Anda di halaman 1dari 20

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sambiloto (Andrographis paniculata Nees.)

Sambiloto yang juga dikenal sebagai King of Bitters bukanlah

tumbuhan asli Indonesia, tetapi diduga berasal dari India. Menurut data

spesimen yang ada di Herbarium Bogoriense di Bogor, sambiloto sudah

ada di Indonesia sejak 1893. Di India, sambiloto adalah tumbuhan liar

yang digunakan untuk mengobati penyakit disentri, diare, atau malaria.

Hal ini ditemukan dalam Indian Pharmacopeia dan telah disusun paling

sedikit dalam 26 formula Ayurvedic. Traditional Chinese Medicine (TCM),

sambiloto diketahui penting sebagai tanaman cold property dan digunakan

sebagai penurun panas serta membersihkan racun- racun di dalam tubuh.

Tanaman ini kemudian menyebar ke daerah tropis Asia hingga sampai di

Indonesia. Sambiloto dapat tumbuh di semua jenis tanah sehingga tidak

heran jika tanaman ini terdistribusi luas di belahan bumi (Widyawati,

2007).

7
8

2.1.1 Klasifikasi, habitat dan morfologi

Secara taksonomi, Sambiloto dapat diklasifikasikan sebagai berikut

Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Subkelas : Gamopetalae

Ordo : Personales

Famili : Acanthaceae

Subfamili : Acanthoidae

Genus : Andrographis

Spesies : Andrographis paniculata Nees. (Ratnani dkk., 2012)

Sambiloto memiliki batang berkayu berbentuk bulat dan segi empat

serta memiliki banyak cabang (monopodial). Daun tunggal saling

berhadapan, berben-tuk pedang (lanset) dengan tepi rata (integer) dan

permukaannya halus, berwarna hijau. Bunganya berwarna putih keunguan,

berbentuk jorong (bulan panjang) de-ngan pangkal dan ujungnya yang

lancip seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.1.


9

Gambar 2.1 Andrographis paniculata Nees.


(Ratnani dkk., 2012)

Habitat aslinya adalah tempat-tempat terbuka yang teduh dan agak

lembab, seperti kebun, tepi sungai, pekarangan, semak, atau rumpun

bambu. Di India, bunga dan buah bisa dijumpai pada bulan Oktober atau

antara Maret sampai Juli. Di Australia bunga dan buah antara bulan

Nopember sampai bulan Juni tahun berikutnya, sedang di Indonesia bunga

dan buah dapat ditemukan sepanjang tahun (Widyawati, 2007).

2.1.2 Kandungan sambiloto

Secara kimia mengandung flavonoid dan lakton. Pada lakton,

komponen utamanya adalah Andrographolide, yang juga merupakan zat

aktif utama dari tanaman ini. Andrographolide sudah diisolasi dalam

bentuk murni dan menunjukkan berbagai aktivitas farmakologi.

Berdasarkan penelitian lain yang telah dilakukan, kandungan yang

dijumpai pada tanaman sambiloto diantaranya diterpene lakton dan

glikosidanya, seperti andrographolide, deoxyandrographolide,11,12-

didehydro-14, eoxyandro-grapholide, dan neoandrographolide. Flavonoid


10

juga dilaporkan ada terdapat pada tanaman ini. Daun dan

percabangannya lebih banyak mengandung lakton sedangkan komponen

flavonoid dapat diisolasi dari akarnya, yaitu polimetok-siflavon,

androrafin, panikulin, mono-0-metilwithin dan apigenin- 7,4 dimetileter.

Selain komponen lakton dan flavonoid, pada tanaman sambiloto ini juga

terdapat komponen alkane, keton, aldehid, mineral (kalsium, natrium,

kalium), asam kersik dan damar (Prapanza dan Marianto, 2003).

Di dalam daun, kadar senyawa Andrographolide sebesar 2,5-4,8%

dari berat keringnya. Ada juga yang mengatakan biasanya sambiloto

distandarisasi dengan kandungan Andrographolide sebesar 4-6%.

Senyawa kimia lain yang sudah diisolasi dari daun yang juga pahit yaitu

diterpenoid viz, deoxyandrographolide19 D glucoside, dan

neoandrographolide (Weiming, 1982).

Berdasarkan hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak etanol akar,

kulit batang dan daun sambiloto menunjukan bahwa antioksidan terbesar

terdapat pada ekstrak akar dengan konsentrasi 0,25% sebesar 79,37%,

ekstrak kulit batang dengan konsentrasi 0,5% memiliki daya antioksidan

75,93%, dan ekstrak daun memiliki daya antioksidan sebesar 76,63%,

lebih besar dibandingkan dengan vitamin E yang memiliki daya

antioksidan 75,37% (Wardatun, 2011).


11

2.1.3 Manfaat sambiloto

Sambiloto memiliki khasiat antara lain untuk menyembuhkan

gatal-gatal, keputihan, antipiretik, dan serta mengobati beberapa penyakit

degeneratif seperti diabetes, tekanan darah tinggi dan reumatik. Di

Indonesia, penyakit degeneratif cenderung meningkat disebabkan karena

adanya perubahan gaya hidup masyarakat salah satunya adalah menyukai

makanan yang berkadar lemak tinggi, hal tersebut dapat menimbulkan

radikal bebas yang berdampak pada kerusakan sel, sehingga timbul

penyakit tersebut (Wardatun, 2011). Berbagai aktivitas farmakologi dari

sambiloto adalah antiiflamasi, antibakteri, antipiretik, antioksidan,

antiparasitik, hepatoprotektor, dan antidiabetes (Kumar et al., 2012).

Dalam pengobatan tradisonal China, Thailand dan India,

sambiloto sudah menunjukkan keamanannya. Uji toksikologi pada hewan

coba dan manusia menunjukkan bahwa Andrographolide dan senyawa

lain yang terdapat pada sambiloto memiliki toksisitas yang sangat

rendah. Pada mencit yang diberiekstrak sambiloto secara oral (10g/kg

BB) sekali sehari selama 7 hari, tidak ada seekorpun tikus yang mati.

Organ jantung, ginjal, hati dan limpa dijumpai dalam kondisi normal.

Pada uji toksisitas lainnya, tikus atau kelinci yang diberi

Andrographolide atau neo-Andrographolide dengan dosis 1g/kg BB

secara oral selama 7 hari, menunjukkan tidak ada pengaruh terhadap

berat badan, jumlah darah, fungsi hati dan ginjal, serta organ penting

lainnya (Yin dan Guo, 1992).


12

2.2 Timbal

Timbal (Pb) adalah logam yang mendapat perhatian karena bersifat

toksik melalui konsumsi makanan, minuman, udara, air, serta debu yang

tercemar timbal. Timbal masuk ke dalam tubuh melalui jalur oral, lewat

makanan, minuman, pernafasan, kontak lewat kulit, serta kontak lewat

mata (Widowati, 2011). Timbal dapat terakumulasi di lingkungan, tidak

dapat terurai secara biologis dan toksisitasnya tidak berubah sepanjang

waktu. Timbal merupakan logam berat yang sangat beracun pada seluruh

aspek kehidupan. Timbal bersifat toksik jika terhirup atau tertelan oleh

manusia dan di dalam tubuh akan beredar mengikuti aliran darah, diserap

kembali di dalam ginjal dan otak, dan disimpan di dalam tulang dan gigi

(Cahyadi, 2006). Toksisitas timbal dapat menyebabkan hipertensi. Bahkan

tidak hanya itu, akumulasi logam berat timbal pada tubuh manusia yang

terus menerus dapat mengakibatkan anemia, kemandulan, penyakit ginjal,

kerusakan syaraf dan kematian (Suparwoko, 2008). Toksik yang

disebabkan oleh logam timbal dalam tubuh dapat mempengaruhi organ-

organ tubuh antara lain sistem saraf, ginjal, sistem reproduksi, sistem

endokrin dan jantung (Suharto, 2005).

Timbal masuk ke dalam tubuh akan didistribusikan ke darah, cairan

ekstraseluler, dan beberapa tempat deposit. Tempat deposit timbal berada

di jaringan lunak (hati, ginjal, dan saraf) dan jaringan keras (tulang dan

gigi). Pada tulang sekitar (60%), hati (25%), ginjal (4%), saraf (3%), dan
13

ke jaringan lainnya (Venugopal, 1978). Hal ini sejalan dengan penelitian

Hariono (2005), setelah pemberian timbal peroral pada tikus akan terjadi

akumulasi timbal tertinggi pada jaringan lunak terjadi berturut-turut pada

ginjal, disusul hati, otak, paru, jantung, otot, dan testis. Kadar timbal

tertinggi dalam jaringan keras ditemukan pada tulang rusuk, kepala, paha,

dan gigi. Dampak paparan timbal pada orang dewasa berpengaruh pada

tekanan darah tinggi, keguguran, pria yang kurang subur, gagal ginjal,

kehilangan keseimbangan, gangguan pendengaran, ketulian, dan rusaknya

saraf seperti lambat dalam beraksi. Pada wanita hamil timbal dapat

melewati plasenta kemudian akan ikut masuk dalam sistem peredaran

darah janin yang menyebabkan janin dalam kandungannya ikut terpapar,

sehingga dapat menyebabkan kelahiran prematur, dan timbal akan

dikeluarkan bersama dengan air susu ibu. Wanita hamil yang terpapar

timbal berat badan bayinya rendah, mengalami toksisitas dan bahkan

kematian. Adanya timbal yang berlebihan dalam tubuh anak akan

mengakibatkan kejadian anemia yang terus menerus, dan akan berdampak

pada penurunan intelegensia. Pada anak tingkat penyerapan timbal

mencapai 53% dan akan menjadi lebih tinggi lagi apabila si anak

kekurangan kalsium, zat besi dan zinc dalam tubuhnya, sedangkan dewasa

hanya menyerap 10-15%. Anak dapat menyerap tiga kali dosis lebih besar

dibandingkan orang dewasa karena memiliki perbandingan permukaan

penyerapan dan volume yang lebih besar (Nasution, 2007).


14

2.2.1 Toksisitas timbal

Ukuran keracunan suatu zat ditentukan oleh kadar dan lamanya

pemaparan. Keracunan timbal dapat menyebabkan efek akut dan kronis.

Keracunan akut yaitu akibat pemaparan yang terjadi dalam waktu yang

relatif

singkat (dapat terjadi dalam waktu 2-3 jam), dengan kadar yang relatif

besar. Keracunan akut yang disebabkan oleh timbal biasanya terjadi karena

kecelakaan misalnya, peledakan atau kebocoran yang tiba-tiba dari uap

logam timbal, kerusakan sistem ventilasi di dalam ruangan. Keracunan

akut ditandai oleh rasa terbakar pada mulut, terjadinya perangsangan

dalam gastrointestinal, dan diikuti dengan diare. Keracunan kronis terjadi

karena absorpsi timbal dalam jumlah kecil, tetapi dalam jangka waktu

yang lama dan terakumulasi dalam tubuh. Durasi waktu dari permulaan

terkontaminasi sampai terjadi gejala atau tanda-tanda keracunan dalam

beberapa bulan bahkan sampai beberapa tahun. Gejala keracunan kronis

ditandai oleh rasa mual, anemia, sakit di sekitar perut, dan dapat

menyebabkan kelumpuhan. Keracunan yang disebabkan oleh timbal dapat

mempengaruhi organ dan jaringan tubuh. Organ-organ tubuh yang menjadi

sasaran dari keracunan timbal adalah sistem peredaran darah, sistem saraf,

sistem urinaria, sistem reproduksi, sistem endokrin, dan jantung (Palar,

2008). Kadar timbal dalam darah merupakan indikator pemajanan yang


15

sering dipakai dengan pajanan eksternal. Kadar timbal dalam darah

merupakan petunjuk langsung jumlah timbal yang masuk ke dalam tubuh.

Dengan demikian untuk mengetahui dan mengukur kadar timbal dalam

tubuh manusia dapat dilihat melalui darah, sekret, jaringan lunak, dan

tulang (Naria, 2005). Studi toksisitas timbal menunjukkan bahwa

kandungan timbal dalam darah sebanyak 100 g/l dianggap sebagai

tingkat aktif (level action) berdampak pada gangguan perkembangan dan

penyimpangan perilaku, sedangkan kandungan timbal 450 g/l

membutuhkan perawatan segera dalam waktu 48 jam. Kandungan timbal

lebih dari 700 g/l menyebabkan kondisi gawat secara medis (medical

emergency). Untuk kandungan timbal di atas 1.200 g/l bersifat sangat

toksik dan dapat menimbulkan kematian. Pada anak, kadar timbal 68 g/l

dapat menyebabkan anak makin agresif, kurang konsentrasi, bahkan

menyebabkan kanker. Keracunan timbal pada kadar yang tinggi, pada anak

dapat menyebabkan anemia, kerusakan otak, hati, ginjal, saraf dan

pencernaan, koma, kejang-kejang atau epilepsi, serta dapat menyebabkan

kematian (Naria, 2005).

2.2.2 Kerusakan ginjal akibat timbal

Pemaparan tinggi terhadap senyawa timbal anorganik dapat

merusak ginjal, yaitu terjadinya kerusakan pada tubulus proksimal ginjal,

sedang pengaruh selanjutnya pada pemaparan kadar tinggi dan waktu yang

lama adalah terjadinya interstitial fibrosis, sclerosis dari pembuluh dan


16

atrofi glomerulus. Kegagalan ginjal dapat mengakibatkan kematian

(Kawatu, 2008 ).

Timbal akan diekskresikan ginjal melalui glomerulus atau

diekskresikan langsung oleh kapiler tubulus melalui sel tubulus. Dalam

prosesnya logam berat yang difiltrasi melalui glomerulus dapat direabsopsi

kembali oleh sel tubulus sehingga sel tubuluslah yang paling sering

mengalami kerusakan (Alatas et al., 2002).

Glomerulus menjadi tempat pemisahan akhir semua bahan yang

dibawa darah, apakah masih berguna bagi tubuh atau harus dibuang

karena sudah tidak diperlukan lagi. Ikut sertanya timbal yang larut dalam

darah ke sistem urinaria (ginjal) mengakibatkan terjadinya kerusakan pada

saluran ginjal. Kerusakan yang terjadi tersebut disebabkan terbentuknya

intranuclear inclusion bodies yang disertai dengan terbentuknya

aminociduria, yaitu terjadinya kelebihan asam amino dalam urin.

Aminociduria dapat kembali normal setelah selang waktu beberapa

minggu, tetapi intranuclear inclusion bodies membutuhkan waktu

bertahun-tahun untuk kembali normal. Pada fase akut keracunan timbal,

seringkali ada gangguan ginjal fungsional tetapi tak dapat dipastikan ada

kerusakan ginjal yang permanen seperti pada gambar 2.2 ( Adnan, 2001).
17

Gambar 2.2 Nonspecific tubular atrophy and interstitial fibrosis. Note the
absence of an interstitial infiltrate. (b) Nuclear inclusion bodies (++++) .
( Missoun et al., 2010 ).

2.3 Ginjal

Ginjal adalah organ yang mempunyai peran penting dalam tubuh

untuk membuang sampah metabolisme dan racun tubuh dalam bentuk

urin / air seni. Selain itu, ginjal juga berperan dalam mempertahankan

keseimbangan air, garam dan elektrolitserta , tidak kalah pentingnya ginjal

merupakan kelenjar endokrin yang sedikitnya mengeluarkan tiga hormon.

Ginjal merupakan organ tubuh yang rentan terhadap pengaruh zat-zat

kimia, karena organ ini menerima 25-30 % sirkulasi darah untuk


18

dibersihkan, sehingga sebagai organ filtrasi kemungkinan terjadinya

perubahan patologik sangat tinggi (Corwin, 2001).

Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan

komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan

mengekresikan zat terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal

dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus dengan reabsorpsi

sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai di sepanjang

tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air di eksresikan keluar tubuh

dalam urin melalui sistem pengumpulan urin (Price and Wilson, 2005).

2.3.1 Anatomi ginjal

Ginjal terletak di bagian belakang abdomen atas, di belakang

peritoneum, di depan dua kosta terakhir dan tiga otot besar (transversus

abdominis, kuadratus lumborum dan psoas mayor) (Prince and Wilson,

2006). Ginjal pada tikus yaitu sepasang organ berbentuk biji kacang

merah.

Ginjal mencit mempunyai dua daerah berbeda, yaitu korteks renal

di bagian luar dan medulla renal di bagian dalam. Korteks berwarna lebih

gelap daripada medulla, konsistensi lunak dan bergranula (Dellman and

Brown, 1992). Daerah medulla terdapat piramid yang berisi sejumlah

pembuluh yang bermuara pada pelvis dan bagian korteks berisi nefron

sebagai kesatuan dasar fungsional ginjal. Ukuran ginjal pada berbagai

spesies terutama ditentukan oleh jumlah nefron yang dimiliki (Ganong,

2001).
19

2.3.2 Histologi ginjal

Unit kerja fungsional ginjal disebut nefron. Dalam setiap ginjal

terdapat sekitar satu juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur

dan fungsi yang sama, dengan demikian kerja ginjal dapat dianggap

sebagai jumlah total dari semua nefron tersebut. Nefron terdiri dari

korpuskulus ginjal dan sistem tubulus. Korpuskulus ginjal terdiri dari

glomerulus yang merupakan kumpulan kapiler yang dikelilingi oleh dua

lapis sel epitel yang disebut kapsula bowman. Kapsul bowman merupakan

bagian awal dari nefron, dimana darah yang mengalir melalui kapiler

ginjal mengalami filtrasi untuk menghasilkan ultrafiltrat glomerulus.

Kapiler glomerulus disuplai oleh arteriol eferen, yang kemudian bercabang

membentuk jaringan kapiler baru untuk mensuplai tubulus ginjal (Ganong,

2001).

Awal dari tubulus ginjal, adalah kapsula bowman, yang

mengelilingi glomerulus. Kapsula bowman tersebut berbentuk seperti

cangkir, dengan lapisan dalam dan luar yang dipisahkan oleh lubang

urinaria. Lapisan luar yang disebut dengan lapisan parietal merupakan

lanjutan dari sel epitel dari tubulus proximal pada korpuskel ginjal,

sedangkan untuk lapisan dalam dari kapsula tadi disebut dengan lapisan
20

visceral, yang merupakan penyusun sel khusus yaitu podocit (Clarkson,

2011) seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.3 Histologi Ginjal


( Pod: sel podosit, PC: Tubulus kontortus proksimal, DC: Tubulus kontortus distal,
BC: kapsul bowman, MD: Macula densa)
(Ross et al., 2003)

Bagian yang tipis, merupakan bagian lengkung Henle. Lengkung

henle merupakan tempat reabsorbsi air dan natrium. Klorida ditransport

keluar secara aktif dari bagian lengkung ascenden dan diikuti secara pasif

oleh Na+. NaCl selanjutnya akan berdifusi secara pasif masuk ke bagian

lengkung ascenden. Proses ini penting dalam pemekatan urin (Bijanti dkk,

2010). Lumen ruas nefron ini lebar karena dindingnya terdiri atas sel epitel

gepeng yang intinya hanya sedikit menonjol ke dalam lumen. Bila ruas

tebal ascenden lengkung Henle menerobos korteks, struktur histologinya

tetap terpelihara tetapi menjadi berkelok disebut tubulus kontortus distal,

yaitu bagian terakhir nefron (Maulana, 2010).


21

Darah yang masuk ke dalam ginjal awalnya akan difiltrasi oleh

glomerulus. Terjadi reabsorbsi selektif zat yang sudah difiltrasi setelah

filtrasi glomerulus. Sebagian besar zat yang difiltrasi akan diabsorbsi

melalui pori kecil yang terdapat pada tubulus, sehingga zat tersebut akan

kembali ke dalam kapiler peritubuler yang mengelilingi tubulus kontortus

proksimal yang terletak pada bagian korteks.

Tubulus proksimal memainkan peranan penting dalam homeostatis

melalui sekresi dan reabsorbsi terkontrol beberapa zat. Salah satu

fungsinya yang paling penting adalah mereabsorbsi NaCl (garam) dan air.

Garam dalam filtrat ini berdifusi ke dalam sel epitelium transpor, dan

membran sel itu secara aktif mentranspor Na+ keluar dari sel dan ke dalam

cairan interstitial. Transfer muatan positif ini diseimbangkan oleh traspor

pasif Cl- keluar dari (Campbell, 2004).

Lengkung Henle terdiri dari segmen ascenden dan segmen

descenden. Segmen ascenden yang terletak pada bagian medula dan

segmen descenden memiliki dinding yang sangat tipis yang disebut thin

segment of the loop of Henle. Segmen ascenden yang berada di dalam

korteks memiliki dinding yang lebih tebal yang disebut thick segment of

the loop of Henle. Dinding segmen tebal ascenden terdapat daerah

yang terdiri dari banyak sel berinti padat yang disebut macula densa yang

berperan penting dalam mengontrol fungsi nefron. Setelah melewati

macula densa, plasma masuk ke dalam tubulus kontortus distal yang


22

terletak di bagian korteks dan terakhir melewati duktus kolektivus (Guyton

dan Hall, 2006).

Kalium dan asam urat hampir seluruhnya direabsorbsi tubulus

kontortus distal dan keduanya disekresikan ke dalam tubulus distalis. Di

dalam tubulus kontortus distal terjadi pembentukan amonia, pengasaman

urin, dan pengaturan tahap akhir keseimbangan air dan asam basa. Proses

sekresi dan reabsorbsi selektif diselesaikan dalam tubulus kontortus distal

dan duktus koligentes (Bijanti dkk., 2010).

2.3.3 Fungsi ginjal

Ginjal merupakan organ yang komplek baik anatomi maupun

fisiologis dalam melakukan fungsinya sebagai pengatur volume dan

komposisi kimia darah dengan mengekskresikan air secara selektif. Fungsi

ginjal dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) Fungsi eksresi ginjal yaitu

mengekskresi sisa metabolism protein yaitu urea, kalium, fosfat, sulfat,

sulfat anorganik, asam urat, dan kreatinin, mengatur keseimbangan cairan

dan elektrolit, menjaga keseimbangan asam dan basa ; (2) Fungsi non

ekskresi ginjal yaitu partisipasi dalam eritropoesis dan menghasilkan

eritropoetin yang berperan dalam pembentukan sel darah merah,

menghasilkan renin yang berperan penting dalam pengaturan tekanan

darah, merubah vitamin D menjadi metabolit yang aktif yang membantu

penyerapan kalsium, memproduksi hormon prostaglandin yang

mempengaruhi pengaturan garam dan air serta mempengaruhi tekanan

vaskuler (Nibiana, 2013).


23

2.3.4 Patologi Ginjal

Perubahan patologi yang dapat terjadi pada ginjal antara lain

nephrosis (nefrosa) yaitu peradangan pada ginjal yang disebabkan oleh

gangguan pertukaran zat. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan

subletal yang sering disebut dengan perubahan degenerative dan

perubahan letal yang disebut nekrotik. Proses degneratif merupakan proses

yang reversible, yaitu jika rangsangan yang menimbulkan cedera dapat

dihentikan, maka sel akan kembali sehat seperti semula. Sedangkan proses

nekrosis merupakan proses irreversible, yaitu pada saat sel telah mencapai

titik dimana tidak dapat lagi melangsungkan metabolisme atau telah terjadi

kematian sel (Pierce dan Wilson,1995).

Sel yang mengalami degenerasi parenkimatosa atau disebut juga

degenerasi albuminosa atau degenerasi bengkak keruh ialah bentuk

degenerasi teringan, berupa pembengkakan dan kekeruhan sitoplasma

dengan munculnya granula-granula dalam sitoplasma akibat endapan

protein. Degenerasi ini merupakan degenerasi sangat ringan dan

reversible, dimana degenerasi hanya terjadi pada mitokondriadan

reticulum endoplasma akibat rangsangan yang mengakibatkan gangguan

oksidasi. Sel yang sakit tidak dapat mengeliminasi air sehingga tertimbun

didalam sel, sehingga sel mengalami pembengkakan.

Degenerasi hidrofik pada dasarnya sama dengan parenkimatosa

namun derajatnya lebih berat, sehingga tampak vakuola berisi air dalam

sitoplasma yang tidak mengandung lemak atau glikogen, sitoplasmanya


24

menjadi pucat dan membengkak karena timbunan cairan. Perubahan ini

umumnya merupakan akibat adanya gangguan metabolisme seperti

hipoksia atau keracunan bahan kimia. Perubahan ini reversible, walaupun

dapat pula berubah menjadi irreversible apabila penyebab cederanya

menetap. Apabila kemudian terjadi robekan membrane plasma dan terjadi

perubahan inti maka jejas sel menjadi irreversibel dan sel mengalami

kematian. Nekrosis merupakan proses patologis setelah terjadi cedera sel.

Perubahan morfologi yang paling sering dijumpai adalah penimbunan air

dalam sel yang bersangkutan sehingga terjadi pembengkakan sel. Jika

terdapat aliran masuk air yang hebat, sebagian dari organela sitoplasma

dapat diubah menjadi kantong-kantong air (Pierce and Wilson, 1995).

Sel yang mengalami kematian (nekrosis) maka inti sel yang mati

itu menyusut, batasnya tidak teratur danberwarna gelap. Proses ini

dinamakan piknosis. Kemungkinan lain, inti dapan hancur dan

meninggalkan zat kromatin yang tersebar didalam sel. Proses ini

dinamakan karioreksis. Akhirnya pada beberapa keadaan inti yang mati

kehilangan kemampuan untuk diwarnai dan menghilang begitu saja,

proses ini disebut kariolisis (Pierce and Wilson, 1995).

Kerusakan glomerulus dapat digambarkan secara morfologi berupa

proliferasi sel atau membran glomerulus, atau adanya infiltrasi leukosit.

Secara fungsional berupa penurunan tekanan darah atau peningkatan

permeabilitas pembuluh darah yang ditandai dengan bocornya sebagian

besar plasma protein dan molekul besar plasma lainnya ke dalam filtrat
25

glomerulus. Sedang kerusakan pada tubulus dapat berupa : degenerasi,

nekrosis sel tubulus serta atropi. Gangguan pada interstisium secara umum

dapat berupa odema, hemoragi atau keradangan yang berupa infiltrasi

netrofil (McGavin et al., 2001).

2.4 Mencit (Mus musculus L.)

Klasifikasi mencit (Mus musculus L.) menurut Nowak and Paradiso

(1983) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phyllum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Mamalia

Ordo : Rodentia

Subordo : Myomorpha

Familia : Muridae

Genus : Mus

Species : Mus musculus L.

Mencit terdiri atas tiga jenis yaitu mencit liar, mencit komersil, dan

mencit albino. Mencit merupakan hewan mamalia paling kecil diantara

jenis hewan percobaan lainnya. Mencit yang sering digunakan dalam

percobaan adalah mencit albino. Bulu mencit berwarna putih dan warna

perut sedikit pucat. Mata berwarna hitam atau merah dan kulit berpigmen

atau albino. Mencit dapat hidup selama 1-3 tahun. Berat badan ketika

berumur empat minggu dapat mencapai 18-20 gram. Mencit mati sebelum
26

dewasa dan rata-rata siklus hidup mencit laboratorium adalah 2 tahun,

namun ada yang mencapai 6 tahun (Smith dan Mangkoewidjojo, 1998).

Anda mungkin juga menyukai