II.1. KESADARAN
Gangguan Kesadaran:
1. Disorientasi: gangguan orientasi waktu, tempat atau orang.
2. Kesadaran yang berkabut: kejernihan ingatan yang tidak lengkap dengan gangguan persepsi
dan sikap.
3. Stupor: hilangnya reaksi dan ketidaksadaran terhadap lingkungan sekeliling.
4. Delirium: kebingungan, gelisah, konfusi, reaksi disorientasi yang disertai dengan rasa takut dan
halusinasi.
5. Koma: derajat ketidaksadaran yang berat.
6. Koma vigil: koma di mana pasien tampak tertidur tetapi segera dapat dibangunkan (juga dikenal
sebagai mutisme akinetik).
7. Keadaan temaram (twilight state): seringkali digunakan secara sinonim dengan kejang parsial
kompleks atau epilepsi psikomotor.
8. Somnolensi: mengantuk abnormal yang paling sering ditemukan pada proses organik.
II.2. PERHATIAN
Perhatian adalah jumlah usaha yang dilakukan untuk memusatkan pada bagian tertentu
dari pengalaman; kemampuan untuk mempertahankan perhatian pada satu aktivitas,
kemampuan untuk berkonsentrasi.
Gangguan Perhatian:
1. Distraktibilitas: ketidakmampuan untuk memusatkan atensi; penarikan atensi kepada stimulasi
eksternal yang tidak penting atau tidak relevan.
2. Inatensi selektif: hambatan hanya pada hal-hal yang menimbulkan kecemasan.
3. Trance: perhatian yang terpusat dan kesadaran yang berubah, biasanya terlihat pada hipnosis,
gangguan disosiatif, dan pengalaman religius yang luar biasa.
Gangguan Sugestibilitas:
Gangguan sugestibilitas adalah kepatuhan dan respon yang tidak kritis terhadap gagasan atau
pengaruh dari luar diri pasien.
1. Folie a deux (atau folie a trois): penyakit emosional yang berhubungan antara dua (atau tiga)
orang.
2. Hipnosis: modifikasi kesadaran yang diinduksi secara buatan yang ditandai dengan
peningkatan sugestibilitas.
Mood:
Mood adalah suatu emosi yang meresap yang dipertahankan, yang dialami secara subjektif dan
dilaporkan oleh pasien dan terlihat oleh orang lain. Contohnya adalah depresi, elasi, kemarahan.
1. Mood disforik: mood yang tidak menyenangkan
2. Mood eutimik: mood dalam rentang normal, menyatakan tidak
adanya mood yang tertekan atau melambung.
3. Mood yang meluap-luap (expansive mood): ekspresi
perasaan seseorang tanpa pembatasan, seringkali dengan
penilaian yang berlebihan terhadap kepentingan atau makna
seseorang.
4. Mood yang iritabel (irritable mood): ekspresi perasaan
akibat mudah diganggu atau dibuat marah.
5. Pergeseran mood (labile mood): osilasi antara euforia dan depresi atau dibuat marah.
6. Mood yang meninggi (elevated mood): suasana keyakinan dan kesenangan; suatu mood yang
lebih ceria dari biasanya.
7. Euforia: elasi yang kuat dengan perasaan kebesaran.
8. Kegembiraan yang luar biasa (ecstasy): perasaan kegairahan yang kuat.
9. Depresi: perasaan kesedihan yang psikopatologis.
10. Anhedonia: hilangnya minat terhadap dan menarik diri dari semua aktivitas rutin dan
menyenangkan, seringkali disertai dengan depresi.
11. Duka cita (berkabung): kesedihan yang sesuai dengan kehilangan yang nyata.
12. Aleksitimia: ketidakmampuan atau kesulitan dalam menggambarkan atau menyadari emosi atau
mood seseorang.
e. Waham nihilistik: perasaan palsu bahwa dirinya dan orang lain dan dunia adalah tidak ada
atau berakhir.
f. Waham kemiskinan: keyakinan palsu bahwa pasien kehilangan atau akan terampas semua
harta miliknya.
g. Waham somatik: keyakinan yang palsu menyangkut
fungsi tubuh pasien (sebagai contohnya, keyakinan bahwa
otak pasien adalah berakar atau mencair).
h. Waham paranoid: termasuk waham persekutorik dan
waham referensi, kontrol dan kebesaran (dibedakan dari
ide paranoid, dimana kecurigaan adalah lebih kecil dari
bagian waham).
i. Waham persekutorik: keyakinan palsu bahwa pasien
sedang diganggu, ditipu atau disiksa; sering ditemukan
pada seorang pasien yang senang menuntut yang
mempunyai kecenderungan patologis untuk mengambil
tindakan hukum karena penganiayaan yang dibayangkan.
ii. Waham kebesaran: gambaran kepentingan, kekuatan
atau identitas seseorang yang berlebihan. (sebagai
contoh, seorang laki-laki yang ditinggal lari istrinya
mengaku memiliki penis khusus yang hanya boleh dipakai
untuk senggama dengan Zulaika Rivera.Seorang wanita
mengaku jauh lebih cantik dari Nadine Chandrawinata
padahal dia labiopalatoschizis.)
iii. Waham referensi: keyakinan palsu bahwa perilaku
orang lain ditujukan pada dirinya; bahwa peritiwa, benda-
benda atau orang lain, mempunyai kepentingan tertentu
dan tidak biasanya, umumnya dalam bentuk negatif,
diturunkan dari idea referensi, di mana seseorang secara
salah merasa bahwa ia sedang dibicarakan oleh orang lain
(sebagai contohnya, percaya bahwa orang di televisi atau
di radio berbicara padanya atau membicarakan dirinya).
i. Waham menyalahkan diri sendiri: keyakinan yang
palsu tentang penyesalan yang dalam dan bersalah.
(sebagai contoh, seorang pemuda di Aceh karena ulahnya
merasa sebagai penyebab Tsunami.)
j. Waham pengendalian: perasaan palsu bahwa kemauan, pikiran atau perasaan pasien
dikendalikan oleh tenaga dari luar.
Contoh : sasasaya dokter ada yang suruh suruh masuk ke tempat hiburan sex yang tidak
bisa saya tolaaaak.
i. Penarikan pikiran (thought withdrawal): waham bahwa pikiran pasien dihilangkan dari
ingatanya oleh orang lain atau tenaga lain.
ii. Penanaman pikiran (thought insertion): waham bahwa pikiran ditanam dalam pikiran pasien
oleh orang atau tenaga lain.
iii. Siar pikiran (thought broadcasting): waham bahwa pikiran pasien dapat didengar oleh orang
lain, seperti pikiran mereka sedang disiarkan di udara.
iv. Pengendalian pikiran (thought control): waham bahwa pikiran pasien dikendalikan oleh orang
atau tenaga lain. Contoh : Seorang laki-laki mengatakan bahwa ada microchips didalam
kepalanya yang berisi program kegiatan sehari-hari.
k. Waham ketidaksetiaan (waham cemburu): keyakinan palsu yang didapatkan dari
kecemburuan patologis bahwa kekasih pasien adalah tidak jujur.
1. Erotomania: waham bahwa seseorang sangat mencintai dirinya; lebih sering pada perempuan;
juga dikenal dengan Kompleks Cleramnault-Kandinsky). Contoh : Seorang wanita tidak mau
kawin-kawin karena menunggu Prince Charming datang menjemput.
m. Pseudologia phantastica: suatu jenis kebohongan, di mana seseorang tampaknya percaya
terhadap kenyataan fantasinya dan bertindak atas kenyataan; disertai dengan sindroma
Munchausen, berpura-pura sakit yang berulang.
4. Kecenderungan atau preokupasi pikiran: pemusatan isi pikiran pada ide tertentu, disertai
dengan irama efektif yang kuat, seperti kecenderungan paranoid atau preokupasi tentang bunuh
diri atau membunuh.
5. Egomania: preokupasi dengan diri sendiri yang patologis.
6. Monomania: preokupasi dengan suatu objek tunggal.
7. Hipokondria: keprihatinan yang berlebihan tentang kesehatan pasien yang didasarkan bukan
pada patologi organik yang nyata, tetapi pada interpretasi yang tidak realistik terhadap tanda
atau sensasi fisik sebagai suatu yang tak normal. Contoh : Seorang pasien merasa yakin
bahwa isi perutnya berdarah-darah karena terasa tidak enak.
8. Obsesi: pikiran kukuh (persisten) yang patologis, sekalipun tidak dikehendaki pasien, pikiran
mana yang tidak dapat ditentang dan tidak dapat dihilangkan dari kesadaran oleh usaha logika;
biasanya disertai dengan kecemasan.
9. Kompulsi: kebutuhan yang patologis untuk melakukan suatu tindakan yang jika ditahan,
menyebabkan kecemasan; perilaku berulang sebagai respon suatu obsesi atau dilakukan
menurut aturan tertentu, tanpa akhir yang sebenarnya. Contoh : Seseorang merasa belum
mengunci pintu dan berulang kali mengeceknya bahkan sampai tidak tertidur sepanjang
malam.
10. Koprolalia: pengungkapan kompulsif dari kata kata yang cabul/kotor.
11. Fobia: rasa takut patologis yang persisten, irasional, berlebihan, dan selalu terjadi terhadap
suatu jenis stimulasi atau situasi tertentu; menyebabkan keinginan yang memaksa untuk
menghindari stimulasi yang ditakuti.
a. Fobia sederhana: rasa takut yang jelas terhadap objek atau situasi yang jelas (sebagai
contohnya, rasa takut terhadap laba-laba atau ular).
b. Fobia sosial: rasa takut akan keramaian masyarakat, seperti rasa takut berbicara dengan
masyarakat, bekerja atau makan dalam masyarakat.
c. Akrofobia: rasa takut terhadap tempat yang tinggi.
d. Agorafobia: rasa takut terhadap tempat yang terbuka
e. Algofobia: rasa takut terhadap rasa nyeri.
f. Ailurofobia: rasa takut terhadap kucing.
g. Eritrofobia: rasa takut terhadap warna merah (merujuk terhadap rasa takut terhadap darah).
h. Panfobia: Rasa takut terhadap segala sesuatu.
i. Klaustrofobia: rasa takut terhadap tempat yang tertutup.
j. Xenofobia: rasa takut terhadap orang asing.
k. Zoofobia: rasa takut terhadap binatang.
12. Noesis: suatu wahyu di mana terjadi pencerahan yang besar sekali disertai dengan perasaan
bahwa pasien telah dipilih untuk memimpin dan memerintah.
13. Unio mystica: suatu perasaan yang meluap, pasien secara mistik bersatu dengan kekuatan
yang tidak terbatas; tidak dianggap suatu gangguan dalam isi pikiran jika sejalan dengan
keyakinan pasien atau lingkungan kultural.
II.6. BICARA
Gagasan, pikiran, perasaan yang diekspresikan melalui bahasa; komunikasi verbal.
Gangguan Bicara:
1. Tekanan bicara (pressure of speech): bicara cepat yaitu
peningkatan jumlah dan kesulitan untuk memutus
pembicaraan. Dapat terjadi pada orang cerewet,lagi marah
atau jatuh cinta.
2. Kesukaan/banyak bicara (logorrhea): bicara yang banyak
sekali, bisa koheren, bisa inkoheren.
3. Kemiskinan bicara (poverty of speech): pembatasan
jumlah bicara yang digunakan; jawaban mungkin hanya satu
suku kata (monosyllabic).
4. Bicara yang tidak spontan: respon verbal yang diberikan
hanya jika ditanya atau dibicarakan langsung; tidak ada bicara
yang dimulai dari diri sendiri.
5. Kemiskinan isi bicara: bicara yang adekuat dalam jumlah
tetapi memberikan sedikit informasi karena ketidakjelasan,
kekosongan, atau frasa yang stereotipik.
6. Disprosodi: hilangnya irama bicara yang normal.
7. Disartria: kesulitan artikulasi, bukan dalam penemuan kata atau tata bahasa.
8. Bicara yang keras atau lemah secara berlebihan: hilangnya modulasi volume bicara normal;
dapat mencerminkan berbagai keadaan patologis mulai dari psikosis sampai depresi sampai
ketulian.
9. Gagap (stuttering): pengulangan atau perpanjangan suara atau suku kata yang sering,
menyebabkan gangguan kefasihan bicara yang jelas.
10. Cluttering: bicara yang aneh dan disritmik, yang mengandung semburan kata-kata yang cepat
dan menyentak. Orang mabuk alkohol.
Gangguan Afasik:
Gangguan dalam pengeluaran bahasa (neurologis)
1. Afasia motorik: gangguan bicara yang disebabkan oleh gangguan kognitif di mana pengertian
adalah tetap tetapi kemampuan untuk bicara adalah sangat terganggu; bicara terhenti-henti,
susah payah dan tidak akurat (juga dikenal sebagai afasia Broca, tidak fasih dan ekspresif).
2. Afasia sensoris: kehilangan kemampuan organik untuk mengerti arti kata; bicara adalah lancar
dan spontan, tetapi membingungkan dan yang bukan-bukan (juga dikenal sebagai afasia
Wernicke, fasih dan reseptif).
3. Afasia nominal: kesulitan untuk menemukan nama yang tepat untuk suatu benda (juga dikenal
sebagai afasia anomia dan amnestik).
4. Afasia sintatikal: ketidakmampuan untuk menyusun kata-kata dalam urutan yang tepat.
5. Afasia Jargon: kata-kata yang dihasilkan seluruhnya neologistik; kata-kata yang tidak masuk
akal yang diulang-ulang dengan berbagai intonasi dan nada suara.
6. Afasia global: kombinasi afasia yang sangat tidak fasih dan afasia fasih yang berat.
II.7. PERSEPSI
Proses pemindahan stimulasi fisik menjadi informasi
psikologis; proses mental di mana stimulasi sensoris dibawa ke
kesadaran.
Gangguan Persepsi:
1. Halusinasi: persepsi sensoris yang palsu yang terjadi tanpa
stimulasi eksternal yang nyata; mungkin terdapat atau tidak
terdapat interpretasi waham sehubungan dengan pengalaman
halusinasi tersebut.
a. Halusinasi hipnagogik: persepsi sensoris yang palsu yang
terjadi saat akan tertidur biasanya dianggap sebagai fenomena
yang nonpatologis.
b. Halusinasi hipnopompik: persepsi palsu yang terjadi saat
terbangun dari tidur; biasanya dianggap tidak patologis.
c. Halusinasi dengar (auditoris): persepsi bunyi yang palsu,
biasanya suara tetapi juga bunyi-bunyi lain, seperti musik;
merupakan halusinasi yang paling sering pada gangguan
psikiatrik.
Contoh : Dokter ada orang yang ja basuruh pakita tiap pagi
keliling kampung,kemanapun pergi selalu tu suara-suara itu
iko.
d. Halusinasi visual: persepsi palsu tentang penglihatan yang berupa citra yang berbentuk
(sebagai contohnya, orang) dan citra yang tidak berbentuk (sebagai contohnya, kilatan cahaya);
paling sering pada gangguan organik.
e. Halusinasi penciuman (olfaktoris): persepsi membau yang palsu; paling sering pada
gangguan organik.
f. Halusinasi pengecapan (gustatoris): persepsi tentang rasa kecap yang palsu, seperti rasa
kecap yang tidak menyenangkan yang disebabkan oleh kejang; paling sering pada gangguan
organik. Contoh : Makanan yang berubah rasa padahal itu makanan favoritnya.
g. Halusinasi perabaan (taktil; haptic): persepsi palsu tentang perabaan atau sensasi
permukaan, seperti dari tungkai yang teramputasi (phantom limb); sensasi adanya gerakan pada
atau di bawah kulit (kesemutan).
h. Halusinasi somatik: sensasi palsu tentang sesuatu hal yang terjadi di dalam atau terhadap
tubuh; paling sering berasal dari bagian viseral tubuh (juga dikenal sebagai halusinasi
kenestetik).
1. Halusinasi liliput: persepsi yang palsu di mana benda-benda tampak lebih kecil ukuranya (juga
dikenal sebagai mikropsia).
J. Halusinasi yang sejalan dengan mood (mood-congruent hallucination): halusinasi di mana
isi halusinasi adalah konsisten dengan mood yang tertekan atau manik (sebagai contohnya,
pasien yang mengalami depresi mendengar suara yang mengatakan bahwa pasien adalah orang
yang jahat; seorang pasien manik mendengar suara yang mengatakan bahwa pasien memiliki
harga diri, kekuatan dan pengetahuan yang tinggi).
k. Halusinasi yang tidak sejalan dengan mood (mood-incongruent hallucination): halusinasi
di mana isinya tidak konsisten dengan mood yang tertekan atau manik (sebagai contohnya, pada
depresi, halusinasi tidak melibatkan tema-tema tersebut seperti rasa bersalah, penghukuman
yang layak, atau ketidakmampuan; pada mania, halusinasi tidak mengandung tema-tema
tersebut seperti harga diri atau kekuasaan yang tinggi).
1. Halusinosis: halusinasi, paling sering adalah halusinasi dengar, yang berhubungan dengan
penyalahgunaan alkohol kronis yang terjadi dalam sensorium yang jernih, berbeda dengan
delirium tremens (DTs), yaitu halusinasi yang terjadi dalam konteks sensorium yang berkabut.
m. Sinestesia: sensasi atau halusinasi yang disebabkan oleh sensasi lain, (sebagai contohnya,
suatu sensasi auditoris yang disertai atau dicetuskan oleh suatu sensasi visual; suatu bunyi
dialami sebagai dilihat, atau suatu penglihatan dialami sebagai didengar).
n. Trailing phenonemon: kelainan persepsi yang berhubungan dengan obat-obat halusinogenik di
mana benda yang bergerak dilihat sebagai sederetan citra yang terpisah dan tidak kontinu.
2. Ilusi: mispersepsi atau misinterpretasi terhadap stimulasi eksternal yang nyata.
Demensia:
Pemburukan fungsi intelektual organik dan global tanpa pengaburan kesadaran.
1. Diskalkulia (Akalkulia): hilangnya kemampuan untuk melakukan perhitungan; bukan karena
gangguan psikologis.
2. Disgrafia (Agrafia): Hilangnya kemampuan untuk menulis dalam gaya yang kursif; hilangnya
struktur kata.
3. Aleksia: Hilangnya kemampuan membaca yang sebelumnya dimiliki; bukan disebabkan oleh
gangguan penglihatan.
Pseudodemensia:
Gambaran klinis yang menyerupai demensia yang tidak disebabkan oleh suatu kondisi organik;
paling sering disebabkan oleh depresi (sindroma demensia dari depresi).
Berpikir Konkret:
Berpikir harfiah; penggunaan kiasan yang terbatas tanpa pengertian nuansa arti; pikiran satu-
dimensi.
Berpikir Abstrak:
Kemampuan untuk mengerti nuansa arti; berpikir multidimensional dengan kemampuan
menggunakan kiasan dan hipotesis dengan tepat.
Suatu ringkasan tentang tingkat tilikan menurut PPDGJ III adalah sebagai berikut:
1. Penyangkalan penyakit sama sekali.
2. Agak menyadari bahwa mereka sakit dan membutuhkan bantuan tetapi dalam waktu yang
bersamaan menyangkal penyakitnya.
3. Sadar bahwa mereka adalah sakit tetapi melemparkan kesalahan pada orang lain, pada faktor
eksternal, atau pada faktor organik.
4. Sadar bahwa penyakitnya disebabkan oleh sesuatu yang tidak diketahui pada diri pasien.
5. Tilikan intelektual: menerima bahwa pasien sakit dan bahwa gejala atau kegagalan dalam
penyesuaian sosial adalah disebabkan oleh perasaan irasional atau gangguan tertentu dalam
diri pasien sendiri tanpa menerapkan pengetahuan untuk pengalaman di masa depan.
6. Tilikan emosional sejati: kesadaran emosional tentang motif dan perasaan di dalam diri pasien
dan orang yang penting dalam kehidupannya, yang dapat menyebabkan perubahan dasar dalam
perilaku pasien.