Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Penyakit hepatitis B disebabkan infeksi virus hepatitis B, sebuah virus

DNA dari keluarga Hepadnaviridae dengan struktur virus berbentuk sirkular dan

terdiri dari 3200 pasang basa. Hepatitis B secara umum sekitar sepertiga populasi

dunia terpajan virus ini dan 350-400 juta diantaranya merupakan pengidap

hepatitis B.1 Diperkirakan bahwa 240 juta populasi dunia mempunyai penyakit

kronik hepatitis B dengan pelbagai prevelensi secara geografis, tertinggi di Afrika

dan Asia.2 Secara genotip, virus hepatitis B di Indonesia kebanyakan merupakan

virus dengan genotip B (66%), diikuti oleh C (26%), D (7%), dan A (0.8%).1

Indonesia merupakan negara endemisitas tinggi Hepatitis B, terbesar

kedua di negara South East Asian Region (SEAR) setelah Myanmar. Berdasarkan

hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), studi dan uji saring darah donor PMI

maka diperkirakan di antara 100 orang Indonesia, 10 di antaranya telah terinfeksi

Hepatitis B atau C. Sehingga saat ini diperkirakan 28 juta penduduk Indonesi

yang terinfeksi Hepatitis B dan C, 14 juta diantaranya berpotensi berkomplikasi

menjadi kronis, dan dari kronis tersebut 1.4 juta orang berpotensi untuk menderita

kanker hati. 3 Pajanan virus ini akan menyebabkan dua keluaran klinis, yaitu2:

a) Hepatitis akut yang kemudian sembuh secara spontan dan membentuk

kekebalan terhadap penyakit ini, atau


b) Berkembang menjadi kronik.

Pasien yang terinfeksi VHB secara kronik bisa mengalami 4 fase

penyakit, yaitu fase immune tolerant, fase immune clearance, fase pengidap

inaktif, dan fase reaktivasi.

1
Tabel 1 : Fase infeksi hepatitis B kronik 2

Hepatitis B akut Hepatitis B kronik


Etiologinya virus Hep B dari golongan Hep B kronik berkembang dari Hep B
virus DNA akut
Masa inkubasi 60-90 hari Usia saat terjadinya infeksi
mempengaruhi kronisitas penyakit.
Saat bayi : 95% akan menjadi
Hep B kronik
Usia balita : 20-30% menjadi
penderita Hep B kronik.
Dewasa : 5 menjadi penderita
Hep B kronik.
Penularannya vertikal : 95% terjadi Ditandai HBsAg positif (>6 bulan),
masa perinatal (saat persalinan) dan 5% perlu diperiksa HbeAg, HBV-DNA,
intra uterine. biopsi hati.
Penularan horizontal : Transfusi darah,
jarum suntik tercemar,pisau cukur,
tattoo, transplantasi organ
Gejala tidak khas : Lesu, nafsu makan Biasanya tanpa gejala.
kurang, demam ringan, nyeri abdomen
sebelah kanan, dapat timbul icterus,
BAK warna teh.

2
Diagnosis : Test fungsi hari serum 1) Pengobatan saat ini tersedia 7
transaminase (ALT meningkat) serologi macam obat untuk Hep B
HBsAg dan IgM, anti HBC dalam ( interferon alfa-2a,
serum Peginterferon alfa-2a,
Lamivudin, Adefovir, Entecavir,
Telbivudin, Tenofovir)
2) Prinsip pengobatan tidak perlu
terburu-buru tetapi jangan
terlambat.
3) Tujuan pengobatan :
Pengobatan tidak diperlukan antiviral, Memperpanjang harapan hidup,
menurunnya kemungkinan
pengobatan umumnya bersifat
terjadinya sirosis hapatis dan
simptomatis. hepatoma.

Tabel 2 : Perbedaan hepatitis B akut dan hepatitis B kronik.3

Berdasarkan konsensus nasional penatalaksanaan hepatitis B di Indonesia

indikasi terapi pada infeksi hepatitis B ditentukan berdasarkan kombinasi dari

empat kriteria, antara lain: (1) nilai DNA VHB serum, (2) status HBeAg, (3) nilai

ALT dan (4) gambaran histologis hati.1

1.2 Batasan Masalah

Makalah ini membahas secara garis besar tentang penyakit hepatitis B

dan penatalaksanaan hepatitis B secara rinci.

1.3 Tujuan Penulisan

3
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui dan memahami

epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis,

pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan secara rinci pada hepatitis B.

1.4 Manfaat Penulisan

Referat ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber keilmuan yang

terstruktur bagi calon dokter sehingga dapat mengetahui dan menatalaksana

hepatitis B dengan benar di layanan primer.

1.5 Metode Penulisan

Penulisan referat ini menggunakan pustaka yang merujuk kepada

beberapa buku, guidelines, maupun jurnal.

BAB 2

4
TINJAUAN PUSTAKA

PENATALAKSANAAN HEPATITIS B

2.1 Indikasi terapi

Indikasi terapi pada infeksi Hepatitis B ditentukan berdasarkan kombinasi

dari empat kriteria, antara lain: (1) nilai DNA VHB serum, (2) status HBeAg, (3)

nilai ALT dan (4) gambaran histologis hati. Level DNA VHB merupakan salah

satu indikator mortalitas dan morbidiatas yang dapat dijadikan sebagai indikator

untuk memulai terapi dan indikator respon terapi.1,2

Sebelum memulaikan terapi, evaluasi menyeluruh dan konseling adalah

wajib sebelum merencanakan terapi hepatitis B kronik. Ini bertujuan untuk

menemukan hubungan kausal infeksi kronik VHB dengan penyakit hati. Selain itu

evaluasi pre terapi ini bisa dinilai derajat karusakn hati dan bisa mengetahui

adanya penyakit penyerta atau koinfeksi. Dengan demikian ini dapat memudahkan

waktu memulaikan terapi. Indikasi terapi pada infeksi VHB kronik ditentukan

oleh nilai DNA VHB, ALT serum dan gambaran histologis hati. Hubungan kausal

penyakit hari dengan infeksi kronik VHB dijelaskan pada tabel 2.1

Penilaian derajat kerusakan hati dilakukan dengan pemeriksaan penanda

biokimia antara lain: ALT, GGT, alkali fosfatase, bilirubin, albumin dan globulin

serum, darah lengkap, PT, dan USG hati. Pada umumnya, ALT akan lebih tinggi

dari AST, namun seiring dengan progresifitas penyakit menuju sirosis, rasio ini

akan terbalik. Bila sirosis telah terbentuk, maka akan tampak penurunan progresif

dari albumin, peningkatan globulin dan pemanjangan waktu protrombin yang

disertai dengan penurunan jumlah trombosit. Penyebab penyakit hati lain harus

dievaluasi, termasuk diantaranya kemungkinan ko-infeksi dengan VHC dan/atau

5
HIV. Penyakit komorbid lain seperti penyakit hati metabolik, autoimun, serta

alkoholik dengan atau tanpa steatosis/steatohepatitis juga perlu dievaluasi.1,2

Tabel 2 : Kriteria diagnosis infeksi VHB1

Status HBeAg positif diketahui memiliki morbiditas dan mortalitas yang

lebih tinggi. Namun, pada pasien dengan HBeAg negatif, respon terapi jangka

panjang seringkali lebih sulit diprediksi dan relaps lebih sering dijumpai. Kadar

ALT serum telah lama dikenal sebagai penanda kerusakan hati, namun kadar ALT

yang rendah juga menunjukkan bahwa pasien berada pada fase immune tolerant

dan akan mengalami penurunan respon terapi. Adanya tingkat kerusakan

histologis yang tinggi juga merupakan prediktor respon yang baik pada pasien

dengan hepatitis B. 1

6
Gambar 1 : Algoritma Penatalaksanaan Hepatitis B dengan HBeAg
positif.1

Pada pasien dengan HBeAg positif, terapi dapat dimulai pada DNA VHB

diatas 2 x 104 IU/mL dengan ALT 2-5x batas atas normal yang menetap selama 3-

6 bulan atau ALT serum > 5x batas atas normal, atau dengan gambaran histologis

fibrosis derajat sedang sampai berat. (Gambar 1)1,2

7
Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Hepatitis B dengan HBeAg
negatif.1,2

Pada pasien dengan HBeAg negatif, respon terapi jangka panjang

seringkali lebih sulit diprediksi dan relaps lebih sering dijumpai. Pasien dengan

HBeAg negatif diindikasikaan memulai terapi pada kadar DNA VHB yang lebih

rendah. Terapi dimulai pada pasien dengan DNA VHB lebih dari 2 x 103 IU/mL

dan kenaikan ALT > 2x batas atas normal yang menetap selama 3-6 bulan.

(Gambar 2)

8
Gambar 3. Algoritma Penatalaksanaan Hepatitis B pada Pasien dengan Sirosis1,2

Pada pasien dengan sirosis terkompensasi terapi dimulai pada pasien

dengan DNA VHB >2 x 103 IU/mL. Sedangkan pada sirosis tidak terkompensasi,

terapi harus segera dimulai untuk mencegah deteriorasi tanpa memandang nilai

DNA VHB ataupun ALT.1,2

2.2 Evaluasi terapi

Pemeriksaan histologis hati pada pasien hepatitis B kronik tidak dilakukan

secara rutin. Namun, pemeriksaan ini mempunyai peranan penting karena

penilaian fibrosis hati merupakan faktor prognostik pada infeksi hepatitis B

kronik. Indikasi dilakukannya pemeriksaan histologis hati adalah pasien yang

tidak memenuhi kriteria pengobatan dan berumur > 30 tahun atau < 30 tahun

9
dengan riwayat KHS dan sirosis dalam keluarga. Pada pasien yang tidak termasuk

dalam indikasi terapi, maka pemantauan harus dilakukan tiap 3 bulan bila HBeAg

positif dan tiap 6 bulan bila HBeAg negatif.1

Pemeriksaan histologis hati dapat dilakukan dengan cara invasif maupun

non invasif. Saat ini, metoda yang paling baik untuk pemeriksaan histologis

adalah biopsi hati, prosedur ini tidak nyaman dan tidak praktis bila digunakan

sebagai alat pemantau. Terdapat beberapa laporan yang menyatakan bahwa

metode noninvasif seperti liver stiffness measurement (LSM) dengan elstografi

transien dan pemeriksaan serologis lain dapat digunakan sebagai alternatif

pemeriksaan histologis pada pasien hepatitis B kronik. LSM mempunyai performa

yang baik dalam mendiagnosis fibrosis.1

Pada pasien dengan hepatitis B kronik, evaluasi risiko KHS dengan USG

maupun AFP tiap 6 bulan harus dilakukan, terutama bagi pasien dengan risiko

tinggi (laki-laki ras Asia dengan usia >40 tahun, perempuan ras Asia dengan usia

>50 tahun, pasien dengan sirosis hati, atau pasien dengan riwayat penyakit hati

lanjut di keluarga).

2.3 Terapi farmakologis

Terdapat dua jenis golongan obat yang diterima secara luas yaitu golongan

interferon (baik interferon konvensional, pegylated interferon -2a, maupun

pegylated interferon -2b) dan golongan analog nukleos(t)ida. Golongan analog

nukleos(t)ida terdiri atas lamivudin, adefovir, entecavir, telbivudin, dan tenofovir.

Semua jenis obat tersebut telah tersedia dan beredar di Indonesia, namun khusus

untuk tenofovir, saat panduan ini disusun, peredarannya di Indonesia hanya

10
dikhususkan untuk pasien HIV. Baik interferon maupun analog nukleos(t)ida

memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Perbedaan kedua golongan

obat ini dapat dilihat di tabel 3. 1,2,4

Tabel 3 : Perbandingan karakteristik interferon dan analog nukleos(t)ida.1

a) Terapi Interferon

Interferon (IFN) adalah mediator inflamasi fisiologis dari tubuh berfungsi

dalam pertahanan terhadap virus. Senyawa ini memiliki efek antiviral,

immunomodulator, dan antiproliferatif. Interferon akan berkerja dengan

mengaktifkan sel T sitotoksik, sel natural killer, dan makrofag. Selain itu,

interferon juga akan merangsang produksi protein kinase spesifik yang berfungsi

11
mencegah sintesis protein sehingga menghambat replikasi virus. Protein kinase ini

juga akan merangsang apoptosis sel yang terinfeksi virus. Waktu paruh interferon

di darah sangatlah singkat, yaitu sekitar 3-8 jam. Pengikatan interferon pada

molekul polyethilene glycol (disebut dengan pegylation) akan memperlambat

absorbsi, pembersihan, dan mempertahankan kadar dalam serum dalam waktu

yang lebih lama sehingga memungkinkan pemberian mingguan.1

Saat ini tersedia 2 jenis pegylated interferon, yaitu pegylated-interferon -

2a (Peg-IFN -2a) dan pegylated-interferon -2b (Peg-IFN -2b). Semua

pemberian terapi interferon diberikan secara injeksi subkutan.1,2,4

a) IFN konvensional diberikan dalam dosis 5 MU per hari atau 10 MU : 3

kali/minggu.

b) Peg-IFN 2a diberikan sebesar 180 g/minggu, dan Peg-IFN 2b : 1-

1.5 g/kg/minggu.

Rekomendasi dari konsensus penatalaksanaan hep B di Indonesia1 :


Rekomendasi 6 : Durasi terapi interferon konvensional adalah 4-6 bulan
pada pasien HBeAg positif dan paling tidak 1 tahun pada pasien dengan
HBeAg negatif. Sementara Peg-IFN diberikan selama 1 tahun.
Rekomendasi 8. Selama terapi, pemeriksaan DNA VHB, HBeAg, anti
HBe, dan ALT dilakukan setiap 3-6 bulan, dan pemeriksaan HBsAg
dilakukan pada akhir terapi dengan pemeriksaan anti-HBs dilakukan bila
hasilnya negatif. Pada pasien yang mendapat terapi berbasis interferon,
pemeriksaan darah tepi harus dan pemantauan efek samping lain harus
dilakukan secara rutin. Pada pasien yang mendapat adefovir atau tenofovir,
pemantauan fungsi ginjal secara rutin juga harus dilakukan.
Rekomendasi 9. Pemeriksaan HBeAg, ALT, dan DNA VHB dilakukan
tiap bulan pada 3 bulan pertama terapi dihentikan. Kemudian dilanjutkan
tiap 3 bulan selama satu tahun. Bila tidak ada relaps, pemeriksaan
dilakukan tiap 3 bulan pada pasien sirosis dan tiap 6 bulan pada non-
sirosis.

12
b) Terapi Analog Nukleos(t)ida
1) Lamivudin : Analog nukleos(t)ida bekerja dengan menghambat

tempat berikatan polimerase virus, berkompetisi dengan nukleosida

atau nukleotida, dan menterminasi pemanjangan rantai DNA.

Lamivudin (LAM) diminum secara oral dengan dosis optimal 100

mg/hari. Pemberian satu kali sehari dimungkinkan mengingat

waktu paruhnya yang mencapai 17-19 jam di dalam sel yang

terinfeksi.
2) Adefovir dipivoxil (ADV) : Analog adenosine monophosphate

yang bekerja dengan berkompetisi dengan nukleotida cAMP untuk

berikatan dengan DNA virus dan menghambat polymerase dan

reverse transcriptase sehingga memutus rantai DNA VHB.

Diberikan secara oral sebanyak 10 mg/hari.


3) Entecavir (ETV) : Adalah analog 2-deoxyguanosine. Bekerja

dengan menghambat priming DNA polimerase virus, reverse

transcription dari rantai negatif DNA, dan sintesis rantai positif

DNA. Penelitian in vitro menunjukkan bahwa obat ini lebih poten

daripada lamivudin maupun adefovir dan masih efektif pada pasien

dengan resistensi lamivudin walaupun potensinya tidak sebaik

pada pasien naif. Diberikan secara oral dengan dosis 0.5 mg/hari

untuk pasien naif dan 1 mg/hari untuk pasien yang mengalami

resistensi lamivudin.
4) Telbivudin (LdT) : Adalah analog L-nukleosida thymidine yang

efektif melawan replikasi VHB. Obat ini diberikan secara oral

dengan dosis optimal 600 mg/hari.


5) Tenofovir disoproxil fumarate (TDF) : Adalah prekursor tenofovir,

sebuah analog nukleotida yang efektif untuk hepadanavirus dan

13
retrovirus. Obat ini awalnya digunakan sebagai terapi HIV, namun

penelitian-penelitian menunjukkan efektivitasnya sangat baik

untuk mengatasi hepatitis B. Tenofovir diberikan secara oral pada

dosis 300 mg/hari.


Rekomendasi dari konsensus penatalaksanaan hep B di Indonesia1 :
Rekomendasi 7. Kriteria penghentian terapi analog nukleos(t)ida pada
pasien dengan HBeAg positif adalah serokonversi HBeAg dengan DNA
VHB tidak terdeteksi yang dipertahankan paling tidak 12 bulan. Pada
pasien dengan HBeAg negatif, terapi bisa dihentikan bila tercapai DNA
VHB tidak terdeteksi pada 3 kali pemeriksaan dengan interval setiap 6
bulan.
Rekomendasi 10. Pada pasien-pasien yang mengalami kegagalan terapi
primer atau respon virologis parsial, masalah kepatuhan minum obat yang
baik merupakan hal pertama yang harus dievaluasi dan diperbaiki bila ada.
Apabila kepatuhan minum obat pasien sudah baik namun respon yang
diharapkan masih kurang baik, penggantian ke strategi lain sesuai
kecurigaan resistensi dan pemeriksaan resistensi virus bisa dilakukan.
Pada pasien yang mengalami virologic breakthrough, harus selalu
dicurigai adanya resistensi.

2.4 Tatalaksana Hepatitis pada Pasien Khusus


a) Tatalaksana Hepatitis pada Ibu Hamil
Penatalaksanaan infeksi hepatitis B pada kehamilan dan persalinan secara umum

dibagi tiga, yaitu:


Terhadap Hepatitis
Pengobatannya tergantung berat ringannya penyakit. Pada dasarnya
tatalaksana pengobatan pada wanita hamil adalah:
- Tirah baring
- Diet tinggi kalori dan protein, rendah lemak
- Hindari obat-obat hepatotoksik
- Keseimbangan cairan dan elektorlit diperhatikan
- Indikasi rawat di rumah sakit adalah bila terdapat anemia berat,
diabetes mellitus, mual muntah yang berlebihan, waktu protrombin
yang memanjang, kadar albumin serum rendah dan kadar bilirubin
serum lebih dari 15 mg%
- Pada hepatitis fulminan perlu dirawat di ICU dengan memperhatikan:
keseimbangan cairan dan asam basa, jalan nafas tetap terbuka,
mengontrol perdarahan, mengoreksi hipoglikemi, membatasi

14
pemasukan protein, pemberian antibiotik yang sesuai dan
mempertahankan sirkulasi darah. 1

Terhadap Kehamilan dan Persalinan


Sejak tahun 1992 CDC menetapkan perlunya skrining HbsAg secara

universal terhadap semua ibu hamil dan perlunya vaksinasi universal terhadap

semua neonatus yang ibunya HbsAg positif. Hepatitis virus pada kehamilan bukan

merupakan indikasi melakukan abortus atau terminasi kehamilan. Dengan

pengobatan konservatif, kehamilan bisa dipertahankan. Sampai saat ini peran

bedah caesar untuk mencegah penularan perinatal masih dalam kontroversi.1


Terhadap Bayi
Karena bayi yang lahir jarang didapatkan HbsAg positif saat lahir maka

mereka tidak dianggap menular sehingga tidak perlu diisolasi. Darah ibu adalah

sangat menular sehingga penting sekali untuk memandikan bayinya segera setelah

lahir. Disamping itu lendir jalan nafas dan cairan lambung bayi perlu disedot

secara rutin. Tentang menyusui masih terdapat beberpa pendapat yang berbeda.

Meskipun bisa ditemukan HbsAg dalam kada rendah pada ASI tetapi belum

pernah dapat dibuktikan adanya penularan virus hepatitis B melalui jalan ini.1
Kadar antigen pada ASI adalah rendah dan penularan melalui mulut adalah

kurang efesien dibandingkan dengan parenteral maka bahaya dari menyusui

rendah. Ibu-ibu diperbolehkan menyusui bayinya kecuali ibu mengalami luka

pada puting susunya. Dengan pemberian imunisasi secara aktif dan pasif pada saat

lahir akan memberikan antibodi yang cukup adekuat bagi bayi untuk menghadapi

jumlah virus yang tidak berarti yang terkandung dalam ASI.1


a) Tatalaksana kasus terpajan Hepatitis B
Menurut permenkes nomor 53 tentang penanggulangan hepatitis B, selain

penangann kasus yang ditemukan pada deteksi dini hepatitis B, juga dilakukan

pada saat orang terpajan virus hepatitis B, yaitu mereka yang mengalami inokulasi

15
langsung atau kontak mukosa langsung dengan cairan tubuh penderita hepatitis B,

maka profilaksis yang digunakan adalah HBIG single dose 0,006 mL/kgBB, yang

diberikan sesegera mungkin.


Penderita lalu haris menerima imunisasi hepatitis B, dimulai dari minggu

pertama setelah terpajan. Bila pajanan yang terjadi adalah kontak seksual, maka

pemberian dosis HBIG 0,06 mL/kgBB haris dinerikan sebelum 14 hari setelah

pajanan dan diikuti imunisasi. Pemberian vaksin hepatitis B dan HBIG bisa

dilakukan pada waktu bersamaan, namun di lokasi injeksi yang berbeda.1


b) Tatalaksana pada Kelompok Populasi Beresiko Lainnya
Pada permenkes no. 53 dikatakan bahwa:
Bila hasil konfigurasi menunjukan hepatitis B reaktif, maka dirujuk ke

FKTS yang mampu melakukan tatalaksana hepatitis B.


Penanganan selanjutnya sesuai SOP yang berlaku di rumah sakit.
Hasil pemeriksaan, penanganan dan rekomendasi tim ahli rumah sakit

rujukan dikirim ke FKTP yang merujuk untuk umpan balik


Bila hasil deteksi dini hepatitis B di puskesma non reaktif, maka

dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan anti HBs untuk mengetahui ada

tidaknya antibodi.
Bila hasil pemeriksaan HbsAg dan anti HBs non reaktif, maka di anjurkan

vaksinasi hepatitis B sebanyak 3 kali.1


2.5 Pencegahan Hepatitis
Untuk menurunkan angka kesakitan maupun kematian akibat infeksi virus

hepatitis B perlu dilakukan pencegahan yang meliputi pencegahan primordial,

primer, sekunder, dan tersier.


2.5.1 Pencegahan Primordial6,10,11,12
Pencegahan primordial adalah upaya untuk memberikan kondisi pada

masyarakat yang memungkinkan penyakit tidak mendapat dukungan dari

kebiasaan, gaya hidup, maupun kondisi lain yang merupakan faktor risiko untuk

munculnya suatu penyakit. Pencegahan primordial yang dapat dilakukan adalah:


a. Konsumsi makanan berserat seperti buah dan sayur serta konsumsi

makanan dengan gizi seimbang.

16
b. Bagi ibu agar memberikan ASI pada bayinya karena ASI mengandung

antibodi yang penting untuk melawan penyakit.


c. Melakukan kegiatan fisik seperti olah raga dan cukup istirahat.
Pencegahan primer meliputi segala kegiatan yang dapat menghentikan

kejadian suatu penyakit atau gangguan sebelum terjadi penyakit ketika

seseorang sudah terpapar faktor resiko8 Pencegahan primer yang dilakukan

antara lain :
- Program Promosi Kesehatan
Memberikan penyuluhan dan pendidikan khususnya bagi petugas

kesehatan dalam pemakaian alat-alat yang menggunakan produk darah agar

dilakukan sterilisasi.9 Memberikan penyuluhan kepada masyarakat umumnya

agar melaksanakan program imunisasi untuk mencegah penularan hepatitis.

Secara konservatif dilakukan pencegahan penularan secara parenteral dengan

cara menghindari pemakaian darah atau produk darah yang tercemar VIRUS

HEPATITIS B, pemakaian alat-alat kedokteran yang harus steril, menghindari

pemakaian peralatan pribadi terutama sikat, pisau cukur, dan peralatan lain

yang dapat menyebabkan luka.


- Program Imunisasi
Pemberian imunisasi hepatitis B dapat dilakukan baik secara pasif maupun

aktif. Imunisasi pasif dilakukan dengan memberikan hepatitis B

Imunoglobulin (HBIg) yang akan memberikan perlindungan sampai 6 bulan.

Imunisasi aktif dilakukan dengan vaksinasi hepatitis B.


Dalam beberapa keadaan, misalnya bayi yang lahir dari ibu penderita

hepatitis B perlu diberikan HBIg mendahului atau bersama-sama dengan

vaksinasi hepatitis B. HBIg yang merupakan antibodi terhadap terhadap

VIRUS HEPATITIS B diberikan secara intra muskular selambat-lambatnya 24

jam setelah persalinan.

17
Vaksin hepatitis B diberikan selambat-lambatnya 7 hari setelah persalinan.

Untuk mendapatkan efektivitas yang lebih tinggi, sebaiknya HBIg dan vaksin

hepatitis B diberikan segera setelah persalinan. Secara rinci program imunisasi

dasar yang dilaksanakan di Indonesia adalah sebagai berikut :10

UMUR VAKSIN
Bayi yang Lahir di Rumah
0 bulan Hepatitis B1
1 bulan BCG
2 bulan Hepatitis B2, DPT1, Polio1
3 bulan Hepatitis B3, DPT2, Polio2
4 bulan DPT3, Polio3
9 bulan Campak
Bayi yang Lahir di Rumah Sakit
0 bulan Hepatitis B1
2 bulan Hepatitis B2, DPT1, Polio1
3 bulan Hepatitis B3, DPT2, Polio2
4 bulan DPT3, Polio3
9 bulan Campak
Tabel 3. Program imunisasi dasar di Indonesia
Pemberian vaksin hepatitis B juga dianjurkan kepada pasangan seksual

yang kontak langsung dengan penderita HBsAg positif, kelompok yang

mempunyai pasangan seksual berganti-ganti, terutama yang didiagnosa terinfeksi

Penyakit Menular Seksual (PMS), pasangan homoseksual, pasien yang

mendapatkan tindakan pengobatan dengan cuci darah, dan Petugas kesehatan

yang sehari-hari kontak dengan darah atau jaringan tubuh penderita HBsAg

positif, seperti perawat dan petugas laboratorium.


2.5.2 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan upaya yang dilakukan terhadap orang

yang sakit agar lekas sembuh dan menghambat progresifitas penyakit melalui

diagnosis dini dan pengobatan yang tepat.


a. Pemeriksaan Laboratorium
Menurut WHO (1994) untuk mendeteksi virus hepatitis digolongkan

dengan tiga (3) cara yaitu : Cara Radioimmunoassay (RIA), Enzim Linked

18
Imunonusorbent Assay (Elisa), imunofluorensi mempunyai sensitifitas yang

tinggi. Untuk meningkatkan spesifisitas digunakan antibodi monoklonal dan

untuk mendeteksi DNA dalam serum digunakan probe DNA dengan teknik

hibridasi.
Pemeriksaan laboratorium yang paling sering digunakan adalah metode

Elisa. Metode Elisa digunakan untuk mengetahui adanya kerusakan pada hati

melalui pemeriksaan enzimatik. Enzim adalah protein dan senyawa organik yang

dihasilkan oleh sel hidup umumnya terdapat dalam sel. Dalam keadaan normal

terdapat keseimbangan antara pembentukan enzim dengan penghancurannya.

Apabila terjadi kerusakan sel dan peninggian permeabilitas membran sel, enzim

akan banyak keluar ke ruangan ekstra sel, keadaan inilah yang membantu

diagnosa dalam mengetahui kadar enzim tersebut dalam darah.


Penderita hepatitis B juga mengalami peningkatan kadar bilirubin, kadar

alkaline fosfat. Pemeriksaan enzim yang sering dilakukan untuk mengetahui

kelainan hati adalah pemeriksaan SGPT dan SGOT (Serum Glutamic Pirivuc

Transaminase dan Serum Glutamic Oksalat Transaminase). Pemeriksaan SGPT

lebih spesifik untuk mengetahui kelainan hati karena jumlah SGPT dalam hati

lebih banyak daripada SGOT.


Kejadian hepatitis akut ditandai dengan peningkatan SGPT dan SGOT 10-

20 kali dari normal, dengan SGPT lebih tinggi dari SGOT. SGPT dan SGOT

normal adalah < 42 U/L dan 41 U/L. Pada hepatitis kronis kadar SGPT meningkat

5-10 kali dari normal. Berikut ini adalah berbagai macam pertanda serologik

infeksi VIRUS HEPATITIS B yaitu:


1) HBsAg (Hepatitis B Surface Antigen) : Yaitu suatu protein yang

merupakan selubung luar partikel virus hepatitis B. HBsAg yang

19
positif menunjukkan bahwa pada saat itu yang bersangkutan

mengidap infeksi virus hepatitis B.


2) Anti-HBs : Antibodi terhadap HBsAg. Antibodi ini baru muncul

setelah HBsAg menghilang. Anti HBsAg yang positif

menunjukkan bahwa individu yang bersangkutan telah kebal

terhadap infeksi virus hepatitis B baik yang terjadi setelah suatu

infeksi virus hepatitis B alami atau setelah dilakukan imunisasi

hepatitis B.
3) Anti Hbc : Antibodi terhadap protein core. Antibodi ini pertama

kali muncul pada semua kasus dengan infeksi virus hepatitis B

pada saat ini (current infection) atau infeksi pada masa yang lalu

(past infection). Anti HBc dapat muncul dalam bentuk IgM anti

HBc yang sering muncul pada hepatitis B akut, karena itu positif

IgM anti HBc pada kasus hepatitis akut dapat memperkuat

diagnosis hepatitis B akut. Namun karena IgM anti HBc bisa

kembali menjadi positif pada hepatitis kronik dengan reaktivasi,

IgM anti HBc tidak dapat dipakai untuk membedakan hepatitis

akut dengan hepatitis kronik secara mutlak.


4) HbeAg : Semua protein non-struktural dari virus hepatitis B (bukan

merupakan bagian dari virus hepatitis B) yang disekresikan ke

dalam darah dan merupakan produk gen precore dan gen core.

Positifnya HBeAg merupakan petunjuk adanya aktivasi replikasi

virus hepatitis B yang tinggi dari seorang individu HBsAg positif.


5) Anti Hbe : Antibodi yang timbul terhadap HBeAg pada infeksi

virus hepatitis B. Positifnya anti HBe menunjukkan bahwa virus

hepatitis B ada dalam fase non-replikatif.

20
6) DNA virus hepatitis B : Positifnya DNA virus hepatitis B dalam

serum menunjukkan adanya partikel virus hepatitis B yang utuh

dalam tubuh penderita. DNA virus hepatitis B adalah petanda

jumlah virus yang paling peka.


Apabila penderita sudah terbukti menderita VHB, maka setiap penderita

sebaiknya melaporkan diri ke puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk

dilakukan penanganan khusus, karena mereka dapat menularkan penyakitnya.

Diberi pengawasan terhadap penderita agar sembuh sempurna ketika dirawat

dirumah sakit.
Tujuan pengobatan VHB adalah untuk mencegah atau menghentikan

radang hati (liver injury) dengan cara menekan replikasi virus atau menghilangkan

injeksi. Dalam pengobatan hepatitis B, titik akhir yang sering dipakai adalah

hilangnya pertanda replikasi virus yang aktif secara menetap.


Obat-obat yang digunakan untuk menyembuhkan hepatitis antara lain obat

antivirus, dan imunomulator. Pengobatan antivirus harus diberikan sebelum virus

sempat berintegrasi ke dalam denom penderita. Jadi pemberiannya dilakukan

sedini mungkin sehingga kemungkinan terjadi sirosis dan hepatoma dapat

dikurangi. Yang termasuk obat antivirus adalah interferon (INF). Sedangkan obat

imunomodulator yang menekan atau merangsang sistem imun misalnya transfer

faktor,immune RNA, dan imunosupresi.


2.5.3 Pencegahan Tersier10,11,12
Sebagian besar pencegahan penderita hepatitis B akut akan membaik atau

sembuh sempurna tanpa meninggalkan bekas. Tetapi sebagian kecil akan menetap

dan menjadi kronis, kemudian menjadi buruk atau mengalami kegagalan faal hati.

Biasanya penderita dengan gejala seperti ini akan berakhir dengan meninggal

dunia. Usaha yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut maka perlu diadakan

21
pemeriksaan berkala. Sebelum dilaksanakan pembedahan, pada waktu

pembedahan, dan pasca pembedahan.

BAB 3

KESIMPULAN

1. Infeksi Virus Hepatitis B (VHB) adalah suatu masalah kesehatan utama di

dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususya.


2. Infeksi virus hep B akut tidak membutuhkan terapi antiviral. Terapi yang

diberikan hanya terapi suportif dan simptomatik karena sebagian besar

infeksi hep B akut pada dewasa dapat sembuh spontan.


3. Pencegahan terhadap infeksi virus hep B dilakukan melalui vaksinasi.

Pencegahan infeksi menggunakan imunisasi pasif yaitu pemberian

immunoglobulin tidak mencegah infeksi melainkan mengurangi frekuensi

penyakit klinis.
4. Pengobatan pada hep B kronik adalah mencegah atau menghentikan

progresi jejas hati (liver injury) dengan cara menekan replikasi virus atau

menghilangkan injeksi.

22
5. Dengan adanya pencegahan, tatalaksana awal, menyeluruh dan tepat

komplikasi dari penyakit hepatitis B seperti karsinoma hepatoselular

primer, sirosis hepatis dan lain-lain bisa dielak.

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI). Konsensus Nasional

Penatalaksanaan Hepatitis B di Indonesia 2012. Cetakan kedua. 2012


2. S. K. Sarin, M. Kumar, G. K. Lau Reddy et al. Asian-Pacific clinical

practice guidelines on the management of hepatitis B: a 2015 update.

Hepatol Int : 2016, 10:198.


3. Kemenkes. 2012. Penganggulanagan Hepatitis Virus dalam Permenkes

no.53 tahun 2012. Kemenkes: Jakarta.


4. Mauss, Berg, Rockstroh, Sarrazin et al. (2016) Hepatology A clinical

textbook. 7th Edition 2016. Germany; Medizin Fokus Verlag.


5. Benenson Abraham S. 1990. Control of Communicable disease in Man,

Fifteenth edition, Washington DC.


6. Harrison, 2012. Principle of Internal Medicine Edisi 9. Gangguan

Hepatobilier dan Pankreas. Penerjemah Adhi Dharma. Penerbit Buku

Kedokteran, Jakarta Utara.


7. Markum, 1997, Imunisasi. FKUI, Jakarta
8. Maria H, 1997, Hepatitis B Makin Meningkat, Majalah Kesehatan

Masyaraka Indonesia; tahun XXV, nomor 7

23
9. Watt G. 1993. Hepatitis B dalam : Strickland Gt, penyunting Hunters

tropical medicine, edisi 7. Tokyo; W.B Saunders Company


10. Soemohardjo, S., Gunwan, S. 1987, Hepatitis B Kronik dalam Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam .Edisi 2, Balai Penerbit UI.


11. Andra. 2007. Strategi Tatalaksana Hepatitis B, Pertemuan Ilmiah Nasional

PAPDI Ke-4. Edisi Januari 2007 (Vol.6 No.6)


12. Siregar FA. 2003. Hepatitis B ditinjau dari kesehatan masyarakat dan

upaya pencegahan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara: Sumatera Utara

24

Anda mungkin juga menyukai