Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Defisiensi besi merupakan keadaan dimana besi tubuh tidak cukup untuk

mempertahankan fungsi fisiologis yang normal. Defisiensi besi terjadi apabila

konsumsi dan absorpsi besi tidak cukup untuk mengakomodir peningkatan

kebutuhan dan terjadi keseimbangan negatif besi dalam jangka waktu lama

(Halterman dkk, 2001)


Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia di seluruh dunia.

Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan 500-600 juta

menderita anemia defisiensi besi. Di Amerika Serikat anemia defisiensi besi

terdapat pada 25% bayi dan 6% anak (NHANES, 2010). Prevalensi yang tinggi

terjadi di negara yang sedang berkembang, contohnya adalah Indonesia. Apabila

dilihat menurut kelompok umur, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Indonesia

(2013), sebanyak 21,7% penduduk Indonesia menderita anemia, dimana penderita

anemia kedua terbanyak adalah pada kelompok umur 1-5 tahun dengan prevalensi

28,1%. Survei Kesehatan Rumah Tangga Kemenkes RI (2014) menunjukkan

prevalensi anemia defisiensi besi pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak

balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1% .


Defisiensi besi berpengaruh secara sistemik, dimana dapat terjadi berbagai

konsekuensi, diantaranya anemia, penurunan kapasitas aktivitas fisik, penurunan

fungsi saluran pencernaan, gangguan fungsi imunitas, serta gangguan

pertumbuhan. Salah satu konsekuensi yang disorot adalah terjadinya penurunan

performa kognitif dan perilaku yang disebabkan karena defisiensi besi (Baker dkk,

2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lubis dkk (2008) di Indonesia,

1
2

full scale IQ anak sekolah dasar yang menderita anemia defisiensi besi tidak

melebihi tingkat average (dengan rata-rata 83,80). Selain itu juga didapatkan

gangguan konsentrasi dan fungsi kognitif, terutama dalam matematika. Pada

penelitian lain oleh Nelson dkk (2004), didapatkan hasil yakni defisiensi besi pada

usia 2 tahun secara signifikan berhubungan dengan penurunan skor motorik. Pada

puncak terjadinya defisiensi besi, yaitu pada usia 2 dan/atau 4 tahun, berhubungan

secara signifikan dengan penurunan full scale IQ. Selain itu, penelitian oleh

Carter dkk (2010) mendapat hasil anemia defisiensi besi pada anak usia 9-12

bulan secara signifikan berhubungan dengan skor mean novelty preference yang

lebih rendah pada Fagan recognition memory test, dibandingkan dengan anak

yang tidak menderita defisiensi besi (rerata: 56,7 vs 60,3). Kekurangan besi

dengan atau tanpa anemia, terutama yang berlangsung lama dan terjadi pada usia

0-2 tahun, dapat mengganggu tumbuh kembang anak (WHO, 2001). Gangguan

perkembangan dapat terjadi secara permanen, sehingga akan tetap terlihat

walaupun defisiensi besi sudah terkoreksi. Terjadinya gangguan pada

perkembangan otak dapat berdampak negatif terhadap kualitas sumber daya

manusia pada masa mendatang.


Berdasarkan uraian diatas, diperlukan penelitian mengenai defisiensi besi dan

hubungannya dengan gangguan perkembangan pada anak. Dari hasil penelitian ini

diharapkan dapat menjadi dasar untuk pengembangan dan pelaksanaan penelitian

selanjutnya serta sebagai acuan dalam rangka mencegah terjadinya gangguan

perkembangan pada anak.

1.2 Rumusan Masalah


3

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Apakah defisiensi besi merupakan faktor risiko terjadinya gangguan

perkembangan pada anak usia 12-36 bulan?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui defisiensi besi merupakan faktor risiko terjadinya

gangguan perkembangan pada anak.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui karakteristik demografi anak usia 12-36 bulan.


2. Untuk mengetahui status besi anak usia 12-36 bulan.
3. Untuk mengetahui status perkembangan anak usia 12-36 bulan.
4. Untuk mengetahui defisiensi besi merupakan faktor risiko terjadinya gangguan

perkembangan pada anak usia 12-36 bulan.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu

kedokteran dan memberikan pengetahuan terbaru mengenai defisiensi besi

sebagai faktor risiko terjadinya gangguan perkembangan pada anak.


2. Sebagai bahan pertimbangan untuk strategi pencegahan dengan mengetahui

faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan perkembangan.


3. Sebagai data dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai defisiensi

besi dan gangguan perkembangan.


4

1.5 Keaslian Penelitian

Peneliti Judul Metodelogi Hasil Penelitian


Penelitian
Carter RC, Iron Deficiency Penelitian dengan Defisiensi besi

Jacobson JL, Anemia and metode kohort berpengaruh pada

Burden MJ, Cognitive Function prospektif yang kognitif :

Armony- in Infancy melibatkan bayi saat recognition

Sivan R, melakukan check-up memory, object

Dodge NC, pada bulan ke-9 di permanence,

Angelilli Childrens Hospital processing

ML, Lozoff of Michigan. speed,symbolic

B, dan Sampel berjumlah play.


Anemia defisiensi
Jacobson 187 sampel.
besi pada anak
SW
(2010) usia 9-12 bulan

berhubungan

dengan skor

mean novelty

preference yang

lebih rendah pada

Fagan

recognition

memory test

dibandingkan

dengan anak yang


5

tidak menderita

ADB (rerata: 56,7

vs 60,3, p<0,05)
Halterman Iron Deficiency and Penelitian dengan Rerata skor

JS, Cognitive metode potong matematika lebih

Kaczorowsk Achievement Among lintang yang rendah pada anak

i JM, Aligne School-Aged melibatkan anak dengan defisiensi

A, Auinger Children and usia 6-16 tahun di besi, dengan atau

P, dan Adolescents in the Amerika Serikat, tanpa anemia,

Szilagyi PG United States menggunakan dibandingkan

(2001) database The dengan anak

National Health and normal (86,4 dan

Nutrition 87,4 vs 93,7).

Examination Survey Anak dengan


(NHANES) III.
defisiensi besi
Sampel berjumlah
memiliki >2x
5398 anak.
lipat risiko nilai

yang lebih rendah

dibanding anak

normal (RO 2,3;

IK 95% 1,1-4,4)
Nelson S, Cocaine, Anemia, Penelitian dengan Defisiensi besi

Lerner E, and metode kohort pada usia 2 tahun

Needlman Neurodevelopmental prospektif yang secara signifikan

R, Salvator Outcomes in melibatkan bayi berhubungan


6

A, dan Children: A baru lahir di dengan

Singer LT Longitudinal Study Clevelend, Ohio. penurunan skor

(2008) Sampel berjumlah motorik, yaitu

415 bayi, yang sebesar 12.9 poin

diikuti sampai (p = 0.012). Pada

berusia 4 tahun. puncak terjadinya

defisiensi besi,

yaitu pada usia 2

dan/atau 4 tahun,

berhubungan

secara signifikan

dengan

penurunan full

scale IQ, yaitu

sebesar 8.1 poin

(p = 0.047).
Lubis B, Perbedaan Respon Penelitian dengan Rerata Full IQ

Saragih Hematologi dan metode uji klinis 83,80

RAC, Perkembangan yang melibatkan (SD=13,14),

Gunadi D, Kognitif pada Anak anak sekolah dasar Performance IQ

Rosdiana N, Anemia Defisiensi negeri yang berada 81,08 (SD=14,58)

Andriani E Besi Usia Sekolah di lokasi di dan Verbal IQ

(2008) Dasar yang Kecamatan Bilah 88,10

Mendapat Terapi Hulu Kabupaten (SD=14,20).

Besi Satu Kali dan Rantau Prapat. Didapatkan skor


7

Tiga Kali Sehari Sampel berjumlah aritmatika yang

97 dan dibagi rendah (7+3,23).

menjadi 2 Terdapat

kelompok; 47 di peningkatan

kelompok kontrol bermakna kadar

dan 50 di kelompok hemoglobin pada

perlakuan. kedua kelompok

setelah pemberian

terapi besi

(p<0,05), namun

tidak dijumpai

perbedaan

bermakna

peningkatan Hb

antar kedua

kelompok

(p=0,29).
8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Zat Besi


2.1.1 Bentuk dan fungsi zat besi
Besi merupakan elemen logam kedua terbanyak. Besi esensial terhadap

hampir seluruh mahluk hidup, dimana dibutuhkan sebagai bahan baku sebagian

besar enzim dan protein yang penting dalam metabolisme (Crichton, 2010). Peran

besi pada kelangsungan merabolisme terdapat dalam berbagai bentuk, antara lain:
1. Haemoprotein: sebagai transpor oksigen dan aktivator electron transport

proteins.
2. Protein Fe-S (iron-sulphur): sebagai electron transport proteins dan enzim Fe-

S.
3. Mono-nuclear iron proteins: dalam bentuk dioxygenases, hydroxylases, dan

lain lain.
4. Dinuclear iron proteins: dalam bentuk carboxylato di-iron proteins (Crichton,

2010).
Berbagai bentuk besi tersebut dalam tubuh memiliki peran masing-masing

dalam metabolisme, antara lain untuk produksi ATP, sintesis DNA (ribonucleotide

reductase), fungsi mitokondria, serta untuk katalisis formasi ROS sehingga

berperan sebagai protektor sel terhadap kerusakan oksidatif (Rouault, 2013).

Bentuk lain dari zat besi yang terbagi menurut tempatnya, antara lain:
1. Zat besi dalam hemoglobin
2. Zat besi dalam cadangan sebagai feritin dan hemosiderin
3. Zat besi yang ditranspor dalam transferin
4. Zat besi parenkhim atau zat besi dalam jaringan: mioglobin dan beberapa
9
enzim, antara lain sitokrom, katalase, dan peroksidase.

2.1.2 Metabolisme zat besi


Pengangkutan besi dari rongga usus hingga menjadi transferin merupakan

suatu ikatan besi dan protein di dalam darah yang terjadi dalam beberapa

tingkatan. Besi dalam makanan terikat pada molekul lain yang lebih besar di
9

dalam lambung besi akan dibebaskan menjadi ion feri oleh pengaruh asam

lambung (HCl). Di dalam usus halus, ion feri diubah menjadi ion fero oleh

pengaruh alkali. Ion fero inilah yang kemudian diabsorpsi oleh sel mukosa usus.

Sebagian akan disimpan sebagai persenyawaan feritin dan sebagian lagi masuk ke

peredaran darah yang berikatan dengan protein, disebut transferin. Selanjutnya

transferin ini dipergunakan untuk sintesis hemoglobin (Rouault, 2013).


Sebagian dari transferin yang tidak terpakai akan disimpan sebagai labile iron

pool. Ion fero diabsorpsi jauh lebih mudah daripada ion feri, terutama bila makan

mengandung vitamin atau fruktosa yang akan membentuk suatu kompleks besi

yang larut, sedangkan fosfat, oksalat dan fitat menghambat absorpsi besi

(Crichton, 2013)
Ekskresi besi dari tubuh sangat sedikit. Besi yang dilepaskan pada pemecahan

hemoglobin dari eritrosit yang sudah mati akan masuk kembali ke dalam iron

pool dan akan dipergunakan lagi untuk sintesis hemoglobin. Jadi di dalam tubuh

yang normal kebutuhan akan besi sangat sedikit. Kehilangan besi melalui urin,

tinja, keringat, sel kulit yang terkelupas dan karena perdarahan sangat sedikit.

Oleh karena itu pemberian besi yang berlebihan dalam makanan dapat

mengakibatkan terjadinya hemosiderosis (Rouault, 2013).

2.1.3 Kebutuhan zat besi


Menurut American Academy of Pediatrics 2010, kebutuhan besi untuk anak

di bawah tiga tahun dibagi berdasarkan kelompok usia, yaitu sebagai berikut:

1. Bayi preterm
Pada bayi preterm terjadi defisit besi total di tubuh, diperparah dengan

terjadinya pertumbuhan post natal yang cepat. Bayi preterm rentan terhadap

terjadinya defisiensi besi, begitu pula dengan toksisitas akibat kelebihan besi.
10

Jumlah kebutuhan besi yang diperkirakan cukup adalah antara 2-4 mg/kg per

hari apabila diberikan secara oral (Baker dkk, 2010).


2. Bayi cukup bulan usia 0-6 bulan
Menurut The Institute of Medicine (IOM), angka kebutuhan besi pada usia ini

dihitung melalui rerata jumlah kandungan besi pada air susu ibu (ASI), yaitu

0,35 mg/L (Institute of Medicine, 2003). Rerata asupan ASI pada anak yang

mendapat ASI eksklusif adalah 0,78 L per hari, sehingga apabila dikalikan akan

mendapatkan hasil 0,27 mg per hari, yang digunakan sebagai kisaran

kebutuhan besi bayi usia 0-6 bulan (Baker dkk, 2010).

3. Bayi usia 7-12 bulan


Jumlah kebutuhan besi pada kelompok usia ini meningkat drastis, yaitu sebesar

11 mg per hari (Institute of Medicine, 2003). Angka tersebut didapatkan dari

kisaran jumlah besi yang dibutuhkan untuk meningkatkan volume darah,

jaringan, cadangan, serta jumlah besi yang hilang melalui lepasnya sel epitel

kulit, saluran percernaan, dan saluran kemih (Baker dkk, 2010).


4. Anak usia 1-3 tahun
Melalui metode yang sama dengan kelompok di atas, kebutuhan besi pada

kelompok usia 1-3 tahun didapatkan sebesar 7 mg per hari (Baker dkk, 2010).

2.2 Defisiensi Besi


2.2.1 Definisi
Defisiensi besi merupakan suatu keadaan dimana cadangan besi tubuh tidak

mencukupi untuk mempertahankan fungsi fisiologis yang normal (Baker dkk,

2010). Defisiensi besi disebabkan karena absorpsi besi yang kurang untuk

mengakomodasi peningkatan kebutuhan tubuh terkait dengan pertumbuhan; atau

karena keseimbangan negatif besi dalam jangka waktu lama. Situasi tersebut

berakibat pada penurunan cadangan besi tubuh yang diukur melalui konsentrasi
11

serum feritin (SF) atau pemeriksaan sumsum tulang. Defisiensi besi dapat terjadi

dengan atau tanpa anemia (Lind dkk, 2004)

2.2.2 Epidemiologi
Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia di seluruh dunia.

Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan 500-600 juta

menderita anemia defisiensi besi. Di Amerika Serikat, tahun 1999-2002,

didapatkan prevalensi defisiensi besi dan ADB pada anak 1-3 tahun sebesar 9,2%

dan 2,1% (NHANES, 2010). Prevalensi yang tinggi terjadi di negara yang sedang

berkembang. Apabila dilihat menurut umur, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar

Indonesia (2013), sebanyak 21,7% penduduk Indonesia menderita anemia, dimana

penderita anemia kedua terbanyak adalah pada kelompok umur 1-5 tahun dengan

prevalensi 28,1%. Survei Kesehatan Rumah Tangga Kemenkes RI (2001)

menunjukkan prevalensi anemia defisiensi besi pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12

bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%.
Menurut penelitian Georgieff (2008), kecenderungan terjadi defisiensi besi

anak tertinggi pada usia trimester ketiga janin sampai saat kelahiran, late infancy-

early toddler yaitu usia 6 bulan sampai 3 tahun, serta saat masa pubertas.

Kecenderungan tinggi akan terjadinya defisiensi besi dihubungkan dengan adanya

peningkatan kebutuhan akan besi (iron demand) saat periode usia tersebut

(Georgieff, 2008).
12

Keterangan: kecenderungan defisiensi besi tertinggi selama periode umur yang ditandai dengan kotak.

Gambar 2.1
Kecenderungan terjadinya defisiensi besi menurut periode umur (Georgieff, 2008)

2.2.3 Faktor risiko


Faktor risiko terjadinya defisiensi besi pada anak, antara lain:

1. Faktor diet:
a. Konsumsi susu sapi di bawah usia 12 bulan
b. Konsumsi susu sapi berlebihan
c. Makanan pendamping dengan kadar besi yang rendah
d. Kurangnya suplementasi besi setelah 6 bulan pada bayi yang mendapat ASI
e. Penambahan berat badan yang berlebihan
2. Risiko prenatal dan neonatal:
a. Anemia saat kehamilan
b. Diabetes saat kehamilan yang tidak terkontrol
c. Kehamilan multipel
d. Prematuritas
e. Berat lahir rendah

3. Risiko saat bayi dan balita:


a. Infeksi kronis atau inflamasi
b. Kehilangan darah akut atau kronis
c. Restriksi diet
d. Penggunaan obat yang mempengaruhi absorpsi besi, misalnya antasida
4. Sosial-ekonomi
a. Status sosial-ekonomi rendah
b. Imigrasi dari negara berkembang (Harper, 2015).

2.2.4 Diagnosis
13

Defisiensi besi, dengan atau tanpa anemia, merupakan hasil dari

ketidakseimbangan kebutuhan besi dan ketersediaan besi yang berakibat pada

defisit cadangan besi dan disertai dengan perubahan hasil laboratorium, termasuk

konsentrasi Hb, mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC), mean

corpuscular volume (MCV), reticulocyte Hb concentration (CHr), total iron-

binding capacity (TIBC), saturasi transferin, konsentrasi serum feritin, serta

konsentrasi serum transferin-receptor 1 (TfR1) (Baker, 2010). Penunjang yang

digunakan untuk menentukan status besi dijelaskan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1
Spektrum status besi (Baker, 2010)
DB tanpa
Parameter ADB Overload Besi
anemia
Serum feritin
Saturasi Transferin
TfR1
CHr Normal
Hb Normal Normal
MCV Normal Normal
Keterangan:DB= defisiensi besi; ADB= anemia defisiensi besi; TfR1=
transferin-receptor 1; CHr= reticulocyte Hb concentration; Hb=
hemoglobin; MCV= mean corpuscular volume

Tabel 2.2
Indeks sel darah merah sesuai kelompok umur (Abdulsallam, 2002)
Mean Corpuscular
Hemoglobin (g/dL) Hematokrit (%)
Umur Volume (fL)
Rerata - 2 SD Rerata -2 SD Rerata -2 SD
Cukup bulan
16,5 13,5 51 42 108 98
(sampel tali pusat)
1-3 hari 18,5 14,5 56 45 108 95
2 minggu 16,6 13,4 53 41 105 88
1 bulan 13,9 10,7 44 33 101 91
2 bulan 11,2 9,4 35 28 95 84
14

6 bulan 12,6 11,1 36 31 76 68


6 bulan-2 tahun 12,0 10,5 36 33 78 70
2-6 tahun 12,5 11,5 37 34 81 75

2.2.5 Stadium defisiensi besi


Defisiensi besi melalui beberapa stadium sampai terjadinya anemia, yaitu:

1. Iron depletion

Pada stadium ini baru didapatkan penurunan cadangan besi. Hasil

laboratorium menunjukkan baik kadar besi di dalam serum maupun kadar

hemoglobin masih dalam batas normal (Abdulsallam, 2002).


2. Iron deficient erythropoietin
Gangguan mulai timbul bila cadangan besi hampir habis. Dari hasil

laboratorium bisa didapatkan kadar besi di dalam serum mulai menurun, akan

tetapi kadar hemoglobin di dalam darah masih norma. Pada stadium ini mulai

terjadi defisiensi besi di jaringan (Windiastuti, 2000).


3. Iron deficiency anemia
Apabila sudah mencapai stadium ini, maka terdapat penurunan kadar

feritin serta kadar besi di dalam serum yang sudah disertai anemia defisiensi

besi, yang ditandai dengan penurunan kadar Hb, MCV, MCH, dan MCHC

(Abdulsallam, 2002).
Tabel 2.3
Parameter laboratorium pada stadium defisiensi besi (Abdulsallam, 2002)
Hemoglobin Tahap I Tahap II Tahap III
(normal) (sedikit menurun) (menurun jelas,
mikrositik hipokrom)
Cadangan besi (mg) <100 0 0
Fe serum (g/dL) Normal <60 <40
TIBC (g/dL) 360-390 >390 >410
Saturasi transferin (%) 20-30 <15 <10
Feritin serum (g/dL) <20 <12 <12
Sideroblas (%) 40-60 <10 <10
FEP (g/dL eritrosit) >30 >100 >200
MCV Normal Normal Menurun

2.2.6 Pencegahan
15

Untuk menurunkan angka defisiensi besi pada anak di Indonesia, IDAI

mengeluarkan rekomendasi terkait dengan pencegahan terjadinya defisiensi besi

dengan atau tanpa anemia, yaitu (Gatot dkk, 2011):

1. Rekomendasi 1: Suplemen besi diberikan kepada semua anak, dengan prioritas

usia balita (0-5 tahun), terutama usia 0-2 tahun.


2. Rekomendasi 2: Dosis dan lama pemberian suplementasi besi dijelaskan pada

Tabel 2.4.

Tabel 2.4
Pemberian suplementasi besi menurut IDAI (Gatot dkk, 2011)
Umur (tahun) Dosis besi elemental Lama pemberian
Bayi*: BBLR 3 mg/kgBB/hari Usia 1 bulan sampai 2 tahun
Cukup bulan 2 mg/kgBB/hari Usia 4 bulan sampai 2 tahun
2x/minggu selama 3 bulan berturut-
2-5 (balita) 1 mg/kgBB/hari
turut setiap tahun
2x/minggu selama 3 bulan berturut-
>5-12 (usia sekolah) 1 mg/kgBB/hari
turut setiap tahun
2x/minggu selama 3 bulan berturut-
12-18 (remaja) 60 mg/hari#
turut setiap tahun
Keterangan:
* Dosis maksimum untuk bayi: 15 mg/hari, dosis tunggal
# Khusus remaja perempuan ditambah 400 g asam folat

3. Rekomendasi 3: Saat ini belum perlu dilakukan uji tapis (skrining) defisiensi

besi secara massal.


4. Rekomendasi 4: Pemeriksaan kadar hemoglobin (Hb) dilakukan mulai usia 2

tahun dan selanjutnya setiap tahun sampai usia remaja. Bila dari hasil

pemeriksaan ditemukan anemia, dicari penyebab dan bila perlu dirujuk.


5. Rekomendasi 5: Pemerintah harus membuat kebijakan mengenai penyediaan

preparat besi dan alat laboratorium untuk pemeriksaan status besi.

2.3 Perkembangan
2.3.1 Definisi perkembangan
16

Perkembangan adalah berkembangnya kemampuan (skill) dalam struktur dan

fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan,

sebagai hasil dari proses pematangan; menyangkut adanya proses diferensiasi dari

sel-sel tubuh, organ-organ, dan system organ yang berkembang sehingga masing-

masing dapat memenuhi fungsinya; termasuk juga perkembangan emosi,

intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya

(Soetjiningsih, 2002).

2.3.2 Tahap perkembangan


Otak manusia mengalami pertumbuhan pesat sejak masa di dalam kandungan

sampai beberapa bulan setelah lahir (Suandi dkk, 2008) Selama minggu ketiga

kehidupan di dalam kandungan, lempeng neural tampak pada permukaan

ektoderm pada embrio trilaminar. Lempeng neural ini melipat membentuk tabung

neural yang kelak menjadi susunan saraf pusat. Neural crest menjadi susunan

saraf perifer. Sel-sel neuroektodermal berdiferensiasi menjadi sel neuron, astrosit,

oligodendrosit, dan sel ependim (Sekartini, 2006). Sementara itu, sel mikroglial

berasal dari mesoderm. Pada minggu kelima, terbentuk 3 komponen otak, yaitu

forebrain, midbrain, dan hind brain. Kornu dorsal dan ventral medula spinalis

telah terbentuk bersamaan dengan pembentukan saraf motorik dan sensorik

perifer. Mielinisasi berlangsung pesat sejak pertengahan kehamilan sampai 2

tahun pertama kehidupan (Needlman, 2004).


Berat otak terus bertambah mulai dari beberapa minggu setelah konsepsi,

sehingga pada bayi baru lahir berat otak sudah mencapai seperempat berat otak

dewasa. Pertumbuhan berat otak masih pesat sampai 6 bulan pertama setelah lahir.

Setelah itu, pertumbuhan melambat. Pertumbuhan kolesterol (marker untuk


17

mielinisasi) digambarkan dengan garis satu puncak. Kolesterol penting untuk

mielinisasi otak. Proses mielinisasi berlangsung pesat pada trimester terakhir

kehamilan sampai anak berusia 2 tahun (Needlman, 2004).


Pertumbuhan otak tercepat terjadi pada trimester ketiga kehamilan sampai 2

tahun pertama setelah lahir. Pada masa ini, terjadi pembelahan sel-sel otak yang

pesat; setelah itu, pembelahan melambat dan terjadi pembesaran sel-sel otak saja,

sehingga pada waktu lahir berat otak bayi berat otak dewasa, tetapi jumlah

selnya sudah mencapai 2/3 jumlah sel otak orang dewasa. Pada usia 2 tahun,

ukuran otak anak mencapai 80% dari ukuran otak orang dewasa. Selanjutnya, otak

akan terus berkembang setelah umur 2 tahun dengan perkembangan yang lebih

lambat. Masa pesat pertumbuhan jaringan otak adalah masa yang rawan

(Sekartini, 2006). Setiap gangguan pada masa itu akan mengakibatkan gangguan

jumlah sel otak dan mielinisasi yang tidak bisa dikejar lagi pada masa

pertumbuhan berikutnya. Diperlukan asupan nutrisi yang baik pada masa

pertumbuhan dan perkembangan otak, agar otak dapat berkembang secara optimal

(Needlman, 2004).

2.3.3 Aspek perkembangan


Terdapat beberapa aspek dalam perkembangan, yaitu aspek kognitif, motorik,

bahasa, dan personal adaptif.

1. Kognitif : merupakan perkembangan kemampuan anak untuk mempelajari dan

memecahkan masalah.
2. Motorik: perkembangan motorik merupakan perkembangan kontrol pergerakan

badan melalui koordinasi aktivitas saraf pusat, saraf tepi, dan otot. Kontrol
18

pergerakan ini muncul dari perkembangan refleks-refleks yang dimulai sejak

lahir. Anak menjadi tidak berdaya sampai perkembangan ini muncul.


3. Bahasa: bahasa adalah suatu sistem komunikasi yang digunakan dengan sukarela

dan secara sosial disetujui bersama, dengan menggunakan simbol-simbol

tertentu untuk menyampaikan dan menerima pesan dari satu orang ke orang

lain, termasuk di dalamnya terdapat bahasa reseptif dan bahasa ekspresif.

Bahasa reseptif adalah kemampuan untuk mengerti, termasuk ketrampilan

visual (reading, sign language comprehension) dan auditory (listening

comprehension). Bahasa ekspresif adalah kemampuan untuk memproduksi

simbol komunikasi, luaran ini dapat juga berupa visual (writing, signing) atau

auditory (speech) (Suandi, 2008).


4. Personal adaptif: perkembangan ini menyangkut tingkah laku individu dan sosial.

Perkembangan keduanya tidak selalu seiring; perkembangan kepribadian

individu bisa tidak sejalan dengan perilaku sosial, begitu pula sebaliknya

(Suandi, 2008).

2.3.4 Faktor yang mempengaruhi perkembangan


Perkembangan masing-masing anak dipengaruhi oleh berbagai jenis faktor,

dimana terdapat faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik (Soetjiningsih, 2002). Faktor

intrinsik yang mempengaruhi perkembangan antara lain adalah ras, etnis atau

bangsa, keluarga, umur, jenis kelamin, dan adanya kelainan kromosom. Faktor

ekstrinsik yang mempengaruhi perkembangan dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Faktor prenatal: gizi ibu kurang, maternal smoking, alkohol, konsumsi obat-

obatan, infeksi TORCH, radiasi, serta kelainan endokrin (Soetjiningsih, 2002).


2. Faktor intranatal: asfiksia neonatal, prematuritas, BBLR, serta persalinan

dengan bantuan alat, contohnya cesarean section, vakum ekstraksi, forsep.


19

3. Faktor postnatal: status gizi dan nutrisi, kelainan kongenital, cacat fisik yang

berhubungan dengan indera, penyakit kronis, dan status sosial-ekonomi

(Sekartini, 2006).

2.3 Hubungan Defisiensi Besi dengan Gangguan Perkembangan


Terdapat beberapa teori terkait dengan hubungan defisiensi besi dengan

gangguan perkembangan, dimana teori pertama menyatakan bahwa tidak terdapat

cukup besi selama periode perkembangan, dimana terdapat regio spesifik di otak

yang membutuhkan kadar besi yang tinggi, sehingga perkembangan pada regio

tersebut terhambat secara permanen. Teori lainnya menyatakan bahwa defisiensi

besi pada awal kehidupan menghambat regulasi gen yang terlibat dalam sistem

SSP, termasuk plastisitas sinaps sehingga berpengaruh pada perkembangan otak

anak (Georgieff, 2008).


Perkembangan memori pada hipokampus terjadi antara usia 3-18 bulan

disertai perkembangan otak keseluruhan secara cepat (rapid neurodevelopment)

pada usia 1-3 tahun, dimana pada masa tersebut terdapat peningkatan aktivitas

metabolik, produksi, dan penggunaan energi, uptake besi di otak, dan stimulasi

growth factor (Georgieff, 2008). Selama masa perkembangan tersebut, selain

growth factor, dibutuhkan juga nutrisi yang optimal untuk menunjang fungsi

metabolik dan aktivitas sinaps. Salah satu mikronutrien yang diduga penting

dalam menunjang fungsi tersebut antara lain zat besi. Selama masa perkembangan

cepat, sistem saraf pusat sangat sensitif terhadap berbagai faktor, sehingga adanya

gangguan pada beberapa faktor, baik intrinsik maupun ekstrinsik, dapat berakibat

pada gangguan perkembangan (Fretham dkk, 2011).


20

Defisiensi besi dapat berpengaruh pada ekspresi gen. Besi berperan dalam

metabolisme asam nukleat dan enzim yang mengandung besi, seperti

ribonukleotid reduktase, DNA helicase elongation protein 3 (ELP3), dan BACH1,

yang terlibat dalam sintesis dNTP dan transkripsi DNA (Lozoff, 2006). Penelitian

Fretham dkk (2011) mendapatkan hasil bahwa defisiensi besi berhubungan

dengan terjadinya penurunan ekspresi gen yang penting dalam metabolisme DNA.
Besi sangat penting dalam produksi energi dan metabolisme sel, esensial

dalam pembentukan enzim mitokondrial sitokrom, NADPH, dan flavoprotein

yang berfungsi untuk fosforilasi oksidatif dan pembentukan energi . Pembentukan

struktur neuronal yang kompleks membutuhkan energi yang besar, dimana saat

lahir, 50% resting metabolic energy digunakan untuk perkembangan otak

(Fretham dkk, 2011). Defisiensi besi dapat menyebabkan efek primer pada otak,

antara lain penurunan konsentrasi dan aktivitas sitokrom C dan sitokrom C

oksidase pada hipokampus; serta penurunan protein Fe-S mitokondria (Fretham

dkk, 2011), sintesis ATP, dan transport elektron, sehingga terjadi penurunan

aktivitas metabolik hipokampus yang dideteksi dengan 1H NMR spectroscopy

(Lozoff dkk, 2006). Adanya defisiensi besi juga dapat menurunkan konsentrasi

heme, pelepasan oksidan mitokondria, sehingga menghambat beberapa fungsi sel

saraf di otak (Atamna dkk, 2002).


Defisiensi besi banyak terjadi pada masa late infancy-toddler, dimana selama

periode ini terdapat puncak perkembangan hipokampus, regional korteks, serta

myelogenesis, dendritogenesis, dan sinaptogenesis (McCann, 2007). Penurunan

struktur dendritik pada sel piramidal di area hipokampus CA1 dan pertumbuhan

sel dendritik yang lebih lambat menyebabkan adanya kerangka protein yang
21

abnormal pada mikrotubulus otak yang berperan dalam proses pengenalan

memori. Penurunan transferrin dan transferrin mRNA juga menyebabkan

penurunan oligodendrosit pada otak orang dewasa yang mengalami defisiensi besi

selama masa perkembangan. Penelitian pada tikus menunjukkan adanya

penurunan lipid dan protein myelin yang terjadi secara permanen (Fretham dkk,

2011).
Proses maturitas sistem neurotransmiter terjadi saat periode risiko tinggi

defisiensi besi. Sedangkan faktanya ialah besi esensial terhadap beberapa enzim

yang berperan dalam pembentukan neurotransmiter, antara lain tryptophan

hydroxylase (serotonin) dan tyrosine hydroxylase (NE dan dopamin) (Lozoff dkk,

2006). Penelitian Lozoff dkk (2006) mendapatkan hasil terdapat penurunan

dopamin, sehingga menyebabkan gangguan perilaku pada tikus; defisit

kemampuan spasial, dan pemusatan perhatian pada orang dewasa. Defisiensi besi

dapat menyebabkan penurunan densitas D1 dan D21,2; penurunan densitas

transporter dopamin, serotonin, dan NE; serta peningkatan dopamin dan NE

ekstrasel (McCann, 2007). Derajat penurunan parameter tersebut sebanding

dengan derajat defisiensi besi pada regio otak yang diteliti (Lozoff, 2006).
Gangguan perkembangan terjadi secara permanen. Apabila didapatkan status

besi yang normal pada anak yang lebih tua yang menderita gangguan

perkembangan, tidak dapat ditentukan apakah benar gangguan tersebut bukan

disebabkan karena defisiensi besi. Gangguan perkembangan terjadi secara

permanen, akan tetap ada walaupun defisiensi besi sudah terkoreksi.


22

BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir


Besi merupakan mikronutrien yang berperan dalam metabolisme. Beberapa

penelitian mengajukan adanya hubungan antara defisiensi besi dengan gangguan

perkembangan pada anak. Saat periode cepat perkembangan, sejak usia enam

bulan sampai tiga tahun, aktivitas metabolisme, aktivitas sinaps, serta laju

perkembangan struktur saraf sangat mempengaruhi luaran perkembangan anak di

masa depan. Faktor-faktor tersebut, selain dipengaruhi oleh faktor intrinsik seperti

genetik atau kelainan kongenital, juga dipengaruhi oleh zat-zat atau mikronutrien

penunjang fungsi tubuh.


Mikronutrien berupa zat besi terdapat dalam berbagai bentuk dalam tubuh,

antara lain seperti protein Fe-S di mitokondria, hemoprotein sebagai transpor

oksigen, serta berbagai bentuk iron protein yang sebagian besar berfungsi sebagai

enzim pembentuk atau katalisator. Zat besi dalam berbagai bentuknya tersebut

sangat berperan dalam metabolisme tubuh.


Defisiensi zat besi menyebabkan penurunan laju metabolisme sel, penurunan

laju sintesis ATP, penurunan protein Fe-S serta iron protein pada otot skeletal,

yang diduga juga terjadi di hipokampus selama masa perkembangan. Selain itu,

defisiensi besi juga menyebabkan penurunan iron protein yang penting yaitu

ribonucleotide reductase, sehingga apabila itu terjadi dapat menyebabkan

penurunan ekspresi gen dan penurunan metabolisme DNA, yang menurut

penelitian berhubungan dengan penurunan ekspresi reseptor neurotransmitter dan

formasi myelin.
Besi juga berperan dalam sintesis kolesterol
26 dan asam lemak tubuh, sehingga

apabila terjadi defisiensi besi, maka akan terjadi penurunan zat lemak yang
23

penting dalam pembentukan sel dan jaringan tubuh, salah satunya adalah myelin

sehingga dapat terjadi gangguan myelinisasi saat masa perkembangan. Selain itu,

enzim yang dipengaruhi oleh adanya defisiensi besi adalah tiroid peroksidase,

dimana aktivitasnya dapat menurun apabila terdapat defisiensi besi, menyebabkan

penurunan sintesis hormon tiroid dan mengarah kepada penurunan laju

metabolisme lebih lanjut.


Gangguan-gangguan tersebut di atas, apabila terjadi saat periode

perkembangan cepat, diduga akan menyebabkan hambatan perkembangan neuron,

aktivitas sinaps, dan maturasi hipokampus, yang selanjutnya dapat menyebabkan

gangguan perkembangan yang permanen dimana berupa gangguan proses belajar,

memori, kecepatan memproses stimuli, serta afek.


24

3.2 Konsep Penelitian

Defisiensi Besi

Metabolisme sel dan sintesis ATP


Ekspresi gen dan metabolisme DNA
Neurotransmiter dan reseptornya
Myelinisasi
Sintesis hormon tiroid

Kelainan kongenital; kelainan neurobehavioral;


Faktor
cacat
Intranatal:
fisik
Asfiksia neonatal, prematuritas, BB
Gangguan
Perkembangan

Gambar 3.1
Faktor Prenatal:
Faktor Postnatal: Konsep penelitian
Maternalstatus
smoking;
Gizi alkohol;
dan nutrisi,
obat-obatan;
kelainan kongenital,
infeksi TORCH;
cacatradiadi;
fisik yang
gizi berhubungan
ibu kurang, genetik
dengan indera,
3.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah defisiensi besi merupakan faktor risiko

terjadinya gangguan perkembangan pada anak usia 12-36 bulan.

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti


25

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini menggunakan rancangan studi observasional analitik dengan

pendekatan kasus kontrol dengan matching perbandingan 1:1.


Faktor Risiko (+)
(Defisiensi Besi) Kasus
(Gangguan Perkembangan) S
Faktor Risiko (-) Pt
Memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
( Tanpa Defisiensi Besi)
Anak berusia 12-36 bulan di Kota Denpasar

Faktor Risiko (+)


(Defisiensi Besi) Kontrol
(Tanpa Gangguan Perkembangan)
Faktor Risiko (-)
( Tanpa Defisiensi Besi)

Keterangan:
Pt: Populasi terjangkau
S: Sampel

Gambar 4.1
Rancangan penelitian

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengambilan data dilaksanakan di Poliklinik Tumbuh Kembang Rumah Sakit

Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar. Waktu penelitian dilaksanakan setelah

usulan proposal disetujui sampai jumlah sampel terpenuhi.

4.3 Penentuan Sumber Data


4.3.1 Populasi target
29
Populasi target pada penelitian ini adalah Populasi target pada penelitian ini

adalah seluruh anak berusia 12-36 bulan.


26

4.3.2 Populasi terjangkau

Populasi terjangkau penelitian ini adalah seluruh anak berusia 12-36 bulan

yang berkunjung ke Poliklinik Tumbuh Kembang RSUP Sanglah Denpasar.

4.3.3 Sampel penelitian


Sampel penelitian ini adalah anak yang berusia 12-36 bulan yang berkunjung

ke Poliklinik Tumbuh Kembang RSUP Sanglah Denpasar yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi.

4.3.4 Besaran sampel

Besar sampel dihitung dengan rumus besar sampel untuk uji penelitian

kasus kontrol. Perhitungan besar sampel adalah sebagai berikut :


2
Z

( )
+ z PQ
2
n 1=n 2= ........................................
1
p
2

(1)

R
p=
(1+ R) ....................................................

. (2)

Keterangan
n = besar sampel R = 2,5
Z = 1,96 (=0,05) P = 0,71
Z = 0,842 (power) Q = 0,29
Besar sampel minimal pada studi kasus kontrol berpasangan hanya

bergantung pada rasio odds, Z, Z tetapi tidak bergantung pada pada proposi

kontrol. Pada penelitian ini digunakan nilai rasio odds sebesar 2,5 berdasarkan

clinical judgement. Dari nilai rasio odds sebesar 2,5, sehingga didapatkan nilai
27

P=0,71. Tingkat kemaknaan yang digunakan adalah 1,96 dengan power (Z) yang

digunakan adalah 0,084. Setelah dimasukan dalam rumus didapatkan jumlah

sampel leseluruhan berjumlah 84 sampel. Dengan jumlah proporsi kasus dan

kontrol 1:1, yaitu kasus 42 sampel dan kontrol 42 sampel.

4.3.5 Kriteria eligibilitas

4.3.5.1 Kriteria eligibilitas kelompok kasus


Kriteria inklusi:

1. Pasien anak berusia 12-36 bulan saat penelitian dilakukan.


2. Pasien yang memiliki gangguan perkembangan menurut Bayley Scales of

Infant and Toddler Development-Third Edition (Bayley-III).


3. Pasien yang orangtuanya bersedia berpartisipasi dalam penelitian dan

menandatangani formulir informed consent.

Kriteria eksklusi:

1. Anak yang menderita kelainan kongenital yang berhubungan dengan gangguan

perkembangan berat, antara lain hipotiroid kongenital, sindrom Down, fragile

X syndrome, fetal alcohol syndrome (FAS).


2. Anak yang menderita gangguan neurobehavioral yang berhubungan dengan

gangguan perkembangan berat, antara lain autism spectrum disorder (ASD),

attention deficits-hyperactivity disorder (ADHD).


3. Anak yang menderita kecacatan fisik dan keterbatasan motorik yang dapat

berpengaruh kepada proses dan interpretasi Tes Bayley-III, antara lain rabun

atau buta, bisu, tuli, lumpuh tangan dan/atau kaki, cerebral palsy.
4. Anak dengan penyakit kronis dan imunodefisiensi.
5. Anak dengan gizi buruk.
4.3.5.2 Kriteria eligibilitas kelompok kontrol

Kriteria inklusi:
28

1. Pasien anak berusia 12-36 bulan saat penelitian dilakukan.


2. Pasien yang tidak memiliki gangguan perkembangan menurut Bayley Scales of

Infant and Toddler Development-Third Edition (Bayley-III).


3. Pasien yang orangtuanya bersedia berpartisipasi dalam penelitian dan

menandatangani formulir informed consent.

Kriteria eksklusi:

1. Anak yang menderita kelainan kongenital yang berhubungan dengan gangguan

perkembangan berat, antara lain hipotiroid kongenital, sindrom Down, fragile

X syndrome, fetal alcohol syndrome (FAS).


2. Anak yang menderita gangguan neurobehavioral yang berhubungan dengan

gangguan perkembangan berat, antara lain autism spectrum disorder (ASD),

attention deficits-hyperactivity disorder (ADHD).


3. Anak yang menderita kecacatan fisik dan keterbatasan motorik yang dapat

berpengaruh kepada proses dan interpretasi Tes Bayley-III, antara lain rabun

atau buta, bisu, tuli, lumpuh tangan dan/atau kaki, cerebral palsy.
4. Anak dengan penyakit kronis dan imunodefisiensi.
5. Anak dengan gizi buruk.

4.3.6 Teknik pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan cara

berurutan (consecutive sampling), yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria

penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu sehingga

jumlah pasien yang diperlukan terpenuhi.

4.4 Variabel Penelitian


4.4.1 Identifikasi dan klasifikasi variabel
Variabel pada penelitian ini, antara lain:

1. Variabel bebas: defisiensi besi.


2. Variabel tergantung: gangguan perkembangan.
29

3. Variabel perancu: usia, jenis kelamin, berat lahir, dan usia kehamilan.

4.4.2 Definisi operasional variabel

1. Defisiensi besi
Defisiensi besi didefinisikan sebagai kekurangan level besi dalam tubuh di

bawah batas yang adekuat. Defisiensi besi diukur melalui: saturasi transferin

(TS), serum ferritin (SF), serta mean corpuscular volume (MCV), dengan cut

off value sesuai kadar anak umur 2 tahun menurut American Academy of

Pediatrics; TS 10%, SF 12 g/liter, MCV 70 m3. Dikategorikan

menjadi: (1) Defisiensi besi (apabila dua atau lebih dari tiga parameter di

bawah batas normal); dan (2) Status besi normal (apabila parameter berada

dalam batas normal).


2. Gangguan perkembangan

Gangguan perkembangan didefinisikan sebagai keterlambatan perkembangan

yang dibagi dalam 4 aspek, antara lain aspek kognitif umum, motorik, verbal,

dan perilaku, yang diukur melalui Bailey Scales of Infant and Toddler

Development, Third Edition (Bayley-III). Dikategorikan menjadi: (1)

Dengan gangguan perkembangan; dan (2) Tanpa gangguan perkembangan.

3. Usia

Usia ditentukan dari hasil perhitungan tanggal lahir dengan tanggal

pengambilan data. Didapatkan dari wawancara langsung dengan orangtua

pasien. Dikategorikan menjadi: (1) 2 bulan- 12 bulan; dan (2) >12 bulan- 24

bulan.

4. Jenis kelamin
30

Jenis kelamin merupakan gambaran fenotip anak, diketahui dari pemeriksaan

fisik. Dikategorikan menjadi : (1) Laki-laki; dan (2) Perempuan.

5. Usia kehamilan

Usia kehamilan didapatkan dari penghitungan HPHT sampai waktu persalinan.

Didapatkan dari wawancara langsung dengan orangtua pasien. Dikategorikan

menjadi: (1) Kurang bulan(<37 minggu); dan (2) Cukup bulan (37 minggu).
6. Berat lahir
Berat badan lahir didapatkan dari hasil wawancara langsung dengan orangtua

pasien. Dikategorikan menjadi: (1) Bayi berat lahir rendah (<2500 gram); dan

(2) Bayi berat lahir normal (2500 gram).

7. Status gizi

Keadaan gizi anak yang ditentukan berdasarkan berdasarkan berat badan (BB)

menurut panjang badan (PB). Berat badan dan panjang badan diukur saat hari

pertama pemeriksaan. Penilaian status gizi menggunakan standar antropometri

BB/PB menurut WHO 2006. Dikategorikan menjadi: (1) Gizi baik (z-score -2

s/d +2 SD); dan (2) Gizi kurang (z-score <-2 SD s/d -3 SD).
8. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital didefinisikan sebagai kelainan kongenital yang

menyebabkan gangguan perkembangan berat pada riwayat penyakit pasien,

antara lain hipotiroid kongenital, sindrom Down, fragile X syndrome, fetal

alcohol syndrome (FAS).


9. Gangguan neurobehavioral
Gangguan neurobehavioral didefinisikan sebagai gangguan neurobehavioral

yang menyebabkan gangguan perkembangan berat pada riwayat penyakit


31

pasien, antara lain autism spectrum disorder (ASD), attention deficits-

hyperactivity disorders (ADHD).


10. Cacat fisik
Cacat fisik didefinisikan sebagai kekurangan atau ketidakmampuan anak

dalam salah satu atau lebih fungsi indera yang disebabkan oleh hal apapun;

antara lain rabun atau buta, bisu, tuli, dan lumpuh tangan dan/atau kaki,

cerebral palsy.
11. Penyakit imunodefisiensi
Penyakit imunodefisiensi didefinisikan sebagai penyakit kronis yang dapat

menurunkan kekebalan tubuh dan sehingga dapat berpengaruh pada

perkembangan anak, antara lain AIDS dan kanker.


12. Gizi buruk
Gizi buruk didefinisikan sebagai keadaan gizi anak yang ditentukan

berdasarkan berdasarkan berat badan (BB) menurut panjang badan (PB),

menurut WHO 2006 dengan z-score <-3 SD.

4.5 Instrumen Penelitian


1. Dokumentasi
Alat pengumpul data dengan dokumen untuk mencatat data yang dibutuhkan

dalam penelitian, antara lain daftar anak yang berusia 12-36 bulan yang

berkunjung ke Posyandu Kota Denpasar selama periode penelitian.

2. Kuesioner
Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang digunakan untuk mengetahui

karakteristik anak meliputi tanggal dilakukan pemeriksaan, usia, jenis kelamin,

tanggal lahir, status antropometri berupa data panjang badan dan berat badan,

usia kehamilan, serta berat lahir.


3. Lembar persetujuan (informed consent)
32

Formulir yang berisi tentang identitas orang tua/wali dan subyek penelitian dan

pernyataan setuju ikut dalam penelitian (sebagai PSP yang ditandatangani oleh

orang tua/wali subyek penelitian sebelum diikutsertakan dalam penelitian).


4. Checklist Bayley-III serta alat yang digunakan untuk skrining perkembangan

anak.
5. Alat yang digunakan untuk mengukur kadar besi serum di laboratorium klinik

beserta alat pengambilan darah seperti wing needle, semprit 5cc, torniquet,

kapas alkohol, tabung vakutainer, alat sentrifugasi.

4.6 Prosedur Penelitian

4.6.1 Cara pengumpulan data

Pengumpulan data dimulai dengan memilih pasien dengan dan tanpa

gangguan perkembangan (dideteksi dengan Bayley-III) yang memenuhi kriteria

inklusi sesuai kelompok kasus dan kontrol, kemudian dicatat data klinisnya.

Orangtua penderita diberi informasi tentang penelitian ini dan selanjutnya

dimintai kesediaan untuk ikut serta dalam penelitian dengan menandatangani

formulir informed consent. Penderita yang orangtuanya menolak memberi

persetujuan penelitian tidak dimasukkan dalam penelitian.

Selanjutnya, dilakukan pengambilan darah vena sebanyak 4 cc oleh

tenaga medis dan dibagi dua dalam bentuk sampel darah beku serta sampel darah

dengan EDTA yang disimpan dalam tabung vakutainer. Sampel darah tersebut

kemudian dibawa ke laboratorium klinik. Sampel darah beku akan disentrifuge

selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm untuk dipisahkan serumnya.

Serum yang telah terpisah disimpan di tabung cryotube, lalu selanjutnya

disimpan di dalam pendingin dengan suhu -80C. Setelah semua sampel


33

terkumpul, dilakukan pemeriksaan darah lengkap serta kadar SI, TIBC, dan

feritin di laboratorium klinik. Kadar saturasi transferin akan dihitung melalui hasil

SI dan TIBC.
34

4.6.2 Alur penelitian

Matching
Usia
Jenis Kelamin

Gambar 4.2
Alur penelitian

4.7 Analisis Data

Sebelum analisis, dilakukan data cleaning, tabulasi data, dan data entry.

Analisis data meliputi analisis deskriptif dan uji hipotesis. Pada analisis deskriptif

(univariat), data dengan skala kategorikal dinyatakan dalam distribusi

frekuensi dan persentase, sedangkan data dengan skala kontinyu dinyatakan

dalam rerata dan simpang baku. Hubungan antara defisiensi besi, dengan

parameter MCV, saturasi transferin, dan serum ferritin, terhadap gangguan

perkembangan disajikan dalam tabel 2x2 dan diuji menggunakan uji kai kuadrat.

Uji hipotesis alternatif yang digunakan apabila tidak memenuhi syarat dilakukan

uji kai kuadrat (apabila terdapat nilai expected count <5) adalah uji Fisher Exact.
35

Batas kemaknaan adalah apabila p 0,05 dengan interval kepercayaan 95%.

Analisis data dilakukan dengan program SPSS for Windows versi 22.0.

Besarnya risiko defisiensi besi terhadap gangguan perkembangan dinyatakan

sebagai rasio odds (RO).

4.8 Etika Penelitian

Orang tua menyetujui serta mengisi lembar persetujuan (Informed

Consent). Penelitian dikerjakan setelah disetujui oleh komite etika penelitian FK

Udayana. Seluruh biaya yang berhubungan dengan penelitian akan ditanggung

oleh peneliti. Pasien atau keluarga berhak menolak atau mengundurkan diri

untuk diikutsertakan dalam penelitian tanpa ada konsekuensi apapun. Identitas

pasien akan dirahasiakan.


36

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsallam, M. 2002. Diagnosis, Pengobatan, dan Pencegahan Anemia


Defisiensi Besi. Sari Pediatri, 4:1-10.
Anonim. 2010. National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES)
2010. American Association of Pediatrics, [Diakses tanggal 7 Oktober
2016]. Tersedia di: URL: http://www.cdc.gov/nchs/nhanes.
Atamna, H., Killilea, D.W., Killilea, A.N., Ames, B.N. 2002. Heme Deficiency
may be a Factor in the Mitochondrial and Neuronal Decay of Aging.
Proceeding of the National Academy of the United States, 99(23):14807-12.
Baker, R.D., Greer, F.R. 2010. American Academy of Pediatric: Clinical Report -
Diagnosis and Prevention of Iron Deficiency and Iron-Deficiency Anemia in
Infants and Young Children (0 3 Years of Age). Pediatrics, 126:1040-50.
Carter, R.C., Jacobson, J.L., Burden, M.J., Armony-Sivan, R., Dodge, N.C.,
Angelilli, M.L., dkk. 2010. Iron Deficiency Anemia and Cognitive Function
in Infancy. Pediatrics, 126(2):427-34.
Crichton, R. 2013. The Essential Role of Iron in Biology. Essentials of Bioiron:
An Educational Session for Clinicians and Basic Scientists. London, April
14 2013.
Fretham, S.J.B., Carlson, E.S., Georgieff, M.K. 2011. The Role of Iron in
Learning and Memory. American Society of Nutrition: Advanced Nutrition,
2:112-21.
Gatot, D., Idjradinata, P., Abdulsalam, M., Lubis, B., Soedjatmiko, Hendarto, A.,
Ringoringo, H.P., Handryastuti, S., Andriastuti, M. 2011. Rekomendasi
Ikatan Dokter Anak Indonesia: Suplementasi Besi Untuk Anak.
Jakarta:Badan Penerbit IDAI.
Georgieff, M.K. 2008. The Role of Iron in Neurodevelopment: Fetal Iron
Deficiency and the Developing Hippocampus. Biochemical Society
Transaction, 36(6):1267-71.
Georgieff, M.K. 2008. The Specific Role of Iron in Early Brain Development.
Biochemical Society Transaction, 36(6):1267-71.
Halterman, J.S., Kaczorowski, J.M., Aligne, A., Auinger, P., dan Szilagyi, P.G.
2001. Iron Deficiency and Cognitive Achievement Among School-aged
Children and Adolescents in the United States. Pediatrics, 107:1381-86.
Harper, J.L. 2015. Iron Deficiency Anemia. Medscape, [Diakses tanggal 7
Oktober 2016]. Tersedia di: URL: http://emedicine.medscape.com.
Institute of Medicine Panel on Micronutrients. 2003. Dietary Reference Intakes
for Vitamin A, Vitamin K, Arsenic, Boron, Chromium, Copper, Iodine, Iron,
Manganese, Molybdenum, Nickel, Silicon, Vanadium, and Zinc. NCBI,
[Diakses tanggal 5 Oktober 2016]. Tersedia di: URL:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK222310/.
Janus, J. & Moerschel, S.K. 2010. Evaluation of Anemia in Children, American
Family Physician, 81(12):1462-71.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.

41
37

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Profil Kesehatan Indonesia.


Jakarta:Kementerian Kesehatan RI.
Lind, T., Lonnerdal, B., Stenlund, H. 2004. A Community-based Randomized
Controlled Trial of Iron and Zinc Supplementation in Indonesian Infants:
Effects on Growth and Development. American Journal of Clinical
Nutrition, 80:729-36.
Lubis, B., Saragih, R.A.C., Gunadi, D., Rosdiana, N., Andriani, E. 2008.
Perbedaan Respon Hematologi dan Perkembangan Kognitif pada Anak
Anemia Defisiensi Besi Usia Sekolah Dasar yang Mendapat Terapi Besi
Satu Kali dan Tiga Kali Sehari. Sari Pediatri, 10(3):184-9.
Lozoff, B., Beard, J., Connor, J., Felt, B., Georgieff, M., Schallert, T. 2006. Long
Lasting Neural and Behavioral Effects in Iron Deficiency in Infancy.
Nutritional Review, 64:34-91.
McCann, J.C. 2007. An Overview of Evidence for a Causal Relation Between Iron
Deficiency During Development and Deficits in Cognitive or Behavioral
Function. American Journal of Clinical Nutrition,85:931-45.
Needlman, R.D. 2004. Growth and Development. Dalam: Behrman, R.E.,
Kligman, R.M., Jenson, H.B, editor. Nelson Text Book of Pediatrics. Edisi
17. Philadelphia:Saunders. hal. 23-66.
Nelson, S., Lerner, E., Needlman, R., Salvator, A., Singer, L.T. 2004. Cocaine,
Anemia, and Neurodevelopmental Outcomes in Children: A Longitudinal
Study. Journal of Developmental and Behavioral Pediatrics, 25(1):1-9.
Rouault, T. & Muckenthaler, M. 2013. Iron Homeostasis: From Cells to
Organisms. Essentials of Bioiron: An Educational Session for Clinicians
and Basic Scientists. London, April 14 2013.
Sekartini, R. 2006. Skrining Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Continuing
Professional Development IDAI Jaya 2006 Nutrition Growth-Development.
Jakarta, 12 Juni 2006.
Soetjiningsih. 2002. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Suandi, I.K.G., Soetjiningsih. 2008. Gizi Untuk Tumbuh Kembang Anak. Dalam:
Mursintowarti, B.N., Titi, S.S., Soetjiningsih, editor. Tumbuh Kembang
Anak dan Remaja. Edisi I. Jakarta:CV Sagung Seto.
Windiastuti, E. 2000. Prevalensi Defisiensi Besi pada Anak di RSCM, Jakarta.
PKB IKA FK Universitas Indonesia. Jakarta, 12 Juni 2000.
World Health Organization. 2001. Iron Deficiency Anemia: Assessment,
Prevention, and Control. Geneva:World Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai