.
A. Pengantar
d. Merupakan pajak atas konsumsi dalam negeri. Oleh karena itu salah
satu syarat dikenakannya PPN atas suatu transaksi adalah bahwa
BKP/JKP dikonsumsi di dalam Daerah Pabean. Hal inilah yang
mendasari pengenaan PPN dengan tarif 0% atas kegiatan ekspor
sedangkan untuk kegiatan impor tetap dikenakan PPN 10%.
2. Dasar Hukum
3. Istilah Umum
h. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap
kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean.
r. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan
Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak.
v. Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau
seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang
membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena
Pajak tersebut.
B. Objek Pajak
kelompok wangi-wangian;
C. Tarif Pajak
b. Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak adalah
0% (nol persen).
a. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10%
(sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti
pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana;
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur
Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (5);
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak
Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak
Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu
dilakukan pemeriksaan.
Pajak keluaran ialah pajak yang dikenakan ketika subjek pajak melakukan penjualan terhadap
barang kena pajak (BKP) dan atau jasa kena pajak (JKP) yang tergolong dalam barang
mewah. Sebagai salah satu jenis pajak, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) seringkali disebut
sebagai pajak objektif. Pada PPN, hal yang pertama kali ditekankan adalah objek pajak yang
akan dikenakan. Kemudian, subjek pajak yang terkena. Misalnya, barang-barang mewah,
kendaraan mewah, dan sebagainya. Yang pertama dikenakan adalah tarif pada tiap-tiap
barang tersebut. Kemudian, barulah wajib pajak pengonsumsi barang tersebut yang dikenai
beban pajaknya sehingga wajib pajak tersebut disebut sebagai subjek pajak.
Dalam pengenaan pajak terhadap subjek pajak tersebut, terdapat dua kategori. Yaitu, pajak
keluaran dan pajak masukan. Dalam hal ini, subjek pajak yang dimaksud adalah pengusaha
kena pajak (PKP) yang melakukan transaksi jual beli barang. Artinya, PKP mengambil atau
memungut rupiah yang dihasilkan dari penjualan barang kena pajak (BKP) miliknya yang
dibeli konsumen. Kemudian, nantinya dapat berfungsi menjadi kredit atau pengurang pajak.
Menjadi kredit atau pengurang pajak karena sebelumnya sang PKP telah dikenai tarif pajak
yang sama atas pembelian barang tersebut yang d kemudian hari dijual olehnya. Jadi, PPN
dalam hal ini hanya terjadi pelimpahan beban.
Adapun batas waktu untuk melakukan pengkreditan pajak keluaran tersebut adalah tiga bulan
setelah masa pajak berakhir sehingga PKP memiliki waktu yang cukup leluasa untuk
melakukan pengkreditan pajaknya.
Pajak masukan adalah pajak yang dikenakan ketika Pengusaha Kena Pajak melakukan
pembelian terhadap barang kena pajak atau jasa kena pajak. Pengusaha Kena Pajak, sering
disebut PKP adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai (UU PPN) 1984 dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang
batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang
memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Tata cara umum Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pengusaha kena pajak mengurangkan
atau mengkreditkan pajak masukan dalam suatu masa dengan pajak keluaran dalam masa
pajak yang sama. Apabila dalam masa pajak tersebut lebih besar pajak keluaran, kelebihan
pajak keluaran harus disetorkan ke kas negara. Sebaliknya, apabila dalam masa pajak tersebut
pajak masukan lebih besar dari pajak keluaran, kelebihan pajak masukan dapat
dikompensasikan ke masa pajak berikutnya atau dimintakan restitusi. Dalam tata cara umum
tersebut, jumlah yang harus dibayarkan oleh pengusaha kena pajak berubah-ubah sesuai
dengan pajak masukan yang dibayarkan dan pajak keluaran yang dipungut dalam suatu masa
pajak.
1. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk
Masa Pajak yang sama. (Pasal 9 ayat 2 UU PPN).
2. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya
paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan
sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan. (Pasal
9 ayat 9 UU PPN).
3. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan
penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor
barang modal dapat dikreditkan. (Pasal 9 ayat 2a UU PPN).
4. Barang modal adalah harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan termasuk pengeluaran
yang dikapitalisasikan ke barang modal tersebut. (PP 1/2012).
5. Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9). (Pasal 9 ayat
2a UU PPN).
6. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan / atau JKP harus dikreditkan
dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. Contoh : alamat
di FP sama dg alamat di SK pengukuhan. Dalam hal impor BKP, DJP karena jabatan
atau berdasarkan permohonan tertulis dari PKP dapat menentukan tempat lain selain
tempat dilakukannya impor BKP sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan. (PM
dikreditkan di tempat PKP dikukuhkan, Dikukuhkan di beberapa tempat maka dapat
memilih). (PP 1/2012).
7. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak
Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh
Pengusaha Kena Pajak. Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena
Pajak harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa
Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir
bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak. (Pasal 9 ayat 3 UU PPN).
8. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar
daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang
dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya (Pasal 9 ayat 4 UU PPN).
9. Atas kelebihan Pajak Masukan tsb dapat diajukan permohonan pengembalian pada
akhir tahun buku. Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan ini
adalah Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan pengakhiran usaha (bubar). (Pasal 9
ayat 4a UU PPN).
Wapu PPN
Wapu PPN adalah istilah yang digunakan oleh praktisi pajak untuk menyebut badan atau
instansi tertentu yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN/PPn-BM.
Pemungt PPN (Wapu PPN) yang dimaksud di sini adalah Bendaharawan Pemerintah (Pusat
maupun Daerah) dan Kantor Pelayanan Perbendaraan Kontraktor Pertambangan Migas dan
Panas Bumi (lihat PMK 73/PMK.03/2010). Badan/instansi ini ditunjuk menjadi Wapu
PPN/PPn-BM dan wajib memungut, menyetor dan melaporkan Pajak Masukan atas
pembelian/perolehan BKP maupun JKP dari para rekanan atau supplier mereka.
c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan secara
mingguan selambat-lambatnya 7 hari setelah batas waktu penyetoran
pajak berakhir.
4. Untuk penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN
dan PPn BM dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa
dan disampaikan kepada KPP setempat selambat-lambatnya 20 hari
setelah Masa Pajak berakhir.
Catatan :
Apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka
pelaporan harus dilaksanakan pada hari kerja sebelum tanggal jatuh
tempo.
2. Harga jual kendaraan bermotor Rp 500.000.000,- (termasuk PPN 10% dan PPnBM 20%).
Uang muka diterima pada tanggal 10 Agustus 2009 sebesar Rp 200.000.000,-
Kendaraan akan diserahkan tanggal 20 September 2009 dengan kekurangan bayar sebesar Rp
300.000.000,-
Jawab:
PPN dan PPnBM teutang dan harus dipungut:
a. Pada saat diterima uang muka tanggal 10 Agustus 2009 PPN yang terutang= 10/30 x
200.000.000,- = Rp 14.000.000,- dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPN bulan Agustus
2009. PPnBM yang terutang 20/30 x Rp 200.000.000,- = 30.000.000,- dan harus dilaporkan
pada SPT Masa PPnBM bulan Agustus 2009.
b. PPN yang terutang = 10/30 x Rp 300.000.000,- = Rp 21.000.000,- dan harus dilaporkan
pada SPT Masa PPN bulan September 2009.PPnBM yang terutang 20/130 x Rp
300.000.000,- = Rp 45.000.000,- dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPnBM bulan
Agustus 2009.
Apa saja yang wajib disetor oleh PKP dan pemungut PPN & PPnBM
1. Oleh PKP adalah :
a. PPN yang dihitung sendiri melalui pengkreditan Pajak Masukan dan Pajak
Keluaran.Yang disetor adalah selisih Pajak Masukan dan Pajak Keluaran, bila Pajak
Masukan lebih kecil dari Pajak Keluaran.
b. PPn BM yang dipungut oleh PKP Pabrikan Barang Kena Pajak (BKP) yang
tergolong mewah.
c. PPN/ PPn BM yang ditetapkan oleh DJP dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan
Surat Tagihan Pajak (STP).
2. Oleh Pemungut PPN/PPn BM adalah PPN/PPn BM yang dipungut oleh Pemungut
PPN/ PPn BM
Contoh : Masa Pajak Januari 1996, penyetoran paling lambat tanggal 15 Pebruari
1996.
2. PPN dan PPn BM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus
dibayar/ disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan
STP tersebut.
3. PPN/ PPn BM atas Impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran
Bea Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/ dibebaskan, harus
dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Impor.
4. PPN/PPn BM yang pemungutannya dilakukan oleh:
a. Bendaharawan Pemerintah, harus disetor selambat-lambatnya tanggal 7 bulan
takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b. Pemungut PPN selain Bendaharawan Pemerintah, harus disetor selambat-
lambatnya tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN/ PPn BM atas Impor,
harus menyetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan.
5. PPN dari penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik
(BULOG), harus dilunasi sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah Pengeluaran
Barang (D.O) ditebus.
Catatan:
Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur, maka pembayaran
harus dilaksanakan pada hari kerja berikutnya.
Yang melatarbelakangi sistem kredit pajak adalah upaya untuk menghindari pengenaan
pajak berganda, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai bahwa sasaran pengenaannya adalah pertambahan nilai. Sedangkan
untuk menghitung besarnya pertambahan nilai untuk setiap unit produksi adalah sulit
sekali. Oleh karena itu, untuk memudahkan (menyederhanakan) cara perhitungan
pajaknya maka ditetapkan harga jual sebagai dasar pengenaan, dengan ketentuan bahwa
PPN yang terutang dan telah dibayar sewaktu membeli Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak dikreditkan dari PPN yang akan dibayar sewaktu melakukan penjualan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
Meskipun demikian, agar tercegah adanya pengkreditan pajak yang tidak semestinya,
maka tidak setiap pajak masukan dapat dikreditkan, melainkan terbatas yang telah
memenuhi persyaratan.
3. tidak kurang bayar dan tidak terjadi kelebihan pembayaran PPN, dalam Pajak
Keluaran sama dengan Pajak Masukan.
Daftar Pustaka
http://air3warna.blogspot.co.id/2012/11/makalah-hukum-pajak-ppn-dan-
ppnbm.html
http://yoga%20nitip/pajak/sap%2011/syarat-penyerahan-barang-terutang-ppn.htm
http://dudiwahyudi.com/pajak/pajak-pertambahan-nilai/tarif-dan-dasar-pengenaan-ppn.html