Anda di halaman 1dari 23

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Appendix Vermiformis


Apendiks pertama kali terbentuk pada usia lima bulan kehamilan. Apendiks
merupakan kelanjutan dari sekum, tapi pemanjangan apendiks tidak secepat kolon
lainnya sehingga terbentuk struktur yang menyerupai cacing (Lee, 2013).
Panjang apendiks bervariasi antara 2 20 cm, rata-rata 10 cm. Dinding
apendiks terdiri dari dua lapisan, lapisan luar terdiri dari otot longitudinal yang
merupakan kelanjutan dari taenia coli dan lapisan dalam terdiri dari otot sirkular
yang dilapisi oleh epitel kolon (Lee, 2013).

Gambar 2.1. Anatomi appendiks vermivormis (Lazaro, 2012)

Saat lahir, terdapat beberapa folikel limfoid submukosa yang terus


membesar, puncaknya pada usia 12 20 tahun, kemudian folikel ini akan
mengecil kembali. Hal ini berhubungan dengan insidensi apendisitis (Lee, 2013).
Aliran darah apendiks terutama dari arteri apendicular yang merupakan
cabang arteri ileokolika. Arteri ini berjalan dari mesoapendiks posterior menuju
ileum terminal. Arteri apendiks aksesori dapat muncul dari percabangan arteri
cecal posterior. Kerusakan pada arteri ini dapat menyebabkan perdarahan hebat
intra-operatif maupun pos-operatif dan harus dicari secara teliti serta diligasi
setelah arteri apendicular dikontrol (Lee, 2013).

Universitas Sumatera Utara


Bagian proksimal apendiks terletak pada dinding posteromedial sekum,
kira-kira 2,5 cm di bawah katup ileocecal. Di sini juga merupakan tempat
bersatunya taeniae (Lee, 2013).
Letak bagian distal/ ujung apendiks bervariasi, 65 % terletak di retrocecal,
30 % terletak di pelvis, dan 5 % terletak di ekstraperitoneal (di belakang sekum,
kolon asenden, atau ileum distal). Letak ujung apendiks menentukan gejala dan
tanda awal apendisitis (Lee, 2013).

Gambar 2.2. Posisi appendiks vermiformis (Utama, 2012)

2.2.Apendisitis
2.2.1. Definisi
Apendisitis adalah inflamasi pada appendiks vermiformis (DynaMed, 2013).
Menurut definisi lain, apendisitis adalah inflamasi bagian dalam dari apendiks
vermiformis yang menyebar ke bagian-bagian lainnya (Craig, 2013).
Menurut Minkes (2013) apendisitis akut adalah inflamasi dan infeksi akut
dari apendiks vermiformis, yang secara sederhana sering disebut sebagai
apendiks. Apendiks adalah suatu struktur yang buntu, berasal dari sekum.
Apendiks dapat terlibat dalam berbagai proses infeksi, inflamasi, atau proses
kronis yang dapat menyebabkan dilakukan apendektomi. Kata apendisitis dan
apendisitis akut digunakan secara bergantian dengan maksud yang sama
(Minkes, 2013).

Universitas Sumatera Utara


Sementara itu, keberadaan apendisitis kronis masih kontroversial. Para ahli
bedah menemukan banyak kasus di mana pasien dengan nyeri abdomen kronis,
sembuh setelah operasi apendektomi. Mereka sepakat bahwa ketika apendiks
tidak terisi atau hanya terisi sedikit oleh barium saat barium enema dilakukan
pada pasien dengan keluhan nyeri abdomen kuadran kanan bawah yang bersifat
kronis intermiten, maka diagnosis apendisitis kronis sangat mungkin (Eylin,
2009).

2.2.2. Epidemiologi
Apendisitis merupakan penyebab utama nyeri abdomen yang membutuhkan
tindakan operasi segera pada anak-anak (Lee, 2010, Maki, 2013, Huckins, 2013,
Saucier, 2013). Di Amerika Serikat dijumpai 77.000 kasus apendisitis akut pada
anak per tahun. Laki-laki lebih berisiko menderita apendisitis daripada perempuan
dengan rasio 1,4:1. Puncak insidensi apendisitis pada usia 10 20 tahun
(DynaMed, 2013).
Di negara-negara barat, sekitar 7 % populasi mengalami apendisitis pada
suatu waktu dalam kehidupannya (Lee, 2013). Di Inggris dilaporkan 40.000
pasien per tahun dirawat karena apendisitis (DynaMed, 2013). Di Spanyol pada
tahun 2003 dilaporkan bahwa kasus apendisitis sebanyak 132,1 kasus per 100.000
populasi di mana proporsi apendisitis perforasi sebesar 12,1 % dan proporsi
operasi apendektomi negatif sebesar 4,3 %, sedangkan angka mortalitas 0,38 %
(Ballester, 2009).
Di Afrika Selatan, pada akhir abad ke-20 diperkirakan 10 % populasi
berkulit putih menjalani operasi apendektomi, sedangkan populasi berkebangsaan
Afrika hanya kurang dari 1 % yang menjalani operasi apendektomi. Perkiraan
insidensi apendisitis pada orang Afrika adalah 10 kasus per 100.000 populasi.
Perbedaan ini biasanya disebabkan oleh perbedaan pola makan, di mana orang
dari negara sedang berkembang mengkonsumsi makanan yang rendah lemak dan
tinggi serat (Victor, 2012).
Di Korea Selatan dilaporkan bahwa insidensi apendisitis 22,71 kasus per
10.000 populasi per tahun, yang dioperasi apendektomi 13,56 kasus per 10.000
populasi per tahun, dan insidensi apendisitis perforasi 2,91 kasus per 10.000

Universitas Sumatera Utara


populasi per tahun. Risiko menderita apendisitis pada laki-laki tidak berbeda
secara bermakna dengan perempuan yaitu 16,33 % berbanding 16,34 %
(Oguntola, 2010).
Insidensi apendisitis dan operasi apendektomi diduga berhubungan variasi
musim (Oguntola, 2010, Lee, 2010, Jangra, 2013). Menurut sebuah penelitian
pada anak-anak di India Utara, jumlah kasus apendisitis meningkat pada musim
hujan dengan kelembaban tinggi, yaitu pada bulan Juli sampai awal September
(Jangra, 2013). Di Nigeria bagian barat daya juga dilaporkan bahwa insidensi
apendisitis lebih tinggi pada musim hujan (April September) dengan puncak
pada bulan Juni Agustus (Oguntola, 2010). Pada penelitian di Korea Selatan
dilaporkan bahwa puncak insidensi apendisitis dan operasi apendektomi adalah
pada musim panas (Lee, 2010). Sedangkan pada penelitian lain pada di Amerika
Serikat dilaporkan bahwa insidensi apendisitis paling tinggi pada musim gugur
(OR 1,12; 95% CI: 1,04-1,21) dan musim semi (OR 1,11; 95% CI: 1,03-1,20)
(Minkes, 2013). Adanya variasi musim memungkinkan adanya peranan faktor-
faktor ekstrinsik yang heterogen, seperti kelembaban, alergen, radiasi sinar
matahari serta infeksi virus dan bakteri dalam etiopatogenesis apendisitis. Infeksi
virus dan bakteri menyebabkan hiperplasia jaringan limfoid sehingga terjadi
obtruksi lumen apendiks (Jangra, 2013).

2.2.3. Etiologi
Etiologi pasti apendisitis akut hingga saat ini belum diketahui. Jumlah asupan
makanan berserat, obstruksi lumen, dan faktor genetik diduga berperan dalam
proses terjadinya penyakit. Sejumlah penyakit infeksi dan parasit diketahui
melibatkan apendiks dan kadang-kadang dapat menyebabkan inflamasi apendiks
(Smallman-Raynor, 2010).
Apendisitis diawali obstruksi lumen apendiks diikuti oleh infeksi (Lee,
2013, DynaMed, 2013). Obstruksi dapat disebabkan oleh hiperplasia limfoid (60
%), fekalit (35 %), benda asing (4 %), tumor (1 %) (Lee, 2013). Obstruksi juga
dapat disebabkan oleh parasit Enterobius vermicularis dengan proporsi
0,2 41,8 % di seluruh dunia (Maki, 2012 dan Minkes, 2013).

Universitas Sumatera Utara


Pada penelitian lain dilaporkan bahwa insidensi apendisitis berhubungan
dengan infeksi mumps (95% CI 0,07 0,24; p<0,001) (Smallman-Raynor, 2010).

2.2.4. Patofisiologi
Patofisiologi dasar apendisitis adalah obstruksi lumen apendiks diikuti oleh
infeksi (Lee, 2013 dan DynaMed, 2013). Pada 60 % pasien, obstruksi disebabkan
oleh hiperplasia folikel di submukosa. Hal ini paling sering ditemui pada anak-
anak dan disebut sebagai apendisitis katar. Pada 35 % pasien, obstruksi
disebabkan oleh fekalit dan biasanya dijumpai pada pasien dewasa (Lee, 2013).
Bersamaan dengan terjadinya obstruksi, sekresi mukus terus berlangsung
dan meningkatkan tekanan intraluminal. Kemudian terjadi pertumbuhan bakteri
yang berlebihan. Mukus di dalam lumen berubah menjadi pus dan tekanan
intraluminal terus meningkat. Hal ini menyebabkan distensi apendiks dan nyeri
viseral yang khas di daerah epigastrik atau periumbilikus karena apendiks
dipersarafi oleh pleksus saraf torakal sepuluh (T 10) (Minkes, 2013 dan Saucier,
2013).
Karena tekanan intraluminal terus meningkat, terjadi obstruksi aliran
limfe, yang menyebabkan edema dinding apendiks. Stadium ini dikenal sebagai
apendisitis akut atau fokal (Minkes, 2013). Karena inflamasi semakin hebat,
terbentuk eksudat pada permukaan serosa dari apendiks. Ketika eksudat mencapai
peritoneum parietal, timbul nyeri yang lebih intens dan terlokalisasi pada
abdomen kuadran kanan bawah. Inilah yang disebut gejala klasik apendisitis (Lee,
2013).
Peningkatan tekanan intraluminal lebih lanjut menyebabkan obstruksi
vena, yang menyebabkan edema dan iskemia apendiks. Hal ini memudahkan
invasi bakteri ke dinding apendiks yang dikenal sebagai apendisitis akut supuratif.
Akhirnya, dengan peningkatan tekanan intraluminal yang terus berlanjut, terjadi
trombosis vena dan kegagalan arteri yang menyebabkan gangren dan perforasi
(Lee, 2013).

Universitas Sumatera Utara


Perforasi menyebabkan pelepasan cairan dan bakteri dari apendiks yang
inflamasi ke rongga abdomen. Selanjutnya akan terjadi inflamasi pada permukaan
peritoneum yang disebut peritonitis. Lokasi dan luas peritonitis tergantung pada
berapa banyak cairan usus yang tumpah (Minkes, 2013).
Jika tubuh berhasil menutup perforasi, nyeri akan berkurang. Walaupun
demikian, gejala tidak sepenuhnya sembuh. Pasien mungkin masih merasa nyeri
abdomen pada kuadran kanan bawah, penurunan nafsu makan, perubahan pola
defekasi (misalnya diare, konstipasi), atau demam intermiten. Jika perforasi tidak
berhasil ditutup, maka akan terjadi peritonitis difus (Lee, 2013).
Berdasarkan komplikasi, apendisitis diklasifikasikan menjadi dua jenis,
yaitu apendisitis sederhana (tidak dijumpai komplikasi gangren, perforasi atau
abses) dan apendisitis komplikata (bila dijumpai satu atau lebih komplikasi di
tersebut atas) (DynaMed, 2013).

2.2.5. Gambaran Klinis Apendisitis Akut pada Anak


2.2.5.1. Anamnesis
Pada permulaan apendisitis, pasien bisa tidak demam atau subfebris. Peningkatan
suhu yang lebih tinggi dihubungkan dengan apendisitis perforasi (Lee, 2013).
Berdasarkan anamnesis dapat ditemukan 2 (dua) jenis gejala apendisitis, yaitu:
a. Gejala klasik
Gejala klasik hanya dijumpai pada 55 % kasus, yaitu jika apendiks berada di
anterior (Lee, 2013). Gejala diawali oleh nyeri perut di periumbilikus yang
memberat dalam 24 jam. Nyeri menjadi lebih tajam dan berpindah ke fosa
iliaka kanan, lalu menetap. Ditemukan juga gejala hilangnya nafsu makan,
mual, muntah, dan konstipasi (Lee, 2013 dan DynaMed, 2013). Berdasarkan
sebuah penelitian, muntah dan demam lebih sering ditemukan pada anak
dengan diagnosis apendisitis daripada penyebab lain nyeri abdomen (Minkes,
2013).

Gambar 2.3. Lokasi nyeri klasik apendisitis akut (Zadeh, 2013)

Universitas Sumatera Utara


b. Gejala atipikal
Gejala atipikal berhubungan dengan variasi letak anatomi apendiks (Lee,
2013 dan DynaMed, 2013). Nyeri tumpul sering muncul ketika ujung
apendiks terletak di retrosekal. Jika ujung apendiks terletak di pelvis, pasien
akan mengeluhkan disuria, sering berkemih, dan nyeri di suprapubis karena
apendiks yang inflamasi mengiritasi kandung kemih. Pasien juga dapat
mengeluhkan diare atau tenesmus jika ujung apendiks yang inflamasi dekat
dengan rektum (Lee, 2013). Namun, jika ditanya lebih lanjut, biasanya diare
berupa buang air besar yang lunak, sedikit-sedikit, tetapi sering (Minkes,
2013).
Sebuah penelitian yang dilakukan pada 63 pasien apendisitis usia kurang
dari 3 tahun melaporkan bahwa awalnya 57 % mengalami salah diagnosis.
Sebanyak 33 % memiliki keluhan utama diare. Sebanyak 84 % telah mengalami
perforasi dan/ atau gangren (DynaMed, 2013).
Berdasarkan penelitian cohort pada 755 anak, apendisitis pada anak-anak
dapat menunjukkan gejala atipikal. Gejala klasik hanya ditemukan pada 50 68 %
anak (DynaMed, 2013).

2.2.5.2. Pemeriksaan Fisik


Temuan pemeriksaan fisik pada anak-anak bisa bervariasi tergantung pada usia
anak. Iritabilitas bisa menjadi satu-satunya tanda apendisitis pada neonatus. Pada
anak yang lebih tua sering terlihat tidak nyaman atau menyendiri, lebih suka
berbaring diam karena iritasi peritoneum. Remaja sering memiliki tanda klasik
apendisitis (Minkes, 2013).
Kebanyakan anak-anak dengan apendisitis tidak demam atau subfebris
(Minkes, 2013). Pada pemeriksaan fisik umum biasanya didapati suhu 38 oC atau
lebih rendah, suhu yang berfluktuasi mungkin mengindikasikan adanya abses
apendiks (DynaMed, 2013).
Pada pemeriksaan fisik jantung dan paru dapat ditemukan takikardi dan
takipnoe karena dehidrasi atau kesakitan (Minkes, 2013 dan DynaMed, 2013).
Pemerikasaan abdomen bertujuan untuk mencari kontraksi involunter dari
muskulus rektus atau oblikus (tanda peritoneal). Pada awal apendisitis, anak

Universitas Sumatera Utara


mungkin tidak menunjukkan tanda peritoneal. Sementara, anak yang lebih muda
lebih sering memiliki nyeri abdomen difus dan peritonitis, mungkin karena
omentumnya belum berkembang dengan sempurna dan tidak dapat membungkus
perforasi (Minkes, 2013).
Nyeri maksimal dapat ditemukan di titik McBurney pada abdomen
kuadran kanan bawah. Dapat teraba massa jika apendiks sudah perforasi (Minkes,
2013 dan DynaMed, 2013).
Temuan fisik yang paling spesifik pada apendisitis adalah nyeri lepas,
nyeri pada perkusi, dan tanda peritoneal. Walaupun nyeri abdomen kuadran kanan
bawah ditemukan pada 96% pasien, ini bukan merupakan temuan spesifik.
Kadang-kadang, nyeri abdomen kuadran kiri bawah menjadi keluhan utama pada
pasien dengan situs inversus (Craig, 2013).
Pada pasien dengan apendiks yang terletak di medial, dapat ditemukan
nyeri tekan suprapubis. Pada pasien dengan apendiks yang terletak di lateral
sering ditemukan nyeri pada daerah panggul kanan. Pada pasien dengan apendiks
yang terletak di retrosekal bisa tidak ditemukan nyeri tekan sampai apendisitis
sudah lanjut atau perforasi (Minkes, 2013).
Ditemukannya tanda Rovsing (nyeri pada abdomen kuadran kanan bawah
setelah dilakukan palpasi atau perkusi pada abdomen bagian kiri) menunjukkan
ada iritasi peritoneal (Minkes, 2013).
Untuk memeriksa tanda Psoas, baringkan anak miring ke kiri dan
hiperekstensikan sendi panggul kanan. Ditemukannya nyeri (respon positif)
mengindikasikan adanya massa inflamasi di atas otot psoas (apendisitis retrosekal)
(Minkes, 2013).
Untuk memeriksa tanda obturator, lakukan fleksi dan internal rotasi pada
sendi paha kanan. Ditemukannya nyeri (respon positif) menunjukkan adanya
massa inflamasi di atas daerah obturator (apendisitis pelvik) (Minkes, 2013).

Cara lain yang dapat digunakan untuk menentukan adanya iritasi


peritoneal antara lain dengan memerintahkan pasien sit up di tempat tidur, batuk,

Universitas Sumatera Utara


atau posisi berdiri dan jongkok begantian. Akan timbul nyeri yang
mengindikasikan adanya iritasi peritoneum (Minkes, 2013).
Pada bayi laki-laki dan anak-anak kadang-kadang datang dengan keluhan
inflamasi pada hemiskrotum karena migrasi cairan atau pus dari apendiks yang
inflamasi melalui prosesus vaginalis yang patent (Craig, 2013).
Sebagai tambahan, penting untuk dilakukan pemeriksaan rektal pada setiap
pasien dengan gejala klinis yang tidak jelas, serta pemeriksaan pelvis pada
perempuan yang mengeluhkan nyeri abdomen (Craig, 2013).
Menurut Minkes (2013) Digital Rectal Examination (DRE) bermanfaat
untuk menegakkan diagnosis yang tepat, khususnya pada anak-anak dengan
apendisitis yang terletak di pelvis. Temuan klasik pemeriksaan ini adalah nyeri
pada bagian kanan rektum. Dapat juga untuk memastikan adanya feses yang keras
atau massa inflamasi (Minkes, 2013). Namun, menurut Craig (2013) tidak ada
bukti ilmiah bahwa DRE bermanfaat untuk menegakkan diagnosis apendisitis.

2.2.6. Uji Diagnostik


Sampai saat ini belum ada satu uji diagnostik yang dapat menegakkan diagnosis
apendisitis secara akurat. Berikut ini adalah beberapa uji diagnostik apendisitis:

2.2.6.1. Pemeriksaan Laboratorium


a. Pemeriksaan Darah Lengkap dengan Diftel
Jumlah leukosit meningkat pada 70 90 % kasus apendisitis akut. Namun,
peningkatan tersebut biasanya ringan dan baru jelas terlihat setelah lebih dari 24
jam perjalanan penyakit atau setelah proses penyakit berlanjut. Peningkatan
neutrofil juga ditemukan yaitu lebih dari 75 % pada 78 % pasien apendisitis akut
(Craig, 2013 dan Minkes, 2013).
Jika jumlah leukosit melebihi 15.000 sel/L, mungkin telah terjadi
apendisitis perforasi. Walaupun deminikian, sebuah penelitian menemukan bahwa
tidak ada perbedaan bermakna jumlah leukosit pada anak-anak dengan apendisitis
sederhana dengan apendisitis perforasi (Minkes, 2013).
Berdasarkan tiga penelitian, jumlah leukosit lebih dari
14.900 15.000 sel/L memiliki akurasi diagnosis apendisitis yang rendah,

Universitas Sumatera Utara


dengan sensitivitas 19 60 %, spesifisitas 44-85%, positive likelihood ratio
1 3,7 serta negative likelihood ratio 0,48 1. Sementara itu, berdasarkan 4
penelitian jumlah leukosit lebih dari 10.000 10.100 sel/L memiliki spesifisitas
yang rendah (29 76 %) tapi sensitivitas mencapai 92 %, positive likelihood ratio
1,3 3,4 % serta negative likelihood ratio 0,11 0 ,26 (DynaMed, 2013).
Pada bayi, jumlah leukosit tidak reliabel dan mungkin tidak meningkat
sebagaimana respon normal terhadap infeksi (Craig, 2013).
Jumlah leukosit kurang dari 10.000/mm3 dan jumlah neutrofil kurang dari
7.500/mm3 dapat mengeksklusi apendisitis pada anak (level 2 [mid level]
evidence). Jumlah leukosit kurang dari 10.000/mm3 memiliki negative likelihood
ratio 0,35 (DynaMed, 2013).

b. Pemeriksaan C-Ractive Protein


C-reactive protein (CRP) adalah protein fase akut yang disintesis di hati sebagai
respon terhadap kerusakan jaringan atau inflamasi. Peningkatan CRP terjadi
setelah 2 6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dan karena waktu paruhnya
yang singkat, kadar CRP akan segera menurun setelah stimulus inflamasi hilang.
Kadar CRP normal kurang dari 6 mg/dL (Smallman-Raynor, 2010). Pada sebuah
penelitian dilaporkan bahwa kadar CRP kembali normal setelah 12 jam
munculnya gejala apendisitis (Craig, 2013).
Menurut penelitian Chung et al. dan Okomoto et al. kadar CRP yang tinggi
menunjukkan apendisitis perforasi, dimana rerata kadar CRP pada apendisitis
sederhana (19 + 23 mg/L) sedangkan pada apendisitis perforasi (103 + 68 mg/L)
(Bhatt, 2008).
Menurut penelitian Kutasy (2010) CRP tidak reliabel pada pasien anak
yang diduga apendisitis dengan obesitas berat, dimana dijumpai rata-rata kadar
CRP yang tinggi pada anak obesitas dengan histopatologi apendiks normal.

c. Kombinasi Pemeriksaan Leukosit dan CRP

Universitas Sumatera Utara


Sebuah penelitian prospektif yang dilakukan pada lebih dari 100 anak yang diduga
apendisitis, kemudian dilakukan apendektomi, sebanyak 98 % dari kasus yang
secara histopatologis terbukti apendisitis dijumpai peningkatan jumlah leukosit
atau kadar CRP (Craig, 2013). Jika ditemukan jumlah leukosit lebih dari 10 x
109/L dan kadar CRP 8 mg/L atau lebih, maka dapat ditegakkan diagnosis
apendisitis akut. Sebaliknya jika keduanya tidak ditemukan, maka diagnosis
apendisitis akut dapat dieksklusikan (level 2 [mid-level] evidence) (DynaMed,
2013).

d. Pemeriksaan Tripel (Leukosit, Neutrofil dan CRP)


Menurut penelitian prospektif pada 216 anak dengan apendisitis ditemukan bahwa
pemeriksaan tripel (leukositosis, neutrofilia, dan peningkatan kadar CRP)
memiliki sensitivitas 86 % dan negative predictive value 81 (Craig, 2013).

e. Marker Apendisitis Akut Lainnya


Pemeriksaan laboratorium lain yang memiliki nilai diagnostik moderat terhadap
apendisitis akut adalah hiperbilirubinemia, kadar kalprotektin plasma, dan kadar
amiloid A serum (DynaMed, 2013).

f. Pemeriksaan Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis bermanfaat untuk mendeteksi infeksi saluran kemih dan
batu ginjal (Craig, 2013 dan Minkes, 2013). Jika ditemukan dua puluh atau lebih
leukosit per lapangan pandang besar mengindikasikan infeksi saluran kemih. Jika
ditemukan hematuria perlu dipertimbangkan kemungkinan batu ginjal, infeksi
saluran kemih, atau sindroma hemolitik uremikum (Minkes, 2013).
Walaupun demikian, iritasi kandung kemih atau ureter oleh apendiks yang
inflamasi dapat menyebabkan pyuria ringan dan hematuria ringan (Craig, 2013
dan Minkes, 2013). Hal ini dihubungkan dengan apendisitis subsekal atau pelvikal
(DynaMed, 2013). Ketonuria mengindikasikan adanya dehidrasi dan sering
ditemukan pada apendisitis perforasi (Minkes, 2013).
Hasil urinalisis yang normal tidak memiliki nilai diagnostik pada
apendisitis (Minkes, 2013).

Universitas Sumatera Utara


2.2.6.2. Pemeriksaan Radiografi
Karena risiko radiasi dari CT scan, USG dengan kompresi lebih disukai sebagai
pemeriksaan pencitraan pertama apendisitis akut pada anak, yaitu dengan cara
menentukan lokasi apendiks, kemudian mengusahakan untuk menekan lumennya.
Temuan positif berupa diameter transversal lumen apendiks melebar (6 mm atau
lebih) dan tidak dapat dikompresi, timbul nyeri fokal pada titik McBurney ketika
dilakukan kompresi dengan probe USG, apendikolit, dan cairan dalam lumen
apendiks. Pada pasien dengan apendisitis perforasi, tampak gambaran flegmon
atau abses di sekitar apendiks (DynaMed, 2013 dan Minkes, 2013).

Gambar 2.4. Gambaran USG apendisitis akut pada anak (Minkes, 2013)

USG abdomen dapat mengidentifikasi pasien apendisitis akut anak yang


membutuhkan apendektomi maupun yang dapat terapi dengan antibiotik (level 2
[mid-level] evidence) (DynaMed, 2013).
Keputusan terapi dibuat berdasarkan derajat apendisitis, yaitu (DynaMed,
2013):
Derajat 1 (early) dan derajat 2 (suppurative) diberikan terapi antibiotik.
Derajat 3 (suppurative-gangrenous) dan derajat 4 (gangrenous) dilakukan
operasi apendektomi.
Hasil pemeriksaan USG yang dilakukan oleh ahli bedah dapat membantu
mengidentifikasi apendisitis dengan sensitivitas 92 % dan spesivisitas 96 %, tetapi
temuan negatif tidak cukup untuk mengeksklusikan apendisitis (DynaMed, 2013).

Universitas Sumatera Utara


Menurut Jaremco (2011) pada setiap tiga anak yang diduga apendisitis
akut, satu anak positif, namun penegakan diagnosis ini tetap sulit dengan atau
tanpa pemeriksaan radiografi. Penelitian ini menunjukkan hasil USG yang tidak
konklusif secara signifikan lebih sering didapati pada usia belasan daripada anak
yang lebih muda, sedangkan angka nonvisualisasi apendiks berdasarkan usia
hanya sedikit bervariasi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa USG masih sangat
akurat untuk mendiagnosis apendisitis pada anak dan bahwa CT scan seharusnya
hanya digunakan jika sangat diperlukan (Jaremco, 2011).
Penggunaan USG direkomendasikan untuk konfirmasi, tapi tidak dapat
mengeksklusi apendisitis akut pada anak-anak dan remaja (level 2 [mid-level]
evidence) (DynaMed, 2013 dan Craig, 2013). Untuk mengeksklusi apendisitis
akut, dianjurkan pemeriksaan CT scan (Craig, 2013).
CT scan memiliki sensitivitas dan spesivisitas yang tinggi untuk
mengevaluasi dugaan suatu apendisitis akut (level 1 [likely reliable] evidence)
(DynaMed, 2013). Temuan CT scan yang mengindikasikan apendisitis adalah
penebalan apendiks atau penebalan dinding sekum. Temuan CT scan yang
mengindikasikan apendisitis perforasi adalah gambaran udara di sekitar apendiks
atau sekitar sekum, abses, flegmon, dan udara bebas yang ekstensif. CT scan
dapat membantu mengkonfirmasi dugaan appendiceal mass pada pasien anak
yang obesitas. Pada pasien dengan abses apendiks, CT scan juga dapat membantu
evakuasi abses dengan CT-guided drainage (Minkes, 2013). Namun, pada anak-
anak, gambaran apendikolit memiliki nilai diagnostik yang rendah (level 2 [mid-
level] evidence) (DynaMed, 2013).

Gambar 2.5. CT scan apendisitis akut pada anak (Minkes, 2013)

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan systematic review, CT scan lebih sensitif daripada USG untuk
menegakkan diagnosis apendisitis akut (level 1 [likely reliable] evidence)
(DynaMed, 2013). Perbandingan USG dan CT scan tanpa kontras dipaparkan
dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1. Perbandingan CT scan tanpa kontras dan USG (Minkes, 2013)
CT scan tanpa kontras (%) USG (%)
Sensitivitas 97 100
Spesivisitas 100 88
Akurasi 98 91

Kelemahan USG sebagai uji diagnostik apendisitis adalah (Bhatt, 2008):


(1) Sensitivitas sangat bergantung pada keahlian operator;
(2) Kesulitan untuk memvisualisasi apendiks yang tidak mengalami inflamasi;
(3) lebih sulit memvisualisasi apendisitis pada anak yang gemuk.
Kelemahan CT scan sebagai uji diagnosis adalah paparan terhadap radiasi.
Dilaporkan bahwa satu kali CT scan abdomen meningkatkan risiko anak tersebut
menderita kanker dan risiko tersebut semakin besar jika usia paparan semakin
muda. Menurut penelitian Brenner et al., perkiraan risiko kanker pada anak yang
dilakukan CT scan pada usia < 5 tahun adalah 0,15 0,23 %, usia 5 15 tahun
adalah 0.11 0,15 %, dan dewasa 1:1100 (Bhatt, 2008).

2.2.6.3. Pemeriksaan Mikrobiologi


Berdasarkan Texas Children Hospital Evidence-Based Outcomes Centre: Acute
Appendicitis/Appendectomy Management Guideline tahun 2012, kultur bakteri
perioperatif tidak rutin dilakukan pada anak dengan apendisitis akut, kecuali jika
ditemukan apendiks perforasi dengan abses (strong recommendation, low quality
evidence) (The Medical University of South Carolina Library website, 2013).

2.2.6.4. Pemeriksaan Histopatologi

Universitas Sumatera Utara


Pemeriksaan Histopatologi merupakan standard baku emas diagnosis apendisitis
(DynaMed, 2013, Craig, 2013, Lee, 2013, Minkes, 2013). Pada stadium awal
apendisitis, secara makroskopis apendiks tampak edema dengan dilatasi pembuluh
darah serosa. Secara mikroskopis, tampak infiltrat neutrofil pada lapisan mukosa
dan muskularis hingga ke lumen apendiks. Selanjutnya, secara makroskopis
dinding apendiks tampak menebal, lumen berdilatasi, dan terbentuk eksudat
serous. Pada stadium ini, secara mikroskopis tampak nekrosis mukosa. Pada
stadium lanjut apendisitis, secara makroskopis tampak tanda-tanda nekrosis
mukosa hingga lapisan luar dinding apendiks dan bisa ditemukan gangren. Pada
stadium ini, secara mikroskopis tampak mikroabses multipel pada dinding
apendiks dan nekrosis berat pada semua lapisan (Craig, 2013). Pada stadium ini
terjadi perforasi apendiks. Sebuah penelitian melaporkan bahwa bagian tengah
apendiks lebih sering mengalami perforasi daripada bagian ujung apendiks
(Sitorus, 2009).
Temuan apendiks normal pada saat operasi membutuhkan pemeriksaan
histopatologi yang teliti. Kadang-kadang, apendisitis derajat 1 (early appendicitis)
baru teridentifikasi pada pemeriksaan histologi dan secara klinis dikorelasikan
dengan resolusi dari gejala-gejala sebelum operasi dilakukan (Minkes, 2013).

2.2.7. Pediatric Appendicitis Score (PAS)


Pada tahun 2002, untuk pertama kalinya Samuel membuat skor apendisitis khusus
untuk anak-anak. Dari 1170 anak usia 4 15 tahun yang dirujuk ke ahli bedah
anak dengan keluhan nyeri perut yang sugestif apendisitif, diteliti secara
prospektif data demografi, gejala, tanda, pemeriksaan laboratorium, dan hasil
pemeriksaan patologi dari apendektomi yang dilakukan oleh ahli bedah anak.
Kemudian dilakukan analisis regresi linear multipel dari semua parameter hingga
diperoleh delapan komponen sebagai komponen Pediatric Appendicitis Score
(PAS). Kedelapan elemen tersebut beserta nilai diagnostiknya dipaparkan pada
tabel berikut (Bhatt, 2008):

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.2. Pediatric Appendicitis Score (Bhatt, 2008)
Indikator Diagnostik Nilai Skor

Nyeri saat batuk/ perkusi/ melompat 2

Penurunan nafsu makan 1


Peningkatan suhu tubuh 1
Mual/ muntah 1
Nyeri perut kuadran kanan bawah 2

Leukositosis lebih dari 10.000 1


Neutrofilia 1
Migrasi nyeri 1
Total 10

Penelitian prospektif yang dilakukan Bhatt pada 246 anak dengan


menggunakan PAS menunjukkan bahwa jika digunakan cut-point tunggal (PAS 5)
menghasilkan false positive dan false negative yang tinggi. Performa PAS
meningkat bila digunakan dua cut-point (Bhatt, 2008). Dengan menggunakan
strategi ini, negative appendectomy rate 4,4% (Wesson, 2014).
Penelitian prospektif yang dilakukan Obinna et al. (2011) pada 112 anak
menunjukkan bahwa PAS dapat digunakan selain sebagai alat diagnostik juga
sebagai indikator prognosis apendisitis akut. Semakin tinggi nilai PAS, semakin
besar pula kemungkinan terjadinya apendisitis komplikata.
Anak dengan keluhan nyeri abdomen dengan PAS (Obinna, 2011 dan
Wesson, 2014):
PAS < 5 berisiko rendah untuk terjadi apendisitis. Anak dengan PAS < 5
dapat dirawat jalan. Namun, nyeri perut yang menetap atau adanya keluhan
tambahan lain harus dievaluasi ulang.
PAS > 9 berisiko tinggi untuk terjadi apendisitis komplikata. Anak dengan
PAS > 9 harus dioperasi apendektomi.
PAS 6 8 lebih sering dijumpai apendisitis sederhana. Anak dengan PAS 6
8 juga dioperasi apendektomi.

2.2.8. Penatalaksanaan Apendisitis Akut pada Anak

Universitas Sumatera Utara


Perjalanan penyakit mulai dari obstruksi apendiks hingga perforasi apendiks
memerlukan waktu yang sangat singkat, yaitu sekitar 72 jam sejak timbulnya
gejala (Minkes, 2013).
Pasien dengan gejala klasik apendisitis membutuhkan konsultasi bedah
segera. Puasakan pasien yang diduga apendisitis dan berikan cairan intravena
(Craig, 2013 dan Minkes, 2013). Pasien dengan apendisitis biasanya
membutuhkan bolus cairan intravena (level of evidence A II) untuk mengkoreksi
dehidrasi, kemudian resusitasi cairan dilanjutkan sesuai dengan derajat keparahan
apendisitis. Pada pasien tanpa tanda syok, terapi cairan intravena diberikan jika
dicurigai ada infeksi intra-abdominal (The Medical University of South Carolina
Library website, 2013). Pasang kateter untuk memantau produksi urin guna
menghitung kebutuhan cairan. Pasang nasogastric tube (NGT) bila perlu (Craig,
2013 dan Minkes, 2013).
Terapi antibiotik intravena untuk membunuh bakteri usus (misalnya,
cefalosporin generasi kedua, gentamisin, metronidazol.) harus diberikan segera
setelah diagnosis apendisitis perforasi dikonfirmasi (Minkes, 2013).
Antibiotik pascaoperasi tidak diperlukan pada apendisitis sederhana pada
anak-anak (Minkes, 2013).
Apendisitis gangrenosa memerlukan terapi antibiotik 48 72 jam (Minkes,
2013). Pada apendisitis komplikata/ lanjut, antibiotik monoterapi (piperacilin/
tazobaktam) minimal diberikan 3 hari efektif untuk menurunkan komplikasi
infeksi pascaoperasi pada anak yang akan dioperasi apendektomi (strong
recomendation, moderate quality evidence). Dosis pertama diberikan segera
setelah tegak diagnosis apendisitis akut terbukti. Dosis kedua diberikan 30 menit
sebelum dilakukan insisi operasi (The Medical University of South Carolina
Library website, 2013). Terapi antibiotik perioperatif terbukti efektif mencegah
komplikasi pascaoperasi apendektomi (level 1 [likely reliable] evidence)
(DynaMed, 2013). Lanjutkan monoterapi minimal 3 hari (dosis ketiga) pada anak
dengan apendisitis komplikata (The Medical University of South Carolina Library
website, 2013). Literatur lain menyebutkan bahwa terapi antibiotik pada
apendisitis perforasi minimal 7 10 hari, atau lebih lama bila diperlukan.

Universitas Sumatera Utara


Antibiotik intravena diberikan selama di rumah sakit, dilanjutkan antibiotik per
oral bila pasien sudah cukup sehat untuk pulang (DynaMed, 2013).
Pemberian terapi analgetik pada apendisitis akut tidak boleh ditunda.
Penundaan analgetik tidak menolong dalam mendiagnosis apendisitis (strong
recommendations, high quality evidence). Pemberian terapi analgetik pascaoperasi
harus konsisten sesuai dengan jadwal pemberian (strong recommendation, low
quality evidence) (The Medical University of South Carolina Library website,
2013).
Berikan terapi antiemetik parenteral bila diperlukan serta antipiretik
(Craig, 2013 dan Minkes, 2013).

2.2.8.1. Penatalaksanaan Konsevatif (Non-operatif)


Penatalaksanaan konservatif adalah dengan pemberian obat-obatan tanpa operasi.
Penatalaksanaan konsevatif bermanfaat ketika operasi apendektomi tidak dapat
dilakukan atau sangat berisiko tinggi untuk dilakukan, misalnya pada orang yang
yang berada di kapal selam atau sedang berlayar di laut (Craig, 2013).
Menurut Surgical Infection Society and the Infectious Society of America
tahun 2009, penatalaksanaan non-operatif pada pasien apendisitis akut non-
perforasi dapat dipertimbangkan jika ditemukan perbaikan gejala yang bermakna
sebelum operasi (level of evidence B-II) (The Medical University of South
Carolina Library website, 2013).
Apendisitis sederhana pada dewasa bisa berhasil diobati dengan antibiotik,
tetapi angka kejadian peritonitis dalam 30 hari lebih tinggi daripada pasien yang
dilakukan operasi apendektomi, serta dijumpai angka kekambuhan 15 % dalam 1
tahun (level 1 [likely reliable] evidence) (DynaMed, 2013). Namun,
penatalaksanaan konservatif dengan antibiotik pada anak dengan apendisitis akut
masih merupakan hal yang baru dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
sebelum direkomendasikan untuk praktik rutin (Minkes, 2013).
Namun, menurut sebuah penelitian meta-analisis menyimpulkan bahwa
walaupun antibiotik dapat digunakan sebagai terapi primer pada apendisitis
sederhana, operasi apendektomi masih menjadi terapi definitif untuk apendisitis
akut (Varadhan, 2010).

Universitas Sumatera Utara


Namun, bila setelah tiga hari pemberian antibiotik intravena, tidak ada
perbaikan yang bermakna, penatalaksanaan konservatif dianggap gagal. Risiko
kegagalan terapi konservatif meningkat pada pasien anak dengan apendisitis
perforasi yang ditemukan apendikolit (41,7 %) dibandingan dengan yang tidak
ditemukan apendikolit (13 %), tetapi lokasi apendikolit tidak menjadi prediktor
terjadinya kegagalan (James, 2011).
CT scan dapat memprediksi kegegalan penatalaksanaan konservatif pada
anak dengan apendisitis perforasi (level 2 [mid level] evidence) (DynaMed, 2013).

2.2.8.2. Apendektomi
Apendektomi merupakan terapi definitif pada apendisitis karena dapat dicapai
perbaikan spontan setelah apendektomi dan angka kekambuhan setelah terapi
konservatif dengan antibiotik cukup besar (14 35 %) (DynaMed, 2013).
Indikasi apendektomi adalah (Lee, 2013):
Pasien dengan gejala klasik apendisitis, pemeriksaan fisik dan laboratorium
yang mendukung apendisitis.
Pasien dengan gejala atipikal dan temuan radiografi konsisten dengan
apendisitis.
Pasien dengan gejala atipikal yang mengalami perburukan (nyeri menetap dan
suhu meningkat, pemeriksaan klinis memburuk, leukosit meningkat)
Tidak ada kontraindikasi untuk dilakukan operasi apendektomi. Akan
tetapi, pasien dengan abses periapendiks yang berbatas tegas, operasi apendektomi
biasanya ditunda. Abses dilakukan drainase terlebih dahulu, baik secara per kutan
maupun operasi (level of evidence A-II) (The Medical University of South
Carolina Library website, 2013).
Operasi apendektomi dapat dilakukan dengan prosedur laparoscopic
appendectomy maupun dengan open appendectomy. Prosedur mana yang harus
dipilih, ditentukan oleh tingkat kemahiran ahli bedah dalam melakukan prosedur
tersebut (The Medical University of South Carolina Library website, 2013).
Perbandingan laparoscopic appendectomy dan open appendectomy dipaparkan
pada tabel 2.3.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.3. Perbandingan laparoscopic apendectomy dan open apendectomy
(Dynamed, 2013)
Laparoscopic Open
appendectomy appendectomy
Lebih rendah Lebih tinggi
Infeksi luka pascaoperasi
(level 2 evidence) (level 2 evidence)
Lebih singkat Lebih panjang
Lama perawatan di rumah sakit
(level 2 evidence) (level 2 evidence)
Abses pascaoperasi
Lebih sering Lebih jarang
pada pasien dengan apendisitis
(level 2 evidence) (level 2 evidence)
gangrenosa atau perforasi

Gambar 2.6. Laparoscopic appendectomy (Zadeh, 2013)

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.7. Open appendectomy (Zadeh, 2013)

Pada penelitian Groves dilaporkan bahwa pada pasien anak dengan


apendisitis, infeksi luka operasi lebih sedikit dan lama perawatan di rumah sakit
lebih singkat pada laparoscopic appendectomy dibandingkan dengan open
appendectomy (Groves, 2013).

Universitas Sumatera Utara


Pada penelitian Schietroma (2012) dilaporkan bahwa pada pasien dengan
apendisitis perforasi dengan peritonitis, stress response setelah open
appendectomy lebih tinggi secara bermakna daripada laparoscopic appendectomy.
Pada kelompok open appendectomy ditemukan peningkatan insidensi bakteremia,
endotoksemia, dan inflamasi sitemik.

2.2.9. Prognosis Apendisitis Akut pada Anak


Adapun prognosis apendisitis akut pada anak yaitu (DynaMed, 2013):
Risiko perforasi
Risiko perforasi pada pasien apendisitis akut akan meningkat setelah lebih
dari 36 jam munculnya gejala awal dan tanpa pengobatan (level 2 [mid-level]
evidence).
Sembuh spontan
Apendisitis akut sederhana dilaporkan sering sembuh spontan (level 3
[lacking direct] evidence). Angka kekambuhan dari apendisitis sederhana
yang telah sembuh spontan sebesar 38%, dan biasanya terjadi dalam satu
tahun setelah gejala pertama muncul (level 2 [mid-level] evidence).
Kematian
Angka kematian neonatus yang menderita apendisitis dilaporkan telah
menurun, yaitu dari 78% (tahun 1975) menjadi 30% (tahun 1976 2000).

2.2.10. Komplikasi
Komplikasi apendisitis antara lain (Craig, 2013 dan Minkes, 2013):
Perforasi
Sebanyak 20 35 % pasien akut apendisitis saat terdiagnosis sudah
mengalami perforasi apendiks. Risiko perforasi 7,7 % dalam 24 jam pertama,
dan meningkat seiring dengan waktu.
Sepsis
Syok
Perlengketan paska operasi
Infeksi luka operasi

Universitas Sumatera Utara


Angka kejadian luka operasi pada apendisitis sederhana tidak berbeda secara
signifikan dibandingkan dengan apendisitis perforasi (Bahar, 2010).
Obstruksi usus
Abses intra abdomen/ pelvis
Kematian
Angka kematian akibat apendisitis di Belanda sebanyak 1 kasus per tahun
pada tahun 1996 2003 (Narsule, 2011).

2.3. Diagnosis Banding Apendisitis Akut pada Anak


Gejala dan tanda apendisitis tidak spesifik sering ditemukan pada diagnosis lain
(Minkes, 2013). Kesalahan diagnosis apendisitis pada anak sebanyak 25 30 %,
dan angka kesalahan diagnosis ini berbanding terbalik dengan usia pasien.
Kesalahan diagnosis tersering adalah apendisitis didiagnosis sebagai
gastroenteritis (DynaMed, 2013).
Apendisitis jarang pada bayi. Jika ditemukan apendisitis pada bayi, maka
dugaan adanya penyakit Hirschprung juga harus dipertimbangkan (Minkes, 2013).
Berikut ini adalah beberapa diagnosis banding apendisitis akut pada anak (Craig,
2013, DynaMed, 2013, Minkes, 2013):
Konstipasi
Sindroma Hemolitik Uremik
Divertikulum Meckel
Kista ovarium
Gastroenteritis
Intususepsi
Infeksi saluran kemih dan pyelonefritis
Pelvic Inflamatory Disease

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai