Anda di halaman 1dari 10

Manusia: Basyar, Insan, dan al-Nas

Hanya orang-orang yang mampu membuat dirinya

sebagai manusia saja

yang akan dibangkitkan dalam rupa manusia

Imam Khomeini

Iftitah: apakah aku adalah manusia ?

Pernahkah kita bertanya Apakah saya adalah `manusia` ? Pertanyaan ini aneh dan janggal.
Namun, persis jawaban dari pertanyaan inilah yang kerap keliru. Akal sehat (common-sense)
manusia sudah terlanjur menganggap bahwa seseorang menjadi manusia disebabkan oleh
bentuk fisik-biologisnya. Pertanyaan yang muncul apakah manusia fisik-biologis tersebut
adalah manusia dalam arti yang sebenarnya (hakiki)?

Ternyata, mengutip pemikiran Ali Shariati, ada tiga kategori manusia, yakni basyar, insan dan
al-nas. Kategori basyar dan insan terkait dengan kualitas manusia. Karakteristik yang
membedakan dua kategori manusia ini adalah kemampuan untuk melepaskan dari dari empat
penjara manusia, yakni penjara alam, sejarah, masyarakat dan diri. Sedangkan kategori al-nas,
secara sederhana, berarti manusia secara umum, rakyat atau massa. Tidak berhubungan dengan
kualitas kemanusiaan. Penjelasan di bawah ini banyak mengutip pemikiran Ali Shariati.

Manusia: Basyar, Insan, dan al-Nas

1. Basyar : Manusia Sekedar Ada (Being)

Basyar adalah makhluk yang sekedar ada (being). Artinya, manusia dalam kategori basyar
adalah makhluk statis, tidak mengalami perubahan, berkaki dua yang berjalan tegak di muka
bumi. Oleh karenanya, manusia memiliki definisi yang sama sepanjang zaman, terlepas dari
ruang dan waktunya.(Shariati, Man and Islam: 64). Singkatnya, basyar adalah manusia dalam
arti fisis-biologis.

Manusia dilihat sudut fisik tidaklah jauh berbeda dengan hewan. Manusia bisa makan, minum,
tidur, sakit dan mati. Begitu pula hewan. Bahkan, bila manusia dan hewan dibandingkan dari
segi perbuatan nistanya, maka manusia lebih inferior dari hewan (dalam arti bisa lebih jahat dan
kejam)

Perbuatan-perbuatan rendah manusia tak pernah berubah, hanya instrumennya saja yang
berubah. Shariati menjelaskan bahwa penguasa masa lalu, seperti Gengis Khan, dengan
penguasa modern tidaklah berbeda dari segi kebuasannya. Perbedaannya hanya terletak pada
instrumen dan argumentasinya saja. Penguasa masa lalu memiliki senjata-senjata sederhana, dan
mereka pun tak segan memproklamirkan bahwa mereka sengaja membunuh. Sementara itu,
penguasa modern mempunyai senjata-senjata super-canggih untuk membunuh, dan mereka
melakukan pembunuhan atas nama kedamaian. Shariati menilai bahwa dewasa ini kejahatan,
kepalsuan, kelancungan, pembunuhan, sadisme, dan kekejaman lebih banyak, lebih dahsyat dari
pada masa lalu. Tendensi negatif manusia itu merupakan representasi dari manusia dalam arti
basyar. (Shariati, 1982: 67-68) Manusia tipe basyar belum mampu melepaskan diri dari
penjara-penjara manusia (the prisons of man), terutama penjara natural-instingtualnya.

2. Insan : Manusia Menjadi (Becoming)

Insan berarti manusia dalam arti yang sebenarnya. Insan tidak menunjuk pada manusia biologis.
Insan lebih terkait dengan kualitas luhur kemanusiaan. Ali Shariati menyatakan bahwa,tidak
semua manusia adalah insan, namun mereka mempunyai potensialitas untuk mencapai tingkatan
kemanusiaan yang lebih tinggi. (Shariati, 1982: 62)

Bila basyar bermakna makhluk yang sekedar ada (being), maka insan berbeda. Insan adalah
makhluk yang menjadi (becoming). Ia terus-menerus maju menuju ke kesempurnaan. Karakter
menjadi ini membedakan manusia dengan fenomena lain di alam. Shariati memberi contoh:

Sebagai contoh, semut dan serangga lainnya tidak pernah dapat melampaui keadaannya; ia
menggali lubang dengan cara yang sama sebagaimana ia melakukanya 15 juta tahun yang
lampau di Afrika. Tidak usah memandang di mana, kapan dan bagaimana, semut selalu dalam
keadaan yang sama, pasti dan tidak dapat berubah-rubah. (Shariati, 1982: 64)

Dalam QS. Al-Baqarah ayat 156 menjelaskan tentang azas yang menunjuk pada evolusi tanpa
henti manusia ke arah Yang Tanpa Batas.

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, Innaa lillaahi wa
innaa ilaihi raaji`uun

Bagi Shariati, kata ilaihi berarti kepada-Nya, bukan di dalam-Nya. Menurut Shariati, inilah
gagasan pokok tentang menjadi, yakni bergeraknya manusia secara permanen ke arah Tuhan,
ke arah kesempurnaan ideal. Tuhan bukanlah titik beku dimana sesuatu mengarah. Tuhan adalah
Yang Tanpa Batas, Yang Maha Abadi, dan Yang Maha Mutlak. Oleh karena itu, bergeraknya
manusia ke arah-Nya berarti gerakan manusia terus-menerus tanpa henti ke arah tahap-tahap
evolusi dan kesempurnaan. Inilah yang dimaksud Shariati sebagai manusia dalam keadaannya
yang menjadi. (Shariati, 1982: 68-69).

Insan memiliki tiga sifat pokok, yaitu kesadaran diri, kemauan bebas dan kreativitas. (Shariati,
1982: 69) Pertama, kesadaran diri. Kesadaran diri merupakan pengalaman tentang kualitas dan
esensi dirinya, dunia dan hubungan antara dirinya dan dunia serta alam. Makin tinggi kesadaran
akan tiga unsur tersebut, makin cepat manusia bergerak ke arah tahap-tahap yang lebih tinggi
dari proses menjadinya. (Shariati, 1982: 71) Kesadaran itu membuat manusia bisa mengambil
jarak dengan diri dan alam sehingga manusia tertuntun untuk mencipta sesuatu yang bukan alam.
Kedua, kemauan bebas. Kemauan bebas tampak dalam kebebasan memilih. Menurut Shariati,
insan bebas memilih. Pilihannya bisa saja bertentangan dengan insting naturalnya,
masyarakatnya, atau dorongan-dorongan psikologisnya. (Shariati, 1982: 71-72) Kebebasan
memungkinkan manusia untuk melakukan evolusi ke tingkat tertinggi kemanusiaannya
menerobos sekat-sekat alam, masyarakat, sejarah dan egonya. Ketiga, kreativitas atau daya cipta.
Potensi kreatif insan memungkinkannya menjadi makhluk yang mampu mencipta benda, barang
dan alat, dari yang paling kecil sampai yang kolosal, karya-karya industri dan seni yang tak
disediakan alam. Penciptaan dan pembuatan barang tersebut dilakukan insan karena alam tak
menyediakan semua yang dibutuhkannya. (Shariati, 1982: 72-73)

Wujud kongkrit tiga sifat insan tersebut adalah ilmu. Ilmu membebaskan manusia dari
kerangkeng alam, sejarah dan masyarakat. Dengan ilmu, insan mengetahui hukum-hukum yang
berlaku di alam, masyarakat dan sejarah. Sehingga, insan kuasa untuk lolos dari tiga penjara
tersebut bahkan sekaligus mampu merekayasa ketiga determinan itu. Sementara itu, penjara
terakhir manusia, yakni penjara ego (diri), tidak dilawan dengan ilmu, tapi dengan cinta. Cinta
memiliki kekuatan yang mendorong manusia untuk menolak, memberontak, dan mengorbankan
diri demi suatu cita-cita atau orang lain. (Shariati, 1982: 99) Jadi, secara singkat, manusia
menjadi (insan) berevolusi ke Yang Tak Terhingga, ke kesempurnaan berbekal tiga sifat
dasariahnya. Tiga sifat, yang bentuk nyatanya adalah ilmu, adalah instrumen pembebasan
manusia dari tiga penjara manusia, yaitu penjara alam, sejarah dan masyarakat. Sedangkan,
penjara terakhir (ego) dilawan dengan cinta kasih. Kemerdekaan dari kolonialisasi empat
determinan itu mengantar manusia ke puncak kesempurnaan kemanusiaannya.

Secara unik, Shariati mensimbolkan pembebasan insan dari empat kekuatan determinan
tersebut dengan simbol keluarnya manusia (Adam) dari firdaus (paradise atau the Garden of
Eden). Saat di firdaus, manusia dilarang memakan buah oleh Tuhan. Shariati memaknai
buah tersebut sebagai simbol kesadaran (consciousness). Manusia memakan buah tersebut.
Jelas, manusia adalah pemberontak yang melawan kehendak Tuhan. Tapi, Shariati, secara
kreatif, menafsirkan simbolisasi ini dengan berpendapat bahwa kehendak Tuhan itu adalah
empat kekuatan, empat ikatan, empat rantai yang mengikat manusia. Ketika seseorang mencapai
kesadarannya (memakan buah), maka ia terbebas dari determinasi kehendak Tuhan tersebut.
(Shariati, 1979: 17-18). Jadi, manusia mencapai kualitas insan bila ia mampu melepaskan diri
dari empat determinan, yang disimbolisasikan sebagai kehendak Tuhan.

3. Al-Nas : Massa

Kategori al-nas berbeda dengan dua konsep manusia lainya (basyar dan insan). Menurut
Shariati, kedua istilah terdahulu terkait dengan nilai-nilai moral yang terkandung dalam diri
manusia. Sedangkan al-nas tidak berhubungan dengan kualitas kemanusiaan.

Terminologi al-nas digunakan Shariati dalam dua pengertian, yaitu: Pertama, al-nas sebagai
kutub sosial. Al-nas merupakan penjelmaan esensi kutub positif (Habil) masyarakat (masyarakat
yang tertindas). Mereka adalah yang dikuasai dan ditindas oleh kutub Qabil (penguasa politik,
para kapitalis dan agamawan bejat). Allah, bagi Shariati, berpihak pada al-nas. Hingga tak
aneh, dalam penggunaannya, kata al-nas bisa ditukar dengan kata Allah dan sebaliknya. Menurut
Shariati, posisi unik al-nas ini disebabkan karena al-Quran dialamatkan secara khusus untuk
al-nas. Al-nas adalah wakil-wakil Allah dan keluarga-Nya. (Shariati, 1979: 116-117) Dan,
posisi penting al-nas ini menempatkannya sebagai faktor penentu revolusi sosial. Al-nas yang
sadar akan dirinya serta tanggung jawab sosialnya akan mendorong masyarakat menuju revolusi
sosial. Kedua, al-nas sebagai massa (mass) atau rakyat (people). Shariati berpendapat bahwa
sinonim yang paling mirip untuk mewakili kata al-nas adalah kata massa. Menurutnya, dalam
terminologi sosiologi, massa terdiri dari segenap rakyat yang merupakan kesatuan tanpa
menghiraukan perbedaan kelas ataupun sifat yang terdapat dalam kalangan mereka. Jadi, bagi
Shariati, al-nas adalah massa. Massa adalah rakyat itu sendiri, tanpa menunjuk kepada kelas
atau bentuk sosial tertentu. (Shariati, 1979: 49)

Akhir al-Kalam

Manusia adalah masalah puncak bagi manusia, pekik Battista Mondin. Bagaimana supaya kita
mampu mengenal apakah diri kita adalah basyar, insan atau hanya sekedar al-nas? Rene
Descartes menyarankan kita mulai untuk berfikir tentang siapa Aku. Meister Eckhardt
mengusulkan dengan pernyataannya, barangsiapa hendak jelas dengan dirinya sendiri dan
ingin bersuara lantang, dia harus memilki satu hal : kesepian batin. Mempertanyakan diri kita
adalah satu langkah dalam proses meng-insan-kan diri kita.

Jadi, manusia belum menjadi manusia saat terlahir dari rahim ibunya. Ia tidak otomatis
menjadi manusia. Manusia harus membuat dirinya menjadi manusia. Manusia itu mau
menjadi manusia atau tidak, bergantung kepada dirinya sendiri. Manusia harus
mengembangkan sifat-sifat kemanusiaannya. Yang membedakan nilai seorang manusia yang
satu dari manusia yang lain adalah sejauhmana seseorang mengembangkan nilai
kemanusiaannya. Murtadha Muthahhari berpendapat, yang mengembangkan sifat kemanusiaan
manusia adalah iman dan amal shalih. (Muthahhari, 1991: 79) Inilah insan sejati itu.

Wa Allah-u alam bi al-shawab-i

Definisi Khilafah/Khalifah

Posted by: saif1924 on: Mei 8, 2009

In: tErkiNi

Comment!

Pengertian Bahasa Khilafah

Khilafah menurut makna bahasa merupakan mashdar dari fiil madhi khalafa, berarti :
menggantikan atau menempati tempatnya (Munawwir, 1984:390). Makna khilafah menurut
Ibrahim Anis (1972) adalah orang yang datang setelah orang lain lalu menggantikan tempatnya
(jaa`a badahu fa-shaara makaanahu) (Al-Mujam Al-Wasith, I/251).

Dalam kitab Mujam Maqayis Al-Lughah (II/210) dinyatakan, khilafah dikaitkan dengan
penggantian karena orang yang kedua datang setelah orang yang pertama dan menggantikan
kedudukannya. Menurut Imam Ath-Thabari, makna bahasa inilah yang menjadi alasan mengapa
as-sulthan al-azham (penguasa besar umat Islam) disebut sebagai khalifah, karena dia
menggantikan penguasa sebelumnya, lalu menggantikan posisinya (Tafsir Ath-Thabari, I/199).
Imam Al-Qalqasyandi mengatakan, menurut tradisi umum istilah khilafah kemudian digunakan
untuk menyebut kepemimpinan agung (az-zaamah al-uzhma), yaitu kekuasaan umum atas
seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, dan pemikulan tugas-tugas mereka (Al-
Qalqasyandi, Ma`atsir Al-Inafah fi Maalim Al-Khilafah, I/8-9).
Pengertian Syari Khilafah Dalam pengertian syariah, Khilafah digunakan untuk menyebut
orang yang menggantikan Nabi SAW dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-
islamiyah) (Al-Baghdadi, 1995:20). Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian,
dalam perkembangan selanjutnya, istilah Khilafah digunakan untuk menyebut Negara Islam itu
sendiri (Al-Khalidi, 1980:226).

Pemahaman ini telah menjadi dasar pembahasan seluruh ulama fiqih siyasah ketika mereka
berbicara tentang Khilafah atau Imamah. Dengan demikian, walaupun secara literal tak ada
satu pun ayat Al-Qur`an yang menyebut kata ad-dawlah al-islamiyah (negara Islam), bukan
berarti dalam Islam tidak ada konsep negara. Atau tidak mewajibkan adanya Negara Islam. Para
ulama terdahulu telah membahas konsep negara Islam atau sistem pemerintahan Islam dengan
istilah lain yang lebih spesifik, yaitu istilah Khilafah/Imamah atau istilah Darul Islam (Lihat Dr.
Sulaiman Ath-Thamawi, As-Sulthat Ats-Tsalats, hal. 245; Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-
Islami wa Adillatuhu, IX/823).

Hanya saja, para ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda ketika memandang
kedudukan Khilafah (manshib Al-Khilafah). Sebagian ulama memandang Khilafah sebagai
penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi), yakni sebagai institusi yang menjalankan urusan
politik atau yang berkaitan dengan kekuasaan (as-sulthan) dan sistem pemerintahan (nizham al-
hukm). Sementara sebagian lainnya memandang Khilafah sebagai penampakan agama (al-mazh-
har ad-dini), yakni institusi yang menjalankan urusan agama. Maksudnya, menjalankan urusan di
luar bidang kekuasaan atau sistem pemerintahan, misalnya pelaksanaan muamalah (seperti
perdagangan), al-ahwal asy-syakhshiyyah (hukum keluarga, seperti nikah), dan ibadah-ibadah
mahdhah. Ada pula yang berusaha menghimpun dua penampakan ini. Adanya perbedaan sudut
pandang inilah yang menyebabkan mengapa para ulama tidak menyepakati satu definisi untuk
Khilafah (Al-Khalidi, 1980:227).

Sebenarnya banyak sekali definisi Khilafah yang telah dirumuskan oleh oleh para ulama. Berikut
ini akan disebutkan beberapa saja definisi Khilafah yang telah dihimpun oleh Al-Khalidi (1980),
Ali Belhaj (1991), dan Al-Baghdadi (1995) :

Pertama, menurut Imam Al-Mawardi (w. 450 H/1058 M), Imamah ditetapkan bagi pengganti
kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Al-Ahkam As-Sulthaniyah, hal.
3).

Kedua, menurut Imam Al-Juwayni (w. 478 H/1085 M), Imamah adalah kepemimpinan yang
bersifat menyeluruh (riyasah taammah) sebagai kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan
khusus dan urusan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia (Ghiyats Al-Umam,
hal. 15).

Ketiga, menurut Imam Al-Baidhawi (w. 685 H/1286 M), Khilafah adalah pengganti bagi
Rasulullah SAW oleh seseorang dari beberapa orang dalam penegakan hukum-hukum syariah,
pemeliharaan hak milik umat, yang wajib diikuti oleh seluruh umat (Hasyiyah Syarah Al-
Thawali, hal.225).

Keempat, menurut Adhuddin Al-Iji (w. 756 H/1355 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum
(riyasah ammah) dalam urusan-urusan dunia dan agama, dan lebih utama disebut sebagai
pengganti dari Rasulullah dalam penegakan agama (Iadah Al-Khilafah, hal. 32).

Kelima, menurut At-Taftazani (w. 791 H/1389 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam
urusan agama dan dunia, sebagai pengganti dari Nabi SAW dalam penegakan agama,
pemeliharaan hak milik umat, yang wajib ditaati oleh seluruh umat (Lihat Al-Iji, Al-Mawaqif,
III/603; Lihat juga Rasyid Ridha, Al-Khilafah, hal. 10).

Keenam, menurut Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M), Khilafah adalah pengembanan seluruh
[urusan umat] sesuai dengan kehendak pandangan syariah dalam kemaslahatan-kemaslahatan
mereka baik ukhrawiyah, maupun duniawiyah yang kembali kepada kemaslahatan ukhrawiyah
(Al-Muqaddimah, hal. 166 & 190).

Ketujuh, menurut Al-Qalqasyandi (w. 821 H/1418 M), Khilafah adalah kekuasaan umum
(wilayah ammah) atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, serta pemikulan tugas-
tugasnya (Ma`atsir Al-Inafah fi Maalim Al-Khilafah, I/8).

Kedelapan, menurut Al-Kamal ibn Al-Humam (w. 861 H/1457 M), Khilafah adalah otoritas
(istihqaq) pengaturan umum atas kaum muslimin (Al-Musamirah fi Syarh Al-Musayirah, hal.
141).

Kesembilan, menurut Imam Ar-Ramli (w. 1004 H/1596 M), khalifah adalah al-imam al-azham
(imam besar), yang berkedudukan sebagai pengganti kenabian, dalam penjagaan agama dan
pengaturan urusan dunia (Nihayatul Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj, VII/289).

Kesepuluh, menurut Syah Waliyullah Ad-Dahlawi (w. 1176 H/1763 M), Khilafah adalah
kepemimpinan umum (riyasah ammah) untuk menegakkan agama dengan menghidupkan
ilmu-ilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihadmelaksanakan
peradilan (qadha`), menegakkan hudud sebagai pengganti (niyabah) dari Nabi SAW (dikutip
oleh Shadiq Hasan Khan dalam Iklil Al-Karamah fi Tibyan Maqashid Al-Imamah, hal. 23).

Kesebelas, menurut Syaikh Al-Bajuri (w. 1177 H/1764 M), Khilafah adalah pengganti (niyabah)
dari Nabi SAW dalam umumnya kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin (Tuhfah Al-Murid
Ala Jauhar At-Tauhid, II/45).

Keduabelas, menurut Muhammad Bakhit Al-Muthii (w. 1354 H/1935 M), seorang Syaikh Al-
Azhar, Imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan dunia dan agama (Iadah Al-
Khilafah, hal. 33).

Ketigabelas, menurut Mustafa Shabri (w. 1373 H/1953 M), seorang Syaikhul Islam pada masa
Daulah Utsmaniyah, Khilafah adalah pengganti dari Nabi SAW dalam pelaksanaan apa yang
dibawa Nabi SAW berupa hukum-hukum syariah Islam (Mawqif Al-Aql wa Al-Ilm wa
Al-Alim, IV/363).

Keempatbelas, menurut Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam
urusan-urusan agama dan dunia sebagai pengganti dari Nabi SAW (Tarikh Al-Islam, I/350).
Analisis Definisi

Dari keempatbelas definisi yang telah disebutkan di atas, dapat dilihat sebetulnya ada 3 (tiga)
kategori definisi, yaitu :

Pertama, definisi yang lebih menekankan pada penampakan agama (al-mazh-har ad-dini). Jadi,
Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam dalam pelaksanaan urusan agama.
Misalnya definisi Al-Iji. Meskipun Al-Iji menyatakan bahwa Khilafah mengatur urusan-urusan
dunia dan urusan agama, namun pada akhir kalimat, beliau menyatakan,Khilafah lebih utama
disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam penegakan agama.

Kedua, definisi yang lebih menekankan pada penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi). Di sini
Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam berupa pelaksanaan urusan politik atau
sistem pemerintahan, yang umumnya diungkapkan ulama dengan terminologi urusan dunia
(umuur ad-dunya). Misalnya definisi Al-Qalqasyandi. Beliau hanya menyinggung Khilafah
sebagai kekuasaan umum (wilayah ammah) atas seluruh umat, tanpa mengkaitkannya dengan
fungsi Khilafah untuk mengatur urusan agama.

Ketiga, definisi yang berusaha menggabungkan penampakan agama (al-mazh-har ad-dini) dan
penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi). Misalnya definisi Khilafah menurut Imam Al-
Mawardi yang disebutnya sebagai pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan
urusan dunia.

Dengan menelaah seluruh definisi tersebut secara mendalam, akan kita dapati bahwa secara
global berbagai definisi tersebut lebih berupa deskripsi realitas Khilafah dalam dataran empirik
(praktik) misalnya adanya dikotomi wilayah urusan dunia dan urusan agama daripada
sebuah definisi yang bersifat syari, yang diturunkan dari nash-nash syari. Selain itu, definisi-
definisi tersebut kurang mencakup (ghayru jaamiah). Sebab definisi Khilafah seharusnya
menggunakan redaksi yang tepat yang bisa mencakup hakikat Khilafah dan keseluruhan fungsi
Khilafah, bukan dengan redaksi yang lebih bersifat deskriptif dan lebih memberikan contoh-
contoh, yang sesungguhnya malah menyempitkan definisi. Misalnya ungkapan bahwa Khilafah
bertugas menghidupkan ilmu-ilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihad,
melaksanakan peradilan (qadha`), menegakkan hudud, dan seterusnya. Bukankah definisi ini
menjadi terlalu rinci yang malah dapat menyulitkan kita menangkap hakikat Khilafah? Juga
bukan dengan redaksi yang terlalu umum yang cakupannya justru sangat luas. Misalnya
ungkapan bahwa Khilafah mengatur umumnya kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin.
Atau bahwa Khilafah mengatur kemaslahatan-kemaslahatan duniawiyah dan ukhrawiyah.
Bukankah ini ungkapan yang sangat luas jangkauannya?

Sesungguhnya, untuk menetapkan sebuah definisi, sepatutnya kita perlu memahami lebih dahulu,
apakah ia definisi syari (at-tarif asy-syari) atau definisi non-syari (at-tarif ghayr asy-syari)
(Zallum, 1985:51). Definisi syari merupakan definisi yang digunakan dalam nash-nash Al-
Qur`an dan As-Sunnah, semisal definisi sholat dan zakat. Sedang definisi non-syari merupakan
definisi yang tidak digunakan dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, tetapi digunakan
dalam disiplin ilmu tertentu atau kalangan ilmuwan tertentu, semisal definisi isim, fiil, dan harf
(dalam ilmu Nahwu-Sharaf). Contoh lainnya misalkan definisi akal, masyarakat, kebangkitan,
ideologi (mabda`), dustur (UUD), qanun (UU), hadharah (peradaban), madaniyah (benda sarana
kehidupan), dan sebagainya

Jika definisinya berupa definisi non-syari, maka dasar perumusannya bertolak dari realitas (al-
waqi), bukan dari nash-nash syara. Baik ia realitas empirik yang dapat diindera atau realitas
berupa kosep-konsep yang dapat dijangkau faktanya dalam benak. Sedang jika definisinya
berupa definisi syari, maka dasar perumusannya wajib bertolak dari nash-nash syara Al-Qur`an
dan As-Sunnah, bukan dari realitas. Mengapa? Sebab, menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani,
definisi syari sesungguhnya adalah hukum syari, yang wajib diistimbath dari nash-nash syari
(Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, III/438-442; Al-Malumat li Asy-Syabab, hal. 1-3). Jadi,
perumusan definisi syari, misalnya definisi sholat, zakat, haji, jihad, dan semisalnya, wajib
merujuk pada nash-nash syari yang berkaitan dengannya.

Apakah definisi Khilafah (atau Imamah) merupakan definisi syari? Jawabannya, ya. Sebab
nash-nash syari, khususnya hadits-hadits Nabi SAW, telah menggunakan lafazh-lafazh
khalifah dan imam yang masih satu akar kata dengan kata Khilafah/Imamah. Misalnya
hadits Nabi, Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.
(Shahih Muslim, no. 1853). Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya telah mengumpulkan hadits-
hadits tentang Khilafah dalam Kitab Al-Ahkam. Sedang Imam Muslim dalam Shahihnya telah
mengumpulkannya dalam Kitab Al-Imarah (Ali Belhaj, 1991:15). Jelaslah, bahwa untuk
mendefinisikan Khilafah, wajiblah kita memperhatikan berbagai nash-nash ini yang berkaitan
dengan Khilafah.

Dengan menelaah nash-nash hadits tersebut, dan tentunya nash-nash Al-Qur`an, akan kita jumpai
bahwa definisi Khilafah dapat dicari rujukannya pada 2 (dua) kelompok nash, yaitu :

Kelompok Pertama, nash-nash yang menerangkan hakikat Khilafah sebagai sebuah


kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia.

Kelompok Kedua, nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yaitu : (1) tugas
menerapkan seluruh hukum-hukum syariah Islam, (2) tugas mengemban dakwah Islam di luar
tapal batas negara ke seluruh bangsa dan umat dengan jalan jihad fi sabilillah

Nash kelompok pertama, misalnya nash hadits,Maka Imam yang [memimpin] atas manusia
adalah [bagaikan} seorang penggembala dan dialah yang bertanggung jawab terhadap
gembalaannya (rakyatnya). (Shahih Muslim, XII/213; Sunan Abu Dawud, no. 2928, III/342-
343; Sunan At-Tirmidzi, no. 1705, IV/308). Ini menunjukkan bahwa Khilafah adalah sebuah
kepemimpinan (ri`asah/qiyadah/imarah). Adapun yang menunjukkan bahwa Khilafah bersifat
umum untuk seluruh kaum muslimin di dunia, misalnya hadits Nabi yang mengharamkan adanya
lebih dari satu khalifah bagi kaum muslimin seperti telah disebut sebelumnya (Shahih Muslim
no. 1853). Ini berarti, seluruh kaum muslimin di dunia hanya boleh dipimpin seorang khalifah
saja, tak boleh lebih. Dan kesatuan Khilafah untuk seluruh kaum muslimin di dunia
sesungguhnya telah disepakati oleh empat imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Asy-Syafii, dan Imam Ahmad, rahimahumullah (Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Al-
Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Arbaah, V/308; Muhammad ibn Abdurrahman Ad-Dimasyqi,
Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal. 208).

Nash kelompok kedua, adalah nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yang secara
lebih rinci terdiri dari dua tugas berikut :

Pertama, tugas khalifah menerapkan seluruh hukum syariah Islam atas seluruh rakyat. Hal ini
nampak dalam berbagai nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk mengatur muamalat dan
urusan harta benda antara individu muslim (QS Al-Baqarah:188, QS An-Nisaa`:58),
mengumpulkan dan membagikan zakat (QS At-Taubah:103), menegakkan hudud (QS Al-
Baqarah:179), menjaga akhlaq (QS Al-Isra`:32), menjamin masyarakat dapat menegakkan syiar-
syiar Islam dan menjalankan berbagai ibadat (QS Al-Hajj:32), dan seterusnya.

Kedua, tugas khalifah mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia dengan jihad fi sabilillah.
Hal ini nampak dalam banyak nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk mempersiapkan
pasukan perang untuk berjihad (QS Al-Baqarah:216), menjaga tapal batas negara (QS Al-
Anfaal:60), memantapkan hubungan dengan berbagai negara menurut asas yang dituntut oleh
politik luar negeri, misalnya mengadakan berbagai perjanjian perdagangan, perjanjian gencatan
senjata, perjanjian bertetangga baik, dan semisalnya (QS Al-Anfaal:61; QS Muhammad:35).

Berdasarkan dua kelompok nash inilah, dapat dirumuskan definisi Khilafah secara lebih
mendalam dan lebih tepat. Jadi, Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin
seluruhnya di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah
Islamiyah ke seluruh dunia. Definisi inilah yang telah dirumuskan oleh Syaikh Taqiyuddin An-
Nabhani (w. 1398 H/1977 M) dalam kitab-kitabnya, misalnya kitab Al-Khilafah (hal. 1), kitab
Muqaddimah Ad-Dustur (bab Khilafah) hal. 128, dan kitab Asy-Syakshiyyah Al-Islamiyah, Juz
II hal. 9. Menurut beliau juga, istilah Khilafah dan Imamah dalam hadits-hadits shahih maknanya
sama saja menurut pengertian syari (al-madlul asy-syari).

Definisi inilah yang beliau tawarkan kepada seluruh kaum muslimin di dunia, agar mereka sudi
kiranya untuk mengambilnya dan kemudian memperjuangkannya supaya menjadi realitas di
muka bumi, menggantikan sistem kehidupan sekuler yang kufur saat ini. Pada saat itulah, orang-
orang beriman akan merasa gembira dengan datangnya pertolongan Allah. Dan yang demikian
itu, sungguh, tidaklah sulit bagi Allah Azza wa Jalla.

wassalam

Muhammad Sidik Aljaw


Fariz Kata Ibadah sebenarnya dari kata ibadah dan ubudiyat (pengabdian). Begitu pula kata abdun terkandung di dalamnya yang artinya
adalah ghulam (hamba). Abdun artinya adalah dia yang segala sesuatu bukan lagi menjadi miliknya. Dalam pengertian inilah di dalam Alquran
kata abdun digunakan untuk manusia. Dan dikarenakan ia adalah hamba maka gambaran keadaannya adalah, jangan mengambil apa-apa
di rumah, yakni dalam proses pembentukan dirinya ia tidak ada peran dan tidak pula untuk kelanggengannya ia mempunyai campur tangan
dalam upayanya. Semuanya semata-mata karena ihsan Allah taala atas manusia dan semata-mata hasil ciptaan-Nya sajalah maka manusia
dianugerahi bentuk sebagai wujud cuptaan sehingga terlahirlah ia sebagai hamba-Nya) Ingatlah, bahwa ia tidak mempunyai apa-apa yang
menjadi milik dirinya, sebab difinisi dari abdun ialah yang tidak memiliki apa-apa, setelah itu diberikan kepemilikan sementara kepadanya.
Kemudian kepadanya dituntut untuk meninggalkan miliknya tersebut dengan senang hati, itulah arti ibadah. Ada pun maksud yang mulia dari
ibadah tiada lain adalah hendaknya kepada manusia diajarkan bahwa ia datang di dunia ini dengan tangan kosong, kemudian tangannya jadi
terisi banyak, ia memperoleh banyak barang-barang, ia menjadi banyak hubungan ikatan dengan macam-macam barang. Namun sekarang dia
melakukan pemutusan hubungan dengan benda-benda duniwi tersebut bukan dengan paksaan atau dengan perantaraan maut, melainkan ia
dengan sendirinya mendatangkan maut atas dirinya lalu ia mempersembahkannya kepada Allah taala. Walaupun itu tidak seluruhnya, sebagian
pun sudah mencukupi. Kalaupun tidak untuk masa yang panjang, ambillah untuk sementara waktu saja, sehingga iradah (keinginan) kita
bergabung serta menyatu dalam pengabdian kita. Itulah yang dinamakan ibadah. Jadi itulah perbedaan ibadah dengan ubudiyat. Di dalam
ubudiyat seberapa jauh sikap dan persembahan dari si hamba semuanya itu tercakup dalam kata itu, sedangkan ibadah seorang hamba tuhan
adalah perhubungan yang melepaskan segala yang menjadi miliknya dan semua itu diserahkn kepada Allah taala dengan dada yang lapang.
Jalinlah perhubungan dengannya itu menjadi sangat khusus, hubungannya dengan dunia sudah terputus dan menjadi dingin, segalanya sudah
diserahkan kembali kepada Allah taala dan Dia dijadikan sebagai pusat segala dambaan.

Anda mungkin juga menyukai