Peranan Ombudsman Bagi Pemerintah Daerah
Peranan Ombudsman Bagi Pemerintah Daerah
Pada sidang tahunan tahun 2001 Majelis Permusyawaratan Rakyat telah menetapkan
ketetapan MPR No: VII/MPR/2001 tentang rekomendasi arah kebijakan negara yang bersih dan
bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme. Pasal 2 ayat 6 pada ketetapan tersebut berbunyi:
Membentuk Undang-undang beserta peratuan pelaksanaannya untuk pencegahan korupsi yang
muatannya meliputi:
Kepres No.44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional merupakan dasar
hukum bagi operasionalisasi Ombudsman di Indonesia. Pada Kepres ini banyak pengaturan yang
masih bersifat umum. Pada Kepres ini kewenangan Ombudsman masih sangat terbatas sehingga
ruang geraknya pun sangat sempit. Apalagi Komisi ini, hanya berada di Ibukota Jakarta padahal
kewenangannya mencakup seluruh wilayah di Indonesia. Dari kepres No.44 Tahun 2000 ini
komisi ombudsman menyiapkan sebuah konsep Rancangan Undang-Undang Ombudsman
Nasional.
Pasal 2 menyatakan Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan masyarakat
yang berasaskan pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenang melakukan klarifikasi,
monitoring dan pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara
khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan terutama dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam UU RI No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang disahkan pada tanggal
18 Juli 2009, menyatakan bahwa Ombudsman merupakan salah satu lembaga pengawas ekternal
selain pengawasan masyarakat dan pengawasan DPR/DPRD yang berhak untuk melakukan
pengawasan pelayanan publik. Hal ini termuat dalam pasal 35 ayat 3 UU RI No. 25 Tahun 2009:
pengawasan eksternal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui:
Ombudsman adalah institusionalisasi dari hak-hak sipil (hak-hak hukum) yang dimiliki
oleh setiap warga negara untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari institusi pemerintah.
Dengan demikian, Ombudsman adalah lembaga yang memperjuangkan hak-hak sipil warga
negara dalam berhubungan dengan pemerintah, karena pemerintah bertanggung jawab untuk
merealisasikan hak-hak warga negara tersebut. Fungsi ombudsman pada dasarnya adalah fungsi
mediasi antara pihak pelapor (anggota masyarakat) dan terlapor (aparatur negara dan aparatur
pemerintah). Agar fungsi ini dapat berjalan dengan baik, maka setiap institusi pemerintah harus
mempunyai prosedur dan alur administratif pelayanan publik dan aturan tingkah laku (code of
conduct) aparatur negara di lingkungan pekerjaan masing-masing.
Ombudsman Indonesia dapat disebut sebagai lembaga negara yang berbentuk badan
hukum publik, karena Ombudsman dibentuk oleh kekuasaan umum dan dimaksudkan untuk
menyelenggarakan kegiatan yang mempunyai tujuan untuk kepentingan umum. Ombudsman
berperan sebagai perantara/ penghubung aspirasi dan keluhan dari masyarakat.
Antara Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 UU tersebut ada hubungannya, yakni hubungan
kelaziman. Artinya sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi
penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan
pemerintahan, Ombudsman harus tidak mempunyai hubungan apapun dengan lembaga negara
atau instansi lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur
tangan kekuasaan lainnya, sehingga kedudukannya sebagai lembaga yang mandiri benar-benar
tercermin, dan dapat bekerja secara maksimal dan optimal dalam melaksanakan fungsi, tugas dan
wewenangnya. Dengan kata lain, Ombudsman adalah lembaga pengawas eksternal bagi
penyelenggara negara pada berbagai lembaga tinggi negara. Oleh karena itu pula Pasal 20 UU
No. 37 tahun 2008 menyebutkan :
Ketua, wakil ketua dan anggota Ombudsman dilarang merangkap menjadi :
a pejabat negara atau penyelenggara negara menurut peraturan perundang-undangan
b Pengusaha
c Pengurus atau karyawan BUMN atau BUMD
d Pegawai negeri
e Pengurus parpol
f Profesi lainnya
Mengenai Tugas dan Wewenang Ombudsman Republik Indonesia tercantum dalam Pasal
7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia,
yang selengkapnya pasal tersebut berbunyi :
a meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain yang
terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman;
b memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun
Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan;
c meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi
mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor;
d melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan
Laporan;
e menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak;
f membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk
membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan;
g demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi.
Pasal 8 ayat (2), Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman
berwenang:
a menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara
lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik;
b menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan
peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah
Maladministrasi.
Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak
dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, membangun kepercayaan masyarakat
atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang
harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang
peningkatan pelayanan publik, sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap
warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi pengaturan secara
jelas, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik
sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi
perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.
Selama ini kita memang sudah memiliki lembaga pengawas baik yang bersifat struktural
maupun fungsional. Bahkan terdapat lembaga pengawas yang secara eksplisit dicantumkan
dalam undang-undang dasar yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan dan
ataupun Bank Indonesia. Selain itu juga terdapat organisasi non pemerintah ataupun Lembaga
Swadaya Masyarakat yang sekarang ini banyak tumbuh serta turut beraktifitas melakukan
pengawasan atas pelaksanaan penyelenggaraan negara.
1 Lembaga Pengawas Struktural sebagaimana selama ini dilakukan oleh Inspektorat Jenderal jelas
tidak mandiri karena secara organisatoris merupakan bagian dari Kelembagaan atau
departemen terkait. Dalam menghadapi ataupun menindaklanjuti laporan sangat tergantung
oleh atasan. Lagi pula pengawasan yang dilakukan bersifat intern artinya kewenangan yang
dimiliki dalam melakukan pengawasan hanya mencakup urusan institusi itu sendiri.
2 Lembaga Pengawas Fungsional seperti BPK (Badan Pengawas Keuangan) dan BPKP (Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan), meskipun tidak bersifat intern, namun
substansi/sasaran pengawasan terbatas pada aspek tertentu terutama maslah keuangan. Lagi
pula aparat pengawas fungsional pada umumnya tidak menangani keluhan-keluhan yang
bersifat individual, mereka melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan secara
rutin baik yang merupakan anggaran rutin maupun pembangunan.
3 Lembaga pengawas yang secara ekplisit dicantumkan dalam konstitusi, yaitu DPR/DPRD,
mereka melakukan pengawasan terhadap kebijakan umum namun pada satu sisi substansi
yang diawasi terlalu luas dan tentu saja bersifat politis. Karena memang secara kelembagaan
dewan perwakilan rakyat merupakan lembaga politik serta mewakili kelompok- kelompok
politik sehingga pengawasannya juga tidak terlepas dari kepentingan kelompok yang mereka
wakili.
4 Pengawasan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat sekarang ini telah menjadi trend dan
berkembang pesat. Namun karena sifatnya swasta dan kurang terfokus maka lebih banyak
ditanggapi acuh tak acuh. Terlebih lagi pengawasan yang dilakukan sering kurang data dan
lebih mengarah pada publikasi sehingga faktor akurasi dan keseimbangan fakta perlu labih
memperoleh perhatian.1
a) Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain
yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman;
b) Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun
Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan;
c) Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi
mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor;
d) Melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan
Laporan;
e) Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak;
f) Membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk
membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan;
g) Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi.2
1 https://www.academia.edu/9167465/peranan_ombudsman
Apabila dilihat peranan ombudsman untuk daerah, melihat konteks Indonesia, dengan
luas wilayah kepulauan dan jumlah penduduk yang sangat besar, barangkali tidak mungkin
semua masalah maladministrasi publik bisa ditangani oleh Ombudsman nasional secara cepat
dan murah. Dalam konteks otonomi daerah, dimana hampir seluruh kewenangan public
administration dilimpahkan ke daerah, maka harus dimungkinkan dibentuk Ombudsman daerah
yang independen. Pelaksanaan desentralisasi kekuasaan yang tidak diikuti dengan pembangunan
sistem akuntabilitas dan pengawasan eksternal yang kuat cenderung akan mengakibatkan
terjadinya desentralisasi korupsi.4
Berkaitan dengan fungsi yang dimiliki oleh Ombudsman daerah adalah sama dengan fungsi
Ombudsman Nasional, yaitu sama-sama merupakan lembaga atau institusi pengaduan
masyarakat terhadap tindakan aparatur pemerintahan atau pejabat pelayanan publik yang
diindikasikan melanggar hak-hak yarakat. Sedangkan kompetensi atau kewenangan dari
Ombudsman daerah menurut pendapat Galang Asmara adalah sebagai berikut: Seperti telah
dikemukakan di muka, bahwa pembentukan ombudsman daerah ada hubungannya dengan
5 Masthuri, Budhi, Mengenal Ombudsman Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita,
2005), hal.79
Dengan adanya kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
maka tentunya pelayanan publik merupakan sesuatu yang tidak dapat terpisahkan dari
peyelenggaraan kewenangan otonomi yang dimaksud, dengan kata lain bahwa pelayanan publik
di daerah akan menjadi bagian penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Sebagaimana
telah dikemukakan sebelumnya bahwa dengan adanya pelimpahan kekuasaan (desentralisasi)
melalui otonomi daerah maka tentunya proses pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik di
daerah tidak akan efektif apabila hanya dilakukan oleh sebuah Ombudsman Nasional. 9 Dengan
adanya pelimpahan kekuasaan tersebut maka peluang untuk terjadinya penyimpangan dan/atau
penyalahgunaan kewenangan menjadi besar, terutama dalam hal pelayanan publik di daerah.
Singkatnya, desentralisasi dan otonomi daerah yang berakibat pada kewenangan daerah
semakin luas dan besar dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya tanpa diimbangi dengan
sistem pengawasan yang memadai, maka dapat berisiko memperbesar praktek-praktek
penyimpangan terhadap jabatan penyelenggara daerah, baik itu betindak sewenang-wenang
maupun menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya. Oleh karena itu, untuk menghindari
adanya penyalahgunaan kewenangan dan tindakan sewenangwenang dari pejabat publik di
Maka dari itu Ombudsman Daerah haruslah menjadi sebuah lembaga pengawasan yang
bersifat otonom yang kedudukannya sejajar dengan Pemerintah Daerah dan DPRD agar
pengawasan terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam
penyelenggaraan pelayanan publik di daerah dapat diimbangi oleh lembaga yang juga bersifat
otonom. Jika memperhatikan ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Pasal 5 ayat (2)
yang menyatakan bahwa Ombudsman dapat mendirikan perwakilan Ombudsman di provinsi
dan/atau kabupaten/kota, maka secara otomatis Ombudsman tersebut merupakan sebuah
institusi yang bersifat independent yang bukan merupakan bawahan atau bagian dari pemerintah
daerah (eksekutif) maupun DPRD dikarenakan Ombudsman Daerah yang didirikan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tersebut merupakan bagian dari Ombudsman di tingkat
pusat yang memiliki hubungan hierarki (Pasal 43). Jika daerah hendak mendirikan Ombudsman
Daerah yang tidak terkait dengan Ombudsman di tingkat pusat, maka sudah seharusnya
Ombudsman Daerah yang hendak dibentuk bukan merupakan bagian sub-ordinat dari pemerintah
daerah maupun DPRD-nya, dikarenakan watak dari Ombudsman itu sendiri berdasarkan teori-
teori yang telah dikemukakan di muka maupun praktek-praktek di berbagai negara, merupakan
Sebaiknya Ombudsman yang dibuat di daerah merupakan bagian dari pemerintah daerah
(pemda) maupun DPRD. Hal ini akan mengurangi efektivitas dari ombudsman tersebut, terlebih
apabila Obudsman tersebut merupakan bagian dari pemerintah daerah (pemda). Sebagaimana
lembaga pengawasan yang ada di daerah yang merupakan bagian dari pemerintah daerah seperti
Badan pengawas Daerah (sekarang berubah menjadi Inspektorat Daerah) tidak akan efektif
dalam melaksanakan pengawasan yang dilakukannya dikarenakan masih merupakan bagian dari
pemerintah daerah atau bertanggungjawab kepada kepala daerah. 12 Sehingga, kedudukan
ombudsman di daerah yang paling ideal adalah bersifat otonom yang bukan merupakan bagian
dari pemerintah daerah maupun DPRD. Selain daripada itu, hendaknya Ombudsman yang ada di
daerah merupakan bagian dari Ombudsman di tingkat pusat sebagaimana Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) yang juga membentuk perwakilan di daerah-daerah yang memiliki hubungan
hierarkis antara satu dengan yang lainnya.