Anda di halaman 1dari 4

MAYA AULIA

17811053
SKENARIO 3
Tujuan Pembelajaran :
1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan akreditasi RS.
2. Mahasiswa mampu memahami terkait dengan lembaga akreditasi RS.
3. Mahasiswa mampu mamahami standar penilaian akreditasi RS terkait MPO.
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penyimpanan dan pendistribusian obat di RS.

Akreditasi RS adalah pengakuan terhadap RS yang diberikan oleh lembaga indepeden penyelenggara
Akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri, setelah dinilai bahwa RS itu memenuhi Standar Pelayanan RS yang
berlaku untuk meningkatkan mutu pelayanan RS secara berkesinambungan. Standar Pelayanan RS yang
dimaksud adalah standar pelayanan yang berlaku di RS antara lain standar prosedur operasional, standar
pelayanan medis dan stadar asuhan keperawatan. Setiap RS di Indoesia, wajib mengikuti Akreditasi nasional,
namun dalam upaya meningkatkan daya saing, RS dapat mengikuti Akreditasi internasional sesuai
kemampuan. Setiap RS baru yang telah memperoleh izin operasional dan beroperasi sekurang-kurangnya 2
tahun wajib mengajukan permohonan Akreditasi. Akreditasi RS bertujuan untuk (1) meningkatkan mutu
pelayanan RS, (2) meningkatkan keselamatan pasien RS, (3) meningkatkan perlindungan bagi pasien,
masyarakat, sumber daya manusia RS dan RS sebagai institusi, (4) mendukung program Pemerintah di
bidang kesehatan (Permenkes, 2012). Manfaat dilakukannya Akreditasi RS itu sendiri adalah (1)
meningkatkan kepercayaan masyarakat bahwa RS menjamin keselamatan pasien dan mutu pelayanannya,
(2) menyediakan lingkungan kerja yang aman dan efisien sehingga staf puas, (3) Bagi staf RS, meningkatkan
kesadaran akan pentingnya pemenuhan standar dan peningkatan mutu, (4) bagi RS, peningkatan manajemen
pelayanan kesehatan; peningkatan sistem dan prosedur dan minimalisasi resiko, (5) membangun kepimpinan
yang mengutamakan pelayanan, (5) kepemimpinan ini menetapkan prioritas untuk dan demi trciptanya
kepemimpinan yang berkelanjutan untuk meraih kualitas dan keselamatan (Anonim, 2013).
Sesuai dengan Undang-undang No.44 Tahun 2009 pasal 40 ayat 1, menyatakan bahwa dalam upaya
peningkatan mutu pelayanan, Rumah Sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala menimal 3 (tiga) tahun
sekali. Akreditasi RS yang dimaksud dilakukan oleh lembaga independen dari dalam (KARS) atau luar negeri
(JIC) berdasarkan standar akreditasi yang berlaku. KARS (Komisi Akreditasi RS) merupakan lembaga
independen pelaksana akreditasi RS yang bersifat fungsional, non-strktural dan bertanggungjawab terhadap
Menteri. Menteri yang dimaksud adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan Pemeritah di bidang
kesehatan. KARS mempunyai fungsi perencanaan, pelaksanaan, pegembangan, pembimbingan dan
pelatihan serta monitoring dan evaluasi dalam bidang akreditasi RS di Indonesia, sesuai dengan ketentuan
perpu dan perkembangan akreditasi RS secara internasional. Untuk melaksanakan fungsinya, KARS
mempunyai tugas : (a) merumuskan kebijakan dan tata laksana akreditasi rs, (b) menyusun rencana strategis
akreditasi rs, (c) menyusun peraturan internal KARS, (d) menyusun standar akreditasi, (e) menetapkan status
akreditasi rs, (f) menyelenggarakan pendidikan, pelatihan dan pembimbingan serta pengembangan d bidang
akreditasi dan mutu pelayanan rs, (g) mengangkat dan memberhentikan tenaga surveior, (h) membina
kerjasama dg intitusi di dalam negeri maupun di luar negeri yang berkaitan dengan bidang akreditasi dan
peningkatan mutu layanan rs, (i) melakukan sosialisasi dan promosi kegiatan akreditasi, (j) melakukan
montoring dan evaluasi dalam bidang akreditasi rs, (k) melakukan pencatatan dan pelaporan kegiatan
akreditasi rs (Permenkes, 2012). Susunan Organisasi KARS terdiri dari Pembina, Komisioner dan kelompok
surveior. Pembina KARS adalah Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan. Komisioner terdiri dari (a) Ketua,
(b) Wakil Ketua, (c) Sekretariat, (d) Bidang Akreditasi, (e) Bidang Pendidikan dan Pelatihan, (f) Bidang
Komunikasi, Data dan Informasi, (g) Bidang Penelitian dan Pengembangan; dan (h) Koordinator Surveior.
Penyelenggara Akreditasi nasional meliputi persiapan Akreditasi, bimbingan Akreditasi, pelaksanaan
Akreditasi dan kegiatan pasca Akreditasi (Permenkes, 2011). Surveior akreditasi rs terdiri dari 3 kategori, yaitu
(a) surveior manajemen, (b) surveior medis dan (c) surveior keperawatan (Anonim, 2013). Dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan di RS Indonesia hngga berkelas dunia perlu dilakukan akreditasi secara
berkala dengan menggunakan standar internasional. Akreditasi rs internasional di Indonesia sesuai dengan
standar akreditasi yang berlaku internasional perlu menunjuk lembaga/badan akreditasi rs bertaraf iternasional
yang telah terakreditasi oleh International Society for Quality in Health Care (ISQua) (Permenkes, 2012).
Standar penilaian akreditasi KARS terdiri dari 13 Bab, 323 Standar, 113 Elemen Penilaian, 6 Sasaran
KPRs dan 3 Sasaran MDGs. Tingkatan kelulusan dan kriteria nya terdiri dari (1) tingkat dasar (apabila kriteria
1-4, nilai minimum 80%, dan kriteria no 5-15 nilai minimum 20%. (2) tingkat madya (apabila kriteria no 1-8,
nilai minimum 80% dan kriteria 9-15, nilai minimum 20%. (3) tingkat utama (apabila kriteria no 1-12, nilai
minimum 80% dan kriteria 13-15, nilai minimum 20%. (d) tingkat paripurna (seluruh kriteria 1-15, nilai
minimum 80%). Dalam proses akreditasi, tim penilai akreditasi (surveior) melakukan metode telusur, yaitu
metode evaluasi untuk menelusuri sistem pelayanan rs secara efektif dengan mencari bukti-bukti
implementasi mutu pelayanan dan keselamatan pada pelayanan pasien yang dirawat di rs. Metode telusur
MAYA AULIA
17811053
terdiri dari telusur individual, telusur sistem (penggunaan data, manajemen obat dan pencegahan
pengendalian infeksi), telusur program spesifik (kelanjutan temuan telusur, fokus pada masalah ata topik
spesifik terkait keselamatan, integrasi laboratorium) dan telusur lingkungan (menilai kepatuhan melaksanakan
standar manajemen lingkungan, manajeen kedaruratan). Dalam standar akreditasi nasional, pelayanan
farmasi menjadi salah satu bab yang dinilai, salah satunya adalah dalam bab Manajemen Penggunaan Obat.
Terdapat 10 Manajemen Penggunaan Obat, yaitu (1) Organisasi dan Manajemen, (2) Seleksi dan Pengadaan,
(3) Penyimpanan, (4) Pemesanan dan Pencatataan, (5) Persiapan dan Penyaluran, (6) Pemberian dan (7)
Pemantauan. Pada skenario 3, terdapat 2 MPO yang terkait pada kasus yaitu MPO No. 3 dan MPO No. 5.
MPO 3 terkait dengan penyimpanan, yaitu jaminan bahwa obat disimpan dengan baik dan aman. Regulasi
yang mendasari adalah pedoman penyimpanan obat, kebijakan pelabelan obat dan bahan kimia yang
digunakan menyiapkan obat, kebijakan pelaporan obat dari unit, kebijakan inspeksi berkala, identifikasi dan
penyimpanan obat yang dibawa pasien. Dokumen implementasi MPO No.3 yaitu laporan narkotik dan
psikotropik, laporan prekursor farmasi, bukti pelabelan obat dan bahan kimia, dokumen/catatan inspeksi
berkala dan formulir rekonsiliasi obat yang diawa dari rumah. MPO 3 terdiri dari 3.1 (kebijakan RS mendukung
penyimpanan yang tepat dari obat-obatan dan produk nutrisi yang tersedia), 3.2 (obat-obatan emergensi
tersedia, dimonitor dan aman bilamana disimpan di luar farmasi), 3.3 (rumah sakit mempunyai sistem
penarikan (recall) obat. Dan MPO No 5 terkait persiapan dan penyaluran, yaitu terkait obat dipersiapkan dan
dikeluarkan dalam lingkungan yang aman dan bersih. Regulasi yang mendasari adalah pedoman atau
prosedur pelayanan tentang penyuapan dan penyaluran obat dan produk steril sesuai ketentuan. Dokumen
implementasinya yaitu sertifikat pelatihan teknik aseptik untuk petugas terkait. MPO 5 terdiri dari 5.1 (resep
atau pesanan obat ditelaah ketepatannya) dan 5.2 (digunakan suatu sistem untuk menyalurkan obat dengan
dosis yang tepat, dan kepada pasien yang tepat di saat yang tepat) (Anonim, 2012).
Penyimpanan dan pendistribusian merupakan salah satu aspek penting pada sistem pengelolaan obat
di rs. Penyimpanan merupakan proses yang dilakukan setelah arang diterima di Instalasi Farmasi sebelum
dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan Sediaan Farmasi,
Alkes dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan persyaratan kefarmasian. Persyaraatan kefarmasian yang
dimaksud meliputi persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi dan
penggolongan jenis Sediaan Farmasi, Alkes dan BMHP. Komponen yang harus diperhatikan antara lain : a)
obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan obat diberi label yang jelas terbaca memuat
nama, tanggal pertama kemasan dibuka, tanggal kadaluwarsa dan peringatan khusus; b) elektrolit konsentrasi
tinggi tidak disimpan di unit perawatan kecuali untuk kebutuhan klinis yang penting; c) elektrolit konsentrasi
tinggi yang disimpan pada unit perawatan pasien dilengkapi dengan pengaman, harus diberi label yang jelas
dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted) untuk mencegah penatalaksanaan yang kurang hati-
hati; dan d) Sediaan Farmasi, Alkes dan BMHP yang dibawa oleh pasien harus disimpan secara khusus dan
dapat diidentifikasi. Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk sediaan, dan jenis
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan disusun secara alfabetis dengan
menerapkan prinsip First Expired First Out (FEFO) dan First In First Out (FIFO) disertai sistem informasi
manajemen. Penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang penampilan
dan penamaan yang mirip (LASA, Look Alike Sound Alike) tidak ditempatkan berdekatan dan harus diberi
penandaan khusus untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan Obat. Rumah Sakit harus dapat
menyediakan lokasi penyimpanan Obat emergensi untuk kondisi kegawatdaruratan. Tempat penyimpanan
harus mudah diakses dan terhindar dari penyalahgunaan dan pencurian. Pengelolaan Obat emergensi harus
menjamin jumlah dan jenis Obat sesuai dengan daftar Obat emergensi yang telah ditetapkan; tidak boleh
bercampur dengan persediaan Obat untuk kebutuhan lain; bila dipakai untuk keperluan emergensi harus
segera diganti; dicek secara berkala apakah ada yang kadaluwarsa; dan dilarang untuk dipinjam untuk
kebutuhan lain (permenkes, 2014). Untuk menjaga kualitas vaksin tetap tinggi sejak diterima sampai
didistribusikan ke tingkat berikutnya (atau diigunakan), vaksin harus selalu disimpan pada suhu yang telah
ditetapkan, yaitu: a) Provinsi (vaksin polio disimpan pada suhu -15C s/d -25C pada freeze room atau freezer;
vaksin lainnya disimpan pada suhu 2C s/d 8C pada coldroom atau lemari es). b) Kabupaten/Kota (vaksin
polio disimpan pada suhu -15C s/d -25C pada freeze room atau freezer; vaksin lainnya disimpan pada suhu
2C s/d 8C pada coldroom atau lemari es). c) Puskesmas (Semua vaksin disimpan pada suhu 2C s/d 8C
pada lemari es; khusus vaksin hepatitis B, pada bidan desa disimpan pada suhu ruangan, terlindung dari sinar
matahari langsung) (Permenkes, 2013). Penyimpanan perbekalan farmasi di gudang atau bagian logistik
farmasi dapat menggunakan beberapa sistem penyimpanan. Macam-macam sistem penyimpanan tersebut
adalah : 1) Fixed Location : sistem ini diibaratkan seperti rumah, dimana seluruh penghuni dapat mengetahui
letak barang. Kelebihan : sangat mudah dalam mengatur barang, item persediaan selalu disimpan dalam
tempat yang sama dan disimpan dalam rak yang spesifik. Kekurangan : sistem ini tidak fleksibel, jika ada
perubahan dalam jumlah pemesanan atau perubahan dalam pengemasan atau keputusan untuk mengubah
tempat menjadi lebih besar atau lebih kecil; jika ada item baru yang disimpan, mungkin tidak ada tempat untuk
MAYA AULIA
17811053
menyimpannya; pencurian oleh karyawan dapat meningkat karena seluruh karyawan mengetahui tempat-
tempat obat yang bernilai mahal; tempat penyimpanan harus dibersihkan karena tempat yang digunakan
untuk jangka waktu yang lama jadi harus dijaga kebersihannya. 2) Fluid Location : Pada sistem ini,
penyimpanan diagi menjadi beberapa tempat yang dirancang, masing2 tempat ditandai dengan sebuah kode.
Setiap item disimpan dalam suatu tempat yang disukai pada waktu pengiriman. Kelebihan : mempermudah
pengambilan stok, memudahkan dalam mengingat setiap item. Kekurangan : tidak menghemat tempat, resiko
tertukar barang lebih besar. 3) Semi Fluid Location : merupakan kombinasi dari kedua sistem diatas. Sistem
ini diibaratkan seperti hotel yang digunakan oleh tamu. Setipa barang selalu mendapatkan tempat yang sama.
Barang yang khusus diberikan tempat tersendiri. Kelebihan : resiko tertukar barang relatif kecil. Kekurangan :
tidak menghemat tempat. Distribusi merupakan kegatan pendistribusian perbekalan farmasi di rs untuk
pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta untuk menunjang
pelayanan medis. Berdasarkan jangkauan pelayanan instalasi farmasi di rs, yatu sentralisasi (semua
pelayanan obat dipusatkan di instalasi farmasi pusat) dan desentralisasi (jika terdapat instalasi farmasi lain
(outlet/depo/satelit) yang memberikan pelayanan farmasi). Berdasarkan mekanisme distribusi perbekalan
farmasi di rs, sistem distribusi dibagi menjadi : 1) Individual Prescribing, distribusi obat pd pasien berdasarkan
rese dokter untuk tiap pasien. Dalam sistem ini, semua obat yang diperlukan untuk pengobatan didispensing
dari IFRS. Kelebihan : memungkinkan farmasis memeriksa langsung semua peresepan, memungkinkan
pengawasan penggunaan obat yang lebih teliti, memungkinkan bagi farmasis memberikan pelayanan kepada
pasien secara perorangan. Kekurangan : dibutuhkan personalia di IFRS lebih banyak. 2) Floor Stock, sistem
distribusi obat sesuai yang ditulis oleh dokter pada resep dokter yang disiapkan oleh perwat dan persediaan
obat juga berada di ruang perawat dan langsung diberikan pada pasien di ruang rawat inap. Kelebihan : selalu
ada persediaan obat yang siap pakai untuk pasien terutama untuk obat2 yang life saving, mengurangi jumlah
transkip pesanan obat, mengurangi jumlah kebutuhan personil farmasis. Kekurangan : meningkatkan
kemungkinan terjadinya medication error, misalnya obat yang tertukar karena yang menyerahkan adalah
tenaga perawat, meningkatkan persediaan obat dipos perawatan sehingga besar kemungkinan terjadi
penumpukan stok obat dipos perawatan, beban kerja perawat meningkat, meningkatkan terjadinya kebocoran
obat karena cara penyimpnan yang tidak benar. 3) Kombinasi, sistem ini biasanya diadakan untuk mengurangi
beban kerja IFRS. Obat yang disediakan di ruang rawat hanya obat2 yang banyak dibutuhkan pasien dan
harganya relatif murah. Jenis dan jumlahnya ditetapkan oleh TFT dengan masukan dari IFRS dan pelayaan
keperawatan. Keuntungan : semua resep individu dikaji apoteker, adanya kesempatan berinteraksi profesional
dokter-perawat-apoteker, obat yang diperlukan dapat segera tersedia bagi pasien, beban IFRS berkurang.
Kekurangan : kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai ke pasien, kesalahan obat dapat terjadi (obat
dari ruang perawat). 4) Sistem Distribusi Obat Dosis Unit, obat yang dipesan oleh dokter untuk pasien, terdiri
atas satu atau beberapa jenis obat yang masing-masing dalam kemasan dosis unit tunggal dalam jumlah
persediaan yang cukup untuk suatu waktu tertentu. Kelebihan : mengurangi kemungkinan adanya kesalahan
obat. Kekurangan : memerlukan biaya awal yang tinggi (Anonim, 2010).

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2012, Manajemen Penggunaan Obat, diakses di http://akreditasi.web.id/2012/e-data/1/16-
mpo/Telusur%20MPO%20Manajemen.php diakses tanggal 19 Maret 2017.
Anonim, 2013, Pedoman Tata Laksana Survei Akreditasi Rumah Sakit Edisi II, Komisi Akreditasi
Rumah Sakit, Jakarta.
Permenkes dan Japan International Cooperation Agency, 2010, Pedoman Pengelolaan Perbekalan
Farmasi di Rumah Sakit, Direktorat Jenderal Binakefarmasian dan Alat Kesehatan, Jakarta.
Permenkes RI, 2010, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1195/MENKES/PER/VIII/2010 Tentang Lembaga/Badan Akreditasi Rumah Sakit Bertaraf Internasional,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Permenkes RI, 2011, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
417/MENKES/PER/II/2011 Tentang Komisi Akreditasi Rumah Sakit, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Permenkes RI, 2012, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 012 Tentang Akreditasi
Rumah Sakit, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Permenkes RI, 2013, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
42/MENKES/PER/6/2013 Tentang Penyelenggaraan Imunisasi, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
Permenkes RI, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
58/MENKES/PER/VIII/2014 Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
MAYA AULIA
17811053

Anda mungkin juga menyukai