Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
A. FISIOGRAFI PULAU SUMATERA
Pulau Sumatra, secara fisiografis berorientasi barat laut, terletak di tepi barat
Sundaland dan merupakan ekstensi dari lempeng Eurasia. Pulau Sumatera merupakan pulau
terbesar keenam di dunia, dengan luas area sebesar 435.000 km2. Pulau Sumatera membujur
dari barat laut ke arah tenggara dan melintasi khatulistiwa, hal ini membuat pulau Sumatera
seakan-akan terbagi menjadi dua bagian, yaitu Sumatra belahan bumi utara dan Sumatra
belahan bumi selatan. Terdapat garis trend geografis di pulai ini, yaitu terdapat Pegunungan
Bukit Barisan yang memanjang dari sisi barat pulau dari ujung utara ke arah selatan; sehingga
membuat dataran di sisi barat pulau relatif sempit dengan pantai yang terjal dan dalam ke arah
Samudra Hindia dan dataran di sisi timur pulau yang luas dan landai dengan pantai yang
landai dan dangkal ke arah Selat Malaka, Selat Bangka dan Laut China Selatan. Pegunungan
Bukit Barisan memiliki puncak 3.000 m di atas permukaan laut dan merupakan barisan
gunung berapi aktif.
Pada bagian utara, pulau Sumatra dibatasi oleh Laut Andaman sedang pada bagian
selatan berbatasan dengan Selat Sunda. Di pulau Sumatra terdapat banyak gunung api, seperti
Gunung Leuser, Gunung Dempo dan yang paling tinggi adalah Gunung Kerinci di Jambi.
Pulau Sumatra merupakan kawasan episentrum gempa bumi karena dilintasi oleh patahan
kerak bumi disepanjang Bukit Barisan, yang disebut Patahan Sumatra; dan patahan kerak
bumi di dasar Samudra Hindia disepanjang lepas pantai sisi barat Sumatra. Danau terbesar di
Indonesia, Danau Toba terdapat di pulau Sumatra.
Secara umum Fisiografi Pulau Sumatra dapat dibagi menjadi beberapa bagian antara
lain :
1 . Zona Kepulauan Busur muka : Merupakan kepulauan yang terangkat akibat adanya
interaksi lempeng india australia dan lempeng euarasia. Memanjang mulai dari pulau nias,
simelue dan tanimbar.
2. Zona Semangko : Merupakan daerah yang memnjang dari utara selatan akibat dari
terbentuknya sesar sumatar / sesar semangko.
3. Zona Jajaran Barisan : Zona Ini memanjang sepanjang sesar semangko
4. Zona dataran Rendah dan berbukit : Fisiografi daerah ini berupa dataran lembah dan terdiri
dari cekungan sedimen
5. Zona Pegunungan Tiga Puluh
6. Zona Paparan Sunda

1
B. POLA TEKTONIK PULAU SUMATERA
B.1. Pembentukan Cekungan Sumatera
Pada regional Sumatera, khususnya pada rift basins di Sumatera, seperti Cekungan
Sumatera Utara, Cekungan Suatera Tengah dan Cekungan Sumatera Selatan, secara
umum mengalami fase fase atau episode rifting yang mirip, yaitu pre-rift, syn-rift dan
post-rift. Cekungan Sumatera sendiri mulai terbentuk pada kurun Eosen Tengah (45 Ma).
Fase Pre-rift
Pada fase pre-rift , belum terjadi subsidence yang berperan dalam membentuk
cekungan. Pada fase ini terbentuk rekahan-rekahan yang nantinya akan memicu
terjadinya subsidence. Stratigrafi yang terbentuk biasanya berhubungan dengan batuan
penyususn basement dan erosional dan batuan basement.
Fase Syn-rift
Pada fase syn-rift, terjadi proses sedimentasi berbarengan dengan terjadinya proses
rifting dan subsidence. Pada fase ini pengendapan dikontrol oleh sesar-sesar turun yang
terjadi akbat regangan. Pengendapan dicirikan oleh endapan-endapan non-marine yaitu
fluvial, lacustrine, delta dan pantai. Di Pulau Sumatera, fase syn-rift dialami oleh semua
cekungan. Pada Cekungan Sumatera Utara, selama fase syn-rift diendapkan Grup Parapat
dan Bampo yang merupakan endapan Fluvial dan lacustrine.
Fase Post-rift
Pada fase post-rift, proses rifting berhenti dan proses thermal subsidence bekerja,
rheologi batuan berubah menjadi ductile dan proses tektonik menjadi tenang. Pada fase
ini pengendapan mulai diganggu oleh adanya ai laut sehingga lingkungan
pengendapanpun berubah menjadi lingkungan transisi hingga laut dangkal dan terjadi
proses transgresi.
B.2. Tektonik Pulau Sumatera

Gaambar 2.4 zona penunjaman di selatan Pulau Sumatera


2
Pulau Sumatera tersusun atas dua bagian utama, sebelah barat didominasi oleh
keberadaan lempeng samudera, sedang sebelah timur didominasi oleh keberadaan
lempeng benua. Berdasarkan gaya gravitasi, magnetisme dan seismik ketebalan sekitar 20
km, dan ketebalan lempeng benua sekitar 40 km (Hamilton, 1979).Sejarah tektoik Pulau
Sumatra berhubungan erat dengan dimulainya peristiwa pertumbukan antara lempeng
India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 juta tahun yang lalu, yang mengakibatkan
rangkaian perubahan sistematis dari pergerakan relatif lempeng-lempeng disertai dengan
perubahan kecepatan relatif antar lempengnya berikut kegiatan ekstrusi yang terjadi
padanya. Gerak lempeng India-Australia yang semula mempunyai kecepatan 86
milimeter/tahun menurun menjaedi 40 milimeter/tahun karena terjadi proses tumbukan
tersebut. (Char-shin Liu et al, 1983 dalam Natawidjaja, 1994). Setelah itu kecepatan
mengalami kenaikan sampai sekitar 76 milimeter/ tahun (Sieh, 1993 dalam Natawidjaja,
1994). Proses tumbukan ini pada akhirnya mengakibatkan terbentuknya banyak sistem
sesar sebelah timur India.
Keadaan Pulau Sumatra menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman,
punggungan busur muka dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat proses
yang terjadi. Kenyataan menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-tension)
Paleosoikum Tektonik Sumatra menjadikan tatanan Tektonik Sumatra menunjukkan
adanya tiga bagian pola (Sieh, 2000). Bagian selatan terdiri dari lempeng mikro Sumatra,
yang terbentuk sejak 2 juta tahun lalu dengan bentuk geometri dan struktur sederhana,
bagian tengah cenderung tidak beraturan dan bagian utara yang tidak selaras dengan pola
penunjaman.
a. Bagian Selatan Pulau Sumatra memberikan kenampakan pola tektonik:
1. Sesar Sumatra menunjukkan sebuah pola geser en echelon dan terletak pada
100-135 kilometer di atas penunjaman.
2. Lokasi gunung api umumnya sebelah timur-laut atau di dekat sesar.
3. Cekungan busur muka terbentuk sederhana, dengan ke dalaman 1-2 kilometer
dan dihancurkan oleh sesar utama.
4. Punggungan busur muka relatif dekat, terdiri dari antiform tunggal dan
berbentuk sederhana.
5. Sesar Mentawai dan homoklin, yang dipisahkan oleh punggungan busur muka
dan cekungan busur muka relatif utuh.
6. Sudut kemiringan tunjaman relatif seragam.
b. Bagian Utara Pulau Sumatra memberikan kenampakan pola tektonik:
1. Sesar Sumatra berbentuk tidak beraturan, berada pada posisi 125-140 kilometer
dari garis penunjaman.
2. Busur vulkanik berada di sebelah utara sesar Sumatra.
3
3. Kedalaman cekungan busur muka 1-2 kilometer.
4. Punggungan busur muka secara struktural dan kedalamannya sangat beragam.
5. Homoklin di belahan selatan sepanjang beberapa kilometer sama dengan struktur
Mentawai yang berada di sebelah selatannya.
6. Sudut kemiringan penunjaman sangat tajam.
c. Bagian Tengah Pulau Sumatra memberikan kenampakan tektonik:
1. Sepanjang 350 kilometer potongan dari sesar Sumatra menunjukkan posisi
memotong arah penunjaman.
2. Busur vulkanik memotong dengan sesar Sumatra.
3. Topografi cekungan busur muka dangkal, sekitar 0.2-0.6 kilometer, dan terbagi-
bagi menjadi berapa blok oleh sesar turun miring
4. Busur luar terpecah-pecah.
5. Homoklin yang terletak antara punggungan busur muka dan cekungan busur
muka tercabik-cabik.
6. Sudut kemiringan penunjaman beragam.

Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng aktif dunia, yaitu: lempeng Indo-
Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik dimana kepulauan di nusantara tersebut
akan terus bergerak rata-rata 3-6 cm (bahkan 12cm) per tahunnya, yang saling
bertumbukan/berinteraksi.
Pulau sumatera sendiri berada pada zona wilayah tumbukan antara lempeng Indo-
Australia dan lempeng Eurasia. Pegunungan Bukit Barisan adalah jajaran pengunungan
yang membentang dari ujung utara (di Nangroe Aceh Darusalam) sampai ujung selatan
(di Lampung) pulau Sumatra. Proses pembentukan pegunungan ini berlangsung menurut
skala tahun geologi yaitu berkisar antara 45 450 juta tahun yang lalu. Teori pergerakan
lempeng tektonik menjelaskan bagaimana pegunungan ini terbentuk.
Lempeng tektonik merupakan bagian dari litosfer padat yang terapung di atas
mantel yang bergerak satu sama lainnya. Terdapat tiga kemungkinan pergerakan satu
lempeng tektonik relatif terhadap lempeng lainnya, yaitu apabila:

1] Kedua lempeng saling menjauhi (spreading)


2] Saling mendekati (collision)
3] Saling geser (transform).

Tumbukan lempeng tektonik antara indian-australian plate dengan eurasian plate


terus bergerak secara lambat laun. Saat kedua lempeng bertumbukan, bagian dari indian-
australian plate berupa kerak samudera yang memiliki densitas yang lebih besar
tersubduksi tenggelam jauh ke dalam mantel dibandingkan dengan kerak benua pada

4
eurasian plate. Zona gesekan akibat gaya tekan dari tumbukan tersebut menjadi begitu
panas sehingga akan mencairkan batuan disekitarnya (peleburan parsial). Kemudian
magma naik lewat/menerobos/mendesak kerak dan berusaha keluar pada permukaan dari
lempeng di atasnya. Sehingga terbentuklah busur pegunungan bukit barisan di bagian tepi
eurasian plate, di pulau Sumatera, Indonesia . Salah satu manifestasinya berupa puncak
tertinggi pada gunungapi Kerinci, 3.805 mdpl, di Jambi.

C. POLA STRATIGRAFI REGIONAL PULAU SUMATERA


Berikut ini adalah stratigrafi Pulau Sumatera dari yang tertua hingga yang termuda:
1. Batuan Dasar
Merupakan batuan Pra-Tersier (basement) yang terdiri atas kompleks batuan Paleozoikum,
batuan Mesozoikum, batuan metamorf, batuan beku dan batuan karbonat. Batuan
Paleozoikum akhir dan batuan Mesozoikum tersingkap dengan baik di Bukit Barisan,
Pegunungan Tigapuluh dan Pegunungan Duabelas berupa batuan karbonat berumur permian,
Granit dan Filit. Batuan dasar yang tersingkap di Pegunungan Tigapuluh terdiri dari filit yang
terlipat kuat berwarna kecoklatan berumur Permian (Simanjuntak, dkk., 1991). Lebih ke arah
Utara tersingkap Granit yang telah mengalami pelapukan kuat.
2. Formasi Lahat
Tersusun atas litologi berupa konglemerat, tufa, breksi vulkanik andesitik, endapan lahar,
aliran lava dan batupasir kuarsa. Formasi Lahat ini diendapkan secara tidak selaras di atas
batuan dasar, merupakan lapisan dengan tebal 200 m - 3350 m yang terdiri dari.
3. Formasi Talang Akar
Tersusun atas litologi berupa batulanau, batupasir dan sisipan batubara yang diendapkan pada
lingkungan laut dangkal hingga transisi. Formasi Talang Akar berumur Oligosen Akhir hingga
Miosen Awal dan diendapkan secara selaras di atas Formasi Lahat (Pulunggono, 1976).
Bagian bawah formasi ini terdiri dari batupasir kasar, serpih dan sisipan batubara. Sedangkan
di bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih. Ketebalan Formasi Talang
Akar berkisar antara 400 m 850 m.
4.Formasi Baturaja
Terdiri atas litologi berupa batugamping, batugamping terumbu, batugamping pasiran,
batugamping serpihan, serpih gampingan dan napal kaya foraminifera, moluska dan koral.
Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Fm. Talang Akar dengan ketebalan antara 200
sampai 250 m. Lingkungan pengendapan formasi ini adalah pada lingkungan litoral-neritik
dan berumur Miosen Awal.
5.Formasi Gumai
5
Tersusun atas litologi berupa serpih gampingan dengan sisipan batugamping, napal dan
batulanau. Formasi Gumai diendapkan secara selaras di atas Formasi Baturaja dimana formasi
ini menandai terjadinya transgresi maksimum di Cekungan Sumatera Selatan. Sedangkan di
bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih.Ketebalan formasi ini secara
umum bervariasi antara 150 m - 2200 m dan diendapkan pada lingkungan laut dalam. Formasi
Gumai berumur Miosen Awal-Miosen Tengah.
6. Formasi Air Benakat
Tersusun atas litologi berupa batulempung putih kelabu dengan sisipan batupasir halus,
batupasir abu-abu hitam kebiruan, glaukonitan setempat mengandung lignit dan di bagian atas
mengandung tufaan sedangkan bagian tengah kaya akan fosil foraminifera. Formasi Air
Benakat diendapkan secara selaras di atas Formasi Gumai dan merupakan awal terjadinya
fase regresi. Ketebalan Formasi Air Benakat bervariasi antara 100-1300 m dan berumur
Miosen Tengah-Miosen Akhir. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal.
7. Formasi Muara Enim
Formasi Muara Enim mewakili tahap akhir dari fase regresi tersier. Formasi ini diendapkan
secara selaras di atas Formasi Air Benakat pada lingkungan laut dangkal, paludal, dataran
delta dan non marin. Ketebalan formasi ini 500 1000m, terdiri dari batupasir, batulempung ,
batulanau dan batubara. Batupasir pada formasi ini dapat mengandung glaukonit dan debris
volkanik. Pada formasi ini terdapat oksida besi berupa konkresi-konkresi dan silisified
wood. Sedangkan batubara yang terdapat pada formasi ini umumnya berupa lignit. Formasi
Muara Enim berumur Miaosen Akhir Pliosen Awal. Secara lebih rinci berikut adalah data
mengenai petroleum system dari Air Benakat.
8.Formasi Kasai
Tersusun atas litologi berupa batupasir tufan dan tefra riolitik di bagian bawah. Bagian atas
terdiri dari tufpumice kaya kuarsa, batupasir, konglomerat, tuf pasiran dengan lensa rudit
mengandung pumice dan tuf berwarna abu-abu kekuningan, banyak dijumpai sisa tumbuhan
dan lapisan tipis lignit serta kayu yang terkersikkan. Formasi Kasai diendapkan secara selaras
di atas Formasi Muara Enim dengan ketebalan 850 1200 m. Fasies pengendapannya
adalah fluvial dan alluvial fan. Formasi Kasai berumur Pliosen Akhir-Plistosen Awal.
9.Sedimen Kuarter
Satuan ini merupakan Litologi termuda yang tidak terpengaruh oleh orogenesa Plio-Plistosen.
Golongan ini diendapkan secara tidak selaras di atas formasi yang lebih tua yang teridi dari
batupasir, fragmen-fragmen konglemerat berukuran kerikil hingga bongkah, hadir batuan
volkanik andesitik-basaltik berwarna gelap. Satuan ini berumur resen.

6
BAB II
EVOLUSI TEKTONIK PULAU SUMATERA

Selama Zaman Karbon sampai Perm, terdapat subduksi di sebelah barat Sumatera
yang menghasilkan batuan vulkanik dan piroklastik dengan komposisi berkisar antara dasit
sampai andesit di daerah Dataran Tinggi Padang, Batang Sangir dan Jambi (Klompe et all.,
1961; dalam Hutchison, 1973). Batuan intrusif yang bersifat granitik terbentuk di
Semenanjung Malaysia, melewati Pulau Penang, dan diperkirakan menerus ke Kepulauan
Riau.

Gambar Skema Paleo-tektonik Pulau Sumatra dan sekitarnya dari


Karbon Akhir sampai Perm Awal

Selama Zaman Perm, tidak ada perubahan penyebaran keterdapatan batuan plutonik
dan volkanik dari Karbon Akhir. Sistem busur-palung yang bekerja di Sumatra masih tidak
mengalami perubahan (Gambar 3.1 dan 3.2). Batuan volkanik dan piroklasik berkomposisi
andesitik sampai riolitik menyebar di bagian barat dari Sumatera Tengah. Dari Trias Akhir
sampai Jura Awal, subduksi di Sumatra terus berlangsung dan menghasilkan kompleks ofiolit
Aceh di bagian utara dan kompleks ofiolit Gumai-Garba di selatan. Kedua ofiolit tersebut
menurut Bemmelen (1949; dalam Hutchison, 1973) berumur Trias. Pada Jura Tengah sampai
Kapur Tengah, terjadi pengangkatan di wilayah Semenanjung Malaysia, menyebabkan
perubahan lingkungan sedimentasi pada daerah tersebut dari lingkungan laut menjadi
lingkungan darat, ditandai dengan endapan tipe molasse dan sedimentasi fluviatil. Volkanisme
di kawasan Sumatra dan sekitarnya kurang aktif pada selang waktu ini. Selama Jura dan

7
Kapur, kawasan Sumatra dan sekitarnya terkratonisasi, dan sistem pensesaran strike slip
terbentuk (Tjia et. All, 1973; dalam Hutchison, 1973).

Gambar Skema Paleo-tektonik Pulau Sumatra dan sekitarnya dari


Perm ke Trias Awal

Pada Kapur Akhir, zona subduksi bergerak ke arah barat Sumatra, sepanjang pulau-
pulau yang saat ini berada di barat Sumatra seperti Siberut. Ofiolit dari subduksi ini sendiri
oleh Bemmelen (1949; dalam Hutchison, 1973) diperkirakan berumur Kapur Akhir sampai
Tersier Awal. Di bagian utara Sumatra terdapat Intrusi Granitik Tersier sedangkan di selatan
terdapat Adesit Tua dan Intrusi Granit Miosen Awal. Pola dari sistem palung busur di Sumatra
pada saat itu digambarkan pertama kali oleh Katilli (1971; dalam Hutchison, 1973) seperti
pada gambar 3.3. Subduksi yang berada di barat Sumatra menerus ke selatan Jawa Barat, lalu
berbelok ke timur laut menuju arah Pegunungan Meratus di Kalimantan.

8
Gambar 3.3 Skema Paleo-tektonik Pulau Sumatra dan sekitarnya dari
Trias Akhir sampai Jura Awal

Gambar 3.4 Skema Paleo-tektonik Pulau Sumatra dan sekitarnya dari


Kapur Akhir sampai Tersier Awal

Dari Tersier sampai sekarang, subduksi terus mundur ke arah barat melewati
kepulauan yang terdapat di sebelah barat Sumatra dan menerus ke timur di selatan melewati
Pulau Jawa (Gambar 3.4). Busur gunung api di sepanjang zona subduksi tersebut terdapat di
Pegunungan Barisan di Sumatera dan menerus ke Pulau Jawa. Volkanisme basalt hadir di
Sukadana, Sumatra Selatan dan diperkirakan berhubungan dengan pensesaran ekstensi dalam

9
yang dihasilkan sebagai interaksi dari lempeng-lempeng Eurasia, Hindia-Australia, dan
Pasifik.

Gambar Skema Tektonik Pulau Sumatra dan sekitarnya saat ini

10
BAB III
IMPLEMENTASI SETTING TEKTONIK

Pulau Sumatera beradapada bagian baratdaya dari Kontinen Sundaland dan


merupakan jalur konvergensi antara Lempeng Hindia-Australia yang menyusup di bagian
barat Lempeng Eurasia/Sundaland. Konvergensi lempeng menghasilkan subduksi sepanjang
Palung Sunda dan pergerakan lateral menganan dari Sistem Sesar Sumatera.

Subduksi dari Lempeng Hindia-Australia dengan batas Lempeng Asia pada masa
Paleogen diperkirakan telah menyebabkan rotasi Lempeng Asia termasuk Sumatera searah
jarum jam. Perubahan posisi Sumatera yang sebelumnya berarah E-W menjadi SE-NW
dimulai pada Eosen-Oligosen. Perubahan tersebut juga mengindikasikan meningkatnya
pergerakan sesar mendatar Sumatera seiring dengan rotasi. Subduksi oblique dan pengaruh
sistem mendatar Sumatera menjadikan kompleksitas regim stress dan pola strain pada
Sumatra (Darman dan Sidi, 2000). Setting tektonik Sumatera berkembang seiring dengan
evolusi tektonik yang terjadi dari waktu ke waktu.

III.1. Implementasi Setting Tektonik dengan Rekaman Magmatisme


III.1.1. Setting Tektonik Sumatera dan Magmatisme secara umum
Pulau Sumatera merupakan hasil akumulasi akresi mikrokontinen yang berasal dari
tepian utara Gondwana timur, yang memisahkan diri dengan daratan Gondwana lainnya
selama Masa Paleozoikum hingga Mesozoikum.
Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya dibentuk oleh gabungan beberapa
mikrokontinen. Mikrokontinen Malaya Timur yang berada pada bagian timur Sundaland
dicirikan oleh adanya magmatisme Permo-Triassic, yang terpisah oleh mikrokontinen Malaka
yang membentuk bagian barat dari Semenanjung Malaya. Kedua mikrokontinen tersebut
dipisahkan oleh sebuah zona yang disebut Sutur Bentong-Raub yang ditandai oleh zona
melange, batuan basa, hingga batuan ultrabasa, yang merepresentasikan suatu sutur yang
terbentuk akibat terjadinya proses kolisi antar kedua mikrokontinen tersebut pada Zaman
Triassik.
Pada bagian barat dan baratdaya mikrokontinen Malaka dibatasi oleh Zona Mutus.
Pada zona tersebut ditemukan basalt, sekis klorit, gabro, dan serpentinit pada bagian tenggara
dari zona tersebut, yang merupakan produk magmatisme dari Zona Mutus. Zona Mutus ini
merepresentasikan adanya zona sutur lain yang terbentuk akibat proses kolisi antara
mikrokontinen Malaka dengan mikrokontinen Mergui pada bagian barat.

11
(mikrokontinen pada Indonesia barat, Pulonggono (1985), after Pulonggono and Cameron (1984))

Wajzer et al. (1991) mendemonstrasikan berdasarkan dating isotop dari Terrane Natal
merupakan fragmen dari suatu busur magmatik Eosen-Oligosen. Barber (2000)
mengemukakan bahwa Terrane Sikuleh merupakan bagian dari busur vulkanik intra-oceanik
yang berumur Jura hingga Kapur, fragmen lainnya dapat diidentifikasi berada disepanjang
pantai barat Sumatera bagian selatan. Sutur sutur yang berkembang sebagai batas akresi
pada Pulau Sumatera, memiliki kontribusi dalam gejala magmatisme di Pulau Sumatera dan
sekitarnya, selain kontribusi dari busur vulkanik masa kini.
III.1.2. Magmatisme pada Zona Bentong-Raub
Secara umum adanya gejala magmatisme di Pulau Sumatera dan sekitarnya
ditunjukkan oleh kehadiran batuan-batuan beku plutonik yang bertipe granitik dan batuan-
batuan vulkanik hasil aktivitas volkanisme pada pesisir barat Sumatera. Adanya kehadiran
batuan granit pada daerah Sumatera dan sekitarnya tak lepas kaitannya dengan provinsi granit
pada daerah Asia Tenggara. Provinsi provinsi granit pada Asia Tenggara ini erat kaitannya
dengan subduksi dan akresi mikrokontinen yang menumbuk pada tepi Terrane China Selatan.
Akresi-akresi tersebut membentuk beberapa sutur yang merupakan implikasi dari batas akresi
kontinen di Asia Tenggara. Salah satu sutur yang memberikan implikasi magmatisme pada
kawasan Sumatera adalah sutur Bentong-Raub.

12
Sutur Bentong-Raub merupakan produk dari proses konvergensi lempeng Sibumasu
dengan lempeng Indochina pada kawasan Asia Tenggara. Lempeng Sibumasu mulai bergerak
dan menunjam dibawah lempeng Indochina sekitar pada akhir Permian hingga awal Trias.
Penunjaman ini mengakibatkan terbentuknya busur-busur magmatik pada tepi barat
Indochina. Pada masa ini mulai terbentuk granit tipe I, akibat magmatisme pada kawasan Asia
Tenggara. Kemudian pada akhir Trias (200 juta tahun yang lalu), proses subduksi berhenti,
ditandai dengan menghilangnya Paleo-Tethys akibat subduksi sehingga terjadi
tumbukan/kolisi antar kontinen Sibumasu dengan kontinen Indochina. Tumbukan tersebut
membentuk batas atau yang sering disebut zona Bentong-Raub. Pada sekitaran zona tersebut,
dijumpai percampuran antara granit tipe I dan granit tipe S yang berasal dari kontinen
Sibumasu. Percampuran kedua tipe granit tersebut menunjukkan zona Bentong-Raub yang
bertindak sebagai batas antara provinsi barat dan timur dari sebaran granit di Asia Tenggara.

(Proses terbentuknya Zona Bentong-Raub)


Zona Bentong-Raub sangat jelas dapat dibedakan pada daerah Semenanjung Malaya.
Namun pada bagian selatan zona ini yang masuk kedalam kawasan kepulauan Sumatera dan
Bangka-Belitung. Zona ini sulit dibedakan karena batasnya yang mulai kabur. Pada zona ini
tipe avinitas magma yang dihasilkan memiliki kecenderungan peraluminous hingga
metaluminous, dengan potensi yang berbeda-beda tergantung dari jenis magma dan tipe
batuan granitik pada suatu lokasi.
13
III.1.3. Magmatisme pada Zona Sesar Sumatera
The Great Sumatera Fault atau Sesar Besar Sumateraterbentuk erat kaitannya dengan
pergerakan India yang bergerak mendesak lempeng Eurasia di utaranya. Pergerakan ini
menimbulkan perubahan Pulau Sumatera yang semula berorientasi barat-timur menjadi
tenggara-baratlaut. Pergerakan Sumatera yang searah jarum jam ini, mengaktifkan sistem
sesar pada Sumatera. Sistem Sesar Besar Sumatera ini membelah Pulau Sumatera mulai dari
Teluk Semangko di bagian selatan hingga Aceh dibagian utaranya. Sesar besar ini menerus
sampai ke Laut Andaman hingga Burma. Pergerakan Sesar Sumatera ini diperkirakan sebelas
centimeter per tahun dan tentunya menimbulkan efek tektonisme disekitar zona ini.

Di samping patahan utama tersebut, terdapat beberapa patahan lainnya, yaitu Sesar
Aneuk Batee, Sesar Samalanga-Sipopok, Sesar Lhokseumawe, dan Sesar Blangkejeren.
Khusus untuk Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar dihimpit oleh dua patahan aktif,
yaitu Darul Imarah dan Darussalam. Patahan ini terbentuk sebagai akibat dari adanya
pengaruh tekanan tektonik secara global dan lahirnya kompleks subduksi sepanjang tepi barat
Pulau Sumatera serta pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan. Daerah-daerah yang berada di
sepanjang patahan tersebut merupakan wilayah yang rawan gempa bumi dan tanah longsor,
disebabkan oleh adanya aktivitas kegempaan dan kegunungapian yang tinggi. Banda Aceh
sendiri merupakan suatu dataran hasil amblesan sejak Pliosen, hingga terbentuk sebuah
graben.

Zona Sesar Besar Sumatera yang terbentang dari utara hingga selatan Pulau Sumatera
ini memberikan pengaruh terhadap munculnya zona-zona lemah pada sekitar daerah zona
sesar tersebut. Gejala magmatisme akibat intrusi magmatik yang tersalurkan melalui
sesar/kekar disepanjang Sesar Sumatera ditemukan dibeberapa wilayah, mulai dari bagian
Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, hingga Lampung. Magmatisme pada zona
ini menghasilkan berbagai tipe batuan plutonik yang tersingkap dengan tipe granitik hingga
intermediet.

III.1.4. Magmatisme pada Zona Subduksi Sumatera


Pada akhir Miosen, Pulau Sumatera mengalami rotasi searah jarum jam. Pada kala
Plio-pleistosen, arah struktur geologi berubah menjadi baratdaya-timurlaut, di mana aktivitas
tersebut terus berlanjut hingga kini. Fenomena tersebut disebabkan oleh pembentukan basin
samudera di Laut Andaman dan tumbukan antara Mikrokontinen Sunda dan Lempeng India-
Australia terjadi pada sudut yang kurang tajam. Implikasi dari fenomena tersebut adalah
14
terjadinya kompresi tektonik regional dan lahirnya kompleks subduksi sepanjang tepi barat
Pulau Sumatera beserta pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan pada kala Pleistosen.
Terjadinya peristiwa subduksi ditandai dengan gejala-gejala volkanisme yang terbentuk pada
sepanjang tepi barat Pulau Sumatera.

Proses penunjaman pada Sumatera menghasilkan rangkaian forarc islands yang


merupakan bagian dari prisma akreasi. Batuan-batuan pada daerah tersebut membentuk
melange dengan batuan yang relatif campur-aduk. Implikasi magmatisme dari bagian prisma
akresi relatif berhubungan dengan pengaruh tekanan yang bekerja pada zona ini secara
dominan, sehingga batuan beku dijumpai dengan batuan metamorf dan batuan sedimen
lainnya. Beberapa bagian forarc islands dari prisma akresi Sumatera adalah Pulau Simeuleu,
Pulau Banyak, Pulau Nias, Pulau Batu, Pulau Siberut, hingga Pulang Enggano yang
terbentang dari utara hingga selatan Sumatera.

Gejala geologi lainnya yang terbentuk akibat subduksi pada Sumatera adalah
munculnya volcanic continental arc atau busur gunungapi pada wilayah kontinen.
Penunjaman lempeng Indo-Australia dibawah lempeng Eurasia dibawah Pulau Sumatera
menghasilkan jajaran gunungapi-gunungapi kuarter yang terbentang dari Aceh hingga
Lampung. Keberadaan busur gunungapi di pesisir barat Pulau Sumatera memberikan
gambaran bahwa proses volkanisme dan magmatisme pada daerah Sumatera masih aktif
hingga masa kini. Jenis magma yang dihasilkan pada jajaran gunungapi di Sumatera relatif
intermediet hingga asam dengan dampak tipe letusan yang bersifat eksplosif pada umumnya.

III.2. Implementasi Setting Tektonik dengan Rekaman Stratigrafi


III.2.1. Cekungan Sumatera Utara
Secara Fisiografis Cekungan Sumatera Utara dibatasi oleh Paparan Malaka disebelah
timurlaut, pegunungan Bukit Barisan disebelah baratdaya dan Lengkungan Asahan disebelah
timur yang sekaligus memisahkannya dengan Cekungan Sumatera Tengah dan kebaratlaut
berangsur membuka ke Laut Andaman. Aktivitas tektonik sepanjang Pra-Tersier dan Tersier
membentuktinggian (high), rendahan (low), dan dalaman (deep). Tinggian bertindak sebagai
pemisah antara dalaman yang membentuk sub cekungan berarah baratlaut-tenggara. Tinggian
H yang Besar memisahkan dalaman Tamiang disebelah barat dan sub cekungan Langkat
disebelah timur.

15
Gambar. Fisiografi dan TektonikCekungan Sumatera Utara

Secara umum stratigrafi Cekungan Sumatera Utara dapat dibagi atas 3 kumpulan
batuan, yaitu :kumpulan batuanpra-tersier, kumpulan batuan tersier dan kumpulan batuan
kuarter.

a. Kumpulan batuan Pra- tersier


Kumpulan batuan pra-tersier merupakan batuan dasar Cekungan Sumatera Utara
berumur Paleozoikum Akhir hinggaMesozokiumAkhir, berutur-turut dari tua-muda :
kelompok Tapanuli (Formasi Kluet, Formasi Bohorok, dan Formasi Alas), kelompok
Peusangan (Formasi Silungkang, Formasi Batu Mil Mil dan Formasi Kualu), serta
kelompok Woyla (Cameron, 1980).

b. Kumpulan batuan Tersier


Kumpulan batuan tersier Cekungan Sumatera Utara berturut-turut dari tua-muda :
Formasi Tampur, Formasi Parapat, Formasi Bampo, Formasi Belumai, Formasi
Baong, Formasi Keutapang, Formasi Seureula dan Formasi Julurayeu.

c. Kumpulan batuan Kuarter


Kumpulan batuan kuarter terdiri dari Formasi Toba dan alluvium. Formasi Toba
merupakan endapan travertine dan aliran tuff, berukuran butir pasir, terpilah buruk,
kadang-kadang mengandung mika, massif dengan ketebalan sekitar 150-200 m.
Alluvium terdiri dari endapansungai (pasir, kerikil, dan lempung) dan endapan pantai
(pasir hingga lumpur).

16
Gambar Stratigrafi Cekungan Sumatera

III.2.2. Cekungan Sumatera Tengah


Cekungan Sumatra Tengah merupakan cekungan busur belakang (Back-Arc Basin)
yang berkembang sepanjang tepi Paparan Sunda di barat daya Asia Tenggara. Cekunganini
terbentuk akibat penunjaman Lempeng Samudera Hindia yang bergerak relatif ke arahutara
(N 6o E) dan menyusup ke bawah Lempeng Benua Asia yang aktif selama Miosen.
Cekungan Sumatra Tengah memiliki geometri yang asimetri dengan bagian terdalam
berada di baratdaya dan melandai ke arah timur laut. Produk dari subduksi pada daerah ini
adalah unit fisiografi parallel berarah NW berupa busur kepulauan sepanjang muka pantai
barat daya Sumatra, cekungan muka busur Nias, busur volkanik Barisan, cekungan belakang
busur dan zona sesar Sumatra (Great Sumatra Fault Zone) atau yang dikenal dengan sebutan
Sesar Semangko.

17
Gambar Stratigrafi daerah Teso-Cenako Sumatra tengah dengan variasi level eustasi
(modifikasi dari Haq et al., 1988 dalam Wain et al., 1995)

Litostratigrafi pada cekungan Sumatra Tengah terdiri dari beberapa kelompok batuan dan
formasinya yang proses sedimentasinya dimulai pada awal Tersier mengikuti proses
pembentukan cekungan half graben. Kelompok kelompok tersebut meliputi:
1. Batuan Dasar (Basement)
Batuan dasar (basement) berumur Pra Tersier berfungsi sebagai landasan dari
Cekungan Sumatra Tengah. Formasi ini terdiri dari batuan yang berumur Mesozoikum dan
batuan metamorf karbonat berumur Paleozoikum-Mesozoikum. Batuan tersebut dari timur
ke barat terbagi dalam 3 (tiga) satuan litologi, yaitu Mallaca Terrane, Mutus Assemblage, dan
Greywacke Terrane. Ketiganya hampir paralel berarah NNW-NW.
Mallaca Terrane, Memiliki karakteristik litologinya terdiri dari kuarsit, argilit,
batugamping kristalin serta intrusi pluton granodioritik dan granitik yang berumur Jura.
Mutus Assemblage, Mutus Assemblage atau Kelompok Mutus merupakan zona sutur
yang memisahkan antara Mallaca Terrane dan Greywacke Terrane. Litologinya terdiri dari
baturijang radiolaria, meta-argilit, serpih merah, lapisan tipis batugamping dan batuan beku
basalt serta sedimen laut dalam lainnya.

18
Greywacke Terrane, Greywacke Terrane disebut juga Deep Water Mutus
Assemblage. Kelompok ini tersusun oleh litologi greywacke, pebbly mudstone dan kuarsit.
Kelompok ini berumur Perm -Karbon.

2. Kelompok Pematang (Pematang Group)


Kelompok Pematang merupakan lapisan sedimen tertua berumur Eosen-Oligosen yang
diendapkan secara tidak selaras di atas basement. Pada lingkungan fluvial litologinya terdiri
dari konglomerat, batupasir kasar, dan batulempung aneka warna. Sedangkan pada
lingkungan danau litologinya terdiri dari batulempung dan batupasir halus berselingan dengan
serpih danau yang kaya material ornagik. Serpih organik dari Kelompok Pematang
merupakan batuan induk (source rock) bagi hidrokarbon yang ada di Cekungan Sumatra
Tengah Kelompok ini tersusun oleh Formasi Lower Red Bed, Formasi Brown Shale, dan
Formasi Upper Red Bed.
Formasi Lower Red Bed
Formasi Lower Red Bed tersusun atas litologi batulumpur (mudstone), batulanau, batupasir,
dan sedikit konglomerat. Formasi ini diendapkan pada lingkungan darat dengan sistem
pengendapan kipas alluvial dan berubah secara lateral menjadi lingkungan fluviatil dan
lakustrin.
Formasi Brown Shale
Formasi Brown Shale menumpang di atas Lower Red Bed namun di beberapa tempat
menunjukkan adanya kesamaan lingkungan pengendapan secara lateral. Litologi penyusunnya
terdiri dari serpih berlaminasi baik, kaya akan material organik, berwarna cokelat sampai
hitam. Pada bagian cekungan yang lebih dalam dijumpai perselingan batupasir yang
diperkirakan diendapkan oleh mekanisme arus turbidit.
Formasi Upper Red Bed
Formasi Upper Red Bed di beberapa tempat dijumpai ekivalen secara lateral dengan Formasi
Brown Shale dan di tempat lain menunjukkan menumpang di atasnya. Litologinya terdiri atas
serpih, batubara, dan sedikit batupasir yang diendapkan pada lingkungan lakustrin.

3. Kelompok Sihapas (Sihapas Group)


Kelompok Sihapas diendapkan di atas Kelompok Pematang, merupakan suatu seri
sedimen pada saat aktifitas tektonik mulai berkurang, terjadi selama Oligosen Akhir sampai
Miosen Tengah. Kompresi yang terjadi bersifat setempat yang ditandai dengan pembentukan
sesar dan lipatan pada tahap inversi yang terjadi bersamaan dengan penurunan muka air laut

19
global. Periode ini diikuti oleh terjadinya subsiden kembali dan transgresi ke dalam cekungan
tersebut.Kelompok Sihapas ini terdiri dari Formasi Menggala, Formasi Bangko, Formasi
Bekasap, Formasi Duri dan Formasi Telisa.
Formasi Menggala
Formasi Menggala merupakan bagian terbawah dari Kelompok Sihapas yang berhubungan
secara tidak selaras dengan Kelompok Pematang yang dicirikan oleh kontak berupa hiatus.
Litologinya tersusun atas batupasir konglomeratan berselang-seling dengan batupasir halus
sampai sedang. Diendapkan pada saat Miosen Awal pada lingkungan Fluvial Channel dengan
ketebalan pada tengah cekungan sekitar 900 kaki, sedangkan pada daerah yang tinggi
ketebalannya tidak lebih dari 300 kaki. Formasi ini berubah secara lateral dan vertikal ke arah
barat menjadi Marine Shale yang termasuk Formasi Bangko dan menjadi lingkungan transisi
dan laut terbuka ke arah timur yang merupakan Formasi Bekasap. Batupasir formasi ini
merupakan reservoir yang penting pada Cekungan Sumatra Tengah.
Formasi Bangko
Formasi Bangko diendapkan secara selaras di atas Formasi Menggala. Litologinya tersusun
atas batulempung dan batulempung karbonatan yang berselingan dengan batupasir lanau dan
berubah secara lateral menjadi batugamping. Pengaruh lingkungan laut menyebabkan
pengendapan foraminifera yang berfungsi sebagai penunjuk umurformasi ini yaitu Miosen
Awal.
Formasi Bekasap
Formasi Bekasap disusun oleh litologi batupasir glaukonit halus sampai kasar, struktur
sedimen masif, berselang-seling dengan serpih tipis, dan diendapkan secara selaras di atas
Formasi Bangko. Kadang kala dijumpai lapisan tipis batubara dan batugamping. Formasi ini
diendapkan pada Miosen Awal di lingkungan delta plain dan delta front atau laut dangkal.
Kandungan fosil foraminifera menunjukkan umur Miosen Awal.
Formasi Duri
Formasi Duri diendapkan secara selaras di atas Formasi Bekasap dan merupakan bagian
teratas dari Kelompok Sihapas. Litologinya tersusun atas suatu seri batupasir yang terbentuk
pada lingkungan inner neritic-deltaic di bagian utara dan tengah cekungan. Formasi ini
berumur Miosen Tengah dengan ketebalan mencapai 900 kaki.
Formasi Telisa (Tmt)
Formasi ini memiliki karakteristik tersusun oleh betulumpur gampingan yang terendapkan
secara selaras dengan Formasi Sihapas. Formasi ini berumur sekitar Miosen Tengah sengah

20
sebaran area Tebingtinggi, Pematang-siantar, Padang sidempuan-sibolga, Dumai dan
Bagansiapiapi, Bengkalis, Lubuksikaping, dan Pekanbaru.

4. Kelompok Petani (Tup)


Kelompok ini dicirikan oleh batulanau dan batulumpur yang mengandung karbon dengan
hubungan yang selaras dengan Formasi Keutapang. Kelompok ini berumur Miosen Akhir,
dengan sebaran Tebingtinggi, Pematang-siantar, Padang sidempuan-sibolga, Dumai dan
Bagansiapiapi, Bengkalis, Lubuksikaping, dan Pekanbaru.
Formasi Minas (Qpmi)
Memiliki karakteristik tersusun oleh krikil, pasir, dan lempung yang berhubungan menjemari
dengan Formasi Totolan dan tidak selaras dengan Formasi Samosir. Formasi ini memiliki
umur Plistosen, dengan sebaran Tebingtinggi, Pematang-siantar, Padang sidempuan-sibolga,
Dumai dan Bagansiapiapi, Bengkalis, Lubuksikaping, dan Pekanbaru.

III.2.3. Cekungan Sumatera Selatan


Cekungan Sumatra Selatan terbentuk oleh suatu hasil tektonik yang melibatkan
Kerak Samudra Indo-Australia dengan bagian dari Kerak Benua Eurasia yaitu Paparan
Sunda. Pergerakan Kerak Samudra Indo-Australia yang bergerak dengan arah relatif ke
utara dan membentuk zona konvergensi terhadap Paparan Sunda yang relatif diam. Daerah
penunjaman meliputi daerah selatan Pulau Jawa dan daerah barat Pulau Sumatra.
Penunjaman tersebut mempengaruhi keadaan litologi, morfologi, struktur pada daerah-
daerah tersebut termasuk pada Cekungan Sumatra Selatan yang merupakan cekungan
belakang busur.
Secara umum Cekungan Sumatra Selatan berada di Indonesia bagian barat
yakni Pulau Sumatra bagian selatan yang memanjang dengan arah barat laut - tenggara.
Cekungan Sumatra Selatan ini terletak di sebelah timur-timur laut dari rangkaian
Pegunungan Barisan dan Sesar Semangko, sebelah selatan-tenggara Pegunungan Tigapuluh,
sebelah utara tinggian Lampung atau Palembang, serta berada di sebelah barat-barat laut
dari Pulau Bangka dan Laut Jawa. Cekungan ini dapat dibagi menjadi beberapa sub-
basin yaitu Sub Cekungan Jambi, Sub Cekungan Palembang Tengah, Sub Cekungan
Palembang Utara, Sub Cekungan Palembang Selatan, dan Sub Cekungan Bandar Jaya
2
dengan luas total dari cekungan ini sekitar 117.000 km .

Hasil penelitian dan eksplorasi yang telah dilakukan pada Cekungan Sumatra
Selatan ini menunjukkan bahwa cekungan ini memiliki potensi, baik dalah hal sesumber

21
maupun kebencanaan. Kondisi stratigrafi yang tersusun atas Formasi Lahat di bagian bawah
hingga Formasi Kasai di bagian atas menunjukkan bahwa di beberapa bagian cekungan ini
dapat berkembang suatu petroleum system dan pengendapan batubara serta mineral logam.
Selain potensi sesumber, cekungan ini juga menyimpan potensi kebencanaan yang tidak
dapat dihindari. Cekungan yang berada di sekitar tinggian maupun perbukitan
menjadikan cekungan ini sebagai daerah yang rawan longsor. Oleh karena itu, dentifikasi
mengenai kedua potensi tersebut lebih lanjut akan sangat bermanfaat bagi berkembangnya
peradaban yang berada di cekungan ini.
Secara umum, sedimentasi di Cekungan Sumatera Selatan terjadi dalam dua
fase (Jackson, 1961 dalam Koesoemadinata, et al., 1976) , yaitu:

1. Fase Transgresi
Fase Transgresi di Cekungan Sumatera Selatan ditandai dengan pengendapan
Kelompok Telisa secara tidak selaras di atas batuan Pra-Tersier. Selama fase pengendapan
yang terjadi pada fase transgresi, penurunan dasar cekungan lebih cepat daripada proses
sedimentasi, sehingga terbentuk urutan fasies non marine, transisi, laut dangkal dan
laut dalam (Pulunggono, 1969; De Coster, 1974; Koesoemadinata, et al., 1976).
2. Fase Regresi
Fase Regresi di Cekungan Sumatera Selatan ditandai dengan pengendapan
Kelompok Palembang. Fase ini merupakan kebalikan dari fase transgresi, dimana
pengendapan lebih cepat dibandingkan dengan penurunan dasar cekungan, sehingga
terbentuk urutan seperti fasies laut dangkal, transisi dan non marine (Pulunggono, 1969; De
Coster, 1974; Koesoemadinata, et al., 1976).

1. Kelompok Telisa

Formasi Lahat

Formasi Lahat merupakan suatu rangkaian breksi vulkanik tebal, tuf, serpih
tufaan, endapan lahar, dan aliran lava, serta dicirikan dengan kehadiran sisipan lapisan
batupasir kuarsa. Formasi Lahat diendapan pada lingkungan darat, serta berumur Eosen
Oligosen Awal.

Formasi Talang Akar

Setelah pengendapan Formasi Lahat, terjadi proses erosi secara regional. Bukti
erosi diperlihatkan oleh Formasi Talang Akar yang terendapkan tidak selaras diatas Formasi

22
Lahat. Setelah masa hiatus umur Oligosen Tengah, kemudian diendapkan sedimen pada
topografi yang rendah pada Oligosen Akhir.
Formasi ini terbagi atas dua anggota yaitu GRM dan TRM (Spruyt, 1956;
Pulunggono, 1984)

a. Gritsand Member (GRM)

Anggota bawah Formasi Talangakar ini disusun oleh sedimen klastik kasar
seperti batupasir konglomeratan, batupasir kuarsa, serpih dan sisipan batubara dengan
struktur sedimen berupa struktur perlapisan bersusun, perlapisan silang-siur dan sejajar. b.
Transitional Member (TRM)

Anggota atas Formasi Talangakar ini tersusun oleh sedimen klastik sedang-
halus seperti perselingan batupasir, serpih, batulanau, sisipan batubara, batulempung
karbonatan, serta hadirnya glaukonit yang melimpah. Lingkungan pengendapan
anggota satuan ini adalah lingkungan transisi-laut dangkal berumur Miosen.
Formasi Baturaja

Formasi Baturaja dicirikan denga kehadiran batugamping yang berada di sekitar


bagian dasar Formasi Telisa. Formasi ini sangat berkembang di daerah tinggian, berupa
batugamping terumbu dan batugamping paparan, sedangkan di bagian dalam cekungan
satuan ini berkembang sebagai fasies karbonat berupa mudstone atau wackestone. Formasi
Baturaja ini masuk ke dalam rentang umur yang ekuivalen dengan foraminifera
planktonik dengan kisaran umur N4 N5 atau Miosen Awal.
Formasi Telisa / Formasi Gumai

Puncak transgresi pada Cekungan Sumatera Selatan dicapai pada waktu


pengendapan Formasi Gumai. Formasi ini diendapkan selaras diatas Formasi Baturaja dan
anggota Transisi Talang Akar. Formasi ini tersusun atas sedimen klastika halus berupa
serpih, napal, batulempung gampingan, batulanau dengan foraminifera plankton yang
melimpah. Formasi ini memiliki umur Miosen Tengah

2. Kelompok
Palembang

Formasi Air Benakat

23
Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di atas Formasi Gumai, dan
merupakan awal fase regresi. Didominasi oleh shale sisipan batulanau, batupasir dan
batugamping. Ketebalannya antara 100 1000 meter. Berumur Miosen Tengah sampai
Miosen Akhir, dan diendapkan di lingkungan laut dangkal.

Formasi Muara Enim

Formasi ini berumur Miosen Akhir-Pliosen Awal. Secara umum ditandai


dengan berkembangnya batubara. Formasi ini disusun oleh perselingan batulempung,
batulanau, batupasir tufan dan lapisan batubara. Formasi ini menunjukkan sekuen
pengendapan pengkasaran ke atas dengan lingkungan pengendapan laut dangkal hingga
darat. Fosil kayu dan foraminifera air tawar banyak dijumpai pada formasi ini.

Gambar. Kolom Stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan

24
BAB IV
POTENSI GEOLOGI PULAU SUMATERA

IV.1 POTENSI GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA


SUMBERDAYA
1. Batuan Induk (Source Rock)
Pada daerah Cekungan Sumatra Utara aliran suhu rata rata relatif tinggi (>2
HFU ) dimana merupakan kondisi yang sesuai untuk pembentukan source rock.
Formasi formasi yang memiliki potensi untuk menjadi source rock pada daerah
Cekungan Sumatera Utara diantaranya yaitu formasi Baong yang memiliki Total
Organic Carbon (TOC) dengan rata rata ) 0,5%. Source interval yang paling baik
pada formasi baong yaitu pada bagian paling bawah dimana endapan mudstoes
terbentuk pada lingkungan outer neritic sampai bathyal. Formasi baong sebenarnya
tidak kaya akan kandungan organic berdasarkan standar dunia dimana nilai total
organic carbon jarang lebih dari 1,5%, tetapi akibat penunjaman yang sangat cepat
dari sunda mikroplate selama middle Miocene mengakibatkan meningkatnya
ketebalan volume hydrocarbon di daerah tersebut.
Sedimen anggota formasi Belumai memiliki nilai TOC 0,2 4,8 %, khususnya
1%. Nilai hidrogen indeks nya rendah. Mengandung kerogen amorf, membentuk
inertinit dan vitrinit. Mareial organic berasal dari darat dan berbutir halus. Formasi
Bampo memiliki TOC 0,27% - 3,84% pada sampel core, sedangkan pada sampel
singkapan permukaan 1,41% dengan variasi secara lateral. Hidrogennya rendh
sampai sangat rendah dan mudstone mengandung material organik inert.
Potensinya terbatas pada gas.
Minyak dari anggota Belumai dan formasi Keutapang adalah sama secara
umum dan diprkirakan menjadi sumber dari kelompok genetic yang sama.
Kerogen darat merupakan sumber utama perangkap hidrokarbon. Soorce rock
dapat berasal dai lingkungan lakustrin. Contoh pada formasi Bruksah yang
terebapakan pada rift bounded depocenter, Pre-Belumai. Beberapa minyak yang
tingkat maturitasnya berbeda bercampur, menunjukkan variasi kedalaman pada
formasi Bruksah tertimbun atau sedimen yang sama dalam satu deposenter (Kirby
et al., 1993).
- Batuan Reservoar
Objek explorasi yang utama pada daerah Cekungan Sumatra Utara yaitu pada
formasi Belumai, dimana foramsi ini terdiri dari batupasir yang baik sebagai reservoir
dan juga terdiri dari limestones yang menyebar secara local. Selain formasi Belumai
reservoir juga dapat dijumpai pada anggota formasi peutu dimana pada formasi ini
batuannya terdiri dari limestone, atau batuan carbonat. Kirby et al., (1993)
menyebutkan adanya beberapa sekuen batuan yang dapat menjadi batuan reservoar.
Batupasir Miosen Atas pada anggota Keutapang atas adalah batupasir mature yang
mengadung sejumlah matriks lempung dan lanau. Porositasnya masih cukup besar
berkisar 13% - 29 %. Sedangkan permeabilitasdai 10 mD 2000 mD. Jenis
lempungnya sendiri beragam yaitu illit, klorit dan smektit. Batupasir juga mengandung
grain coating yang bercampur dengan klorit dan smekti hingga 20% lapisan smektit
dan blocky.
Batupasir Sungai Besitang Miosen Tengah hingga Miosen Atas dengan
karakteristik grain coating semen klorit dan sedikit semen kuarsa dan kalsit. Batupasir
anggota Formasi Belumai Miosen Bawah bertipe semen Fe-Dolomit/ Ankerit dan
kuarsa, serta klorit. Porositas batuan 4-28 %. Porositas yang besar yang mencapai
hingga 28% dikarena adanya proses leaching karbonat serta akibat diagensa lainnya.
Permeabilitas batuan berkisar 5 mD 7 mD pada ladang Wampu dan 13 mD pada
pantai Pakam timur serta 16 mD pada Polonia.

- Potensi Hidrokarbon Selanjutnya

Minyak dan gas pada area studi berada pada perangkap struktur, yaitu :
a. Antiklin yang terbentuk akibat proses tektonik pada Plio-Pleistosen yang ada pada
formasi Keutapang dan anggota Belumai.
b. Antiklin yang dihasilkan dari proses tektonik pada Miosen berupa reservoar anggota
Formasi Belumai dan batuan penudung dari serpih Formasi Baong.
Pendekatan struktur pada post-Formasi Keutapang, sedimen tidak membentuk
perangkap yang dapat dilalui karena keterdapatan seal. Semua truktur pada formasi
Keutapang batuan sedimen telah di bor. 6 struktur yang telah diuji pada batuan
sedimen anggota formasi Belumai harus diidentifikasi, cekungan bagian utara nya
diperkirakan daerah prospektif.
Jenis play baru telah diidentifikasikan terhadap deposenter Paleogen yang
mengkombinasikan elemen struktur dan stratigrafi. Fluvial dan konglomerat discrete
dari Formasi Bruksah diperkirakan berasal dari source rock lakustrin. Pada
hidrokarbon yang datar pada kasus ini merupakan sesar syn-deposisi seal yang
menyingkap endapan dengan basement impermeabel dan bagan atas seal
ditumpangioleh sedimen argilit dari Formasi Bampo dan akumulasi hidrokarbon pada
jenis play ini menghasilkan gas karena maturitas yang tinggi dari sourcerock.

- KEBENCANAAN
Cekungan Sumatera Utara memiliki berbagai potensi negatif terkait
kebencanaan terutama karena lokasinya yang berada dekat dengan gunung api (Back
Arc System), sehingga ada tingkat kerawanan terkena dampak aktivitas letusan gunung
berapi. Selain itu, daerah Cekungan Sumatera Utara dekat dengan posisi Sesar
Semangko di Sumatera yang menandakan bahwa daerah ini cukup rawan akan
terjadinya gempa yang dipicu oleh aktivitas sesar geser Semangko. Anktivitas tektonik
dan vulkanik ini tentunya juga dapat memicu bencana lainnya seperti bencana longsor
dan gerakan massa.

IV.2 POTENSI GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH


- SUMBER DAYA
1. Gas biogenik
Formasi Binio adalah target utama eksplorasi gas biogenik di cekungan sumatra
tengah sebagai reservoir gas biogenik terbukti di Kalila Bentu PSC. Formasi ini
tersusun oleh batulempung interbedded dengan batupasir yang relatif tipis dan
terendapkan pada kala Miosen awal hingga Pliosen dan merupakan bagian dari Grup
Petani. Formasi ini diendapkan pada lingkungan pasang surut ditandai dengan struktur
sedimen flaser, lentikular, dan wavy. Batulempung yang dominan inilah yang
menghasilkan akumulasi gas biogenik yang melimpah pada formasi ini.
2. Minyak dan Gas Bumi
Cekungan Sumatra Tengah merupakan daerah produksi minyak terbesar di
Indonesia dengan adanya lapangan minyak bumi Duri dan Minas. Lapangan minyak
bumi di daerah ini memiliki kedalaman yang rendah namun dengan penutup (seals)
yang sangat baik. Potensi hidrokarbon pada cekungan ini tidak lepas dari peran
formasi Pematang. Formasi Pematang terdiri dari Lower Red Beds, Brown Shale dan
Upper Red Beds. Lower Red Beds merepresentasikan sedimen pengisi cekungan yang
immature, terdiri dari batupasir, batuserpih, dan konglomerat yang terbentuk pada
lingkungan alluvial/fluvial. Brown Shale berasosiasi dengan subsidence dan
pembentukan danau air tawar air payau dengan endapan-endapan fasies anoxic,
saline dan lacustrinal pada umur Paleogen. Litologi yang terbentuk antara lain serpih
berwarna coklat sampai hitam dengan kandungan alga yang berlimpah, yang akan
menjadi source-rock utama dari Central Sumatra Basin. Sedangkan Upper Red Beds
terbentuk pada fase regresif dengan komposisi batupasir kasar, batulanau dan
batulempung sebagai hasil pengisian kembali dari danau atau lingkungan pengendapan
fluvial/aluvial. Paleosols pada bagian atas dari Red Beds berperan sebagai seals yang
baik. Secara seismik, bagian atas dari Pematang dibatasi oleh ketidakselarasan yang
diikuti oleh fase transgresi dengan reservoir berupa batupasir (Sihapas Group). Pada
2.8 1.65 juta tahun yang lalu terjadi fase kompresi besar yang menjadi peristiwa
penting karena menghasilkan struktur-struktur inversi yang membentuk kebanyakan
lapangan-lapangan yang ada saat ini. Hidrokarbon yang ada pada Central Sumatra
Basin didominasi oleh minyak dengan kehadiran oil-prone lacustrine source rocks.
3. Batubara
Pada saat akhir Kapur, Central dan South Sumatra merupakan bagian dari
dataran yang luas, pada awal Tersier terbentuklah fault-bounded troughs. Potensi
batubara yang signifikan di Sumatra bagian tengah terbentuk pada Eosen Miosen
pada Formasi Sawahlunto. Coal-bearing sediments terlipatkan dan tersesarkan dalam
skala lokal baik sesar turun maupun sesar naik sehingga menyulitkan korelasi antar
individu coal seams. Selain itu terdapat pula batubara dengan umur Neogen pada
Korinci Basin yang termasuk dalam Central Sumatra Basin pada Formasi Muara Enim
yang berselingan dengan lapisan tuffaceous.

- KEBENCANAAN
1. Gempa Bumi
Cekungan Sumatra Tengah bukan merupakan daerah yang rawan terjadinya
gempa bumi, dibandingkan dengan cekungan Sumatra Selatan dan Utara, namun tidak
berarti cekungan Sumatra Tengah merupakan daerah yang bebas dari bencana.
Berdasarkan peta persebaran titik gempa (gambar 4) dapat diketahui bahwa cekungan
sumatra merupakan daerah rawan gempa terutama pada daerah dekat dengan
penunjaman lempeng.
Gambar 1. Peta persebaran titik gempa, diambil pada tahun 1980-1996 dan 2005 (Barber, A.J.,
Crow, M.J., Milson, J.S., 2005)

2. Vulkanisme
Sumatra merupakan pulau dengan aktivitas magmatik yang tinggi didukung
dengan rekahan-rekahan yang tersebar akibat pengaruh gaya tektonik yang
kompleks. Dari 75 gunu api aktif (golongan A), 12 diantaranya terdapat di pulau
Sumatra. Erupsi gunungapi di pulau ini telah melontarkan jutaan kubik endapan
vulkanik yang tersebar sampai ribuan kilometer. Semua erupsi dalam sejarah
manusia di Sumatra termasuk dalam kategori menengah (tingkat II hingga V). Hal
ini menyebabkan potensi bencana gunung api menjadi fokus tersendiri yang harus
selalu dipantau.
IV.3 POTENSI GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA SELATAN
- SUMBER DAYA

Berdasarkan analisis stratigrafi penyusun Cekungan Sumatra Selatan dapat


diketahui sumber yang dapat dijumpai adalah minyak bumi dan gas, batubara, serta
mineral logam.
1. Petroleum System
Keterdapatan minyak dan gas bumi pada Cekungan Sumatra Selatan dapat
diketahui berdasarkan munculnya beberapa rembesan minyak maupun gas bumi.
Hal tersebut menjadi indikasi awal adanya cadangan minyak dan gas bumi yang
lebih besar di bawah permukaan.
Source rock sebagai sumber hidrokarbon pada Cekungan Sumatra Selatan
terbentuk pada lingkungan pengendapan berupa danau (lacustrine) yang
membentuk Formasi Lahat. Formasi Lahat yang berupa serpih memiliki TOC 1.7
8,5 wt% dan dapat menghasilkan kerogen tipe I, II, dan III. Selain itu batuan yang
dapat dijadikan sebagai source rock adalah coal dan coaly shale penyusun Formasi
Talang Akar dengan TOC 1,5-8 wt% serta dapat menghasilkan kerogen tipe I, II,
dan III. Batugamping Formasi Baturaja serta serpih Formasi Gumai juga
diindikasikan berpotensi menjadi source rock walaupun persentase kandungan
material organik tidak sesignifikan seperti pada Formasi Lahat dan Talang Akar.
Keduanya diperkirakan dapat menghasilkan gas pada petroleum system.
Pada cekungan Sumatera Selatan beberapa formasi dapat menjadi reservoar
yang efektif untuk menyimpan hidrokarbon. Pertama, fractured basement yang
tersusun atas granit dan kuarsit memiliki porositas mencapai 7%. Kedua, Formasi
Lahat yang tersusun atas batupasir dan konglomerat memiliki cadangan terhitung
sebesar 88 MMBOE. Ketiga, Formasi Talang Akar yang tersusun atas batupasir
dengan porositas 15 30% dan permeabilitas 5 darcy memiliki cadangan terhitung
sebesar 2 BBOE. Keempat, Formasi Baturaja yang tersusun atas batugamping
dengan porositas 18 38% dan permeabilitas 1 darcy memiliki cadangan terhitung
sebesar 1 BBOE. Kelima, Formasi Gumai yang tersusun atas batupasir dan batuan
karbonat dengan porositas 20% memiliki cadangan terhitung 130 MMBOEE.
Pada umumnya batuan penutup pada Cekungan Sumatra Selatan berupa shale.
Shale tersebut bersifat intaformational dan dijumpai cukup tebal di atas batuan
yang betindak sebagai reservoar. Formasi Talang Akar, Formasi Gumai, Formasi
Batu Raja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat dan Formasi Muara Enim
ditutupi oleh shale yang bersifat intraformational yang baik untuk menjebak
hidrokarbon.
Jebakan hidrokarbon utama diakibatkan oleh adanya sruktur geologi seperti
antiklin, sesar naik, sesar turun. Antiklin ini dibentuk akibat adanya kompresi yang
dimulai saat awal miosen dan berkisar pada 2-3 juta tahun yang lalu (Bishop,
2001).
Migrasi hidrokarbon ini terjadi secara horisontal dan vertikal dari source rock
serpih pada formasi Lahat dan Talang Akar. Migrasi horisontal terjadi di sepanjang
kemiringan slope. Migrasi vertikal dapat terjadi melalui rekahan-rekahan dan
daerah sesar turun mayor.

Gambar Peta Zonasi Kegempaan dengan Data Seismik Cekungan Sumatera Selatan

2. Batubara
Batubara terbentuk pada Formasi Muara Enim. Formasi tersebut menunjukkan
fase regresi, dimana pengendapan lebih cepat terjadi dibandingkan penurunan
dasar cekungan. Terbentuk pada daerah laut dangkal menuju daratan sehingga
didapatkan fosil kayu yang melimpah dan menandakan pembentukan batubara
terjadi disini. Batubara pada Cekungan Sumatera Selatan merupakan cadangan
yang mencapai 85% dari total cadangan yang terkandung di Sumatera Selatan.

3. Mineral Logam

Potensi bahan logam penyebaran meliputi wilayah barat Kabupaten Musi Rawas.
Secara geologi daerah tersebut merupakan komplek intrusi yang sangat potensial
untuk terjadinya mineralisasi. Potensi bahan galian logam meliputi bijih besi, emas,
timah hitam, seng, tembaga dan perak.
- KEBENCANAAN

Potensi kebencanaan yang mungkin terjadi pada Cekungan Sumatra Selatan tidak
terlepas dari pengaruh subduksi kerak Samudra Indo-Australia terhadap kerak Benua
Eurasia. Terdapat dua potensi kebencaan yang dapat diidentifikasi yaitu :
1. Potensi Gempabumi
Peristiwa kegempaan di Cekungan Sumatera selatan sangat berkaitan dengan
pembentukan Bukit Barisan yang disebabkan oleh adanya patahan besar Sumatera.
Sama halnya dengan zona subduksi, patahan Sumatera menahan tekanan lempeng
dari hari ke hari sampai melampaui kekuatan batuan yang merekatkan bumi di
barat dan timur jalur patahan ini. Pada saat itulah, terjadi gempa besar dimana
akumulasi tekanan akan dilepaskan secara tiba-tiba dan menyebabkan bumi bagian
barat bergerak ke arah utara dan bagian timur bergerak ke arah selatan. Cekungan
Sumatra Selatan yang berada di bagian timur dari patahan tersebut akan mengikuti
pergerakan ke arah selatan.
Berdasarkan peta zonasi kegempaan tersebut, Cekungan Sumatra Selatan
memiliki potensi gempa menengah hingga kecil. Hal ini diketahui melalui data
PGA (Peak Ground Acceleration) cekungan tersebut. Secara berurutan dari barat
ke timur potensi gempabumi dari potensi kecil menengah yaitu dengan nilai
PGA 6-25% G. Potensi kecil hingga menengah tersebut dikarenakan Cekungan
Sumatra Selatan ini merupakan suatu back-arc basin yang tidak berhubungan
langsung dengan zona subduksi.
2. Potensi Gerakan Massa
Gerakan massa pada Cekungan Sumatra Selatan, pada umumnya terjadi pada
batuan hasil aktivias gunungapi berumur Miosen Akhir-Pliosen Formasi Kassai.
Batuan vulkanik tersebut sebagian besar menyusun lereng- lereng yang terjal dan
memiliki afinitas asam intermediet. Batuan dengan tingkat afinitas ini memiliki
kecenderungan untuk mengalami pelapukan. intensitas pelapukan semakin
didukung oleh kondisi iklim tropis Indonesia dengan curah hujan yang cukup
tinggi. Pelapukan tersebut mengakibatkan terbentuknya zona lemah pada tubuh
batuan, sehingga mudah dilalui air meteoric. Air meteoric yang bersifat asam
tersebut, akan mudah bereaksi dengan batuan-batuan yang memiliki kandungan
feldspar yang tinggi. Kondisi batuan yang lapuk dan banyaknya bidang lemah,
memudahkan batuan tersebut untuk mengalami pergerakan. Selain itu, formasi
Kasai sebagian besar tersusun atas endapan berumur Kuarter. Hal itu menyebabkan
lereng-lereng mudah mengalami pergerakan.

DAFTAR PUSTAKA

Van Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia VOL. 1A General Geology of
Indonesia and Adjacent Archipelagoes. Jakarta: Government Printing Office.

Anda mungkin juga menyukai