Chaper II
Chaper II
TINJAUAN PUSTAKA
2.3.2. Etiologi
Pada penelitian, ligasi (obstruksi) apendiks menyebabkan
peningkatan mencolok tekanan intralumen, yang dengan cepat melebihi
tekanan darah sistolik. Pada awalnya kongesti darah vena menjelek
menjadi trombosis, nekrosis dan perforata. Secara klinis, obstruksi lumen
merupakan penyebab utama apendisitis. Obstruksi ini disebabkan oleh
pengerasan bahan tinja (fekolit). Fekalit merupakan penyebab tersering
dari obstruksi apendiks. Bahan yang mengeras ini bisa mengapur, terlihat
dalam foto rontgen sebagai apendikolit (15-20%). Obstruksi akibat dari
edema mukosa dapat disertai dengan infeksi virus atau bakteri (Yersinia,
Salmonella, Shigella) sistemik. Mukus yang tidak normal terkesan sebagai
penyebab meningkatnya insidens apendisitis pada anak dengan kistik
fibrosis. Tumor karsinoid, benda asing, dan ascaris jarang menjadi
penyebab apendisitis (Hartman, 2000).
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis
adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.
Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan
2.3.3. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur
pada fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma (Mansjoer
dkk., 2000).
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada
bagian proksimal. Selanjutnya, terjadi peningkatan sekresi normal dari
mukosa apendiks yang distensi secara terus menerus karena multiplikasi
cepat dari bakteri. Obstruksi iga menyebabkan mukus yang diproduksi
mukosa terbendung. semakin lama, mukus tersebut semakin banyak.
Namun, elastisitas dinding apendiks terbatas sehingga meningkatkan
tekanan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml
(Schwartz, 2000).
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks
mengalami hipoksia, hambatan aliran limfe, ulserasi mukosa, dan invasi
bakteri. Infeksi memperberat pembengkakan apendiks (edema). Trombosis
pada pembuluh darah intramural (dinding apendiks) menyebabkan
iskemik. Pada saat ini, terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh
nyeri epigastrium (Mansjoer dkk., 2000).
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus
meningkat. Hal tersebut menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah,
dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang meluas dan
mengenai peritoneum setempat menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut (Mansjoer dkk.,
2000).
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding
apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan
2.3.5. Diagnosis
Menurut Kartono (1995), massa apendiks dengan proses radang
aktif ditandai dengan:
1. Keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi;
2. Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas
terdapat tanda-tanda peritonitis;
3. Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat
pergeseran ke kiri.
2.3.6. Pemeriksaan
2.3.6.1. Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila
suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforata. Bisa terdapat
perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1C. Pada inspeksi perut tidak
ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita
dengan komplikasi perforata. Appendisitis infiltrat atau adanya abses
apendikuler terlihat dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah
(Pieter, 2005).
Apendisitis yang tidak terobati berlanjut dengan perforata dalam
48-72 jam; karenanya, lamanya gejalanya sangat penting dalam
2.3.7. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer dkk. (2000), penatalaksanaan apendisitis terdiri dari:
a. Sebelum operasi
1. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi
2. Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin
3. Rehidrasi
4. Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan
secara intravena
5. Obat obatan penurun panas, phenergan sebagai anti mengigil,
largaktil untuk membuka pembuluh pembuluh darah perifer
diberikan setelah rehidrasi tercapai
6. Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi
b. Operasi
1. Apendiktomi
2. Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforata bebas,
maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika
3. Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massa mungkin
mengecil, atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka
waktu beberapa hari. Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan
operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan
2.3.8. Komplikasi
Komplikasi apendisitis terjadi pada 25-30% anak dengan apendisitis,
terutama komplikasi yang dengan perforata (Hartman, 2000).
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), komplikasi potensial setelah
apendiktomi antara lain:
1. Peritonitis
Observasi terhadap nyeri tekan abdomen, demam, muntah, kekakuan abdomen,
dan takikardia. Lakukan penghisapan nasogastrik konstan. Perbaiki dehidrasi
sesuai program. Berikan preparat antibiotik sesuai program.
2. Abses pelvis atau lumbal
Evaluasi adanya anoreksi, menggigil, demam, dan diaforesis. Observasi adanya
diare, yang dapat menunjukkan abses pelvis, siapkan pasien untuk pemeriksaan
rektal. Siapkan pasien untuk prosedur drainase operatif.
2.3.9. Prognosis
Prognosis baik bila dilakukan diagnosis dini sebelum ruptur, dan diberi
antibiotik yang lebih baik. Apendisitis akut tanpa perforata memiliki mortalitas
sekitar 0,1%, dan mencapai 15% pada orang tua dengan perforata. Umumnya,
mortalitas berhubungan dengan sepsis, emboli paru, ataupun aspirasi (Schwartz,
2000).