KERANGKA TEORI
Menurut World Health Organisation (WHO), lansia adalah seseorang yang telah
memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah
memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan
terjadi suatu proses yang disebut Aging Process atau proses penuaan. Proses penuaan adalah
siklus kehidupan yang ditandai dengan tahapantahapan menurunnya berbagai fungsi organ tubuh,
yang ditandai dengan semakin rentannya tubuh terhadap berbagai serangan penyakit yang dapat
menyebabkan kematian misalnya pada sistem kardiovaskuler dan pembuluh darah, pernafasan,
pencernaan, endokrin dan lain sebagainya. Hal tersebut disebabkan seiring meningkatnya usia
sehingga terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Perubahan
tersebut pada umumnya mengaruh pada kemunduran kesehatan fisik dan psikis yang pada
akhirnya akan berpengaruh pada ekonomi dan sosial lansia. Sehingga secara umum akan
berpengaruh pada activity of daily living (Fatmah, 2010).
Batasan umur pada usia lanjut dari waktu ke waktu berbeda. Menurut World Health Organitation
(WHO) lansia meliputi :
a. Virilitas (prasenium) yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan kematangan jiwa
(usia 55-59 tahun)
b. Usia lanjut dini (senescen) yaitu kelompok yang mulai memasuki masa usia lanjut dini (usia
60-64 tahun)
c. Lansia berisiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif (usia >65 tahun)
Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia berdasarkan Depkes RI (2003) dalam
Maryam dkk (2009) yang terdiri dari : pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara
45-59 tahun, lansia ialah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, lansia resiko tinggi ialah
seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan
masalah kesehatan, lansia potensial ialah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan
dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa, lansia tidak potensial ialah lansia yang
tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
Lansia memiliki karakteristik sebagai berikut: berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1
ayat (2) UU No.13 tentang kesehatan), kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat
sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga
kondisi maladaptif, lingkungan tempat tinggal bervariasi (Maryam dkk, 2008).
Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kodisi fisik,
mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho 2000 dalam Maryam dkk, 2008). Tipe tersebut
dijabarkan sebagai berikut:
Lansia harus menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik yang terjadi seiring penuaan. Waktu
dan durasi perubahan ini bervariasi pada tiap individu, namun seiring penuaan sistem tubuh,
perubahan penampilan dan fungsi tubuh akan terjadi. Perubahan ini tidak dihubungkan dengan
penyakit dan merupakan perubahan normal. Adanya penyakit terkadang mengubah waktu
timbulnya perubahan atau dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari.
Adapun tugas perkembangan pada lansia dalam adalah : beradaptasi terhadap penurunan
kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa pensiun dan penurunan pendapatan,
beradaptasi terhadap kematian pasangan, menerima diri sebagai individu yang menua,
mempertahankan kehidupan yang memuaskan, menetapkan kembali hubungan dengan anak yang
telah dewasa, menemukan cara mempertahankan kualitas hidup (Potter & Perry, 2009).
Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun
berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang
dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman
perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual
maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Menurut
Engel (1970) menyatakan nyeri sebagai suatu dasar sensasi ketidaknyamanan yang
berhubungan dengan tubuh dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan
oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman atau fantasi luka. Nyeri adalah apa yang
dikatakan oleh orang yang mengalami nyeri dan bila yang mengalaminya
mengatakan bahwa rasa itu ada. Definisi ini tidak berarti bahwa anak harus
mengatakan bila sakit. Nyeri dapat diekspresikan melalui menangis, pengutaraan,
atau isyarat perilaku (Mc Caffrey & Beebe, 1989 dikutip dari Betz & Sowden, 2002).
Menurut Torrance & Serginson (1997), ada tiga jenis sel saraf dalam proses
penghantaran nyeri yaitu sel syaraf aferen atau neuron sensori, serabut konektor
atau interneuron dan sel saraf eferen atau neuron motorik. Sel-sel syaraf ini
mempunyai reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri dihantarkan
ke sum-sum tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan
memulai impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor-reseptor
yang berespon terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor. Stimulus pada jaringan
akan merangsang nosiseptor melepaskan zat-zat kimia, yang terdiri dari
prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien, substansi p, dan enzim proteolitik.
Zat-zat kimia ini akan mensensitasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls ke otak
(Torrance & Serginson, 1997). Menurut Smeltzer & Bare (2002) kornu dorsalis dari
medula spinalis dapat dianggap sebagai tempat memproses sensori. Serabut perifer
berakhir disini dan serabut traktus sensori asenden berawal disini. Juga terdapat
interkoneksi antara sistem neural desenden dan traktus sensori asenden. Traktus
asenden berakhir pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls
dipancarkan ke korteks serebri. Agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada
sistem asenden harus diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor
nyeri yang terletak dalam kulit dan organ internal. Terdapat interkoneksi neuron
dalam kornu dorsalis Universitas Sumatera Utara yang ketika diaktifkan,
menghambat atau memutuskan taransmisi informasi yang menyakitkan atau yang
menstimulasi nyeri dalam jaras asenden. Seringkali area ini disebut gerbang.
Kecendrungan alamiah gerbang adalah membiarkan semua input yang menyakitkan
dari perifer untuk mengaktifkan jaras asenden dan mengaktifkan nyeri. Namun
demikian, jika kecendrungan ini berlalu tanpa perlawanan, akibatnya sistem yang
ada akan menutup gerbang. Stimulasi dari neuron inhibitor sistem asenden
menutup gerbang untuk input nyeri dan mencegah transmisi sensasi nyeri
(Smeltzer & Bare, 2002). Teori gerbang kendali nyeri merupakan proses dimana
terjadi interaksi antara stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut yang
mengirim sensasi tidak nyeri memblok transmisi impuls nyeri melalui sirkuit
gerbang penghambat. Sel-sel inhibitor dalam kornu dorsalis medula spinalis
mengandung eukafalin yang menghambat transmisi nyeri (Wall, 1978 dikutip dari
Smeltzer & Bare, 2002).
Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan kemungkinan nyeri dalam
intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh
dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling
mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri.
Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran
pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007). Menurut Smeltzer & Bare (2002)
adalah sebagai berikut :
Keterangan : 0 :Tidak nyeri 1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat
berkomunikasi dengan baik dan memiliki gejala yang tidak dapat terdeteksi. 20 4-
6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,menyeringai, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
Memiliki karateristik adanya peningkatan frekuensi pernafasan , tekanan darah,
kekuatan otot, dan dilatasi pupil. 7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang
tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi. Memiliki karateristik muka klien
pucat, kekakuan otot, kelelahan dan keletihan 10 : Nyeri sangat berat : Pasien
sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul. Karakteristik paling subyektif
pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali
diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah.
Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke
waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan. Skala deskriptif merupakan alat
pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal
(Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai
lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis.
Pendeskripsi ini diurut dari tidak terasa nyeri sampai nyeri yang tidak
tertahankan. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien 21
untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan
seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa
paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah
kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating
scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal
ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala ini paling efektif
digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik.
Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10
cm (Potter & Perry, 2005). Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak
melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang
terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi
klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat
merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata
atau satu angka (Potter, 2005). Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut
mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien
melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi
nyeri akan lebih akurat. Skala deskriptif bermanfaat bukan saja dalam upaya
mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi 22 perubahan kondisi
klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih
memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan
(Potter, 2005).