PENDAHULUAN
A. FISIOGRAFI PULAU SUMATERA
Pulau Sumatra, secara fisiografis berorientasi barat laut, terletak di tepi barat
Sundaland dan merupakan ekstensi dari lempeng Eurasia. Pulau Sumatera merupakan pulau
terbesar keenam di dunia, dengan luas area sebesar 435.000 km2. Pulau Sumatera membujur
dari barat laut ke arah tenggara dan melintasi khatulistiwa, hal ini membuat pulau Sumatera
seakan-akan terbagi menjadi dua bagian, yaitu Sumatra belahan bumi utara dan Sumatra
belahan bumi selatan. Terdapat garis trend geografis di pulai ini, yaitu terdapat Pegunungan
Bukit Barisan yang memanjang dari sisi barat pulau dari ujung utara ke arah selatan; sehingga
membuat dataran di sisi barat pulau relatif sempit dengan pantai yang terjal dan dalam ke arah
Samudra Hindia dan dataran di sisi timur pulau yang luas dan landai dengan pantai yang
landai dan dangkal ke arah Selat Malaka, Selat Bangka dan Laut China Selatan. Pegunungan
Bukit Barisan memiliki puncak 3.000 m di atas permukaan laut dan merupakan barisan
gunung berapi aktif.
Pada bagian utara, pulau Sumatra dibatasi oleh Laut Andaman sedang pada bagian
selatan berbatasan dengan Selat Sunda. Di pulau Sumatra terdapat banyak gunung api, seperti
Gunung Leuser, Gunung Dempo dan yang paling tinggi adalah Gunung Kerinci di Jambi.
Pulau Sumatra merupakan kawasan episentrum gempa bumi karena dilintasi oleh patahan
kerak bumi disepanjang Bukit Barisan, yang disebut Patahan Sumatra; dan patahan kerak
bumi di dasar Samudra Hindia disepanjang lepas pantai sisi barat Sumatra. Danau terbesar di
Indonesia, Danau Toba terdapat di pulau Sumatra.
Secara umum Fisiografi Pulau Sumatra dapat dibagi menjadi beberapa bagian antara
lain :
1 . Zona Kepulauan Busur muka : Merupakan kepulauan yang terangkat akibat adanya
interaksi lempeng india australia dan lempeng euarasia. Memanjang mulai dari pulau nias,
simelue dan tanimbar.
2. Zona Semangko : Merupakan daerah yang memnjang dari utara selatan akibat dari
terbentuknya sesar sumatar / sesar semangko.
3. Zona Jajaran Barisan : Zona Ini memanjang sepanjang sesar semangko
4. Zona dataran Rendah dan berbukit : Fisiografi daerah ini berupa dataran lembah dan terdiri
dari cekungan sedimen
5. Zona Pegunungan Tiga Puluh
6. Zona Paparan Sunda
1
B. POLA TEKTONIK PULAU SUMATERA
B.1. Pembentukan Cekungan Sumatera
Pada regional Sumatera, khususnya pada rift basins di Sumatera, seperti Cekungan
Sumatera Utara, Cekungan Suatera Tengah dan Cekungan Sumatera Selatan, secara
umum mengalami fase fase atau episode rifting yang mirip, yaitu pre-rift, syn-rift dan
post-rift. Cekungan Sumatera sendiri mulai terbentuk pada kurun Eosen Tengah (45 Ma).
Fase Pre-rift
Pada fase pre-rift , belum terjadi subsidence yang berperan dalam membentuk
cekungan. Pada fase ini terbentuk rekahan-rekahan yang nantinya akan memicu
terjadinya subsidence. Stratigrafi yang terbentuk biasanya berhubungan dengan batuan
penyususn basement dan erosional dan batuan basement.
Fase Syn-rift
Pada fase syn-rift, terjadi proses sedimentasi berbarengan dengan terjadinya proses
rifting dan subsidence. Pada fase ini pengendapan dikontrol oleh sesar-sesar turun yang
terjadi akbat regangan. Pengendapan dicirikan oleh endapan-endapan non-marine yaitu
fluvial, lacustrine, delta dan pantai. Di Pulau Sumatera, fase syn-rift dialami oleh semua
cekungan. Pada Cekungan Sumatera Utara, selama fase syn-rift diendapkan Grup Parapat
dan Bampo yang merupakan endapan Fluvial dan lacustrine.
Fase Post-rift
Pada fase post-rift, proses rifting berhenti dan proses thermal subsidence bekerja,
rheologi batuan berubah menjadi ductile dan proses tektonik menjadi tenang. Pada fase
ini pengendapan mulai diganggu oleh adanya ai laut sehingga lingkungan
pengendapanpun berubah menjadi lingkungan transisi hingga laut dangkal dan terjadi
proses transgresi.
B.2. Tektonik Pulau Sumatera
Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng aktif dunia, yaitu: lempeng Indo-
Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik dimana kepulauan di nusantara tersebut
akan terus bergerak rata-rata 3-6 cm (bahkan 12cm) per tahunnya, yang saling
bertumbukan/berinteraksi.
Pulau sumatera sendiri berada pada zona wilayah tumbukan antara lempeng Indo-
Australia dan lempeng Eurasia. Pegunungan Bukit Barisan adalah jajaran pengunungan
yang membentang dari ujung utara (di Nangroe Aceh Darusalam) sampai ujung selatan
(di Lampung) pulau Sumatra. Proses pembentukan pegunungan ini berlangsung menurut
skala tahun geologi yaitu berkisar antara 45 450 juta tahun yang lalu. Teori pergerakan
lempeng tektonik menjelaskan bagaimana pegunungan ini terbentuk.
Lempeng tektonik merupakan bagian dari litosfer padat yang terapung di atas
mantel yang bergerak satu sama lainnya. Terdapat tiga kemungkinan pergerakan satu
lempeng tektonik relatif terhadap lempeng lainnya, yaitu apabila:
4
eurasian plate. Zona gesekan akibat gaya tekan dari tumbukan tersebut menjadi begitu
panas sehingga akan mencairkan batuan disekitarnya (peleburan parsial). Kemudian
magma naik lewat/menerobos/mendesak kerak dan berusaha keluar pada permukaan dari
lempeng di atasnya. Sehingga terbentuklah busur pegunungan bukit barisan di bagian tepi
eurasian plate, di pulau Sumatera, Indonesia . Salah satu manifestasinya berupa puncak
tertinggi pada gunungapi Kerinci, 3.805 mdpl, di Jambi.
6
BAB II
EVOLUSI TEKTONIK PULAU SUMATERA
Selama Zaman Karbon sampai Perm, terdapat subduksi di sebelah barat Sumatera
yang menghasilkan batuan vulkanik dan piroklastik dengan komposisi berkisar antara dasit
sampai andesit di daerah Dataran Tinggi Padang, Batang Sangir dan Jambi (Klompe et all.,
1961; dalam Hutchison, 1973). Batuan intrusif yang bersifat granitik terbentuk di
Semenanjung Malaysia, melewati Pulau Penang, dan diperkirakan menerus ke Kepulauan
Riau.
Selama Zaman Perm, tidak ada perubahan penyebaran keterdapatan batuan plutonik
dan volkanik dari Karbon Akhir. Sistem busur-palung yang bekerja di Sumatra masih tidak
mengalami perubahan (Gambar 3.1 dan 3.2). Batuan volkanik dan piroklasik berkomposisi
andesitik sampai riolitik menyebar di bagian barat dari Sumatera Tengah. Dari Trias Akhir
sampai Jura Awal, subduksi di Sumatra terus berlangsung dan menghasilkan kompleks ofiolit
Aceh di bagian utara dan kompleks ofiolit Gumai-Garba di selatan. Kedua ofiolit tersebut
menurut Bemmelen (1949; dalam Hutchison, 1973) berumur Trias. Pada Jura Tengah sampai
Kapur Tengah, terjadi pengangkatan di wilayah Semenanjung Malaysia, menyebabkan
perubahan lingkungan sedimentasi pada daerah tersebut dari lingkungan laut menjadi
lingkungan darat, ditandai dengan endapan tipe molasse dan sedimentasi fluviatil. Volkanisme
di kawasan Sumatra dan sekitarnya kurang aktif pada selang waktu ini. Selama Jura dan
7
Kapur, kawasan Sumatra dan sekitarnya terkratonisasi, dan sistem pensesaran strike slip
terbentuk (Tjia et. All, 1973; dalam Hutchison, 1973).
Pada Kapur Akhir, zona subduksi bergerak ke arah barat Sumatra, sepanjang pulau-
pulau yang saat ini berada di barat Sumatra seperti Siberut. Ofiolit dari subduksi ini sendiri
oleh Bemmelen (1949; dalam Hutchison, 1973) diperkirakan berumur Kapur Akhir sampai
Tersier Awal. Di bagian utara Sumatra terdapat Intrusi Granitik Tersier sedangkan di selatan
terdapat Adesit Tua dan Intrusi Granit Miosen Awal. Pola dari sistem palung busur di Sumatra
pada saat itu digambarkan pertama kali oleh Katilli (1971; dalam Hutchison, 1973) seperti
pada gambar 3.3. Subduksi yang berada di barat Sumatra menerus ke selatan Jawa Barat, lalu
berbelok ke timur laut menuju arah Pegunungan Meratus di Kalimantan.
8
Gambar 3.3 Skema Paleo-tektonik Pulau Sumatra dan sekitarnya dari
Trias Akhir sampai Jura Awal
Dari Tersier sampai sekarang, subduksi terus mundur ke arah barat melewati
kepulauan yang terdapat di sebelah barat Sumatra dan menerus ke timur di selatan melewati
Pulau Jawa (Gambar 3.4). Busur gunung api di sepanjang zona subduksi tersebut terdapat di
Pegunungan Barisan di Sumatera dan menerus ke Pulau Jawa. Volkanisme basalt hadir di
Sukadana, Sumatra Selatan dan diperkirakan berhubungan dengan pensesaran ekstensi dalam
9
yang dihasilkan sebagai interaksi dari lempeng-lempeng Eurasia, Hindia-Australia, dan
Pasifik.
10
BAB III
IMPLEMENTASI SETTING TEKTONIK
Subduksi dari Lempeng Hindia-Australia dengan batas Lempeng Asia pada masa
Paleogen diperkirakan telah menyebabkan rotasi Lempeng Asia termasuk Sumatera searah
jarum jam. Perubahan posisi Sumatera yang sebelumnya berarah E-W menjadi SE-NW
dimulai pada Eosen-Oligosen. Perubahan tersebut juga mengindikasikan meningkatnya
pergerakan sesar mendatar Sumatera seiring dengan rotasi. Subduksi oblique dan pengaruh
sistem mendatar Sumatera menjadikan kompleksitas regim stress dan pola strain pada
Sumatra (Darman dan Sidi, 2000). Setting tektonik Sumatera berkembang seiring dengan
evolusi tektonik yang terjadi dari waktu ke waktu.
11
(mikrokontinen pada Indonesia barat, Pulonggono (1985), after Pulonggono and Cameron (1984))
Wajzer et al. (1991) mendemonstrasikan berdasarkan dating isotop dari Terrane Natal
merupakan fragmen dari suatu busur magmatik Eosen-Oligosen. Barber (2000)
mengemukakan bahwa Terrane Sikuleh merupakan bagian dari busur vulkanik intra-oceanik
yang berumur Jura hingga Kapur, fragmen lainnya dapat diidentifikasi berada disepanjang
pantai barat Sumatera bagian selatan. Sutur sutur yang berkembang sebagai batas akresi
pada Pulau Sumatera, memiliki kontribusi dalam gejala magmatisme di Pulau Sumatera dan
sekitarnya, selain kontribusi dari busur vulkanik masa kini.
III.1.2. Magmatisme pada Zona Bentong-Raub
Secara umum adanya gejala magmatisme di Pulau Sumatera dan sekitarnya
ditunjukkan oleh kehadiran batuan-batuan beku plutonik yang bertipe granitik dan batuan-
batuan vulkanik hasil aktivitas volkanisme pada pesisir barat Sumatera. Adanya kehadiran
batuan granit pada daerah Sumatera dan sekitarnya tak lepas kaitannya dengan provinsi granit
pada daerah Asia Tenggara. Provinsi provinsi granit pada Asia Tenggara ini erat kaitannya
dengan subduksi dan akresi mikrokontinen yang menumbuk pada tepi Terrane China Selatan.
Akresi-akresi tersebut membentuk beberapa sutur yang merupakan implikasi dari batas akresi
kontinen di Asia Tenggara. Salah satu sutur yang memberikan implikasi magmatisme pada
kawasan Sumatera adalah sutur Bentong-Raub.
12
Sutur Bentong-Raub merupakan produk dari proses konvergensi lempeng Sibumasu
dengan lempeng Indochina pada kawasan Asia Tenggara. Lempeng Sibumasu mulai bergerak
dan menunjam dibawah lempeng Indochina sekitar pada akhir Permian hingga awal Trias.
Penunjaman ini mengakibatkan terbentuknya busur-busur magmatik pada tepi barat
Indochina. Pada masa ini mulai terbentuk granit tipe I, akibat magmatisme pada kawasan Asia
Tenggara. Kemudian pada akhir Trias (200 juta tahun yang lalu), proses subduksi berhenti,
ditandai dengan menghilangnya Paleo-Tethys akibat subduksi sehingga terjadi
tumbukan/kolisi antar kontinen Sibumasu dengan kontinen Indochina. Tumbukan tersebut
membentuk batas atau yang sering disebut zona Bentong-Raub. Pada sekitaran zona tersebut,
dijumpai percampuran antara granit tipe I dan granit tipe S yang berasal dari kontinen
Sibumasu. Percampuran kedua tipe granit tersebut menunjukkan zona Bentong-Raub yang
bertindak sebagai batas antara provinsi barat dan timur dari sebaran granit di Asia Tenggara.
Di samping patahan utama tersebut, terdapat beberapa patahan lainnya, yaitu Sesar
Aneuk Batee, Sesar Samalanga-Sipopok, Sesar Lhokseumawe, dan Sesar Blangkejeren.
Khusus untuk Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar dihimpit oleh dua patahan aktif,
yaitu Darul Imarah dan Darussalam. Patahan ini terbentuk sebagai akibat dari adanya
pengaruh tekanan tektonik secara global dan lahirnya kompleks subduksi sepanjang tepi barat
Pulau Sumatera serta pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan. Daerah-daerah yang berada di
sepanjang patahan tersebut merupakan wilayah yang rawan gempa bumi dan tanah longsor,
disebabkan oleh adanya aktivitas kegempaan dan kegunungapian yang tinggi. Banda Aceh
sendiri merupakan suatu dataran hasil amblesan sejak Pliosen, hingga terbentuk sebuah
graben.
Zona Sesar Besar Sumatera yang terbentang dari utara hingga selatan Pulau Sumatera
ini memberikan pengaruh terhadap munculnya zona-zona lemah pada sekitar daerah zona
sesar tersebut. Gejala magmatisme akibat intrusi magmatik yang tersalurkan melalui
sesar/kekar disepanjang Sesar Sumatera ditemukan dibeberapa wilayah, mulai dari bagian
Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, hingga Lampung. Magmatisme pada zona
ini menghasilkan berbagai tipe batuan plutonik yang tersingkap dengan tipe granitik hingga
intermediet.
Gejala geologi lainnya yang terbentuk akibat subduksi pada Sumatera adalah
munculnya volcanic continental arc atau busur gunungapi pada wilayah kontinen.
Penunjaman lempeng Indo-Australia dibawah lempeng Eurasia dibawah Pulau Sumatera
menghasilkan jajaran gunungapi-gunungapi kuarter yang terbentang dari Aceh hingga
Lampung. Keberadaan busur gunungapi di pesisir barat Pulau Sumatera memberikan
gambaran bahwa proses volkanisme dan magmatisme pada daerah Sumatera masih aktif
hingga masa kini. Jenis magma yang dihasilkan pada jajaran gunungapi di Sumatera relatif
intermediet hingga asam dengan dampak tipe letusan yang bersifat eksplosif pada umumnya.
15
Gambar. Fisiografi dan TektonikCekungan Sumatera Utara
Secara umum stratigrafi Cekungan Sumatera Utara dapat dibagi atas 3 kumpulan
batuan, yaitu :kumpulan batuanpra-tersier, kumpulan batuan tersier dan kumpulan batuan
kuarter.
16
Gambar Stratigrafi Cekungan Sumatera
17
Gambar Stratigrafi daerah Teso-Cenako Sumatra tengah dengan variasi level eustasi
(modifikasi dari Haq et al., 1988 dalam Wain et al., 1995)
Litostratigrafi pada cekungan Sumatra Tengah terdiri dari beberapa kelompok batuan dan
formasinya yang proses sedimentasinya dimulai pada awal Tersier mengikuti proses
pembentukan cekungan half graben. Kelompok kelompok tersebut meliputi:
1. Batuan Dasar (Basement)
Batuan dasar (basement) berumur Pra Tersier berfungsi sebagai landasan dari
Cekungan Sumatra Tengah. Formasi ini terdiri dari batuan yang berumur Mesozoikum dan
batuan metamorf karbonat berumur Paleozoikum-Mesozoikum. Batuan tersebut dari timur
ke barat terbagi dalam 3 (tiga) satuan litologi, yaitu Mallaca Terrane, Mutus Assemblage, dan
Greywacke Terrane. Ketiganya hampir paralel berarah NNW-NW.
Mallaca Terrane, Memiliki karakteristik litologinya terdiri dari kuarsit, argilit,
batugamping kristalin serta intrusi pluton granodioritik dan granitik yang berumur Jura.
Mutus Assemblage, Mutus Assemblage atau Kelompok Mutus merupakan zona sutur
yang memisahkan antara Mallaca Terrane dan Greywacke Terrane. Litologinya terdiri dari
baturijang radiolaria, meta-argilit, serpih merah, lapisan tipis batugamping dan batuan beku
basalt serta sedimen laut dalam lainnya.
18
Greywacke Terrane, Greywacke Terrane disebut juga Deep Water Mutus
Assemblage. Kelompok ini tersusun oleh litologi greywacke, pebbly mudstone dan kuarsit.
Kelompok ini berumur Perm -Karbon.
19
global. Periode ini diikuti oleh terjadinya subsiden kembali dan transgresi ke dalam cekungan
tersebut.Kelompok Sihapas ini terdiri dari Formasi Menggala, Formasi Bangko, Formasi
Bekasap, Formasi Duri dan Formasi Telisa.
Formasi Menggala
Formasi Menggala merupakan bagian terbawah dari Kelompok Sihapas yang berhubungan
secara tidak selaras dengan Kelompok Pematang yang dicirikan oleh kontak berupa hiatus.
Litologinya tersusun atas batupasir konglomeratan berselang-seling dengan batupasir halus
sampai sedang. Diendapkan pada saat Miosen Awal pada lingkungan Fluvial Channel dengan
ketebalan pada tengah cekungan sekitar 900 kaki, sedangkan pada daerah yang tinggi
ketebalannya tidak lebih dari 300 kaki. Formasi ini berubah secara lateral dan vertikal ke arah
barat menjadi Marine Shale yang termasuk Formasi Bangko dan menjadi lingkungan transisi
dan laut terbuka ke arah timur yang merupakan Formasi Bekasap. Batupasir formasi ini
merupakan reservoir yang penting pada Cekungan Sumatra Tengah.
Formasi Bangko
Formasi Bangko diendapkan secara selaras di atas Formasi Menggala. Litologinya tersusun
atas batulempung dan batulempung karbonatan yang berselingan dengan batupasir lanau dan
berubah secara lateral menjadi batugamping. Pengaruh lingkungan laut menyebabkan
pengendapan foraminifera yang berfungsi sebagai penunjuk umurformasi ini yaitu Miosen
Awal.
Formasi Bekasap
Formasi Bekasap disusun oleh litologi batupasir glaukonit halus sampai kasar, struktur
sedimen masif, berselang-seling dengan serpih tipis, dan diendapkan secara selaras di atas
Formasi Bangko. Kadang kala dijumpai lapisan tipis batubara dan batugamping. Formasi ini
diendapkan pada Miosen Awal di lingkungan delta plain dan delta front atau laut dangkal.
Kandungan fosil foraminifera menunjukkan umur Miosen Awal.
Formasi Duri
Formasi Duri diendapkan secara selaras di atas Formasi Bekasap dan merupakan bagian
teratas dari Kelompok Sihapas. Litologinya tersusun atas suatu seri batupasir yang terbentuk
pada lingkungan inner neritic-deltaic di bagian utara dan tengah cekungan. Formasi ini
berumur Miosen Tengah dengan ketebalan mencapai 900 kaki.
Formasi Telisa (Tmt)
Formasi ini memiliki karakteristik tersusun oleh betulumpur gampingan yang terendapkan
secara selaras dengan Formasi Sihapas. Formasi ini berumur sekitar Miosen Tengah sengah
20
sebaran area Tebingtinggi, Pematang-siantar, Padang sidempuan-sibolga, Dumai dan
Bagansiapiapi, Bengkalis, Lubuksikaping, dan Pekanbaru.
Hasil penelitian dan eksplorasi yang telah dilakukan pada Cekungan Sumatra
Selatan ini menunjukkan bahwa cekungan ini memiliki potensi, baik dalah hal sesumber
21
maupun kebencanaan. Kondisi stratigrafi yang tersusun atas Formasi Lahat di bagian bawah
hingga Formasi Kasai di bagian atas menunjukkan bahwa di beberapa bagian cekungan ini
dapat berkembang suatu petroleum system dan pengendapan batubara serta mineral logam.
Selain potensi sesumber, cekungan ini juga menyimpan potensi kebencanaan yang tidak
dapat dihindari. Cekungan yang berada di sekitar tinggian maupun perbukitan
menjadikan cekungan ini sebagai daerah yang rawan longsor. Oleh karena itu, dentifikasi
mengenai kedua potensi tersebut lebih lanjut akan sangat bermanfaat bagi berkembangnya
peradaban yang berada di cekungan ini.
Secara umum, sedimentasi di Cekungan Sumatera Selatan terjadi dalam dua
fase (Jackson, 1961 dalam Koesoemadinata, et al., 1976) , yaitu:
1. Fase Transgresi
Fase Transgresi di Cekungan Sumatera Selatan ditandai dengan pengendapan
Kelompok Telisa secara tidak selaras di atas batuan Pra-Tersier. Selama fase pengendapan
yang terjadi pada fase transgresi, penurunan dasar cekungan lebih cepat daripada proses
sedimentasi, sehingga terbentuk urutan fasies non marine, transisi, laut dangkal dan
laut dalam (Pulunggono, 1969; De Coster, 1974; Koesoemadinata, et al., 1976).
2. Fase Regresi
Fase Regresi di Cekungan Sumatera Selatan ditandai dengan pengendapan
Kelompok Palembang. Fase ini merupakan kebalikan dari fase transgresi, dimana
pengendapan lebih cepat dibandingkan dengan penurunan dasar cekungan, sehingga
terbentuk urutan seperti fasies laut dangkal, transisi dan non marine (Pulunggono, 1969; De
Coster, 1974; Koesoemadinata, et al., 1976).
1. Kelompok Telisa
Formasi Lahat
Formasi Lahat merupakan suatu rangkaian breksi vulkanik tebal, tuf, serpih
tufaan, endapan lahar, dan aliran lava, serta dicirikan dengan kehadiran sisipan lapisan
batupasir kuarsa. Formasi Lahat diendapan pada lingkungan darat, serta berumur Eosen
Oligosen Awal.
Setelah pengendapan Formasi Lahat, terjadi proses erosi secara regional. Bukti
erosi diperlihatkan oleh Formasi Talang Akar yang terendapkan tidak selaras diatas Formasi
22
Lahat. Setelah masa hiatus umur Oligosen Tengah, kemudian diendapkan sedimen pada
topografi yang rendah pada Oligosen Akhir.
Formasi ini terbagi atas dua anggota yaitu GRM dan TRM (Spruyt, 1956;
Pulunggono, 1984)
Anggota bawah Formasi Talangakar ini disusun oleh sedimen klastik kasar
seperti batupasir konglomeratan, batupasir kuarsa, serpih dan sisipan batubara dengan
struktur sedimen berupa struktur perlapisan bersusun, perlapisan silang-siur dan sejajar. b.
Transitional Member (TRM)
Anggota atas Formasi Talangakar ini tersusun oleh sedimen klastik sedang-
halus seperti perselingan batupasir, serpih, batulanau, sisipan batubara, batulempung
karbonatan, serta hadirnya glaukonit yang melimpah. Lingkungan pengendapan
anggota satuan ini adalah lingkungan transisi-laut dangkal berumur Miosen.
Formasi Baturaja
2. Kelompok
Palembang
23
Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di atas Formasi Gumai, dan
merupakan awal fase regresi. Didominasi oleh shale sisipan batulanau, batupasir dan
batugamping. Ketebalannya antara 100 1000 meter. Berumur Miosen Tengah sampai
Miosen Akhir, dan diendapkan di lingkungan laut dangkal.
24
BAB IV
POTENSI GEOLOGI PULAU SUMATERA
Minyak dan gas pada area studi berada pada perangkap struktur, yaitu :
a. Antiklin yang terbentuk akibat proses tektonik pada Plio-Pleistosen yang ada pada
formasi Keutapang dan anggota Belumai.
b. Antiklin yang dihasilkan dari proses tektonik pada Miosen berupa reservoar anggota
Formasi Belumai dan batuan penudung dari serpih Formasi Baong.
Pendekatan struktur pada post-Formasi Keutapang, sedimen tidak membentuk
perangkap yang dapat dilalui karena keterdapatan seal. Semua truktur pada formasi
Keutapang batuan sedimen telah di bor. 6 struktur yang telah diuji pada batuan
sedimen anggota formasi Belumai harus diidentifikasi, cekungan bagian utara nya
diperkirakan daerah prospektif.
Jenis play baru telah diidentifikasikan terhadap deposenter Paleogen yang
mengkombinasikan elemen struktur dan stratigrafi. Fluvial dan konglomerat discrete
dari Formasi Bruksah diperkirakan berasal dari source rock lakustrin. Pada
hidrokarbon yang datar pada kasus ini merupakan sesar syn-deposisi seal yang
menyingkap endapan dengan basement impermeabel dan bagan atas seal
ditumpangioleh sedimen argilit dari Formasi Bampo dan akumulasi hidrokarbon pada
jenis play ini menghasilkan gas karena maturitas yang tinggi dari sourcerock.
- KEBENCANAAN
Cekungan Sumatera Utara memiliki berbagai potensi negatif terkait
kebencanaan terutama karena lokasinya yang berada dekat dengan gunung api (Back
Arc System), sehingga ada tingkat kerawanan terkena dampak aktivitas letusan gunung
berapi. Selain itu, daerah Cekungan Sumatera Utara dekat dengan posisi Sesar
Semangko di Sumatera yang menandakan bahwa daerah ini cukup rawan akan
terjadinya gempa yang dipicu oleh aktivitas sesar geser Semangko. Anktivitas tektonik
dan vulkanik ini tentunya juga dapat memicu bencana lainnya seperti bencana longsor
dan gerakan massa.
- KEBENCANAAN
1. Gempa Bumi
Cekungan Sumatra Tengah bukan merupakan daerah yang rawan terjadinya
gempa bumi, dibandingkan dengan cekungan Sumatra Selatan dan Utara, namun tidak
berarti cekungan Sumatra Tengah merupakan daerah yang bebas dari bencana.
Berdasarkan peta persebaran titik gempa (gambar 4) dapat diketahui bahwa cekungan
sumatra merupakan daerah rawan gempa terutama pada daerah dekat dengan
penunjaman lempeng.
Gambar 1. Peta persebaran titik gempa, diambil pada tahun 1980-1996 dan 2005 (Barber, A.J.,
Crow, M.J., Milson, J.S., 2005)
2. Vulkanisme
Sumatra merupakan pulau dengan aktivitas magmatik yang tinggi didukung
dengan rekahan-rekahan yang tersebar akibat pengaruh gaya tektonik yang
kompleks. Dari 75 gunu api aktif (golongan A), 12 diantaranya terdapat di pulau
Sumatra. Erupsi gunungapi di pulau ini telah melontarkan jutaan kubik endapan
vulkanik yang tersebar sampai ribuan kilometer. Semua erupsi dalam sejarah
manusia di Sumatra termasuk dalam kategori menengah (tingkat II hingga V). Hal
ini menyebabkan potensi bencana gunung api menjadi fokus tersendiri yang harus
selalu dipantau.
IV.3 POTENSI GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA SELATAN
- SUMBER DAYA
Gambar Peta Zonasi Kegempaan dengan Data Seismik Cekungan Sumatera Selatan
2. Batubara
Batubara terbentuk pada Formasi Muara Enim. Formasi tersebut menunjukkan
fase regresi, dimana pengendapan lebih cepat terjadi dibandingkan penurunan
dasar cekungan. Terbentuk pada daerah laut dangkal menuju daratan sehingga
didapatkan fosil kayu yang melimpah dan menandakan pembentukan batubara
terjadi disini. Batubara pada Cekungan Sumatera Selatan merupakan cadangan
yang mencapai 85% dari total cadangan yang terkandung di Sumatera Selatan.
3. Mineral Logam
Potensi bahan logam penyebaran meliputi wilayah barat Kabupaten Musi Rawas.
Secara geologi daerah tersebut merupakan komplek intrusi yang sangat potensial
untuk terjadinya mineralisasi. Potensi bahan galian logam meliputi bijih besi, emas,
timah hitam, seng, tembaga dan perak.
- KEBENCANAAN
Potensi kebencanaan yang mungkin terjadi pada Cekungan Sumatra Selatan tidak
terlepas dari pengaruh subduksi kerak Samudra Indo-Australia terhadap kerak Benua
Eurasia. Terdapat dua potensi kebencaan yang dapat diidentifikasi yaitu :
1. Potensi Gempabumi
Peristiwa kegempaan di Cekungan Sumatera selatan sangat berkaitan dengan
pembentukan Bukit Barisan yang disebabkan oleh adanya patahan besar Sumatera.
Sama halnya dengan zona subduksi, patahan Sumatera menahan tekanan lempeng
dari hari ke hari sampai melampaui kekuatan batuan yang merekatkan bumi di
barat dan timur jalur patahan ini. Pada saat itulah, terjadi gempa besar dimana
akumulasi tekanan akan dilepaskan secara tiba-tiba dan menyebabkan bumi bagian
barat bergerak ke arah utara dan bagian timur bergerak ke arah selatan. Cekungan
Sumatra Selatan yang berada di bagian timur dari patahan tersebut akan mengikuti
pergerakan ke arah selatan.
Berdasarkan peta zonasi kegempaan tersebut, Cekungan Sumatra Selatan
memiliki potensi gempa menengah hingga kecil. Hal ini diketahui melalui data
PGA (Peak Ground Acceleration) cekungan tersebut. Secara berurutan dari barat
ke timur potensi gempabumi dari potensi kecil menengah yaitu dengan nilai
PGA 6-25% G. Potensi kecil hingga menengah tersebut dikarenakan Cekungan
Sumatra Selatan ini merupakan suatu back-arc basin yang tidak berhubungan
langsung dengan zona subduksi.
2. Potensi Gerakan Massa
Gerakan massa pada Cekungan Sumatra Selatan, pada umumnya terjadi pada
batuan hasil aktivias gunungapi berumur Miosen Akhir-Pliosen Formasi Kassai.
Batuan vulkanik tersebut sebagian besar menyusun lereng- lereng yang terjal dan
memiliki afinitas asam intermediet. Batuan dengan tingkat afinitas ini memiliki
kecenderungan untuk mengalami pelapukan. intensitas pelapukan semakin
didukung oleh kondisi iklim tropis Indonesia dengan curah hujan yang cukup
tinggi. Pelapukan tersebut mengakibatkan terbentuknya zona lemah pada tubuh
batuan, sehingga mudah dilalui air meteoric. Air meteoric yang bersifat asam
tersebut, akan mudah bereaksi dengan batuan-batuan yang memiliki kandungan
feldspar yang tinggi. Kondisi batuan yang lapuk dan banyaknya bidang lemah,
memudahkan batuan tersebut untuk mengalami pergerakan. Selain itu, formasi
Kasai sebagian besar tersusun atas endapan berumur Kuarter. Hal itu menyebabkan
lereng-lereng mudah mengalami pergerakan.
DAFTAR PUSTAKA
Van Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia VOL. 1A General Geology of
Indonesia and Adjacent Archipelagoes. Jakarta: Government Printing Office.