Abstrak
Makalah ini memaparkan temuan dari disain tes akhir dari kelompok eksperimen dan kontrol
yang dengan pembelajaran resiprokan (reciprocal teaching) dan bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa. Penelitian
melibatkan 254 siswa kelas 9 dari tiga SMP yang mewakili sekolah klaster atas, sedang dan
rendah di Bojonegoro Jawa Timur. Instrumen penelitian ini adalah tes komunikasi matematis dan
satu set skala kemandirian belajar. Temuan dari penelitian bahwa pembelajaran reciprocal
teaching memberikan peran besar di setiap sekolah klaster dan kemampuan awal matematika
siswa, terhadap pencapaian kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa.
Temuan lainnya adalah, terdapat interaksi antara klaster sekolah dan pendekatan pembelajaran,
namun tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dan kemampuan awal matematika terhadap
kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar. Selanjutnya, ditemukan pula
hubungan antara kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar.
Pengantar
Kemampuan komunikasi matematika sebagai hasil belajar matematika penting harus
ditingkatkan pada siswa SMA. Pernyataan itu sejalan dengan tujuan Pendidikan Nasional (2004)
dan pembelajaran matematika sekolah (KTSP 2006, NCTM, 2004). Tujuan-tujuan itu antara lain
adalah: berkomunikasi matematis, menggunakan matematika sebagai alat untuk berkomunikasi,
membuat hubungan antara ide-ide matematika, mengekspresikan ide matematika, dan
menjelaskan situasi atau masalah dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, atau media
lainnya. Selanjutnya, dengan mengacu pada opini beberapa penulis 'Sumarmo (2000)
mengidentifikasi beberapa indikator kemampuan komunikasi matematika yaitu: a) untuk
mengekspresikan situasi, bentuk, diagram, atau situasi nyata dalam bahasa matematika, simbol,
ide, atau model; b) untuk menjelaskan atau mengklarifikasi ide matematika, situasi, dan
hubungan baik secara lisan maupun tertulis; c) untuk mendengarkan, mendiskusikan, dan
menulis tentang matematika; dan d) untuk membaca ekspresi representasi matematika yang
bermakna.
Untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematika siswa, Pugalee (2001)
menyarankan bahwa dalam belajar matematika siswa harus didorong untuk menjawab
pertanyaan disertai dengan alasan yang relevan, dan mengungkapkan pernyataan matematika
bahasa mereka sendiri, sehingga siswa memahami konsep-konsep matematika dan argumen
penuh arti.
Brenner (1998), dan Palincsar dan Brown (1984) menyarankan pengajaran timbal balik
(Resiprocal Teaching) untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa.
Resiprocal Teaching mengikuti filosofi konstruktivisme bahwa siswa harus didorong dan
termotivasi untuk mengeksplorasi ide-ide matematika, untuk meminta penjelasan dari teman-
teman mereka atau guru tentang konsep matematika yang sulit tanpa ragu-ragu atau merasa
malu. Selanjutnya, Palinscar (1986) menyatakan bahwa Resiprocal Teaching meliputi beberapa
kegiatan belajar yaitu: membaca bahan belajar yang ditulis dengan hati-hati, meringkas materi,
memunculkan beberapa pertanyaan yang relevan, membangun suatu penjelasan dan atau
prediksi. Kegiatan tersebut terjadi dalam pembelajaran kooperatif yang dikondisikan dalam
kelompok kecil, di mana guru mengambil peran sebagai fasilitator dan membantu siswa dengan
menggunakan pengamatan dan scaffolding. Hampir serupa dengan Palinsar (1986), Brener
(1998) menyatakan bahwa selama diskusi di kelompok kecil, siswa dimotivasi dan didorong
untuk mengajukan beberapa pertanyaan dan opini dan kemudian secara tidak langsung akan
meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa. Hendriana (2002) dengan menerapkan
pengajaran resiprocal yang dibarengi dengan menyelidik dan scaffolding menghasilkan bahwa
SMA siswa berinteraksi secara aktif, senang untuk belajar, dan mencapai nilai yang baik pada
kemampuan komunikasi matematika. Selanjutnya, Foster dan Rotoloni (2008) menyarankan
bahwa perangkat pembelajaran harus ditulis secara bertahap dari bentuk sederhana menuju lebih
kompleks.
Ada beberapa variabel yang berpotensi mempengaruhi pencapaian nilai yang baik pada
pembelajaran matematika, di antaranya adalah kemandirian belajar (SRL). Beberapa penulis
(Butler, 2002, Corno dan Randi 1999, Hargis, http: /www.smartkidzone.co/, Paris Dan Winograd
1998, Schunk Dan Zimmerman, 1998, Wongsri, Cantwell, Dan Archer, 2002), menguraikan
makna SRL, hubungannya dengan hal lain yang sejenis, meneliti efek SRL pada pembelajaran
dan ilmu pengetahuan, dan mengusulkan saran untuk meningkatkan SRL. Pada artikel tersebut
SRL didefinisikan dengan suatu pembelajaran yang berbeda memiliki tiga karakteristik utama
yaitu: merencanakan tujuan, memilih strategi, dan memantau proses kognitif dan afektif
terlaksana dalam memecahkan tugas akademik. Hargis (http: /www.jhargis.co/) mendefinisikan
SRL sebagai upaya untuk memperdalam dan memanipulasi gabungan beberapa sumber dalam
bidang tertentu, dan untuk memantau proses. SRL sendiri bukan suatu kemampuan mental atau
keterampilan akademik seperti kemampuan membaca tetapi sebagai proses transformasi direktif
diri menjadi kemampuan mental tertentu. Bandura (Http: /www.jhargis.co/) menyarankan tiga
fase dalam melaksanakan SRL seperti: (1) pengamatan mandiri dan kontrol mandiri, (2)
membandingkan posisi diri untuk standar tertentu, dan (3) memberikan respon positif atau
negatif pada diri sendiri. Mirip dengan saran Bandura, Schunk dan Zimmerman (1998)
mengusulkan tiga fase dalam SRL yaitu: merencanakan pembelajaran, melaksanakan rencana,
dan mengevaluasi hasil belajar.
Untuk menganalisis indikator kemampuan komunikasi matematika, kemandirian
belajar, dan pendekatan berpikir metaforis, dapat diprediksi bahwa pembelajaran memiliki peran
besar terhadap pencapaian siswa kemampuan komunikasi matematika dan kemandirian belajar.
Selain itu, sebagai pertimbangan kemampuan awal matematika sebagai prasyarat untuk
matematika lanjut pembelajaran, diharapkan bahwa kemampuan awal matematika mengambil
peran penting pada pencapaian kemampuan siswa pada topik matematika lebih lanjut.
Analisis ini mendorong peneliti melakukan studi eksperimental untuk menyelidiki
peran pendekatan berpikir metaforis dan kemampuan awal matematika siswa terhadap
kemampuan komunikasi matematika dan kemandirian belajar siswa.
Kerangka teoritis
Komunikasi matematika
Pada dasarnya, matematika adalah bahasa simbol yang penting dipelajari oleh setiap
sekolah tinggi. Mahasiswa yang belajar matematika harus memiliki kemampuan komunikasi
dengan menggunakan simbol matematika. Pentingnya memiliki kemampuan komunikasi
matematika ini sejalan dengan tujuan matematika belajar-mengajar (Depdiknas, 2004, KTSP
Matematika 2006, NCTM, 1999) antara lain: siswa bisa mengkomunikasikan gagasan dengan
menggunakan simbol matematika, tabel, diagram, atau media lain untuk menjelaskan situasi atau
masalah. NCTM (1999) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran matematika antara lain adalah
untuk meningkatkan : kemampuan berkomunikasi matematis, menggunakan matematika sebagai
alat untuk berkomunikasi, kemampuan membuat koneksi antara ide-ide matematika, antara ide-
ide matematika dan bidang intelektual lainnya. Sumarmo (2000) menyatakan bahwa matematika
simbol universal yang dapat dipahami oleh orang yang belajar matematika. Setiap simbol
matematika memiliki arti yang pasti dan disepakati semua orang. untuk contoh seluruh nomor ,
operasi hitung + -, dan simbol-simbol aljabar , {...} dipahami oleh siswa yang belajar
matematika.
Selanjutnya, berdasarkan pada analisis beberapa penulis 'Sumarmo (2000) diringkas
bahwa tujuan mempelajari bahasa dan simbol matematika adalah untuk berkomunikasi
matematis sehingga siswa mampu:
a. Mencerminkan dan menjelaskan ide-ide mereka secara matematis;
b. Merumuskan definisi konsep matematika dan untuk mengkompilasi generalisasi melalui
metode penemuan;
c. Mengungkapkan bentuk, diagram, atau situasi yang nyata ke dalam bahasa matematika,
simbol, ide, atau model;
d. Menjelaskan atau mengklarifikasi ide-ide matematika, situasi, atau hubungan dalam
bahasa sehari-hari secara lisan atau tertulis;
e. Membaca, mengklarifikasi, dan mengevaluasi makna presentasi matematika;
f. Menghargai kebaikan dan kekuatan notasi matematika dan menggunakan mereka akurat
dan berharga.
Pugalee (2001) menyarankan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematika
siswa, siswa harus termotivasi untuk memberikan alasan yang relevan pada jawaban atau
pernyataan dan mengkomentari pendapat lain sehingga siswa mampu memahami makna konsep
matematika yang dipelajari.
Selanjutnya, Kist (Clark, 2005) menyatakan bahwa kemampuan komunikasi yang
efektif umumnya harus dimiliki oleh siswa di semua mata pelajaran dan tidak hanya dalam
matematika. Demikian juga, dalam masyarakat seseorang yang memiliki kemampuan
komunikasi yang baik cenderung mampu bekerja sama dan memiliki kesempatan untuk menjadi
orang sukses.
Pengajaran Reciprocal
Mengajar resiprokal adalah pendekatan pengajaran yang melatih siswa untuk
memahami teks dan menjelaskannya kepada siswa lain dari kelompok mereka. Palinscar (1986)
menyatakan bahwa mengajar resiprokal adalah serangkaian kegiatan pembelajaran termasuk
membaca bahan belajar, untuk menarik kesimpulan, untuk mengajukan pertanyaan, untuk
menjelaskan dan menyusun prediksi. Proses belajar yang dilakukan dalam kelompok
pembelajaran kooperatif dan setiap anggota bertindak sebagai pemimpin diskusi, dan guru
bertindak sebagai fasilitator serta guru menggunakan scaffolding. Dia menyarankan empat
strategi itu adalah: meringkas, membuat pertanyaan umum, klarifikasi, dan prediksi.
Hendriana (2002) mengimplementasikan bahwa pengajaran timbal balik disertai
dengan menyelidiki dan scaffolding, memaparkan bahwa siswa berinteraksi lebih aktif,
melakukan untuk mengizinkan proses belajar, dan memperoleh nilai yang baik pada
pembelajaran. Foster dan Rotoloni (2008) menyarankan bahwa guru harus memberikan materi
pembelajaran yang efektif, tugas yang tidak terlalu mudah atau terlalu sulit, tetapi tugas-tugas
dapat diselesaikan oleh siswa. Saat melakukan pengajaran timbal balik itu disarankan bahwa
tugas harus yang sesuai dengan sifat abstrak matematika dan dengan perkembangan intelektual
siswa. Materi pembelajaran harus disusun dari bentuk yang sederhana meningkat menjadi
kompleks dibentuk secara bertahap berdasarkan metode lingkaran yang berhubungan dengan
konten sebelumnya.
Metode
Penelitian ini didesain dengan kelompok kontrol eksperimen pada posttest yang
dilakukan untuk menganalisis peran mengajar resiprokal, gugus sekolah, dan kemampuan awal
matematika siswa terhadap kemampuan komunikasi matematika siswa dan kemandirian belajar
serta hubungan anrata kemampuan komunikasi matematika dan kemandirian belajar. Studi ini
diterapkan pada 254 siswa kelas sembilan dari tiga gugus/tingkat/klaster sekolah yaitu SMP di
Bojonegoro dan didapatkan bahwa tes matematika obyektif, tes komunikasi matematika dalam
bentuk esay dan satu set skala SRL model skala Likert. Berikut, penelitian yang dipresentasikan
dengan contoh soal tes komunikasi matematika dan pernyataan skala SRL.
1. Contoh dari tes barang komunikasi matematika
Seorang penjual menaruh beberapa es krim ke dalam silinder dengan jari-jari dan
tinggi masing-masing 20 cm dan 100 cm. Dia juga mejual es krim dalam kemasan
kerucut dengan jari-jari 10 cm dan tinggi 5 cm. Pada permukaan atas penjual
menambahkan bola es krim berbentuk setengah bola yang jari-jarinya sama dengan
jari-jari kerucut
a. Ilustrasikan bentuk kemasan es krim sehingga dapat dimengerti dengan mudah
b. Kompilasi model matematika untuk menentukan jumlah es dalam kemasan dan
kemudian tentukan penyelesaiannya ( = 3,14 sebagai pendekatan)
2. Sampel laporan diatur sendiri skala pembelajaran.
Catatan: SDA: sangat tidak setuju A: setuju
DA: tidak setuju SA: sangat setuju
Temuan dan Diskusi
Tabel 1 menunjukkan bahwa semakin tinggi gugus sekolah dan nilai dari kemampuan
awal matematika (PMA) sehingga semakin tinggi pula nilai dari kemampuan komunikasi
matematika (MCA). Temuan ini menunjukkan bahwa sekolah cluster dan PMA mengambil peran
tempat yang baik pada pencapaian komunikasi matematika (MCA). Namun, secara keseluruhan,
dan gugus sekolah rendah dan menengah dan tingkat PMA kelas dari MCA siswa diajarkan oleh
resiprocal teaching lebih baik daripada kelas MCA siswa yang diajarkan oleh pembelajaran
konvensional. Sementara di MCA tidak ada perbedaan nilai siswa yang diajarkan oleh reciprocal
teaching dengan yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional. Selain itu, tidak ada
perbedaaan kelas dari MCA antara PMA siswa yang level rendah dan menengah diajarkan oleh
reciprocal teaching terhadap PMA siswa level menengah dan tinggi yang diajarkan dengan
pembelajaran konvensional. Analisis lebih lanjut, dengan menggunakan analisis ANOVA dua
jalur menemukan bahwa tidak ada interaksi antara pendekatan pengajaran dan gugus sekolah,
dan antara pendekatan pengajaran dan PMA pada pencapaian MCA (Gambar 1, dan Gambar 2).
Serupa dengan temuan MCA siswa, Tabel 2 menunjukkan bahwa semakin tinggi klaster
sekolah dan PMA siswa, ditemukan bahwa semakin tinggi nilai dari SRL siswa. Temuan-temuan
ini menunjukkan bahwa tingkat sekolah dan tingkat PMA mengambil peran pada pencapaian
SRL siswa. Namun, secara keseluruhan, pada setiap klaster sekolah, dan setiap tingkat PMA,
SRL siswa dengan reciprocal teaching selalu lebih tinggi dibandingkan dengan pembelajaran
konvensional. Temuan ini menunjukkan bahwa reciprocal teaching berperan secara baik dan
langsung dibandingkan dengan peran tingkat sekolah, PMA siswa, dan pembelajaran
konvensional pada pencapaian SRL siswa.