Cintaku Jauh Di Komodo Oleh Seno Gumira Ajidarma
Cintaku Jauh Di Komodo Oleh Seno Gumira Ajidarma
HANYA laut. Hanya kekosongan. Dunia hanyalah laut dan langit yang dibatasi garis tipis
melingkar, membentuk garis lingkaran yang tiada pernah berubah jaraknya, meski perahuku melaju
menembus angin yang bergaram. Bibirku terasa asin dan rambutku menyerap garam, tapi kutahu
cintaku belum akan berkarat bila tiba di pulau itu. Bagaimana cinta akan berkarat hanya karena
sebuah jarak dari Labuan Bajo ke Komodo, jika cinta ini belum juga berkarat setelah mengarungi
berabad-abad jarak, dari suatu masa ketika cinta pertama kali ada? Lagi pula bagaimana cinta akan
berkarat karena angin yang bergaram jika cinta memang bukan besi? Aku dan kekasihku diciptakan
dari sepasang bayang-bayang di tembok yang tubuhnya sudah mati, dan semenjak saat itu kami
menjadi semacam takdir ketika tiada sesuatu pun di dunia ini yang bisa memutuskan hubungan cinta
AKU mengatakannya semacam takdir, karena kami memang tidak terpisahkan, tapi aku
hanya berani mengatakannya semacam takdir, dan bukan takdir itu sendiri, karena sesungguhnyalah
aku tidak akan bisa tahu apakah benar cinta kami yang barangkali abadi itu adalah takdir. Kami
seperti tiba-tiba saja ada dan saling mencintai sepenuh hati, tapi sungguh mati memang hanya
seperti dan sekali lagi hanya seperti, karena sesungguhnyalah hubungan cinta kami yang barangkali
abadi itu adalah sesuatu yang diperjuangkan. Cinta yang abadi kukira bukanlah sesuatu yang
ditakdirkan, cinta yang abadi adalah sesuatu yang diperjuangkan terus-menerus sehingga cinta itu
tetap ada, tetap bertahan, tetap membara, tetap penuh pesona, tetap menggelisahkan, tetap
misterius, dan tetap terus-menerus menimbulkan tanda tanya: Cintakah kau padaku? Cintakah kau
padaku?
Setiap kali kami mati dan dilahirkan kembali, kami selalu bisa saling mengenali dan mengusahakan
segalanya untuk menyatu kembali. Kami memang diciptakan dari sepasang bayang-bayang, dan
namun kami tidak pernah lahir kembali sebagai sepasang bayang-bayang yang bisa berkelebat
seenak udelnya. Kami sering dilahirkan kembali sebagai manusia, dan sebagai manusia kami tidak
bisa berkelebat seenak udel kami, begitu juga bayang-bayang kami yang selalu mengikuti, menempel
seperti ketan, lengket bagai benalu, barangkali menunggu kami mati dan menjadi pasangan baru.
Apabila kami berbeda kulit, kemudian berbeda kelas sosial, lantas berbeda agama pula-betapa
beratnya usaha kami menyatukan diri. Walaupun kami terbukti saling mencintai, terlalu banyak
manusia merasa berhak untuk tidak setuju dan melarang hubungan kami. Apalagi jika kami lahir
kembali masing-masing sebagai pasangan resmi orang lain, nah, tiada seorang pun yang akan
mengizinkan dirinya untuk memahami, bahkan kami pun bisa bingung sendiri.
Demikianlah cinta kami selalu diuji, benarkah begitu kuat usaha kami untuk menyatu kembali,
ataukah cinta kami ini hanya cinta begitu-begitu saja yang terlalu mudah menyerah karena berbagai
macam halangan yang sebenarnya bisa saja diatasi. Memang begitu banyak godaan kepada
kesetiaan cinta kami: bisa berwujud harta kekayaan, bisa berupa kursi kekuasaan, tapi yang paling
berbahaya adalah pesona cinta itu sendiri. Hmm. Cinta diuji oleh cinta. Sering kali ini sangat
membingungkan-tetapi selalu bisa kami atasi. Cinta yang sejati, kukira, hanyalah menjadi sejati jika
tahan uji terhadap cinta yang sama hebohnya, yakni cinta yang dahsyat itu, dengan segenap petir
dan halilintarnya yang tanpa kecuali menggetarkan dan mendebarkan hati. Kesetiaan kami masing-
masing telah membuat kami selalu bertemu kembali, begitulah, meski terkadang penuh dengan
luka-luka cinta di sana-sini karena ketergodaan yang terlalu menarik untuk tidak dilayani.
Apabila kami bertemu dari kelahiran satu ke kelahiran lain, kami akan saling mengenali, meski
perbedaan duniawi yang membungkus kami bisa mengakibatkan masalah berarti. Itulah yang terjadi
misalnya ketika aku lahir sebagai pendeta dan kekasihku lahir sebagai putri raja. Lain kali aku lahir
kembali sebagai perempuan dan kekasihku lahir kembali tetap sebagai perempuan. Suatu kali
bahkan ketika lahir kembali sebagai bayi, kekasihku sudah lahir berpuluh tahun sebelumnya dan
hampir mati. Tetapi, tidakkah cinta itu tiada memandang wujud, dan tiada pula memandang usia?
Jika cinta memang mempersatukan jiwa, maka kesenjangan tubuh macam apakah yang akan bisa
menghalanginya? Justru itulah masalahnya sekarang: apakah aku, sebagai manusia biasa, masih bisa
Hanya laut. Hanya kekosongan. Laut dan langit bagai bertaut, tapi mereka sebetulnya tidak
bersentuhan sama sekali. Apakah aku akan bisa bertemu dengan kekasihku kali ini? Tanda-tanda
alam memberi isyarat kepadaku, kekasihku telah dilahirkan kembali dalam wujud seekor komodo,
yang sekarang berada di Pulau Komodo. Sebagai seekor komodo, kekasihku menimbulkan masalah
besar, karena telah memakan seorang anak gadis yang sedang mandi di sungai. Perburuan liar telah
mengurangi jumlah kijang yang biasa dimakan komodo, sehingga kekasihku dengan kelaparannya
yang amat sangat telah menerkam dan menelan seorang anak gadis berusia 12 tahun. Karena
undang-undang melindungi komodo, maka kekasihku tidak dibunuh, melainkan dibuang ke suatu
wilayah di Pulau Flores yang juga dihuni komodo. Namun, di tempat yang baru itu, kekasihku
dianggap sebagai komodo asing yang dimusuhi oleh komodo-komodo lain. Akibatnya, kekasihku
berenang dan menyeberangi laut untuk kembali ke Pulau Komodo-dan kini aku datang ke pulau itu
untuk mencarinya.
Dalam sejarah percintaan kami dari abad ke abad, belum pernah kami lahir kembali dengan berbeda
spesies seperti ini. Karena kami selalu berperilaku baik, kami selalu lahir kembali sebagai manusia-
kesalahan apakah yang telah dilakukan kekasihku, dan aku tidak mengetahuinya, sehingga lahir
Apakah ia masih akan mengenaliku dengan pancaindra dan otaknya sebagai seekor komodo?
Kalaulah aku masih mempunyai kepekaan untuk mengenalinya, bagaimanakah caranya ia akan
mengenaliku-dan apa yang akan kami lakukan? Aku tidak mungkin mengawini dan membawanya
Pasti Supermie tidak akan pula mengenyangkannya. Atas nama cinta, apakah yang masih bisa
KETIKA akhirnya kami berjumpa di sebuah kubangan pada sungai kering berbatu-batu, hatiku terasa
kosong. Setelah menjelajahi pulau itu selama dua hari dan bertemu dengan sejumlah komodo,
akhirnya aku bertemu dengan seekor komodo yang kuyakini sebagai kekasihku. Rupanya kekasihku
Karena aku turun di kampung Komodo dan bukan di Loh Liang, tempat para petugas Taman Nasional
biasa memandu wisatawan, aku menjelajahi pulau itu siang malam tanpa pengawal. Bersenjatakan
tongkat bercabang, aku berhasil menyelamatkan diri dari serangan sejumlah komodo, sampai
arahku di bawah kerimbunan semak-semak. Apakah yang masih bisa kukenal dari kekasihku yang
cantik jelita pada komodo jantan ini? Tadinya masih kuharapkan pandangan mata yang penuh
dengan cinta, tapi hanya kulihat sebuah pandangan mata yang kosong. Sudah jelas ia tampak
kelaparan, dan kukira ia tidak mengenaliku lagi-apakah masih sahih jika aku berusaha tetap
mempertahankan cinta? Dalam keadaan seperti ini, aku menjadi ragu, apakah cinta yang abadi itu
sebenarnya memang ada, ataukah hanya seolah-olah ada dan dipercaya begitu rupa sehingga
mengelabui para peminatnya? Mungkin cinta ternyata mengenal wujud-meskipun komodo jantan
itu memang penjelmaan kekasihku, dan aku sangat mencintainya, aku bertanya-tanya apakah aku
Aku terpeleset dari tebing, dan meluncur masuk ke kubangan, tepat di hadapan mulutnya yang
menganga. Semuanya sudah terlambat, kaki kiriku sudah masuk ke mulutnya, langsung patah
beberapa bagian. Aku tidak sempat memanfaatkan tongkat bercabang itu-apakah aku akan lebih
bahagia jika menyerahkan jiwa sebagai pengorbanan cinta? Kurasa seluruh tubuhku tersedot masuk
ke dalam tubuh komodo itu sekarang. Di dalam tubuh itu hanya kurasakan kegelapan-dan perasaan
menyatu.
1. Ingatan terbalik atas sajak Afterthought : cintakah kau padanya / cintakah kau padanya dalam
2. Reptil bernama resmi Varanus komodoensis yang panjangnya bisa mencapai tiga meter dan berat
150 kilogram, dan selalu disebut hanya terdapat di Pulau Komodo, dengan jumlah sekitar 1.650 ekor
(1994). Ternyata, terdapat pula di Pulau Rinca, sebanyak 1.000 ekor; dan suatu wilayah di Flores
yang jumlahnya belum sempat dihitung. Sisa makhluk purbakala itu baru ditemukan secara resmi
pada 1911 oleh tentara Hindia Belanda dan diberi nama pada 1912 oleh PA Ouwens, kurator
Museum Zoologi Bogor. Baca Linda Hoffman, Introduction dan Enter the Dragon:Visiting the
Island of Dinosaurs dalam Kal Muller, East of Bali: from Lombok to Timor (1997), hal 111-114.
3. Bagian kisah ini mengacu kepada suatu kejadian, yang dialami seorang bocah lelaki pada 1987,
namun terjadinya di Pulau Rinca, yang bersebelahan dengan Pulau Komodo, dalam Muller, ibid., hal
111-2.
4. Kampung Komodo, terdiri atas 400 KK (2003), satu-satunya kampung di pulau itu, mempunyai
kebudayaan dan bahasa sendiri. Mereka menyebut komodo sebagai ora. Lebih jauh baca JAJ
Verheijen, Pulau Komodo: Tanah, Rakyat, dan Bahasanya (1987), terjemahan A Ikram.
5. Korban terakhir adalah Baron Rudolf Van Biberegg, wisatawan asal Swiss berusia 84 tahun, pada
1972, yang lenyap di Poreng, Pulau Komodo-yang tertinggal hanyalah tripod-nya, kaki tiga untuk