Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik,


ditandai oleh adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek
kerja insulin atau keduanya.Beberapa jenis yang berbeda dari DM disebabkan oleh
interaksi yang kompleks dari faktor genetika dan lingkungan. Tergantung pada
etiologi DM, faktor yang berperan pada hiperglikemia termasuk kurangnya sekresi
insulin, penurunan penggunaan glukosa, dan peningkatan produksi glukosa.
Disregulasi metabolik yang berhubungan dengan DM menyebabkan perubahan
patofisiologis sekunderbeberapa sistem organ yang memaksakan beban yang luar
biasapada individu dengan diabetes dan pada sistem perawatan kesehatan. Di Amerika
Serikat, DM adalah penyebab utama dari penyakit ginjal tahap akhir(ESRD),
nontraumatic amputasi ekstremitas bawah, dan kebutaan dewasa. Hal ini juga
merupakan predisposisi penyakit kardiovaskular.
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes
melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang menjadi 366 juta tahun 2030. WHO
memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah
penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah
penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah
penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari
penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan
hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara teratur.
Diabetes Melitus tipe 2, disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan
baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin
untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang.Peningkatan insidensi diabetes
melitus di Indonesia tentu akan diikuti oleh meningkatnya kemungkinan terjadinya
komplikasi kronik diabetes melitus. Dengan demikian, pengetahuan mengenai
diabetes dan komplikasinya menjadi penting untuk diketahui dan dimengerti.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1
A. Definisi
Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang
dikarakteristikandengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat,
lemak danprotein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun
keduanya. Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus akan disertai dengan
kerusakan,ganguan fungsi beberapa organ tubuh khususnya mata, ginjal, saraf,
jantung, dan pembuluh darah.
Diabetes Melitus tipe 2, disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan
baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin
untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Karena insulin tetap dihasilkan
oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe 2 dianggap sebagai non insulin
dependent diabetes mellitus.Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga
terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau
kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.

B. Epidemiologi
Prevalensi DM sulit ditentukan karena standar penetapan diagnosisnya berbeda-
beda. Berdasarkan kriteria American Diabetes Asociation tahun 2012 (ADA 2012),
sekitar 10,2 juta orang di Amerika Serikat menderita DM. Sementara itu, di Indonesia
prevalensi DM sebesar 1,5-2,3% penduduk usia >15 tahun.
Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki. Wanita lebih
berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan
indeks masa tubuh yang lebih besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2008,
menunjukan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai 57%, pada tahun 2012
angka kejadian diabetes melitus didunia adalah sebanyak 371 juta jiwa, dimana
proporsi kejadiandiabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang
menderita diabetes mellitus dan hanya 5% dari jumlah tersebut menderita diabetes
mellitus tipe 1.
Pemeriksan laboratorium bagi penderita DM diperlukan untuk menegakan
diagnosis serta memonitor terapi dan timbulnya komplikasi. Dengan demikian,
perkembangan penyakit bisa dimonitor dan dapat mencegah komplikasi.

C. Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus, yaitu:

2
1. Diabetes Melitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat
kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing
(terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita
DM tipe ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia
muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar
insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin
untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam
darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM
type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui DM
setelah usia 30 tahun.
3. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional

D. Anatomi Pankreas
Pankreas adalah organ pipih yang terletak dibelakang dan sedikit di bawah
lambung dalam abdomen. Organ ini memiliki 2 fungsi: fungsi endokrin dan fungsi
eksokrin. Bagian eksokrin dari pankreas berfungsi sebagai sel asinar pankreas,
memproduksi cairan pankreas yang disekresi melalui duktus pankreas ke dalam usus
halus. Pankreas terdiri dari 2 jaringan utama, Sloane (2003), yaitu:
- Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.
- Pulau langerhans yang mengeluarkan sekretnya keluar. Tetapi, menyekresikan
insulin dan glukagon langsung ke darah.
Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologi dari pankreas tersebar
di seluruh pankreas dengan berat hanya 1-3 % dari berat total pankreas. Pulau
langerhans berbentuk opoid dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau

3
langerhans yang terkecil adalah 50, sedangkan yang terbesar 300, terbanyak adalah
yang besarnya 100-225. Jumlah semua pulau langerhans di pankreas diperkirakan
antara 1-2 juta.

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Pankreas


Sel endokrin dapat ditemukan dalam pulau-pulau langerhans, yaitu kumpulan
kecil sel yang tersebar di seluruh organ. Ada 4 jenis sel penghasil hormon yang
teridentifikasi dalam pulau-pulau tersebut:
- Sel alfa, jumlah sekitar 20-40 %, memproduksi glukagon yang menjadi faktor
hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai antiinsulin like activity.
- Sel beta menyekresi insulin yang menurunkan kadar gula darah.
- Sel delta menyekresi somastatin, hormon penghalang hormon pertumbuhan
yang menghambat sekresi glukagon dan insulin.
- Sel F menyekresi polipeptida pankreas, sejenis hormon pencernaan untuk
fungsi yang tidak jelas.

Gambar 2. Pulau Langerhans


Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan
oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel
beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai dengan
kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah.

4
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk prepoinsulin (precursor hormon insulin)
pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, prepoinsulin
mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun
dalam gelembung-gelembung (secretory vesicle) dalam sel tersebut. Di sini, dengan
bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide)
yang keduanya sudah siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui membran sel.
Mekanisme secara fisiologis di atas, diperlukan bagi berlangsungnya proses
metabolisme glukosa, sehubungan dengan fungsi insulin dalam proses utilasi glukosa
dalam tubuh. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama
yang memberi rangsangan terhadap sel beta memproduksi insulin, meskipun beberapa
jenis asam amino dan obat-obatan, juga dapat memiliki efek yang sama. Mekanisme
sintesis dan sekresi insulin setelah adanya rangsangan terhadap sel beta cukup rumit,
dan belum sepenuhnya dipahami secara jelas.
Ada beberapa tahapan dalam sekresi insulin, setelah molekul glukosa memberikan
rangsangan pada sel beta. Pertama, proses untuk dapat melewati membran sel yang
membutuhkan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam
amino yang terdapat dalam berbagai sel yang berperan proses metabolisme glukosa.
Fungsinya sebagai "kenderaan" pengangkut glukosa masuk dari luar ke dalam
jaringan tubuh. Glucose transforter 2(GLUT 2) yangterdapat dalam sel beta misalnya,
diperlukan dalam proses masuknya glukosa dari dalam darah, melewati membran, ke
dalam sel. Proses ini merupakan langkah penting, agar selanjutnya ke dalam sel,
molekul glukosa tersebut dapat mengalami proses glikolisis dan fosforilasi yang akan
membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang terbebas tersebut, dibutuhkan untuk
mengaktifkan proses penutupan K channel yang terdapat pada membran sel.
Terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel menyebabkan depolarisasi membran
sel, yang diikuti kemudian oleh proses pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang
memungkinkan masuknya ion Ca sehingga meningkatkan kadar ion Ca intrasel,
suasana yang dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui mekanisme yang cukup
rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan.

E. Fisiologi
Pengaturan Homeostasis Glukosa
Homeostasis glukosa mencerminkan keseimbangan antara produksi glukosa
hepatik dan pengambilan glukosa perifer dan pemanfaatannya. Insulin adalahregulator

5
terpenting dari keseimbangan metabolisme ini, tapi sinyal saraf, sinyal metabolik, dan
hormon lainnya (misalnya, glukagon) menghasilkan pengontrolan terpadu untuk
pasokan dan pemanfaatan glukosa.
Organ yang mengatur glukosa dan lipid berkomunikasi dengan mekanisme saraf
dan humoral dengan lemak dan otot memproduksi adipokines, myokines, dan
metabolit yang mempengaruhi fungsi hati. Dalam keadaan puasa, kadar insulin yang
rendah meningkatkan produksi glukosa dengan mempromosikan glukoneogenesis
hepatik dan glikogenolisis dan mengurangi penyerapan glukosa di jaringan sensitif
insulin (otot rangka dan lemak), sehingga meningkatkan mobilisasi prekursor
disimpan seperti asam amino dan asam lemak bebas (lipolisis).

Gambar 3. Regulasi Homeostasis Glukosa.


Glukagon, disekresikan oleh sel alfa pankreas ketika glukosa darah atau insulin
tingkat rendah, merangsang glikogenolisis dan glukoneogenesis oleh hati dan medula
ginjal. Pada saat postprandial, beban glukosa memunculkan kenaikan insulin dan
penurunan glukagon, mengarah ke pembalikan proses ini. Insulin, suatu hormon
anabolik, mempromosikan penyimpanan karbohidrat dan lemak dan sintesis protein.
Bagian utama dari glukosa postprandial digunakan oleh otot rangka, efek dari
penyerapan glukosa yang dirangsang oleh insulin. Jaringan lain, terutama otak,
menggunakan glukosa dalam model insulin insulin. Faktor-faktor yang disekresi oleh
miosit skeletal (irisin), adiposit (leptin, resistin, adiponektin, dll), dan tulang juga
mempengaruhi homeostasis glukosa.
Biosintesis Insulin
Insulin diproduksi di sel beta dari pulau pankreas. Hal ini awalnya disintesis
sebagai rantai tunggal asam amino-86 prekursor polipeptida, preproinsulin.
Pengolahan proteolitik selanjutnya menghilangkan sinyal peptida terminal amino,

6
sehingga menimbulkan proinsulin. Proinsulin secara struktural terkait dengan faktor
pertumbuhan seperti insulin I dan II, yangmengikat lemah pada reseptor insulin.
Pembelahan fragmen 31, residu internal dari proinsulin menghasilkan peptida C dan
A (21 asam amino) dan B (30 asam amino) rantai insulin, yang dihubungkan oleh
ikatan disulfida. Molekul insulin matang dan C peptida disimpan bersama-sama dan
untuk disekresikan dari butiran sekresi dalam sel beta. Karena C peptida dibersihkan
lebih lambat dari insulin, itu adalah penanda yang berguna sekresi insulin dan
memungkinkan diskriminasi sumber endogen dan eksogen insulin dalam evaluasi
hipoglikemia. Sel beta pankreas mensekresikan islet amyloid polypeptide (IAPP) atau
amylin, suatu peptida 37-asam amino, bersama dengan insulin. Peran IAPP dalam
fisiologi normal tidak lengkap ditetapkan, tetapi merupakan komponen utama dari
fibril amiloid yang ditemukan di pasien dengan diabetes tipe 2, dan analog kadang-
kadang digunakan dalam mengobati tipe 1 dan tipe 2 DM. Insulin manusia diproduksi
oleh teknologi DNA rekombinan; perubahan struktural pada satu atau lebih residu
asam amino memodifikasi karakteristik fisik dan farmakologinya.
Sekresi Insulin
Glukosa adalah tombol pengatur sekresi insulin oleh sel beta pankreas, meskipun
asam amino, keton, berbagai nutrisi, peptida gastro-intestinal, dan neurotransmitter
juga mempengaruhi sekresi insulin. Kadar glukosa>3,9 mmol L (70 mg/dL)
merangsang sintesis insulin, terutama dengan meningkatkan protein translation dan
processing.Glukosa menstimulasi sekresi insulin dimulai dengan transportasi ke
dalam sel beta oleh transporter glukosa fasilitatif.

Gambar 4. Mekanisme glukosa merangsang sekresi insulin dan kelainan pada diabetes.

7
Fosforilasi glukosa oleh glukokinase adalah langkah tingkat pembatas yang
mengontrol glukosa dalam regulasi sekresi insulin. Metabolisme selanjutnya glukosa-
6-fosfat melalui glikolisis menghasilkan ATP, yang menghambat aktivitas dari K
sensitif ATP+ channel.Kanal ini terdiri dari dua protein yang terpisah: satu adalah
tempat pengikatan hipoglikemik oral tertentu (misalnya, sulfonilurea, meglitinides);
yang lain adalah dalam hati meluruskanK + channel protein (Kir6.2). Penghambatan
kanal K+ ini menginduksi depolarisasi membran sel beta, yang membuka tegangan
saluran kalsium tergantung (yang mengarah ke masuknya kalsium) dan menstimulasi
sekresi insulin.Insulin profil sekretori mengungkapkan berdenyut pat-tern dari
pelepasan hormon, dengan semburan yang keluar kecil terjadi sekitar setiap 10 menit,
ditumpangkan pada osilasi amplitudo lebih besar dari sekitar 80-150 menit. Incretins
dilepaskan dari sel-sel neuroendokrin dari saluran pencernaan setelah asupan
makanan dan memperkuat sekresi insulin glukosa-dirangsang dan menekan sekresi
glukagon.Glukagon-like peptide 1 (GLP-1), incretin paling ampuh, dilepaskan dari
sel-sel L di usus kecil dan merangsang sekresi insulin hanya ketika glukosa darah di
atas tingkat puasa. Incretin analog atau agen farmakologis yang memperpanjang
aktivitas endogen GLP-1 meningkatkan sekresi insulin.

Aksi Insulin
Setelah insulin disekresikan ke dalam sistem vena portal, ~50% dihapus dan
terdegradasi oleh hati. Insulin yang tak terekstraksi memasukisirkulasi sistemik di
mana ia mengikat reseptor di situs sasaran. Insulin mengikat reseptor yang akan
merangsang aktivitas tyrosine kinase intrinsik, yang mengarah ke autofosforilasi
reseptor dan perekrutan molekul sinyal intracellular, seperti substrat reseptor insulin
(IRS). IRS dan protein adaptor lainnya menginisiasi kaskade kompleks reaksi
phosphorylation dan defosforilasi, mengakibatkan metabolisme luas dan efek
mitogenik insulin. Sebagai contoh, aktivasi dari fosfatidilinositol-3'-kinase (PI-3-
kinase) jalur merangsang translokasi dari transporter glukosa fasilitatif (misalnya,
GLUT4) ke permukaan sel, sebuah acara yang sangat penting untuk penyerapan
glukosa oleh otot rangka dan lemak. Aktivasi jalur reseptor insulin signaling lainnya
menginduksi sintesis glikogen, sintesis protein, lipogenesis, dan regulisasi berbagai
gen dalam sel insulin responsif.

8
F. Patofisiologi DM Tipe II

Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan


insulin secara relatif maupun absolut.Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan,
yaitu:
a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus,zat kimia,dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu:
- Resistensi insulin
- Disfungsi sel B pancreas
DM tipe 2 mungkin mencakup berbagai gangguan dengan fenotipe umum
dari hiperglikemia.

Pertimbangan Genetik
DM tipe 2 memiliki komponen genetik yang kuat. Kesesuaian DM tipe 2 pada
kembar identik adalah antara 70 dan 90%. Individu dengan orangtua dengan DM tipe
2 memiliki peningkatan risiko diabetes; jika kedua orang tua memiliki DM tipe 2,
risiko mendekati 40%. Resisten insulin, seperti yang ditunjukkan oleh penggunaan
glukosa berkurang di otot rangka, hadir dalam banyak kerabat nondiabetes, pertama-
tingkat individu dengan DM tipe 2. Penyakit ini poligenik dan multifaktor, karena
selain kerentanan genetik, faktor lingkungan (seperti obesitas, gizi, dan aktivitas fisik)
memodulasi fenotip. Lingkungan di dalam rahim juga berkontribusi, dan baik
ditambah atau dikurangi berat badan lahir meningkatkan risiko DM tipe 2 di usia
dewasa. Gen yang mempengaruhi mengetik 2 DM yang tidak lengkap diidentifikasi,
namun studi asosiasi genome baru-baru ini telah mengidentifikasi sejumlah besar gen
yang menyampaikan risiko yang relatif kecil untuk tipe 2 DM (>70 gen, masing-
masing dengan risiko relatif 1,06-1,5). Paling menonjol adalah varian dari faktor
transkripsi 7, seperti 2 gen yang telah dikaitkan dengan DM tipe 2 di beberapa
populasi dan dengan IGT dalam satu populasi berisiko tinggi untuk diabetes.
Polimorfisme genetik yang terkait dengan DM tipe 2juga telah ditemukan dalam gen
yang mengkode peroksisom proliferator-activated receptor , ke dalam meluruskan
kanal kalium, transporter Zinc, IRS, dan calpain 10. Mekanisme lokus genetik yang
meningkatkan kerentanan untuk DM tipe 2masih tidak jelas, tetapi kebanyakan

9
diperkirakan mengubah fungsi pulau atau pengembangan atau sekresi insulin.
Meskipun kerentanan genetik untuk DM tipe 2 sedang diselidiki aktif (sejauh ini
diperkirakan <10% dari risiko genetik ditentukan oleh lokus), saat ini tidak mungkin
untuk menggunakan kombinasi dari lokus genetik yang dikenal untuk memprediksi
DM tipe 2.
DM tipe 2 ditandai dengan gangguan sekresi insulin, resistensi insulin, produksi
glukosa hepatik yang berlebihan, dan metabolisme lemak yang abnormal. Obesitas,
terutama visceral atau pusat (yang dibuktikan dengan rasio pinggul-pinggang), adalah
sangat umum di DM tipe 2 (80% dari pasien mengalami obesitas). Pada tahap awal
dari gangguan, toleransi glukosa tetap mendekati normal, meskipun resistensi insulin,
karena sel-sel beta pankreas mengimbanginya dengan meningkatkan produksi insulin.
Sebagai resistensi insulin dan kemajuan kompensasi hiperinsulinemia, pulau
pankreas pada individu tertentu tidak dapat mempertahankan keadaan
hiperinsulinemia. IGT, ditandai dengan peningkatan glukosa postprandial. Penurunan
lebih lanjut dalam sekresi insulin dan peningkatan hepatik memimpin produksi
glukosa untuk diabetes yang nyata dengan hiperglikemia puasa. Pada akhirnya,
kegagalan sel beta terjadi kemudian. Meskipun kedua resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin berkontribusi pada patogenesis DM tipe 2, kontribusi relatif dari
masing-masing bervariasi dari individu ke individu.

Abnormalitas Metabolik
Abnormalitas Metabolisme Jaringan Otot dan Lemak
Resistensi insulin, penurunan kemampuan insulin untuk bertindak secara efektif
pada jaringan target (terutama otot, hati, dan lemak), merupakan fitur yang menonjol
dari DM tipe 2 dan hasil dari kombinasi kerentanan genetik dan obesitas. Resistensi
insulin relatif, karena beredarnya tingkat insulin yang supranormal akan menormalkan
glukosa plasma. Pada kurva respon dosis insulin menunjukkan pergeseran ke kanan,
menunjukkan berkurangnyasensitivitas, dan respon maksimal berkurang,
menunjukkan penurunan secara keseluruhan dalam penggunaan glukosa maksimum
(30-60% lebih rendah dari pada individu normal). Resistensi insulin mengganggu
penggunaan glukosa oleh jaringan sensitif insulin dan meningkatkan output glukosa
hepatik; kedua efek berkontribusi pada terjadinya hiperglikemia.
Peningkatan output glukosa hepatik terutama menyumbang peningkatan tingkat
GDP, sedangkan penurunan hasil penggunaan glukosa perifer di hiperglikemia

10
postprandial. Pada otot rangka, ada penurunan lebih besar dalam penggunaan glukosa
nonoxidative (pembentukan glikogen) daripada metabolisme glukosa oksidatif
melalui glikolisis. metabolisme glukosa pada jaringan independen insulin tidak diubah
dengan DM tipe 2.
Mekanisme molekuler yang tepat mengarah ke resistensi insulin pada DM tipe 2
belum dijelaskan. Tingkat reseptor insulin dan aktivitas tyrosine kinase di otot rangka
berkurang, tetapi perubahan ini kemungkinan besar akibat hiperinsulinemia sekunder
dan bukan defek primer. Oleh karena itu, defek "postreseptor" pada insulin diatur oleh
fosforilasi/defosforilasi tampaknya memainkan peran dominan dalam resistensi
insulin. Kelainan termasuk akumulasi lipid dalam miosit skeletal, yang dapat
mengganggu fosforilasi oksidatif mitokondria dan mengurangi insulin merangsang
produksi ATP mitokondria. Gangguan oksidasi asam lemak dan akumulasi lipid dalam
miosit tulang juga dapat menghasilkan spesies oksigen reaktif seperti peroksida lipid.
Dari catatan, tidak semua jalur transduksi sinyal insulin resisten terhadap efek insulin
(misalnya, mereka mengendalikan pertumbuhan sel dan diferensiasi menggunakan
mitogenikjalur activated protein kinase). Akibatnya, hiperinsulinemia dapat
meningkatkan aksi insulin melalui jalur ini, berpotensi mempercepat kondisi diabetes
terkait seperti aterosklerosis.
Obesitas menyertai DM tipe 2, khususnya di lokasi pusat atau visceral, dianggap
bagian dari proses patogenik. Selain ini depot lemak putih, manusia sekarang diakui
memiliki lemak coklat, yang memiliki kapasitas termogenik yang jauh lebih besar.
Upaya sedang dilakukan untuk meningkatkan kegiatan atau kuantitas lemak coklat
(mis, myokine, irisin, dapat mengkonversi putih untuk lemak coklat). Massa adiposit
meningkat menyebabkan peningkatan kadar beredar asam lemak bebas dan produk sel
lemak lainnya. Misalnya, adipocytes mengeluarkan sejumlah produk biologis (asam
lemak bebas nonesterified, retinol-binding protein 4, leptin, TNF-, resistin, IL-6, dan
adiponektin). Selain mengatur berat badan, nafsu makan, dan pengeluaran energi,
adipokines juga memodulasi sensitivitas insulin. Peningkatan produksi asam lemak
bebas dan beberapa adipokines dapat menyebabkan resistensi insulin di otot rangka
dan hati. Misalnya, asam lemak bebas merusak pemanfaatan glukosa di dalam otot
rangka, meningkatkan produksi glukosa oleh hati, dan merusak fungsi sel beta.
Sebaliknya, produksi oleh adiposit adiponektin, suatu peptida yang peka terhadap
insulin, berkurang pada obesitas, dan ini dapat menyebabkan resistensi insulin
hepatik. Produk adiposit dan adipokines juga memproduksi keadaan peradangan dan

11
mungkin menjelaskan mengapa tanda peradangan seperti IL-6 dan protein C-reaktif
sering meningkat pada DM tipe 2. Selain itu, sel-sel inflamasi ditemukan
menginfiltrasi jaringan adiposa. Penghambatan jalur sinyal inflamasi seperti jalur
nuklir faktor-kB (NF-kB) muncul untuk mengurangi resistensi insulin dan
meningkatkan hiperglikemia pada model binatang dan sedang diuji pada manusia.

Gangguan Sekresi Insulin


Sekresi insulin dan sensitivitas saling terkait. Pada DM tipe 2, sekresi insulin
awalnya meningkatkan respons terhadap resistensi insulin untuk menjaga toleransi
glukosa normal. Awalnya, defek sekretori insulin ringan dan selektif melibatkan
glukosa yang merangsang sekresi insulin, termasuk penrunan pada fase sekretori
pertama. Respon terhadap secretagogues nonglucose lainnya, seperti arginin, yang
diawetkan, tapi fungsi beta keseluruhan berkurang sebanyak 50% pada awal DM tipe
2. Kelainan pada pengolahan proinsulin tercermin dengan peningkatan sekresi
proinsulin di DM tipe 2. Akhirnya, defek sekretori insulin adalah progresif. Alasan
penurunan kapasitas sekresi insulin dalam DM tipe 2 tidak jelas. Asumsinya adalah
bahwa defek genetik kedua menyebabkan kegagalan sel beta. Massa sel beta turun
sekitar 50% pada individu dengan lama DM tipe 2. Islet amyloid polipeptida atau
amylin, disekresikan oleh sel beta, membentuk deposit amyloid fibril ditemukan di
pulau dariindividu dengan berdiri lama DM tipe 2. Apakah deposit amyloid pulau
seperti peristiwa primer atau sekunder tidak diketahui. Lingkungan metabolik diabetes
juga dapat berdampak negatif terhadap fungsi islet. Misalnya, hiperglikemia kronik
paradoks merusak fungsi islet (toksisitas glukosa) dan mengarah ke memburuknya
hiperglikemia.Peningkatan kontrol glikemik sering dikaitkan dengan peningkatan
fungsi islet. Selain itu, ketinggian kadar asam lemak bebas (lipotoxicity) dan lemak
dari makanan juga dapat memperburuk fungsi pulau. Mengurangi GLP-1 tindakan
dapat berkontribusi untuk sekresi insulin berkurang.

G. Faktor Resiko
Faktor Resiko Diabetes Melitus:
1. Obesitas
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah,
pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan peningkatan kadar
glukosa darah menjadi 200mg%.
2. Hipertensi

12
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan eratdengan tidak
tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam
tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer.
3. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus
Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen diabetes.
Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang yang bersifat
homozigot dengan gen resesif tersebut yang menderita Diabetes Mellitus.
4. Dislipedimia
Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah
(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin
dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien Diabetes.
5. Umur
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus
adalah> 45 tahun.
6. Riwayat persalinan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi >
4000 gram.
7. Alkohol dan Rokok
Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan peningkatan
frekuensi DM tipe 2.Walaupun kebanyakan peningkatan inidihubungkan
dengan peningkatanobesitas dan pengurangan ketidakaktifan fisik, faktor-faktor
lain yang berhubungan dengan perubahan darilingkungan tradisional
kelingkungankebarat- baratan yang meliputiperubahan-perubahan dalam
konsumsialkohol dan rokok, juga berperandalam peningkatan DM tipe 2.
Alkoholakan mengganggu metabolisme gula darah terutama pada penderita
DM,sehingga akan mempersulit regulasigula darah dan meningkatkan tekanan
darah.

H. Manifestasi Klinik
Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut diabetes
melitus yaitu: Poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum),
poliuria(banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah
namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah
lelah.
Gejala kronik diabetes melitus yaitu: Kesemutan, kulit terasa panas atau seperti
tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk,
pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual

13
menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi
keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih
dari 4kg.

Patofisiologi gejala DM
Pada keadaan defisiensi insulin relatif, masalah yang akan ditemui terutama
adalah hiperglikemia dan hiperosmolaritas yang terjadi akibat efek insulin yang tidak
adekuat.
Hiperglikemia pada diabetes melitus terjadi akibat penurunan pengambilan
glukosa darah ke dalam sel target, dengan akibat peningkatan konsentrasi glukosa
darah setinggi 300 sampai 1200 mg per 100ml. Hal ini juga diperberat oleh adanya
peningkatan produksi glukosa dari glikogen hati sebagai respon tubuh terhadap
kelaparan intrasel. Keadaan defisiensi glukosa intrasel ini juga akan menimbulkan
rangsangan terhadap rasa lapar sehingga frekuensi rasa lapar meningkat (polifagi).
Penimbunan glukosa di ekstrasel akan menyebabkan
hiperosmolaritas.Pengeluaran cairan tubuh berlebih akibat poliuria disertai dengan
adanya hiperosmolaritas ekstrasel yang menyebabkan penarikan air dari intrasel ke
ekstrasel akan menyebabkan terjadinya dehidrasi, sehingga timbul rasa haus terus-
menerus dan membuat penderita sering minum (polidipsi). Dehidrasi dapat
berkelanjutan pada hipovolemia dan syok, serta AKI akibat kurangnya tekanan filtrasi
glomerulus. Jadi, salah satu gambaran diabetes yang penting adalah kecenderungan
dehidrasi ekstra sel dan intra sel, dan ini sering juga disertai dengan kolapsnya
sirkulasi.Dan perubahan volume sel akibat keadaan hiperosmotik ekstrasel yang
menarik air dari intrasel dapat mengganggu fungsi sel-sel dalam tubuh.
Kadar glukosa plasma yang tinggi (di atas 180 mg%) yang melewati batas ambang
bersihan glukosa pada filtrasi ginjal, yaitu jika jumlah glukosa yang masuk tubulus
ginjal dalam filtrat meningkat kira-kira diatas 225mg/menit, maka glukosa dalam
jumlah bermakna mulai dibuang atau terekskresi ke dalam urin yang disebut
glukosuria.Keberadaan glukosa dalam urin menyebabkan keadaan diuresis osmotik
yang menarik air dan mencegah reabsorbsi cairan oleh tubulus sehingga volume urin
meningkat dan terjadilah poliuria. Karena itu juga terjadi kehilangan Na dan K
berlebih pada ginjal.

I. Diagnosis

14
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu
>200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa
glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar
glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain
atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal. Konfirmasi tidak
diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut,
seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat.

Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji


diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan
pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala,
tetapi punya resiko DM (usia > 45 tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat
keluarga DM, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi > 4000 gr, kolesterol HDL
<= 35 mg/dl, atau trigliserida 250 mg/dl). Uji diagnostik dilakukan pada mereka
yang positif uji penyaring.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi
glukosa oral (TTGO) standar.

15
Gambar 6. Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi
glukosa

J. Tatalaksana
Tujuan Tatalaksana
- Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.
- Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.
- Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Dasar-dasar Pengobatan Terapi DM Tipe 2


Resistensi insulin merupakan dasar dari diabetes tipe 2, dan kegagalan sel mulai
terjadi sebelum berkembangnya diabetes yaitu dengan terjadinya ketidakseimbangan
antara resistensi insulin dan sekresi insulin. De Fronzo menyatakan bahwa fungsi sel
menurun sebesar kira-kira 20% pada saat terjadi intoleransi glukosa. Dengan
demikian jelas bahwa pendekatan pengobatan DM tipe 2 harus memperbaiki resistensi
insulin dan memperbaiki fungsi sel .

16
Hal yang mendasar dalam pengel olaan Diabetes mellitus tipe 2 adalah perubahan
pola hidup yaitu pola makan yang baik dan olahraga teratur. Dengan atau tanpa terapi
farmakologik, pola makan yang seimbang dan olahraga teratur (bila tidak ada
kontraindikasi) tetap harus dijalankan.

Target Glikemik
Penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) dan Studi
Kumamoto pada pasien DM tipe 2 menunjukkan target glikemik terapi DM tipe 2
yang menghasilkan perbaikan prognosis jangka panjang. Hasil penelitian klinik dan
epidemiologik menunjukkan bahwa dengan menurunkan kadar glukosa maka kejadian
komplikasi mikrovaskuler dan neuropatiakan menurun. Target kadar glukosa darah
yang terbaik berdasarkan pemeriksaan harian dan A1c sebagai index glikemia kronik
belum diteliti secara sistematik. Tetapi hasil penelitian DCCT (pada pasien diabetes
tipe 1) dan UKPDS (pada pasien diabetes tipe 2) mengarahkan gol pencapaian kadar
glikemik pada rentang nondiabetik. Akan tetapi pada kedua studi tersebut bahkan
pada grup pasien yang mendapat pengobatan intensif, kadar A1c tidak dapat
dipertahankan pada rentang nondiabetik . Stu di tersebut mencapai kadar rata-rata A1c
~7% yang merupakan 4SD diatas rata-rata non diabetik.
Target glikemik yang paling baru adalah dari ADA (American Diabetes
Association) yang dibuat berdasarkan kepraktisan dan projeksi penurunan kejadian
komplikasi, yaitu A1c<7%.

Pilar Penatalaksanaan DM
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
5. Cangkok pankreas

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama


beberapa waktu (24 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau
suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal
atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik

17
berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan
adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.

1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam
menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,
dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan
tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara
mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat
dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
2. Terapi Nutrisi Medis
- Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes
secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya).
- Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.
- Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masingmasing individu. Pada penyandang diabetes
perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan
jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin.

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:


Karbohidrat
- Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 4565% total asupan energi.
- Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
- Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
- Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan
sama dengan makanan keluarga yang lain.
- Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
- Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi
batas aman konsumsi harian (Accepted-Daily Intake)

18
- Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari.
Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
- Asupan lemak dianjurkan sekitar 2025% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan
melebihi 30% total asupan energi.
- Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
- Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak
jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole
milk).
- Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
Protein
- Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.
- Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan
tempe.
- Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan pro-tein menjadi 0,8
g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai
biologiktinggi.
Natrium
- Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1
sendok teh) garam dapur.
- Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.
- Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan na-trium nitrit.
Serat
- Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes di-anjurkan
mengonsumsicukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber
karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan
bahan lain yang baik untukkesehatan.
- Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari.
Pemanis alternative
- Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol danfruktosa.
- Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol danxylitol.

19
- Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan
kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
- Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek
samping pada lemak darah.
- Pemanis tak berkaloriyang masih dapat digunakan antara lain aspartam, sakarin,
acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
- Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batasaman (Accepted Daily
Intake / ADI).
Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan
kalori basal yang besarnya 2530 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi
bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat
badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang
dimodifikasi adalah sbb:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm 100) x 1 kg.
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks
massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT*
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,522,9
BB Lebih 23,0
*WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective:RedefiningObesity
and its Treatment.
Dengan risiko 23,024,9
Obes I 25,029,9
Obes II > 30

20
Faktorfaktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:
- Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita
sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/kg BB.
- Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade
antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69 tahun dan
dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.
- Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan
istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas
sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat.
- Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 2030% tergantung kepada tingkat kegemukan.
Bila kurus ditambah sekitar 2030% sesuai dengan kebutuhan untuk
meningkatkan BB.Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang
diberikan paling sedikit 10001200 kkal perhari untuk wanita dan 12001600 kkal
perhari untuk pria.
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani secara teratur (34 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit). Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan beratbadan dan memperbaiki sensitivitas
insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani.
Tabel 2. Aktivitas Sehari-hari

4. Terapi Farmakologi

21
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan.
Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid.
1) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan
berat badan normal dan kurang.Namun masih boleh diberikan kepada
pasien dengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan
seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjur kan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang.
2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam
benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion.
1) Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPARg), suatu reseptor inti di sel otot dan sel
lemak.Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer.Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas IIV karena
dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati.
Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantauan faal hati secara berkala.
c. Penghambat glukoneogenesis (metformin).
1) Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin

22
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasienpasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah
makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara
titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau
efek samping obat tersebut.
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa (Acarbose).
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Acarbosetidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang
paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.
e. DPPIV inhibitor.
Glucagon-like peptide-1(GLP1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa
usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP1
merupakan
perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat
sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP1 diubah oleh enzim
dipeptidyl peptidase4 (DPP4), menjadi metabolit GLP1(9,36)amide yang tidak
aktif.
Sekresi GLP1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan
DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP1 dapat dicapai dengan pemberian
obat yang menghambat kinerja enzim DPP4 (penghambat DPP4), atau
memberikan hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP1 agonis).
Berbagai obat yang masuk golongan DPP4 inhibitor, mampu menghambat
kerja DPP4 sehingga GLP1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk
aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat
penglepasan glukagon.
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
- OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
- Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan
- Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
- Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
- Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama

23
- Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
- DPPIV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.
Suntikan
1) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
- Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasionalyang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasidan atau alergi terhadap OHO
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
- Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
- Insulin kerja pendek (short acting insulin)
- Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
- Insulin kerja panjang (long acting insulin)
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).
Efek samping terapi insulin
- Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
- Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang
dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
Dasar pemikiran terapi insulin:
- Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial.
Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang
fisiologis.
- Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial
atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya
hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial
akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.
- Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi
terhadap defisiensi yang terjadi.
- Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah
basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral
maupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran
glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau
panjang).

24
- Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan
dengan menambah 24 unit setiap 34 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
- Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telahtercapai, sedangkan A1C
belum mencapai target,maka dilakukan pengendalian glukosa darah
prandial (mealrelated). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran
glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin
kerja pendek (short acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin
prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1
kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial (basal 2
plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal bolus).
- Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan
glukosa darah prandialseperti golongan obat peningkat sekresi insulin
kerja pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapankarbohidrat
dari lumen usus (acarbose).
- Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan
pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah harian.
2) Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP1 dapat bekerja sebagai perangsang
penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun
peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan
insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP1 bahkan mungkin menurunkan berat
badan. Efek agonis GLP1 yang lain adalah menghambat penglepasan
glukagon yang diketahui berperan pada prosesglukoneogenesis. Pada
percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas.
Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan
muntah.
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan
OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combinationdalam bentuk tablet
tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai

25
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO
dapat menjadi pilihan.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan
terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik
dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah
610 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis
tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan
cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali,
maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.
Penilaian Hasil Terapi
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah. Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
- Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
- Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran
terapi.Guna mencapai tujuan tersebut perludilakukan pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa, glukosa2 jam post prandial, atau glukosa darah pada
waktu yanglain secara berkala sesuai dengan kebutuhan.
b. Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin,
atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang
digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 812 minggu sebelumnya. Tes ini
tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan
A1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun.

26
c. Pemeriksaan Glukosa Urin
Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung. Hanya
digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa
darah. Batas ekskresi glu-kosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat bervariasi
pada beberapa pasien, bahkan pada pasien yang sama dalam jangka waktu lama.
Hasil pemeriksaan sangat bergantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat
dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.

27
d. Pemantauan Benda Keton
Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting
terutama pada penyandang DM tipe 2 yangterkendali buruk (kadar glukosa
darah>300 mg/dL). Peme-riksaan benda keton juga diperlukan pada penyandang
diabe-tes yang sedang hamil. Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat,
sementara benda keton yang penting adalah asam beta hidroksibutirat. Saat ini
telah dapat dilakukan pemeriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam darah
secaralangsung dengan menggunakan strip khusus. Kadar asam beta hidroksibutirat
darah <0,6 mmol/L dianggap normal, di atas 1,0 mmol/L disebut ketosis dan
melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD. Pengukuran kadar glukosa darah dan
benda ke-ton secara mandiri, dapatmencegah terjadinya penyulit akut diabetes,
khususnyaKAD.
Kriteria Pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diper-lukan pengendalian
DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar
glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga
mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah.
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali
kadar glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan sesudah
makan 145-180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain,
mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat
sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya
efek samping hipoglikemia dan interaksi obat.

Table 3. Target Pengendalian DM

28
K. Penyulit Diabetes Mellitus
Penyulit Akut
1) Ketoasidosis diabetik (KAD)
Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan
kadar glukosa darah yang tinggi (300600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda
dan gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat
(300320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap.
2) Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (6001200
mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat
(330380 mOs/mL), plasma keton (+/), anion gap normal atau sedikit
meningkat.Catatan: kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Memerlukan perawatan di rumah sakit
guna mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.
3) Hipoglikemia
Hipoglikemia dan cara mengatasinya:
- Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL
- Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu
dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering
disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat
sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh
obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu
yang cukup lama untuk pengawasannya (2472 jam atau lebih, terutama pada
pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkanterapi dengan OHO

29
kerja panjang). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus
dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran
mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut
sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.
- Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak
keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuroglikopenik (pusing, gelisah,
kesadaran menurun sampaikoma).
- Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Bagi
pasien dengan kesadaran yang masih baik, diberikan makanan yang
mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau
glukosa 15-20 gram melalui intravena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang
glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada
pasien dengan hipoglikemia berat.
- Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan
glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum
dapat dipastikan penyebab menurunnyakesadaran.
Penyulit Menahun
1) Makroangiopati
- Pembuluh darah jantung
- Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadipada penyandang
diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent,
meskipun sering tanpagejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan
kelainanyang pertama muncul.
- Pembuluh darah otak
2) Mikroangiopati:
- Retinopati diabetic
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan
memberatnya retinopati. Terapi aspirintidak mencegahtimbulnya retinopati
- Nefropati diabetik
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan me-ngurangi risiko
nefropati
- Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi
risikoterjadinya nefropati
3) Neuropati
- Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa
hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untukterjadinya ulkus kaki dan
amputasi.
- Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetarsendiri, dan
lebihterasasakit di malam hari.

30
- Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining
untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi
sederhana, dengan monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun.
- Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai
akan menurunkan risiko amputasi.
- Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresantrisiklik,
atau gabapentin.
- Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan
edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki.

L. Pencegahan
Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang
memiliki faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi
untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa. Materi penyuluhan
meliputi program penurunan berat badan, diet sehat, latihan jasmani dan
menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan kebijakan kesehatan ini
tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi penyakit ini,
pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai dalam upaya pencegahan
primer.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan
dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit
sejak awal pengelolaan penyakit DM. Penyulihan ditujukan terutama bagi
pasien baru, yang dilakukan sejak pertemuan pertama dan selalu diulang pada
setiap pertemuan berikutnya. Pemberian antiplatelet dapat menurunkan resiko
timbulnya kelainan kardiovaskular pada penyandang diabetes.
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah
mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih
menlanjut. Pada pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan kepada pasien
dan juga kelurganya dengan materi upaya rehabilitasi yang dapat dilakakukan
untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Upaya rehabilitasi pada pasien
dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan menetap, misalnya pemberian
aspirin dosis rendah80-325 mg/hari untuk mengurangi dampak

31
mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin,
jantung, ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi
medik, gizi, pediatrist dll sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan
pencegahan tersier.

BAB III
KASUS

A. Identitas
Nama : Ny . M
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 53 Tahun
Alamat : Jl. Bakuku No. 3
Tanggal Pemeriksaan : 4 Oktober 2016
Ruangan : Walet Bawah

32
B. Anamnesis
Keluhan Utama : Pasien Mengeluh nyeri dan bengkak pada punggung
belakang.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien perempuan usia 53 tahun masuk ruah sakit umum anutapura palu
dengan keluhan nyeri dan bengkak pada daerah punggung belakang. Keluhan
ini dialami sejak 1 minggu yang lalu. Pasien mengaku awalnya muncul bintik
merah di daerah punggung berukuran kecil kurang dari 3 cm. lama kelamaan
luka membesar dan bengkak serta keluar cairan dari luka seperti nanah .
pasien mengaku menggaruk luka tersebut.
Selain itu pasien sering mengeluh mengalami kesemutan dan keram pada
kedua kaki , sehingga membuat pasien sulit untuk bekerja. Tidak terdapat luka
pada kedua kaki. Hal ini dialami sejak kurang lebih 3 bulan yang lalu. Selain
itu pasien sering merasa haus dan sering buang air kecil terutama pada malam
hari. Frekuensi buang air kecil lebih dari 10 kali dalam sehari. Pasien
menyangkal tidak penurunan berat badan, selain itu pasien juga mengeluh
sering merasa mudah lelah dan mudah mengantuk. Keluhan ini sudah dialami
juga sekitar tiga bulan yang lalu. Buang air besar dalam batas normal, mual
tidak ada , muntah tidak ada, demam tidak ada.

33
Menurut keluarga dan pasien , pasien belum pernah mengkomsi obat
apapun, dan belum pernah kedokter. Pasien menyangkal ada riwayat gula dan
tidak ada riwayat tekanan darah tinggi. Pasien juga mengaku tidak memiliki
riwayat penyakit dalam keluarga .

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat DM (-)
- Riwayat HT (-)
- Riwayat Stroke (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sakit sedang / Compos Mentis
BB : 72 kg
TB : 166 cm
IMT : 26,1 (BB Lebih)

Tanda vital :
TD : 100/60 mmHg Pernapasan : 22 kali/menit
Nadi : 88 kali/menit Suhu : 36,2 0C

Kepala :
Wajah : Pucat (-), Sianosis (-), Edema (-) Jejas (-)
Deformitas : Tidak ada
Bentuk : Normocephal
Rambut : Warna hitam, Rontok (-), tidak mudah dicabut
Mata : - Konjungtiva: anemis -/-
- Sklera : ikterus -/-
- Pupil : isokor, diameter + 3 mm/3 mm
Mulut : Hiperemis (-), Ulkus (-), Lidah kotor (-)

Leher :
KGB : Pembesaran KGB (-)
Tiroid : Simetris, mengikuti gerakan menelan, pembesaran (-)
JVP : R5 + 2 cm H2O
Massa Lain : Tidak ada

34
Dada :
Paru-paru :
- Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, Retraksi dinding dada
(-), pembesaran vena-vena pada dinding dada(-)
Tampak ulkus pada bagian dorsal region thoracalis
- Palpasi : Vocal premitus kanan dan kiri normal, nyeri
tekan (-), krepitasi (-), massa (-)
- Perkusi : Sonor pada lapangan paru
- Auskultasi : Vesikuler +/+, Rh -/- , Wh -/-

Jantung :
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V midclavicula sinistra
- Perkusi :
- Batas kanan atas ICS 2 ( Katup Aorta ICS 2 linea
parasternalis sinistra dan katup pulmonal ICS 2 linea
parasternalis sinistra)
- Batas kanan bawah ICS IV 2 jari dari linea parasternalis
dextra.
- Batas kiri bawah SIC V linea midclavicula sinistra.
- Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, Murmur (-), Gallop (-).

Perut :
- Inspeksi : tampak cembung kesan normal, pembesaran vena-vena (-)
- Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
- Perkusi : Tympani pada 9 kuadran abdomen
- Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-)

Anggota gerak :
- Atas : akral hangat (+/+) edema (-/-), tidak ada hambatan gerak
- Bawah : akral hangat (+/+) edema (-/-), tidak ada hambatan gerak

35
D. Hasil Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium

DARAH LENGKAP NILAI RUJUKAN


( 10 JULI 2016)
WBC 13,3 x 103/mm3 4,8-10,8
RBC 3,4 x 106/mm3 4,7-6,1
PLT 434 x 103/mm3 150-450
HCT 30,5 % 42-52
HGB 10,7 g/dl 14-18

KIMIA DARAH HASIL NILAI RUJUKAN


(11 Juli 2016)
Glukosa sewaktu 443 170 mg/dl
Glukosa puasa 226 100-125 mg/dl

A. Resume
Pasien perempuan usia 53 tahun masuk ruah sakit umum
anutapura palu dengan keluhan nyeri dan bengkak pada daerah punggung
belakang. Keluhan ini dialami sejak 1 minggu yang lalu. Pasien mengaku
awalnya muncul bintik merah di daerah punggung berukuran kecil kurang dari
3 cm. lama kelamaan luka membesar dan bengkak serta keluar cairan dari luka
seperti nanah . pasien mengaku menggaruk luka tersebut.
Selain itu pasien sering mengeluh mengalami kesemutan dan keram pada
kedua kaki , sehingga membuat pasien sulit untuk bekerja. Tidak terdapat luka
pada kedua kaki. Hal ini dialami sejak kurang lebih 3 bulan yang lalu. Selain
itu pasien sering merasa haus dan sering buang air kecil terutama pada malam
hari. Frekuensi buang air kecil lebih dari 10 kali dalam sehari. Pasien
menyangkal tidak penurunan berat badan, selain itu pasien juga mengeluh
sering merasa mudah lelah dan mudah mengantuk. Keluhan ini sudah dialami
juga sekitar tiga bulan yang lalu. Buang air besar dalam batas normal, mual
tidak ada , muntah tidak ada, demam tidak ada.
Menurut keluarga dan pasien , pasien belum pernah mengkomsi obat
apapun, dan belum pernah kedokter. Pasien menyangkal ada riwayat gula dan
tidak ada riwayat tekanan darah tinggi. Pasien juga mengaku tidak memiliki
riwayat penyakit dalam keluarga .
Tanda vital : TD : 100/60. N : 88 x/m. R : 22 x/m. S : 36,2oC. Fisis : Tampak
ulkus pada bagian dorsalis region thorakalis. Vesikuler +/+ Rhonki -/- Wz -/-

36
BJ 1&2 reguler. Pada palpasi daerah thorax vocal premitus kanan dan kiri
normal. Sementara pada perkusi didapatkan sonor pada kedua lapangan paru.

B. Diagnosis Sementara dan Diagnosis Banding


1. Diagnosis Kerja : Ulkus Diabetik + DM Type 2
DD : Furunkel , abses

C. Penatalaksanaan:
Non Medikamentosa:
Gaya Hidup sehat :
Penurunan Berat badan
Mengatur Diet
Latihan jasmani teratur

Medikamentosa:
IVFD Maltose 20 Tpm
Ceftriaxone Vial / 24 jam / iv
Metronidazole vial/8 jam/ iv
Novorapid 8.8.8

D. Pemeriksaan Tambahan
Laboratorium : Darah lengkap, kimia darah

E. Diagnosis Akhir:
Ulkus Diabetik + DM type 2

K. Prognosis
Dubia ad bonam

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes mellitus.


Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson price, Lorraine Mc
Carty Wilson; alih bahasa, Brahm U. Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia Edisi
6. Jakarta;2014; hal.1259
2. American Diabetes Association; Standards of Medical Care inDiabetes2014.
3. American Diabetes Association. Diabetes CareVolume 38, Supplement 1,
January 2015. USA.
4. American Diabetes Association (ADA) Diabetes Guidelines Summary
Recommendations from NDEI. 2016.
5. Foster DW, et al. Diabetes melitus. Dalam: Harrison Prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.
6. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III.
Edisi V. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2009.
7. Harding, Anne Helen et al. Dietary Fat and Risk of Clinic Type Diabetes.
American Journal of Epidemiology.2003;15(1);150-9.
8. Hawkins M, Rossetti L. Insulin Resistance and Its Role in the Pathogenesis of
Type 2 Diabetes. In : Kahn CR, King GL, Moses AC, Weir GC, Jacobson AM,
Smith RJ (Eds) Joslins Diabetes Mellitus. Lippincott Williams & Wilkin.
Philadelphia. Pg 425-448, 2005
9. Leahy JL. B-cell Dysfunction in Type 2 Dia betes In: Kahn CR, King GL,
Moses AC, Weir GC, Jacobson AM , Smith RJ (Eds) Joslins Diabetes Mellitus.
Lippincott Williams & Wilkin. Philadelphia. Pg 449-462, 2005
10. Nathan MN, Buse JB, Mayer BD, Ferrannini E, Holman RR, Sherwin R et al.
Medical management of Hyperglycemia in Type 2 Diabetes A consensus
Algorithm for the Initiation and Adjustment of Therapy. A consensus statement

38
of the American Diabetes Association and the European Association for the
Study of Diabetes. Diabetes Care2008; 31:1-11.
11. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. 2011. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.
Jakarta. 2011.
12. Soegondo S, dkk. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe
2 di Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 2011
13. Teixeria L. Regular physical exercise training assists in preventing type 2
diabetes development: focus on its antioxidant and anti-inflammantory
properties. Biomed Central Cardiovascular Diabetology. 2011; 10(2);1-15.
14. Waspadji S, dkk. Komplikasi kronik diabetes: mekanisme terjadinya, diagnosis
dan strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit
FKUI, 2006.

39

Anda mungkin juga menyukai