Anda di halaman 1dari 45

Latar Belakang

Pajak merupakan kewajiban kenegaraan yang menunjukan peran seta dari seluruh
masyarakat dalam pembiayaan pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan dan
pembangunan. Pajak telah terbukti menjadi sumber utama dalam APBN Indonesia yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembiayaan pengeluaran negara
yang bersumber dari pajak menunjukan adanya kemandirian bangsa untuk mencapai cita-cita
luhur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pajak pada dasarnya merupakan peralihan sebagian kekayaan dari masyarakat kepada
negara yang dimungkinkan oleh undang-undang pajak. Peralihan kekayaan tersebut membuat
pajak dipandang dari dua sisi yang berbeda. Bagi masyarakat seringkali pajak dinggap
sebagai beban. Di sisi lain bagi pemerintah dan fiskus pajak harus dipungut karena terbukti
pajak memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan pajak, baik dengan
usaha intensifikasi maupun ekstensifikasi pajak.
Dalam pengenaan dan pemungutan pajak, satu hal yang mendasar dan harus diketahui
adalah dasar pengenaan pajak. Apa yang menjadi dasar pengenaan pajak disesuaikan dengan
jenis pajak yang akan ditanggung oleh seorang wajib pajak. Biasanya apa yang mnejadi dasar
pengenaan pajak diatur dalam hukum pajak material. Sesuai dengan Pasal 1 angka 17
Undang-Undang PPN dan PPnBM, dasar pengenaan pajak adalah jumlah harga jual,
penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai yang lain yang dipakai sebagai dasar
menghitung pajak terutang.
Pemungutan pajak di Indonesia berasal dari kesepakatan rakyat dan pemerintah, yang
dituangkan dalam berbagai undang-undang pajak. Hal ini melahirkan adanya hukum pajak di
Indonesia.
1. Konsep Dasar PPN dan PPnBM
A. Pengertian PPN dan PPnBM
Pengertian PPN dan PPnBM
Pajak pertanbahan nilai atas barang dan jasa adalah pajak yang dikenakan atas
penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean Indonesia yang dilakukan oleh
pengusaha, impor barang kena pajak, penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean
Indonesia yang dilakukan oleh pengusaha, pemanfaatan barang kena pajak tidak terwujud
dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean Indonesia, pemanfaatan jasa kena pajak dari
luar daerah pabean di dalam daerah pabean Indonesia, atau ekspor barang kena pajak oleh
pengusaha kena pajak.
PPN secara efektif mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 April 1985, walaupun
berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 dinyatakan berlaku pada
tanggal 1 Januari 1984.
PPN ditetapkan dengan Undang- undang Nomor 18 Tahun 2000 merupakan pajak yang
dikenakan terhadap pertambahan nilai (value added) yang timbul akibat dipakainya faktor-
faktor produksi di setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan,
dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen.
Semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba termasuk bunga modal, sewa
tanah, upah kerja, dan laba perusahaan adalah merupakan unsure nilai tambah. Jadi nilai
tambah dapat diperoleh dalam kegiatan industri maupun perdagangan, bukan diperoleh dari
perubahan bentuk atau sifat barang.
Nilai tambah dapat dirumuskan sebagai hasil penjumlahan unsur-unsur biaya dan laba
dalam proses produksi atau distribusi barang atau jasa. Dalam dunia perdagangan nilai
tambah dapat diketahui dari pengurangan harga jual dengan harga beli.
Pajak pertambahan nilai ditetapkan untuk mengganti peranan pajak penjualan, karena
PPN tidak mengenal pengenaan pajak berganda. Hal ini dikarenakan jumlah PPN yang
disetor kepada negara adalah selisih lebih antara PPN yang dipungut PKP dengan PPN yang
dibayar ke PKP pada waktu membeli barang atau jasa. Selisih tersebut yang disetor ke kas
negara adalah pajak yang dikenakan atas nilai tambah.
Pajak pertambahan nilai yang lebih menunjukan sebagai identitas dari suatu sistem
pemungutan pajak atas konsumsi daripada nama suatu jenis pajak, mengenakan pajak atas
nilai tambah yang timbul pada barang atau jasa tertentu yang dikonsumsi. Namun sebelum
barang atau jasa tersebut sampai pada tingkat konsumen, PPN telah dikenakan pada setiap
mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Meskipun demikian, pemungutan pajak
secara bertingkat ini tidak menimbulkan efek ganda karena adanya metode perolehan kembali
pajak yang telah dibayar (kredit bayar) oleh Pengusaha Kena Pajak sehingga persentase
beban pajak yang dipikul oleh konsumen tetap sama dengan tarif pajak yang berlaku. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa panjang pendek jalur produksi atau distribusi tidak
mempengaruhi persentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen.
Dengan mengenakan PPN atas nilai tambah dari Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
yang diserahkna oleh Pengusaha Kena Pajak maka kekhawatiran timbul efek pengenaan
pajak berganda dapat dihindarkan. Adapun yang dimaksud dengan nilai tambah adalah suatu
nilai yang merupakan hasil penjumlahan biaya produksi atau distribusi yang meliputi
penyusutan, bunga modal, gaji, upah, sewa telepon, listrik serta pengeluaran lainnya dan laba
yang diharapkan oleh pengusaha. Secara sederhana, nilai tambah di bidang perdagangan
dapat juga diartikan sebagai selisih antara harga jual dengan harga beli barang dagangan.
Pajak penjualan atas barang mewah merupakan pajak yang dikenakan atas penyerahan
barang kena pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan
barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah pabean Indonesia dalam
usaha atau pekerjaannya dan impor barang yang tergolong mewah. Sebelum beranjak lebih
jauh kita harus terlebih dahulu memahami istilah impor.
Istilah impor didefinisikan dalam UU PPN 1984 adalah semua kegiatan memasukan
barang ke dalam daerah pabean. Definisi ini menunjukan bahwa kegiatan memasukan barang
dari pelabuhan bebas atau bonded area ke daerah pabean adalah pula termasuk pemgertian
impor. Demikian pula kegiatan memasukan barang dari luar negeri ke pelabuhan bebas atau
bonded area adalah bukan termasuk pengertian impor. Berarti pula istilah impor adalah
semua kegiatan yang memasukan barang dari luar negeri ke daerah Republik Indonesia,
kecuali Pelabuhan Bebas.
Namun, sesuai dengan sifat pajak pertambahan nilai sebagai pajak untuk konsumsi dalam
negeri maka dari kedua kegiatan tersebut hanya kegiatan impor yang terhutang Pajak
Pertambahan Nilai. Terhadap kegiatan ekspor, meskipun pada dasarnya tidak terhutang pajak
pertambahan nilai, namun sebagai sarana untuk menopang kegiatan ekspor maka atas ekspor
tersebut dikenakan pajak pertambahan nilai dengan tarif 0%, sehingga eksportir yang telah
memilih menjadi PKP dapat mengkreditkan pajak masukannya.
Kembali pada bahasan tentang PPnBM. PPnBM merupakan pungutan tambahan di
samping PPN. PPnBM hanya dikenakan satu kali, yaitu pada saat impor atau pada saat
penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha kena pajak pabrikan.
Penyerahan berikutnya tidak lagi dikenakan PPnBM. Hal ini membuat PPnBM tidak dapat
dikreditkan, sehingga diperlakukan sebagai biaya. Dengan demikian pembayaran PPnBM
oleh pengusaha kena pajak yang menerima penyerahan atau yang melakukan impor barang
kena pajak yang tergolong mewah dapat dimasukan ke dalam harga jual barang tersebut.
Dalam hal barang kena pajak yang tergolong mewah diekspor, maka PPnBM yang telah
dibayar pada saat perolehannya dapat diminta kembali atau direstitusi oleh wajib pajak.
Pengenaan PPnBM atas impor barang kena pajak yang tergolong mewah tidak
memperhatikan siapa yang mengimpor barang kena pajak tersebut serta tidak memperhatikan
apakah impor tersebut dilakukan secara terus-menerus atau hanya sekali saja. Selain itu,
pengenaan PPnBM terhadap suatu penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah
tidak memperhatikan apakah suatu bagian dari bagian dari barang kena pajak tersebut telah
dikenakan atau tidak dikenakan PPnBM pada transaksi sebelumnya.
Dari uraian di atas tampak bahwa walaupun yang membayar PPnBM adalah pengusaha
kena pajak yang menerima penyerahan ataupun pihak yang melakukan impor kena pajak
yang tergolong mewah sebenarnya pada akhirnya bukan mereka yang menanggung beban
pajak tersebut. Karena PPnBM yang terutang tersebut pada akhirnya dimasukan sebagai
unsur biaya yang menambah harga barang maka yang menanggung beban pajak tersebut pada
akhirnya adalah konsumen terakhir. Karena pembebanan pajak yang dapat digeserkan kepada
pihak lain merupakan cirri dari pajak tidak langsung maka PPnBM mrupakan salah satu jenis
pajak tidak langsung yang saat ini diberlakukan di Indonesia.

B. Karakteristik PPN dan PPnBM


Karakteristik PPN dan PPnBM
Apabila melihat dari pengertian PPN kita bisa menyimpulkan karekteristik dan jiwa PPN
adalah sebagai berikut.
1. Merupakan pajak tidak langsung yang dipungut pada setiap mata rantai jalur perusahaan.
2. Bersifat netral dan diharapkan tidka menimbulkan efek pajak berganda.
3. Merupakan pajak konsumsi di dalam negeri.
4. Mekanisme yang diharapkan sederhana dengan menggunakan tarif tunggal.
5. Merupakan pajak objektif.

Adapun penjelasan dari karakteristik dan jiwa PPN dan PPnBM yaitu seperti berikut ini.
1. PPN merupakan pajak tidak langsung.
Konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul beban pajak dengan penanggung jawab atas
pembayaran pajak berada pada pihak yang berbeda.
Pemikul beban pajak ini secara nyata berkedudukan sebagai pembeli barang kena pajak atau
penerima jasa kena pajak. Sedangkan penanggung jawab atas pembayaran pajak adalah
pengusaha kena pajak yang bertindak selaku penjual barang kena pajak atau pengusaha kena
pajak. Sudut pandang ekonomi, beban pajak dialihkan kepada pihak lain, yaitu pihak yang
akan mengkonsumsi barang atau jasa kena pajak.
Sudut pandang yuridis ini membawa konsekuensi filosofi bahwa dalam pajak tidka langsung
apabila pembeli atau penerima jasa telah membayar pajak yang terutang kepada penjual atau
pengusaha jasa, pada hakikatnya sama dengan telah membayar pajak tersebut kepada kas
negara.
2. PPN sebagai pajak objektif.
Pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh
faktor objektif, yaitu adanya keadaan atau peristiwa. Timbulnya kewajiban untuk membayar
PPN ditentukan oleh objek pajak. Kondisi subjek pajak tidak menentukan. PPN tidak
membedakan antara konsumen berupa orang atau badan, antara konsumen yang
berpenghasilan tinggi dengan konsumen yang berpenghasilan rendah. Sepanjang mereka
mengkonsumsi barang atau jasa dari jenis yang sama, mereka diperlakukan sama.
3. Multi stage tax.
PPN dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi dan distribusi. Setiap penyerahan
barang yang menjadi objek PPN mulai dari tingkat manufaktur sampai dengan konsumen
akhir dikenakan PPN.
4. PPN terutang dibayar ke kas negara dihitung menggunakan Indirect Substraction Method/
Credit Method/ Invoice Method.
Pajak yang dipungut PKP tidak otomatis wajib dibayar ke kas negara. PPN terutang yang
wajib dibayar ke kas negara merupakan hasil perhitungan mengurangkan PPN yang dibayar
ke PKP lain (pajak masukan) dengan PPN yang dipungut dari pembeli (pajak keluaran). Pola
ini dinamakan Indirect Substraction Method.
Pajak yang dikurangkan dengan pajak untuk memperoleh jumlah pajak yang akan dibaya ke
kas negara dinamakan Tax Credit. Maka pola ini juga dinamakan Credit Method.
Untuk mendeteksi jumlah kebenaran jumlah pajak masukan dan pajak keluaran yang terlibat
dalam mekanisme ini dibutuhkan suatu dokumen penunjang sebagai alat bukti, dokumen
tersebut adalah faktur pajak sehingga metode ini juga dinamakan metode faktur.
5. PPN adalah pajak atas konsumsi umum dalam negeri.
PPN hanya dikenakan atas konsumsi barang kena pajak dan jasa kena pajak yang dilakukan
di dalam negeri.
6. PPN bersifat netral.
Netralitas PPN dibentuk oleh faktor PPN dikenakan atas konsumsi barang dan jasa, serta
faktor dalam pemungutannya PPN menganut prinsip tempat tujuan.
Prinsip tempat tujuan PPN dipungut di tempat barang atau jasa dikonsumsi.komoditi impor
akan menanggung beban pajak yang sama denga produksi barang dalam negeri. Kompetisi
antara produk impor dnegan produk domestic tidka dipengaruhi oleh PPN.
7. Tidak menimbulkan dampak pengenaan pajak berganda.
PPN dipungut atas nilai tambah saja. PPN yang dibayar kepada pemasok pada mata rantai
sebelumnya dapat diperhitungkan dengan PPN yang dipungut dari mata rantai jalur distribusi
berikutnya.
2. DASAR HUKUM

a. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 yang tetap dinamakan
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18
Tahun 2000.

c. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang
Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak
yang Tergolong Mewah yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor
12 Tahun 2006.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 tentang Impor dan atau Penyerahan
Barang Kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang
Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003.

f. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan
Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007.

3. SYARAT PENYERAHAN BARANG TERUTANG PPN

Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan BKP atau JKP meliputi baik Pengusaha
yang telah dikukuhkan menjadi PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun
Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi PKP, tetapi belum dikukuhkan. Dengan
demikian, jika ada pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai PKP namun tidak
melaporkan usahanya maka dapat dikukuhkan secara jabatan.

Penyerahan yang dikenai PPN harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (Penjelasan
pasal 4 ayat (1) huruf a dan c)

1. yang diserahkan merupakan BKP atau JKP;

2. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan

3. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

syarat tersebut sifatnya kumulatif sehingga bila ada satu atau lebih syarat tersebut tidak
terpenuhi maka atas penyerahan tersebut tidak dikenai PPN
BKP adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang
bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-undang ini.

Semua barang adalah BKP dan dikenai PPN kecuali jenis barang yang tidak dikenai PPN
yang tercantum dalam Pasal 4A ayat (2) UU PPN.

JKP adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan
hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk
dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau
permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan, yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-undang ini.
Semua jasa adalah JKP dan dikenai PPN kecuali jasa yang tidak dikenai PPN yang tercantum
dalam Pasal 4A ayat (3) UU PPN.

PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK

Yang termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah: Pasal 1A ayat (1) UU Nomor 42
Tahun 2009

1. penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian;

2. pengalihan BKP oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna
usaha (leasing);

3. penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;

4. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas BKP;

5. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;

6. penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar
cabang;

7. penyerahan BKP secara konsinyasi; dan

8. penyerahan BKP oleh PKP dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah,yang penyerahannya dianggap langsung dari PKP kepada
pihak yang membutuhkan BKP.

Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah: (pasal 1a angka 1)

1. penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-


undang Hukum Dagang;

o Yang dimaksud dengan makelar adalah makelar sebagaimana


dimaksuddalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang yaitu pedagang
perantarayang diangkat oleh Presiden atau oleh pejabat yang oleh Presiden
dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan
mereka dengan melakukan pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi
tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang dengan merekatidak
terdapat hubungan kerja.

2. penyerahan BKP untuk jaminan utang-piutang;

3. Penyerahan BKP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f dalam hal PKP
melakukan pemusatan tempat pajak terutang;

o Dalam hal PKP mempunyai lebih dari satu tempat kegiatan usaha, baik
sebagai pusat maupun cabang perusahaan, dan PKP tersebut telah
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak,
pemindahan BKPdari satu tempat kegiatan usaha ke tempat kegiatan usaha
lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya atau antar cabang) dianggap tidak
termasuk dalam pengertian penyerahan BKP, kecuali pemindahan BKP antar
tempat pajak terutang.

4. pengalihan BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan


pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang
menerima pengalihan adalah PKP; dan

o Yang dimaksud dengan pemecahan usaha adalah pemisahan usaha


sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perseroan terbatas.

5. BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang
masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas
perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 9 ayat (8)
huruf b dan huruf c.

6. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, yang Pajak
Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(8) huruf b dan/atau aktiva berupa kendaraan bermotor sedan dan station wagon, yang
Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c, tidak termasuk dalam pengertian Penyerahan BKP.

PENYERAHAN JASA KENA PAJAK

Termasuk dalam pengertian penyerahan JKP adalah :

1. setiap kegiatan pemberian JKP

2. JKP yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau

3. JKP yang diberikan secara cuma-cuma.

Incoming search terms:


syarat penyerahan ppnsyarat ppnsyarat suatu penyerahan barang atau jasa terutang ppnsyarat
barang yang dikenai ppnpenyerahan yang dikenakan ppnsyarat penyerahan jkppenyerahan
tidak kena ppnpenyerahan yang d kenakan ppnpenyerahan yang dikesyara penyeraan
ppnmaksud tidak semua penyerahan barang /jasa merupakan penyerahan bkpsyarat
dikenakannya ppnSyarat syarat yang dikenai ppnkriteria pusat tempat terutang ppnmaksud
dari tidak semua penyerahan barang atau jasa merupakan penyerahan BKP/JKPsyarat
penyerahan barang atau jasa terutang PPN makalahSyarat- syarat yang harus terpenuhi agar
penyerahan narang dikenai Ppnsyarat penyerahan barang/jasa yang dikenai ppn uu ppn pasal
4syarat Jkpsyarat mutlak terutang PPNsyarat penyerahan barang kecualisyarat-syarat barang
yang dikenai ppnsyarat penyerahan barang dan jasasyarat penyerahan barang cuma-cuma
dikenai ppnsyarat penyerahan barnag di kenai ppnsyarat penyerahan BKPsyarat penyerahan
dikenakan ppnsyarat syarat dalam penyerahan JKPsyarat penyerahana barang/jasa yang
dikenai ppnsyarat penyerahan terutang ppnsyarat penyerahan ppn bagaimanasyarat syarat
penyerahan barang kecualiSyarat syarat penyerahan JKPsyarat penyerahan kena ppnsyarat
terkena PPNsyarat penyerahan jasa dapat dikenai ppn ialah4 syarat yg terutang dlm situsyarat
dikenakanPenyerahan barang kena pajak dari pusat ke cabangpenyerahan barang cabang ke
pusat ppnpenyerahan antar cabang ppnpenggabungan ppn cabangpengertian tidak dikenai
ppnpengertian penyerahan yang terutang ppnpengertian penyerahan ppn terutangpengertian
menurut ppn atas pengabungan peleburan pemekaran pemecahan pengambilalihanjenis
penyerahan yang tidak terutang ppnbarang yang tidak terutang pajakApa yang dimaksud
dengan peleburan dan penyerahanpenyerahan terutang ppnpenyerahan yang di kenakan
PPNsyarat bisa dikenakan ppnSyarat Barang terkena ppnsyarat barang kena pajaksyarat
barang dikenakan ppnsyarat barang atau jasa dikenakan ppnsyara ppn terutangsebutkan 3
syarat penyerahan barang dikenai ppnsarat penyerahan ppnsarat barang yang dikenai
PPNpenyerahan yg dikenakan ppnpenyerahan yang dikenakan PPN/apa saja syarat penerahan
barang/jasa yg dikenai PPN berdasarkan UU PPN pasal 4

4. Subjek dan Objek PPN dan PPnBM


Objek Pajak pada PPN dan PPnBM
Sesuai deng pasal 4 UU PPN dan PPnBM yang menjadi objek pajak pada PPN adalah:
1. Penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
Penyerahan barang yang dikenakan pajak harus memenuhi syarat-syarat berikut ini.
a. Barang berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak.
b. Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak tidak berwujud.
c. Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean.
d. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

2. Impor barang kena pajak.


3. Penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
4. Pemanafaatan barang kean pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean.
5. Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
6. Ekspor barang kean pajak berwujud oleh pengusaha kena pajak.
7. Ekspor barang kena pajak tidka berwujud oleh pengusaha kena pajak.
8. Ekspor jasa kena pajak oleh pengusaha kena pajak.
Sesuai dengan Pasal 5 UU PPN dan PPnBM yang menjadi objek PPnBM adalah
sebagaimana di bawah ini.
1. Penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang
menghasilkan barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah pabean
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2. Impor barang kena pajak yang tergolong mewah.
Sesuai dengan memori penjelasan Pasal 5 ayai (1) UU PPN dan PPnBM, yang dimaksud
dengan barang kena pajak yang tergolong mewah adalah:
1. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok.
2. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu.
3. Barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi.
4. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukan status.
Sebagaimana telah disebutkan di atas. Salah satu objek PPnBM adalah penyerahan barnag
kean pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang
kena pajak yang tergolong mewah.
Subjek Pajak pada PPN dan PPnBM
Dalam hukum pajak Indonesia, tidak semua undang-undang pajak memuat secara tegas
siapa yang menjadi subjek pajak dan wajib pajal. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-undang
PPN dan PPnBM serta Undang-undang Bea Materai. Pada UU PPN dan PPnBM tidak diatur
sama sekali siapa yang menjadi subjek pajak. Walaupun demikian bila memperhatikan
mekanisme pengenaan dan pemungutan PPN dan PPnBM, maka dapat disimpulkan adanya
destinaris pajak (pihak yang dituju oleh undang-undang pajak untuk menanggung beban akhir
pajak). Destinaris pajak tersebut adalah konsumen akhir. Destinaris pajak ini dapat dikatakan
mirip dengan subjek pajak, yaitu siapa yang akan dikenakan pajak dan menanggung pajak
tersebut.
Seperti halnya penyebutan subjek pajak, pada Undang-undang PPN dan PPnBM tidak
disebutkan secara tersurat siapa yang menjadi wajib pajak. Tetapi dengan memperhatikan tata
cara pengenaan dan pemungutan PPN maka dapat dikatakan yang menjadi wajib pajak adalah
pengusaha kena pajak yang menyeahkan barang dan jasa kena pajak kepada pengusaha kena
pajak tingkat lanjutan maupun langsung kepada konsumen akhir. Sedangkan PPnBM, yang
menjadi wajib pajak adalah pengusaha yang menghasilkan barang kena pajak yang tergolong
mewah ataupun melakukan impor barang kena pajak yang tergolong mewah.
Secara singkat, subjek pajak pada PPN, adalah pengusaha (Pasal 1 angka 14 UU PPN),
yaitu orang-orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, melakukan usaha perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa atau
memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.

5. Mekanisme Pemungutan PPN dan PPnBM di Indonesia


Terkait dengan mekanisme pemungutan pajak ini ada tiga konsep yang harus
dipahami terlebih dulu, yaitu:
1. Pajak Keluaran adalah Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh PKP yang
melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, atau ekspor BKP.
2. Pajak Masukan adalah PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP karena perolehan
BKP dan atau penerimaan JKP dan atau pemanfaatan BKP tidak terwujud dari luar daerah
pabean dan atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean dan atau impor BKP.
3. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP yang melakukan
penyerahan BKP atau penyerahan JKP, atau bukti pungutan pajak kena impor BKP yang
digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJCB).
Mekanisme pemungutan PPN dan PPnBM ini mencakup dua hal yaitu pengkreditan pajak
masukan dan restitusi.
1. Pengkreditan Pajak Masukan.
Pajak masukan dalam suatu Masa Pajak dapat dikreditkan denga pajak keluaran untuk masa
pajak yang sama (Pasal 9 ayat (2) UU PPN). Apabila ketentuan tersebut tidak dapat
dilakukan, misalnya faktur pajak standar terlambat diterima dari pemasoknya, maka pajak
masukan belum dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama. Dapat
dikreditkan pada masa pajak berikutnya paling lama tiga bulan setelah berakhirnya masa
pajak yang bersangkutan sepanjang:
a. Pajak masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau tidak dikapitalisasikan ke
dalam harga perolehan BKP atau JKP yang bersangkutan, dan;
b. Belum dilakukan pemeriksaan. (Pasal 9 ayat (9) dan Pasal 9 ayat (8) huruf (i) UU PPN).
Meskipun jangka waktu tiga bulan setelah berakhirnya tahun buku tersebut telah
terlampaui, pengkreditan pajak masukan tersebut masih dapat dilakukan melalui pembetulan
Surat Pemberitahuan Masa PPN yang bersangkutan selambat-lambatnya dalam jangka waktu
dua tahun sesudah berakhirnya masa pajak.
2. Restitusi.
Sedangkan dalam mekanisme restitusi PPN dan atau PPnBM , mulai tahun 2001 PKP boleh
mengajukan permohonan restitusi pada setiap masa pajak. Mekanisme restitusi PPN dan/atau
PPnBM adalah sebagai berikut.
a. Permohona restitusi disampaikan kepada Kepala KPP di tempat PKP dikukuhkan.
b. Permohonan restitusi ditentukan satu permohonan untuk satu masa pajak.
c. Permohonan restitusi dengan cara mengisi kolo yang tersedia dalam SPT Masa PPN atau
dengan surat tersendiri (PPnBM atau atas kelebihan pembayaran pajak karena pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terutang) dan dilampiri faktur pajak masukan dan faktur pajak
keluaran, untuk impor BKP harus ada pemberithuan impor barang, surat setoran pajak atau
bukti pungutan pajak dari DJCB, laporan pemeriksaan surveyor (LPS), untuk ekspor BKP
dilampirkan pemberitahuan ekspor barang (PEB), Bill of Lading atau Airway Bill dan wesel
ekspor. Dalam hal penyerahan BKP atau JKP kepada pemungut PPN, dilampirkan kontrak
surat perintah kerja dan suat setoran pajak. Sedangkan dalam hal permohonan pengembalian
yang diajukan meliputi kelebihan pembayaran akibat kompensasi Masa Pajak sebelumnya,
maka yang dilampirkan meliputi seluruh dokumen yang berkenaan dengan kelebihan
pembayaran PPN Masa Pajak yang bersangkutan.

Pengertian Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Pengusaha Kena Pajak, sering disebut PKP adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) 1984 dan perubahannya, tidak termasuk
Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali
Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Sedangkan Pengusaha dapat didefinisikan sebagai orang pribadi atau badan dalam bentuk
apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor
barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar
Daerah Pabean.
Pengertian Faktur Pajak

Pengertian Faktur Pajak adalah :

Bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena
Pajak kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.

Jenis-Jenis Faktur Pajak adalah sebagai berikut :

Faktur Pajak

Yaitu Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak untuk
setiap penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.

Faktur Pajak Gabungan

Yaitu Faktur Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang meliputi
seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak
dan atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan
kalender.

Faktur Pajak Yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak Pedagang


Eceran.

Dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak seperti


bukti pembayaran rekening telpon, bukti pembayaran rekening
listrik dan lain-lain.

Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah


(PPN dan PPnBM)

A. Pengantar

1. Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai


a. Pajak Objektif. Yang dimaksud dengan pajak objektif adalah suatu
jenis pajak yang timbulnya kewajiban pajaknya sangat ditentukan
oleh objek pajak. Keadaan subjek pajak tidak menjadi penentu
kecuali untuk kasus tertentu.

b. Dikenakan pada setiap rantai distribusi (Multi Stage Tax). Sepanjang


suatu transaksi memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam
angka 2, maka pihak PKP Penjual berkewajiban memungut PPN atas
transaksi yang terjadi dan kemudian menyetorkan ke Kas Negara
dan melaporkannya.

c. Menggunakan mekanisme pengkreditan. Sesuai dengan namanya


maka pada hakekatnya PPN hanya dikenakan atas nilai tambah
yang terjadi atas BKP karena adanya proses pabrikasi maupun
distribusi. Oleh karena itu PPN yang terutang dalam suatu Masa
Pajak diperhitungkan terlebih dahulu dengan PPN yang telah
dibayarkan oleh PKP pada saat pembelian bahan baku dan faktor
produksi lainnya, sehingga meskipun PPN dikenakan beberapa kali
namun tidak menimbulkan efek pajak berganda.

d. Merupakan pajak atas konsumsi dalam negeri. Oleh karena itu salah
satu syarat dikenakannya PPN atas suatu transaksi adalah bahwa
BKP/JKP dikonsumsi di dalam Daerah Pabean. Hal inilah yang
mendasari pengenaan PPN dengan tarif 0% atas kegiatan ekspor
sedangkan untuk kegiatan impor tetap dikenakan PPN 10%.

e. Merupakan beban konsumen akhir. PPN merupakan pajak tidak


langsung sehingga beban pajaknya bisa dialihkan oleh PKP.
Pengenaan PPN yang dilakukan beberapa kali tidak menjadi beban
PKP karena beban PPN tersebut pada akhirnya akan dialihkan
kepada konsumen yang menikmati BKP pada rantai terakhir.

f. Netral terhadap persaingan. PPN bukan merupakan beban yang


menambah harga pokok penjualan karena PPN menganut sistem
pengkreditan yang memungkinkan PPN yang dibayarkan pada saat
pembelian diperhitungkan dengan PPN yang harus dipungut saat
penjualan.

g. Menganut destination principle. Untuk menentukan suatu transaksi


dikenakan PPN atau tidak, terlebih dahulu harus dilihat di negara
mana pihak konsumen berada. Apabila konsumen berada di luar
negeri maka transaksi tersebut tidak dikenakan PPN karena PPN
adalah pajak atas konsumsi dalam negeri.

2. Dasar Hukum

a. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan


Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
undang Nomor 18 Tahun 2000 yang tetap dinamakan Undang-
undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 jo. Peraturan


Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
undang Nomor 18 Tahun 2000.

c. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang


dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000 tentang Kelompok


Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang Dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun
2006.

e. Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 tentang Impor dan


atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan
Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003.

f. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau


Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis
yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007.

3. Istilah Umum

a. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi


wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya serta tempat-
tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen
yang di dalamnya berlaku Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan.

b. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya


dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan
barang tidak berwujud.

c. Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud dalam


huruf b yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini.

d. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan


Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf c.

e. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan


atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau
fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk
jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan
atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.

f. Jasa Kena Pajak adalah jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf e


yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
g. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa
Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf f.

h. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap
kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean.

i. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah


Pabean ke dalam Daerah Pabean.

j. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah


Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak
tidak berwujud dari luar Daerah Pabean karena suatu perjanjian di
dalam Daerah Pabean.

k. Ekspor adalah setiap kegiatan mengeluarkan barang dari dalam


Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.

l. Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual,


termasuk kegiatan tukar menukar barang, tanpa mengubah bentuk
atau sifatnya.

m. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan


kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak
melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau
Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang
sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.

n. Pengusaha adalah orang pribadi atau Badan sebagaimana dimaksud


dalam huruf m yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya
menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau
memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.

o. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud


dalam huruf n yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan
atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan
Undang-undang ini, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang
batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan,
kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.

p. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah


bentuk atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang
baru atau mempunyai daya guna baru, atau kegiatan mengolah
sumber daya alam termasuk menyuruh orang pribadi atau badan
lain melakukan kegiatan tersebut.

q. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai


Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk
menghitung pajak yang terutang.

r. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan
Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak.

s. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang


diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena
penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut
menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan
dalam Faktur Pajak.
t. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar
penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang
dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-
undang ini.

u. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau


seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang
membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena
Pajak tersebut.

v. Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau
seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang
membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena
Pajak tersebut.

w. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh


Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak
karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.

x. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya


sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang
Kena Pajak dan atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak.

y. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib


dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang
Kena Pajak.
z. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.

aa. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan


Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan
pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada
bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah
tersebut.

B. Objek Pajak

1. Objek Pajak Pertambahan Nilai

a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang


dilakukan oleh Pengusaha;

b. impor Barang Kena Pajak;

c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang


dilakukan oleh Pengusaha;

d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah


Pabean di dalam Daerah Pabean;

e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam


Daerah Pabean; atau

f. ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

2. Barang Kena Pajak yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan


Nilai

a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil


langsung dari sumbernya;
b. barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh
rakyat banyak;

c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah


makan, warung, dan sejenisnya;

d. uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.

3. Jasa Kena Pajak yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai

a. jasa di bidang pelayanan kesehatan medik;

b. jasa di bidang pelayanan sosial;

c. jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;

d. jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan


hak opsi;

e. jasa di bidang keagamaan;

f. jasa di bidang pendidikan;

g. jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak


tontonan;

h. jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;

i. jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;

j. jasa di bidang tenaga kerja;

k. jasa di bidang perhotelan;

l. jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan


pemerintahan secara umum.

4. Objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah


a. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain
kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 10% (sepuluh persen), adalah :

kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat


pemanas, dan pesawat penerima siaran televisi;

kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga;

kelompok mesin pengatur suhu udara;

kelompok alat perekam atau reproduksi gambar, pesawat


penerima siaran radio;

kelompok alat fotografi, alat sinematografi, dan


perlengkapannya.

b. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain


kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen), adalah:

kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat


pemanas, selain yang disebut pada huruf a;

kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen,


kondominium, town house, dan sejenisnya;

kelompok pesawat penerima siaran televisi dan antena serta


reflektor antena, selain yang disebut pada huruf a;
kelompok mesin pengatur suhu udara, mesin pencuci piring,
mesin pengering, pesawat elektromagnetik dan instrumen
musik;

kelompok wangi-wangian;

c. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain


kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 30% (tiga puluh persen), adalah:

kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano,


kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum;

kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga selain yang


disebut pada huruf a.

d. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah selain


kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 40% (empat puluh persen), adalah :

kelompok minuman yang mengandung alkohol;

kelompok barang yang terbuat dari kulit atau kulit tiruan;

kelompok permadani yang terbuat dari sutra atau wool;

kelompok barang kaca dari kristal timbal dari jenis yang


digunakan untuk meja, dapur, rias, kantor, dekorasi dalam
ruangan atau keperluan semacam itu;
kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya
terbuat dari logam mulia atau dari logam yang dilapisi logam
mulia atau campuran daripadanya;

kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano,


selain yang disebut pada huruf c, kecuali untuk keperluan
negara atau angkutan umum;

kelompok balon udara dan balon udara yang dapat


dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa tenaga penggerak;

kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali


untuk keperluan negara;

kelompok jenis alas kaki;

kelompok barang-barang perabot rumah tangga dan kantor;

kelompok barang-barang yang terbuat dari porselin, tanah


lempung cina atau keramik;

Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya


terbuat dari batu selain batu jalan atau batu tepi jalan.

e. Kelompok Barang kena Pajak yang Tergolong Mewah selain


kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 50% (lima puluh persen), adalah:

kelompok permadani yang terbuat dari bulu hewan halus;

kelompok pesawat udara selain yang dimaksud pada huruf d,


kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga;
kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga selain yang
disebut pada huruf a dan huruf c;

kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk


keperluan negara.

f. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain


kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 75% (tujuh puluh lima persen), adalah :

kelompok minuman yang mengandung alkohol selain yang


disebut pada huruf d;

kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya


terbuat dari batu mulia dan/atau mutiara atau campuran
daripadanya;

kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan


negara atau angkutan umum.

g. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa


kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 10% (sepuluh persen), adalah :

kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang


sampai dengan 15 (lima belas) orang termasuk pengemudi,
dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi
(diesel/semi diesel), dengan semua kapasitas isi silinder; dan
kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10
(sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau
station wagon, dengan motor bakar cetus api atau nyala
kompresi (diesel/semi diesel) dengan sistem 1 (satu) gandar
penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder sampai dengan
1500 cc.

h. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa


kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen), adalah :

kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10


(sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau
station wagon, dengan motor bakar cetus api atau dengan
nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 1 (satu)
gandar penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder lebih
dari 1500 cc sampai dengan 2500 cc; dan

kendaraan bermotor dengan kabin ganda (Double cabin),


dalam bentuk kendaraan bak terbuka atau bak tertutup,
dengan penumpang lebih dari 3 (tiga) orang termasuk
pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala
kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 1 (satu) gandar
penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar
penggerak (4x4), dengan semua kapasitas isi silinder, dengan
massa total tidak lebih dari 5 (lima) ton.

i. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa


kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 30% (tiga puluh persen), adalah
kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh)
orang termasuk pengemudi, berupa:

kendaraan bermotor sedan atau station wagon dengan motor


bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel)
dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc; dan

kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon dengan


motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi
diesel), dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4)
dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc.

j. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa


kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 40% (empat puluh persen), adalah
kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh)
orang termasuk pengemudi, berupa :

kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon, dengan


motor bakar cetus api, dengan sistem 1 (satu) gandar
penggerak (4x2) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2500
cc sampai dengan 3000 cc;

kendaraan bermotor dengan motor bakar cetus api, berupa


sedan atau station wagon dan selain sedan atau station
wagon, dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4)
dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan
3000 cc; dan
kendaraan bermotor dengan motor bakar nyala kompresi
(diesel/semi diesel), berupa sedan atau station wagon dan
selain sedan atau station wagon, dengan sistem 2 (dua)
gandar penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder lebih
dari 1500 cc sampai dengan 2500 cc.

k. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa


kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) adalah semua
jenis kendaraan khusus yang dibuat untuk golf.

l. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa


kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 60% (enam puluh persen), adalah:

kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder


lebih dari 250 cc sampai dengan 500 cc; dan

kendaraan khusus yang dibuat untuk perjalanan di atas salju,


di pantai, di gunung, dan kendaraan semacam itu.

m. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa


kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 75% (tujuh puluh lima persen), adalah :

kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10


(sepuluh) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar
cetus api, berupa sedan atau station wagon dan selain sedan
atau station wagon, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak
(4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4)
dengan kapasitas isi silinder lebih dari 3000 cc;

kendaraan bermotor pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh)


orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar nyala
kompresi (diesel/semi diesel) berupa sedan atau station
wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 1
(satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua)
gandar penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder lebih
dari 2500 cc;

kendaraan bermotor beroda 2 (dua) dengan kapasitas isi


silinder lebih dari 500 cc;

trailer, semi-trailer dari tipe caravan, untuk perumahan atau


kemah.

n. Kendaraan bermotor yang dibebaskan dari pengenaan Pajak


Penjualan Atas Barang Mewah adalah:

kendaraan bermotor yang digunakan untuk kendaraan ambulan,


kendaraan jenazah, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan
tahanan, dan kendaraan angkutan umum;

kendaraan bermotor yang digunakan untuk tujuan protokoler


kenegaraan;

kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang atau


lebih termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau
nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan semua kapasitas isi
silinder, yang digunakan untuk kendaraan dinas TNI atau POLRI;
kendaraan bermotor yang digunakan untuk keperluan patroli TNI
atau POLRI.

C. Tarif Pajak

1. Pajak Pertambahan Nilai

a. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).

b. Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak adalah
0% (nol persen).

c. Dengan Peraturan Pemerintah, tarif pajak sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5% (lima
persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen).

2. Pajak Penjualan atas Barang Mewah

a. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10%
(sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).

b. Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dikenakan


pajak dengan tarif 0% (nol persen).

D. Cara Menghitung Pajak

1. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara


mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 UU PPN
dengan Dasar Pengenaan Pajak.

2. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak


Keluaran untuk Masa Pajak yang sama.
3. Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka
Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan.

4. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar


daripada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak
Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak.

5. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat


dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya
merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau
dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.

6. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain


melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan
penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian
penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari
pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang
terutang pajak.

7. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain


melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan
penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan
untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui
dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan
menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri
Keuangan.

8. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha


yang dikenakan Pajak Penghasilan dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor
17 Tahun 2000, dapat dihitung dengan menggunakan pedoman
penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.

9. Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana


diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk:

perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum


pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;

perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep,


station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang
dagangan atau disewakan;

pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau


pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak;

perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti
pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana;

perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur
Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (5);

pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau


pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang
Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);

perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak
Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak
Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu
dilakukan pemeriksaan.

10. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum


dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama,
dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga)
bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang
belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

KARAKTERISTIK PAJAK KELUARAN

Pajak keluaran ialah pajak yang dikenakan ketika subjek pajak melakukan penjualan terhadap
barang kena pajak (BKP) dan atau jasa kena pajak (JKP) yang tergolong dalam barang
mewah. Sebagai salah satu jenis pajak, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) seringkali disebut
sebagai pajak objektif. Pada PPN, hal yang pertama kali ditekankan adalah objek pajak yang
akan dikenakan. Kemudian, subjek pajak yang terkena. Misalnya, barang-barang mewah,
kendaraan mewah, dan sebagainya. Yang pertama dikenakan adalah tarif pada tiap-tiap
barang tersebut. Kemudian, barulah wajib pajak pengonsumsi barang tersebut yang dikenai
beban pajaknya sehingga wajib pajak tersebut disebut sebagai subjek pajak.

Dalam pengenaan pajak terhadap subjek pajak tersebut, terdapat dua kategori. Yaitu, pajak
keluaran dan pajak masukan. Dalam hal ini, subjek pajak yang dimaksud adalah pengusaha
kena pajak (PKP) yang melakukan transaksi jual beli barang. Artinya, PKP mengambil atau
memungut rupiah yang dihasilkan dari penjualan barang kena pajak (BKP) miliknya yang
dibeli konsumen. Kemudian, nantinya dapat berfungsi menjadi kredit atau pengurang pajak.
Menjadi kredit atau pengurang pajak karena sebelumnya sang PKP telah dikenai tarif pajak
yang sama atas pembelian barang tersebut yang d kemudian hari dijual olehnya. Jadi, PPN
dalam hal ini hanya terjadi pelimpahan beban.

Adapun batas waktu untuk melakukan pengkreditan pajak keluaran tersebut adalah tiga bulan
setelah masa pajak berakhir sehingga PKP memiliki waktu yang cukup leluasa untuk
melakukan pengkreditan pajaknya.

KARAKTERISTIK PAJAK MASUKAN

Pajak masukan adalah pajak yang dikenakan ketika Pengusaha Kena Pajak melakukan
pembelian terhadap barang kena pajak atau jasa kena pajak. Pengusaha Kena Pajak, sering
disebut PKP adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai (UU PPN) 1984 dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang
batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang
memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Tata cara umum Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pengusaha kena pajak mengurangkan
atau mengkreditkan pajak masukan dalam suatu masa dengan pajak keluaran dalam masa
pajak yang sama. Apabila dalam masa pajak tersebut lebih besar pajak keluaran, kelebihan
pajak keluaran harus disetorkan ke kas negara. Sebaliknya, apabila dalam masa pajak tersebut
pajak masukan lebih besar dari pajak keluaran, kelebihan pajak masukan dapat
dikompensasikan ke masa pajak berikutnya atau dimintakan restitusi. Dalam tata cara umum
tersebut, jumlah yang harus dibayarkan oleh pengusaha kena pajak berubah-ubah sesuai
dengan pajak masukan yang dibayarkan dan pajak keluaran yang dipungut dalam suatu masa
pajak.

Mekanisme Pengkreditan Pajak Masukan

Prinsip dasar pengkreditan Pajak masukan adalah sebagai berikut:

1. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk
Masa Pajak yang sama. (Pasal 9 ayat 2 UU PPN).

2. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya
paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan
sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan. (Pasal
9 ayat 9 UU PPN).

3. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan
penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor
barang modal dapat dikreditkan. (Pasal 9 ayat 2a UU PPN).

4. Barang modal adalah harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan termasuk pengeluaran
yang dikapitalisasikan ke barang modal tersebut. (PP 1/2012).

5. Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9). (Pasal 9 ayat
2a UU PPN).

6. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan / atau JKP harus dikreditkan
dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. Contoh : alamat
di FP sama dg alamat di SK pengukuhan. Dalam hal impor BKP, DJP karena jabatan
atau berdasarkan permohonan tertulis dari PKP dapat menentukan tempat lain selain
tempat dilakukannya impor BKP sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan. (PM
dikreditkan di tempat PKP dikukuhkan, Dikukuhkan di beberapa tempat maka dapat
memilih). (PP 1/2012).

7. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak
Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh
Pengusaha Kena Pajak. Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena
Pajak harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa
Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir
bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak. (Pasal 9 ayat 3 UU PPN).

8. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar
daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang
dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya (Pasal 9 ayat 4 UU PPN).

9. Atas kelebihan Pajak Masukan tsb dapat diajukan permohonan pengembalian pada
akhir tahun buku. Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan ini
adalah Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan pengakhiran usaha (bubar). (Pasal 9
ayat 4a UU PPN).

Wapu PPN
Wapu PPN adalah istilah yang digunakan oleh praktisi pajak untuk menyebut badan atau
instansi tertentu yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN/PPn-BM.

Pemungt PPN (Wapu PPN) yang dimaksud di sini adalah Bendaharawan Pemerintah (Pusat
maupun Daerah) dan Kantor Pelayanan Perbendaraan Kontraktor Pertambangan Migas dan
Panas Bumi (lihat PMK 73/PMK.03/2010). Badan/instansi ini ditunjuk menjadi Wapu
PPN/PPn-BM dan wajib memungut, menyetor dan melaporkan Pajak Masukan atas
pembelian/perolehan BKP maupun JKP dari para rekanan atau supplier mereka.

Tata Cara Pembayaran Dan Pelaporan PPN/PPnBM


Siapa saja yang wajib membayar/menyetor & melaporkan PPN/PPnBM ?
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
2. Pemungut PPN/PPn BM, adalah :
o KPKN
o Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah
o Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
o Pertamina
o BUMN/ BUMD
o Kontraktor Bagi Hasil dan Kontrak Karya bidang Migas dan
Pertambangan Umum lainnya
o Bank Pemerintah
o Bank Pembangunan Daerah
o Perusahaan Operator Telepon Selular.
Apa saja yang wajib disetor oleh PKP dan pemungut PPN & PPnBM ?
1. Oleh PKP adalah :
a. PPN yang dihitung sendiri melalui pengkreditan Pajak Masukan dan
Pajak Keluaran.Yang disetor adalah selisih Pajak Masukan dan Pajak
Keluaran, bila Pajak Masukan lebih kecil dari Pajak Keluaran.
b. PPn BM yang dipungut oleh PKP Pabrikan Barang Kena Pajak (BKP) yang
tergolong mewah.
c. PPN/ PPn BM yang ditetapkan oleh DJP dalam Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT), dan Surat Tagihan Pajak (STP).
2. Oleh Pemungut PPN/PPn BM adalah PPN/PPn BM yang dipungut oleh
Pemungut PPN/ PPn BM
Dimana tempat pembayaran/penyetoran pajak ?
1. Kantor Pos dan Giro
2. Bank Pemerintah, kecuali BTN
3. Bank Pembangunan Daerah
4. Bank Devisa
5. Bank-bank lain penerima setoran pajak
6. Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Khusus untuk impor tanpa
LKP
Kapan saat pembayaran/penyetoran PPN/PPnBM ?
1. PPN dan PPn BM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling
lambat tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah bulan Masa Pajak.
Contoh : Masa Pajak Januari 1996, penyetoran paling lambat tanggal 15
Pebruari 1996.
2. PPN dan PPn BM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus
dibayar/ disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB,
SKPKBT, dan STP tersebut.
3. PPN/ PPn BM atas Impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/
dibebaskan, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Impor.
4. PPN/PPn BM yang pemungutannya dilakukan oleh:
a. a. Bendaharawan Pemerintah, harus disetor selambat-lambatnya
tanggal 7 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b. b. Pemungut PPN selain Bendaharawan Pemerintah, harus disetor
selambat-lambatnya tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.
c. c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN/ PPn BM atas
Impor, harus menyetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan
pajak dilakukan.
5. PPN dari penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh Badan Urusan
Logistik (BULOG), harus dilunasi sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah
Pengeluaran Barang (D.O) ditebus.
Catatan:
Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur, maka
pembayaran harus dilaksanakan pada hari kerja berikutnya.
Kapan saat pelaporan PPN/PPnBM ?
1. PPN dan PPn BM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam
SPT Masa dan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat
selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
2. PPN dan PPn BM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang
telah dilunasi segera dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.
3. PPN dan PPn BM yang pemungutannya dilakukan oleh :
a. Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan selambat-lambatnya 14
hari setelah Masa Pajak berakhir.
b. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai selain Bendaharawan Pemerintah
harus dilaporkan selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.

c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan secara
mingguan selambat-lambatnya 7 hari setelah batas waktu penyetoran
pajak berakhir.
4. Untuk penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN
dan PPn BM dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa
dan disampaikan kepada KPP setempat selambat-lambatnya 20 hari
setelah Masa Pajak berakhir.
Catatan :
Apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka
pelaporan harus dilaksanakan pada hari kerja sebelum tanggal jatuh
tempo.

Apa sarana yang digunakan untuk melakukan pembayaran/penyetoran


pajak?
1. Untuk membayar/menyetor PPN dan PPn BM digunakan formulir Surat
Setoran Pajak yang tersedia gratis di Kantor-kantor Pelayanan Pajak dan
Kantor-kantor Penyuluhan Pajak di seluruh Indonesia.
2. Surat Setoran Pajak menjadi lengkap dan sah bila jumlah PPN/PPnBM
yang disetorkan telah diberi teraan oleh : Bank, Kantor Pos dan Giro, atau
Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai penerima setoran.
PPNBM
PPnBM merupakan jenis pajak yang merupakan satu paket dalam Undang-
undang Pajak Pertambahan Nilai. Namun demikian, mekanisme
pengenaan PPnBM ini sedikit berbeda dengan PPN. Berdasarkan Pasal 5
Ayat (1) Undang-undang PPN, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
dikenakan terhadap :
1. penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dilakukan
oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong
Mewah di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;
2. impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah.
Dengan demikian, PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan BKP
Mewah oleh pabrikan (pengusaha yang menghasilkan) dan pada saat
impor BKP Mewah. PPnBM tidak dikenakan lagi pada rantai penjualan
setelah itu. Adapun fihak yang memungut PPnBM tentu saja pabrikan BKP
Mewah pada saat melakukan penyerahan atau penjualan BKP Mewah.
Sementara itu, PPnBM atas impor BKP mewah dilunasi oleh importir
berbarengan dengan pembayaran PPN impor dan PPh Pasal 22 Impor.
Dasar Pertimbangan Pengenaan PPnBM
1. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang
berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
2. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak Yang
Tergolong Mewah;
3. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional;
4. perlu untuk mengamankan penerimaan negara;
Pengertian BKP Mewah
1. bahwa barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok;
atau
2. barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
3. pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat
berpenghasilan tinggi; atau
4. barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
5. apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat,
serta mengganggu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol.
Pengertian Menghasilkan
PPnBM dikenakan pada saat Pengusaha yang menghasilan BKP Mewah
menyerahkan kepada fihak lain. Termasuk dalam pengertian
menghasilkan adalah sebagai berikut ;
1. merakit : menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang
menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti merakit mobil,
barang elektronik, perabot rumah tangga, dan sebagainya;
2. memasak : mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur
bahan lain atau tidak;
3. mencampur : mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk
menghasilkan satu atau lebih barang lain;
4. mengemas : menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda yang
melindunginya dari kerusakan dan atau untuk meningkatkan
pemasarannya;
5. membotolkan : memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol
yang ditutup menurut cara tertentu;
Tarif, Kelompok dan Jenis BKP Mewah
Berdasarkan Pasal 8 Undang-undang PPN, ditentukan :
1. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10%
(sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).
2. Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dikenakan pajak
dengan tarif 0% (nol persen).
3. Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang Kena Pajak
Yang Tergolong Mewah yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah.
4. Jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas
Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
Perhitungan PPN dan PPnBM
Tarif PPN adalah 10% sedangkan tarif PPN atas ekspor BKP adalah 0%. Berikut adalah
contoh soal yang berkenaan dengan PPN.
1. Pada bulan Juli 2009 Pengusaha Kena Pajak QQ melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak Ichasenilai Rp 75.000.000,- (Eksklusif Pajak
Pertambahan Nilai). Dalam bulan yang sama Pengusaha Kena Pajak QQ membeli barang
kena pajak dari pengusaha Rizky senilai Rp 50.000.000,-. Hitunglah PPN-K dan PPN-M atas
transaksi tersebut.
Jawab:
Bagi pengusaha kena pajak QQ
Pajak Keluaran:
10% x Rp 75.000.000,- = Rp 7.500.000,- (sebagai pajak masukan bagi B)
Pajak Masukan:
10% x Rp 50.000.000,- = Rp 5.000.000,-

2. Harga jual kendaraan bermotor Rp 500.000.000,- (termasuk PPN 10% dan PPnBM 20%).
Uang muka diterima pada tanggal 10 Agustus 2009 sebesar Rp 200.000.000,-
Kendaraan akan diserahkan tanggal 20 September 2009 dengan kekurangan bayar sebesar Rp
300.000.000,-
Jawab:
PPN dan PPnBM teutang dan harus dipungut:
a. Pada saat diterima uang muka tanggal 10 Agustus 2009 PPN yang terutang= 10/30 x
200.000.000,- = Rp 14.000.000,- dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPN bulan Agustus
2009. PPnBM yang terutang 20/30 x Rp 200.000.000,- = 30.000.000,- dan harus dilaporkan
pada SPT Masa PPnBM bulan Agustus 2009.
b. PPN yang terutang = 10/30 x Rp 300.000.000,- = Rp 21.000.000,- dan harus dilaporkan
pada SPT Masa PPN bulan September 2009.PPnBM yang terutang 20/130 x Rp
300.000.000,- = Rp 45.000.000,- dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPnBM bulan
Agustus 2009.

1. Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan PPn/PPn BM


1. Yang wajib membayar/menyetor & melaporkan PPN/PPnBM ?

Pengusaha Kena Pajak (PKP)


2. Pemungut PPN/PPn BM, adalah :
o KPKN
o Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah
o Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
o Pertamina
o BUMN/ BUMD
o Kontraktor Bagi Hasil dan Kontrak Karya bidang Migas dan Pertambangan Umum lainnya
o Bank Pemerintah
o Bank Pembangunan Daerah
o Perusahaan Operator Telepon Selular.

Apa saja yang wajib disetor oleh PKP dan pemungut PPN & PPnBM
1. Oleh PKP adalah :
a. PPN yang dihitung sendiri melalui pengkreditan Pajak Masukan dan Pajak
Keluaran.Yang disetor adalah selisih Pajak Masukan dan Pajak Keluaran, bila Pajak
Masukan lebih kecil dari Pajak Keluaran.
b. PPn BM yang dipungut oleh PKP Pabrikan Barang Kena Pajak (BKP) yang
tergolong mewah.
c. PPN/ PPn BM yang ditetapkan oleh DJP dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan
Surat Tagihan Pajak (STP).
2. Oleh Pemungut PPN/PPn BM adalah PPN/PPn BM yang dipungut oleh Pemungut
PPN/ PPn BM

Tempat pembayaran/penyetoran pajak


1. Kantor Pos dan Giro
2. Bank Pemerintah, kecuali BTN
3. Bank Pembangunan Daerah
4. Bank Devisa
5. Bank-bank lain penerima setoran pajak
6. Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Khusus untuk impor tanpa LKP

Saat pembayaran/penyetoran PPN/PPnBM


1. PPN dan PPn BM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling lambat
tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah bulan Masa Pajak.

Contoh : Masa Pajak Januari 1996, penyetoran paling lambat tanggal 15 Pebruari
1996.
2. PPN dan PPn BM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus
dibayar/ disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan
STP tersebut.
3. PPN/ PPn BM atas Impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran
Bea Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/ dibebaskan, harus
dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Impor.
4. PPN/PPn BM yang pemungutannya dilakukan oleh:
a. Bendaharawan Pemerintah, harus disetor selambat-lambatnya tanggal 7 bulan
takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b. Pemungut PPN selain Bendaharawan Pemerintah, harus disetor selambat-
lambatnya tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN/ PPn BM atas Impor,
harus menyetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan.
5. PPN dari penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik
(BULOG), harus dilunasi sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah Pengeluaran
Barang (D.O) ditebus.
Catatan:
Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur, maka pembayaran
harus dilaksanakan pada hari kerja berikutnya.

Saat pelaporan PPN/PPnBM


1. PPN dan PPn BM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT
Masa dan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat selambat-
lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
2. PPN dan PPn BM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang telah
dilunasi segera dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.
3. PPN dan PPn BM yang pemungutannya dilakukan oleh :
a. Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan selambat-lambatnya 14 hari setelah
Masa Pajak berakhir.
b. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai selain Bendaharawan Pemerintah harus
dilaporkan selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan secara mingguan
selambat-lambatnya 7 hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
4. Untuk penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan
PPn BM dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan
disampaikan kepada KPP setempat selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak
berakhir.
Catatan :
Apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus
dilaksanakan pada hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo.

Sarana yang digunakan untuk melakukan pembayaran/penyetoran pajak:


1. Untuk membayar/menyetor PPN dan PPn BM digunakan formulir Surat Setoran
Pajak yang tersedia gratis di Kantor-kantor Pelayanan Pajak dan Kantor-kantor
Penyuluhan Pajak di seluruh Indonesia.
2. Surat Setoran Pajak menjadi lengkap dan sah bila jumlah PPN/PPnBM yang
disetorkan telah diberi teraan oleh : Bank, Kantor Pos dan Giro, atau Kantor
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai penerima setoran.

Untuk menghindari pemungutan pajak berganda dapat dilakukan beberapa cara,


yaitu:
1. menerapkan kredit PPN atas bahan baku atau bahan pembantu termasuk faktor
produksi lainnya;
2. mencari nilai tambah pada setiap produksi;
3. menerapkan tarif yang berbeda-beda dengan memperhatikan tingkat tahapan
produksi seperti barang jadi, barang setengah jadi dan barang esensial;
4. menentukan dasar pengenaan dengan memperhatikan pertambahan nilainya;
5. menerapkan pemungutan sekali.

Mengkredit Pajak Masukan

Yang melatarbelakangi sistem kredit pajak adalah upaya untuk menghindari pengenaan
pajak berganda, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai bahwa sasaran pengenaannya adalah pertambahan nilai. Sedangkan
untuk menghitung besarnya pertambahan nilai untuk setiap unit produksi adalah sulit
sekali. Oleh karena itu, untuk memudahkan (menyederhanakan) cara perhitungan
pajaknya maka ditetapkan harga jual sebagai dasar pengenaan, dengan ketentuan bahwa
PPN yang terutang dan telah dibayar sewaktu membeli Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak dikreditkan dari PPN yang akan dibayar sewaktu melakukan penjualan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.

Meskipun demikian, agar tercegah adanya pengkreditan pajak yang tidak semestinya,
maka tidak setiap pajak masukan dapat dikreditkan, melainkan terbatas yang telah
memenuhi persyaratan.

Melalui sistem pengkreditan pajak masukan tersebut, akan menghasilkan 3 (tiga)


alternatif:
1. masih harus membayar PPN, dalam hal pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak
Masukan;
2. terjadi kelebihan pembayaran pajak, dalam hal Pajak Keluaran lebih kecil daripada
Pajak Masukan;

3. tidak kurang bayar dan tidak terjadi kelebihan pembayaran PPN, dalam Pajak
Keluaran sama dengan Pajak Masukan.
Daftar Pustaka

Mardiasmo.Perpajakan.1987.Yogyakarta: Andi Offset

http://air3warna.blogspot.co.id/2012/11/makalah-hukum-pajak-ppn-dan-
ppnbm.html

http://yoga%20nitip/pajak/sap%2011/syarat-penyerahan-barang-terutang-ppn.htm

http://dudiwahyudi.com/pajak/pajak-pertambahan-nilai/tarif-dan-dasar-pengenaan-ppn.html

Anda mungkin juga menyukai