Anda di halaman 1dari 55

Laboratorium / SMF Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Kasus

Program Pendidikan Dokter Universitas Mulawarman


RSUD A.W.Sjahranie Samarinda

SINDROM SYOK DENGUE

Disusun Oleh:

Karina Haque 1610029046


Stevie A.G.T 1610029041

Pembimbing:

dr. Sherly Yuniarchan, Sp.A

Dipresentasikan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda
Februari 2017

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya
berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tutorial kasus dengan judul Sindrom Syok Dengue. Dalam kesempatan ini, kami
ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya
kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu penulis dalam pelaksanaan
hingga terselesaikannya tutorial kasus ini, diantaranya:

1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas


Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp. A, selaku Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Sherly Yuniarchan, Sp. A, selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan saran selama penulis menjalani co.assisten di
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak.
5. Dosen-dosen klinik dan preklinik FK UNMUL khususnya staf pengajar
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak, terima kasih atas ilmu yang telah diajarkan
kepada penulis.
6. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK
UNMUL dan semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun
tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun
dari para pembaca untuk perbaikan kepenulisan di masa mendatang.

Samarinda, 24 Februari 2017

Penulis

Tutorial Kasus

2
SINDROM SYOK DENGUE

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Ilmu Kesehatan Anak
KARINA HAQUE
1610029046
STEVIE ALEXIA GREAN TEKWAN
1610029041

Menyetujui,

dr. Sherly Yuniarchan, Sp. A

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
FEBRUARI 2017

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................
KATA PENGANTAR..........................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................
DAFTAR ISI .....................................................................................................
1. PENDAHULUAN.........................................................................................
2. KASUS .....................................................................................................
3.TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................
16
3.1 Definisi..................................................................................................
16
3.2 Etiologi..................................................................................................
16
3.3 Epidemiologi.........................................................................................
17
3.4 Patofisiologi..........................................................................................
18
3.5 Patogenesis...........................................................................................
22
3.6 Manifestasi klinis..................................................................................
24
3.7 Diagnosis...............................................................................................
28
3.8 Penatalaksanaan....................................................................................
33
3.9 Pemberantasan......................................................................................
48
4. PEMBAHASAN...........................................................................................
50

4
5. PENUTUP.....................................................................................................
53
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
55

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam dekade terakhir infeksi yang diakibatkan oleh virus dengue telah
dinyatakan sebagai ancaman bagi kesehatan dan beban pada layanan kesehatan
dan ekonomi masyarakat. Dibandingkan dengan 50 tahun yang lalu, kejadian di
seluruh dunia saat ini telah meningkat hingga 30 kali lipat. Banyak negara yang
melaporkan kasus dengue sebagai kasus baru di tempat tinggal mereka. Saat ini,
dengue menduduki peringkat tertinggi penyakit virus yang dibawa oleh nyamuk.
Dengue merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh
daerah tropis dan sub-tropis di dunia. Penyakit ini merupakan penyakit virus
nyamuk yang cepat menyebar. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
memperkirakan bahwa 50-100.000.000 infeksi dengue terjadi setiap tahun dan
bahwa hampir setengah populasi dunia tinggal di daerah-daerah endemik dengue.
Hampir sekitar 75% populasi dunia terjangkit dengue berada di wilayah Asia-
Pasifik.

5
Wabah dengue menyebabkan penderitaan bagi manusia, ketegangan bagi
pelayanan kesehatan dan kerugian ekonomi besar-besaran. Dalam beberapa
negara, beban dengue sebanding dengan tuberkulosis dan penyakit menular
lainnya dengan beban penyakit yang tinggi. Banyak kasus dengue yang dapat
berujung pada kasus berat tanpa diduga sebelumnya sehingga membutuhkan
perawatan rumah sakit. Hal ini merupakan tantangan bagi lembaga kesehatan
untuk lebih waspada.
Kematian yang diakibatkan oleh karena dengue dapat ditekan dengan
cara deteksi kasus secara dini dan penanganan secara tepat kasus berat dengue.
Tinjau kembali cara identifikasi secara dini dan penanganan dengue serta latih
tenaga medis pada pelayanan kesehatan primer agar penanganan dapat
dilaksanakan dengan tepat bahkan dari pelayanan kesehatan primer.

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan tutorial ini adalah:
1. Menambah ilmu pengetahuan mengenai kasus infeksi yang diakibatkan
oleh virus dengue.
2. Mengkaji ketepatan penegakkan diagnosis, penyebab dan tatalaksana yang
tepat pada dengue.

6
BAB II
KASUS

Alloanamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 22 Februari


2017, di Ruang PICU RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.Alloanamnesa
diberikan oleh ibu pasien.

2.1 Anamnesis
Identitas Pasien

Nama : An. A

Umur/ Tanggal lahir : 4 tahun 9 bulan/ 21 Mei 2012

Jenis kelamin : Perempuan

Anak ke : 3 dari 3 anak

Alamat : Jl. Bukit Barisan RT.21

MRS tanggal 21 Februari 2017, pukul 15.30 WITA

Identitas Orang Tua

Nama Ayah : Tn. S

Umur : 35 tahun

Pekerjaan : Swasta

Pendidikan Terakhir : SMA

Ayah perkawinan ke :2

Riwayat kesehatan ayah : Sehat

Nama Ibu : Ny.E

Umur : 34 tahun

7
Pekerjaan : IRT

Pendidikan Terakhir : SMA

Ibu perkawinan ke :2

Riwayat kesehatan Ibu : Sehat

Keluhan Utama
Bintik merah di tubuh

Riwayat Penyakit Sekarang


Anamnesis didapatkan dari Ibu pasien pada tanggal 22 Februari 2017.
Pasien merupakan rujukan dari klinik Islamic Centre karena mengalami
trombositopenia. Pasien mengalami demam sejak 4 hari sebelum MRS. Demam
bersifat naik turun dan tidak disertai mengigau. Sebelumnya pasien dibawa
berobat ke mantri dan diberi obat parasetamol serta puyer namun ibu tidak tahu
nama obatnya. Setelah minum parasetamol, demam turun namun timbul lagi
setelah beberapa saat. Pada 1 hari sebelum MRS pasien mengalami mimisan dan
bibir berdarah disertai dengan bintik merah pada bagian dahi, punggung dan dada
pasien. Ibu segera membawa pasien ke klinik Islamic Centre, dan pasien langsung
di rujuk ke RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda karena mengalami
penurunan trombosit. Menurut ibu pasien, anaknya juga mengeluhkan adanya
nyeri perut. Keluhan muntah (-), BAB rutin 1 kali sehari berwarna cokelat dengan
konsistensi padat dan BAK dalam batas normal, nyeri BAK (-).

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa seperti saat ini. Pasien
tidak pernah dirawat di Rumah Sakit sebelumnya. Riwayat alergi (-).

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga dan saudara pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti
pasien saat ini.

8
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama ayah, ibu, kakak, dan nenek. Di dalam rumah yang
terbuat dari beton.

Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

- Berat badan lahir :2.800 gr


- Panjang badan lahir : 48 cm
- Tersenyum : Ibu Lupa
- Miring : Ibu Lupa
- Tengkurap : 4 bulan
- Duduk : 4 bulan
- Gigi keluar : Ibu Lupa
- Merangkak : Ibu Lupa
- Berdiri : Ibu Lupa
- Berjalan : 15 bulan
- Berbicara dua suku kata : 12 bulan

Riwayat Makan Minum anak :

- ASI : dari lahir sampai usia 2 tahun


- Susu sapi/buatan :-
- Jenis Susu Buatan :-
- Takaran :-
- Buah : 1 tahun
- Bubur susu : 7 bulan
- Tim saring : 9 bulan
- Makanan padat dan lauknya : 1 tahun, 3 x 1 piring kecil (lauk,
ikan/ayam, sayur) ikut menu orang tua

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran

- Pemeliharaan Prenatal : Ya

9
- Periksa di : Bidan
- Penyakit kehamilan : Sehat
- Obat-obatan yang sering diminum : vitamin dan zat besi
- Lahir di : Klinik Bidan
- Di tolong oleh : Bidan
- Berapa bulan dalam kandungan : 9 bulan
- Jenis partus : spontan
- Pemeliharaan postnatal : rutin
- Periksa di : Posyandu

Riwayat Imunisasi

Usia saat imunisasi


Imunisasi
I II III IV Booster I Booster II

BCG + //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////

Polio + + + +

Campak + //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////

DPT + + + ////////////

Hepatitis B + + + ////////////

2.2 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : E4V5M6
Tanda Vital :
- Nadi : 110 x/menit, ireguler
- Tekanan Darah : 85/50 mmHg
- RR : 31 x/menit
- Suhu (axila) : 35,9o C

Antropometri :

- Berat Badan : 15 kg
- Tinggi Badan : 102 cm
Status Gizi :
BB/U = -2 s/d +2 SD (Gizi Baik)
TB/U = -2 s/d +2 SD (Normal)

10
BB/TB = -2 s/d +2SD (Normal)

11
Status Generalis
Kepala/leher
Rambut : Warna hitam, tebal, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), edema palpebra (+/
+)
Telinga : sekret (-/-), darah (-/-)
Hidung : Sekret hidung (-), pernafasan cuping hidung (-), epistaksis (-)
Mulut : Bibir kering terdapat sisa perdarahan yang kering. bibir sianosis
(-), faring hiperemis (-), pembesaran tonsil(-), gusi berdarah (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thorax
Inspeksi : bentuk dada normal, tampak simetris, costa terlihat,
retraksi (-), Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : pergerakan simetris, Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Sonor
batas jantung kiri = ICS V MCL Sinistra
batas jantung kanan = ICS IV PSL Dextra
Auskultasi : Thorax : Vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung : S1 S2 regular
Abdomen
Inspeksi : Cembung
Palpasi : Soefl, nyeri tekan (+) pada seluruh kuadran abdomen,
organomegali (-), fluid wave (-)
Perkusi : Timpani pada keempat kuadran
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Genitalia
Dalam batas normal.
Ekstremitas
Atas : Akral hangat, pucat (-/-), edema (-).
Bawah : Akral hangat, pucat (-/-), edema (-).

2.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium

Serial Lab:

20/2/1 21/2/17 21/2/17 21/2/17 21/2/17 22/2/17 Nilai


7 04.00 08.00 15.00 23.00 10.45 Rujukan
00.00
Hb(g/dl) 11 11,2 11 12,2 11 11,7 11,5-13,5
WBC 9.700 9.800 8.500 10.900 10.200 10.450 6.000-
17.000

12
PLT 43.000 49.000 56.000 88.000 120.000 187.000 150.000-
450.000
Ht (%) 35 34 35,6 37 34 37,9 34-40
GDS 101 74-127
Dengue Positif Negatif
IgG
Dengue Negatif Negatif
IgM

2.4 Lembar Follow Up

Tanggal S O A P
21/2/ 2017 Lemas (+) CM Dengue Shock - O2 1 lpm nasal kanul
00.20 Tanda Vital : Syndrome - Infus RL guyur 300 cc
Nadi: 120 x/i,lemah - Kateter urin
RR: 40 x/i
T: 35,1oC (axila)
TD:80/60 mmHg
BB: 15Kg

anemis (-), ikterik (-)


, rhonki (-/-)
wheezing (-/-),
retraksi (-/-),
abdomen cembung,
BU (+), ekstremitas:
akral dingin

21/2/ 2017 Lemas (+) CM Dengue Shock NRM 5 lpm


00.40 Tanda Vital : Syndrome
Nadi: 160 x/i
RR: 24 x/i
T: 36oC (axila)
TD:80/50 mmHg
Urin=210 cc
SpO2: 88%

21/2/ 2017 Lemas (+) CM Dengue Shock Konsil dokter Sp.A:


02.10 Tanda Vital : Syndrome - Pertahankan RL di 10
Nadi: 120 x/i,lemah cc/kgBB
RR: 35 x/i - Monitoring TTV ketat
T: 35,1oC (axila) - Cek DL tiap 4 jam
- Rencana masuk PICU
TD:80/60 mmHg
ekstremitas: akral
dingin

21/2/ 2017 Lemas (+) CM Dengue Shock


02.30 Tanda Vital : Syndrome

13
Nadi: 100 x/i,
RR: 28 x/i
T: 35,1oC (axila)
TD:100/70 mmHg
UT: 370 cc
21/2/ 2017 Lemas (+) CM Dengue Shock
03.00 Tanda Vital : Syndrome
Nadi: 80 x/i,
RR: 24 x/i
TD:80/50 mmHg
UT: 380 cc
21/2/ 2017 Lemas (+) CM Dengue Shock
03.30 Tanda Vital : Syndrome
Nadi: 100 x/i,
RR: 28 x/i
T: 35,1oC (axila)
TD:100/70 mmHg
UT: 370 cc
21/2/ 2017 Demam hari ke KU: lemah DHF grade III Pemeriksaan lab:
16.30 5, mimisan 1 Tanda Vital : -DL serial/8 jam
kali, gusi Nadi: 75 x/i, -IgM, IgG Dengue
berdarah1 kali,
T: 35,1oC (axila) Terapi:
BAB cair warna
TD:95/60 mmHg -IVFD RLDS/RL
kuning
Akral hangat 7cc/kgBB/jam(1jam)
Edema palpebra IVFD RLDS/RL
5cc/kgBB/jam(1jam)
IVFD RLDS/RL
3cc/kgBB/jam
Dehaf 3x1 sachet
PCT 3x1/4 cth k/p
Injeksi ranitidin 2x15mg

22/2/ 2017 Panas (-), nyeri KU: lemah DSS + Pemeriksaan lab:
perut (+) Tanda Vital : dispepsia -DL serial/12 jam
Nadi: 88 x/i, Terapi:
T: 35,1oC (axila) -IVFD RLDS/RL
TD:86/51 mmHg 3cc/kgBB/jam
Akral hangat Dehaf 3x1 sachet
Edema palpebra PCT 3x1/4 cth k/p
Injeksi ranitidin 2x15mg
Lasix 1x15mg ekstra 1x
Minum manis yang
banyak.

2.5 Diagnosis Kerja


Diagnosis Kerja : Sindrom Syok Dengue

14
2.6 Penatalaksanaan IGD
- O2 1 lpm nasal kanul
- Infus RL guyur 300 cc
- Kateter urin

Konsul dokter Sp.A:


- Pertahankan RL di 10 cc/kgBB
- Monitoring TTV ketat
- Cek DL tiap 4 jam
- Rencana masuk PICU

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Sindrom Syok Dengue


3.1 Definisi
Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot
dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma
yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau
penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom syok dengue adalah demam
berdarah dengue yang ditandai oleh syok.
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spectrum manifestasi
klinis yang bervariasi antara penyakit yang paling ringan (mild undifferentiated
febrile illness), demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) sampai demam
berdarah dengue disertai syok (dengue shock syndrome = DSS). Gambaran
manifestasi klinis yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah fenomena gunung es
yang terlihat di atas permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan (silent
dengue infection dan demam dengue) merupakan dasarnya.

3.2 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus
dengue. Virus dengue termasuk group B arthropod borne virus ( arboviruses) dan
sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai
tunggal dengan berat molekul 4x106. Virus ini mempunyai 4 jenis serotipe yaitu
den-1, den-2, den-3, dan den-4. Infeksi dengan salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi
tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di
daerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama
hidupnya. Keempat jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai
daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak

16
tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe
ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe den-3 merupakan serotipe
yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat.
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia
seperti tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan primate. Survei epidemiologi pada
hewan ternak didapatkan antibodi terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi
dan babi. Penelitian pada artropoda menujukkan bahwa virus dengue dapat
bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomyia) dan Toxorhynchites. Penularan
pada manusia disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes Aegepty dan Aedes
Albopictus.

3.3 Epidemiologi
Istilah haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di
Filipina pada tahun 1953. Pada tahun 1958 meletus epidemik penyakit serupa di
Bangkok. Setelah tahun 1958 penyakit ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk
epidemi di beberapa negara lain di Asia Tenggara, di antaranya Hanoi (1958),
Malaysia (1962-1964), Saigon (1965) yang disebabkan virus dengue tipe 2, dan
Calcutta (1963) dengan virus dengue tipe-2 dan chikungu berhasil diisolasi dari
beberapa kasus. Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun
1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta
kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut
dilaporkan di Bandung (1972), Yogyakarta (1972). Epidemi pertama di luar Jawa
dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh Riau,
Sulawesi Utara dan Bali (1973). Pada tahun 1974 epidemi dilaporkan di
Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 1993 DBD telah
menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia. Pada saat ini DBD sudah endemis di
banyak kota-kota besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah berjangkit di
daerah pedesaan. Berdasarkan jumlah kasus DBD, Indonesia menempati urutan
kedua setelah Thailand. Sejak tahun 1968 angka kesakitan rata-rata DBD di
Indonesia terus meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,14 (1973), 8,65 (1983), dan
mencapai angka tertinggi pada tahun 1998 yaitu 35,19 per 100.000 penduduk

17
dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang. Pada saat ini DBD telah
menyebar luas di kawasan Asia Tenggara, Pasifik Barat dan daerah Karibia.

Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara


bervariasi disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk,
kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus
dengue dan kondisi meteorologist. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan
antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada anak
perempuan daripada laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di sebuah negara, pola
distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari golongan
anak berumur < 15 tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya, jumlah
kasus golongan usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia pengaruh musim
terhadap DBD tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus meingkat
antar September sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada bulan Januari.

3.4 Patofisiologi

3.4.1 Volume plasma

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan


membedakan antara DD dengan DBD adalah peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi,
trombositopenia, serta diatesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada
kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled human albumin sebagai
indikator membuktian bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai
dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada
kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan
dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah.
Meningginya nila hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok
terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstravaskular (ruang
interstitial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung
dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun
dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada

18
otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus, dan terdapatnya
edema.
Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara
efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat
diberikan cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan
perbaikan klinis terjadi secara capat dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak
ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat destruktif atau akibat
radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding
pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja
secara cepat. Gambaran mikroskopis elektron biopsi kulit pasien DBD pada masa
akut memperlihatkan kerusakan sel endotel vaskular yang mirip dengan luka
akibat anoksia atau luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang
diberi histamin atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia.
3.4.2 Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada
sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan
mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat
meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya mencapai 7-10 hari
sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya
megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit
diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain
trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dalam
radioisotop membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem
retikuloendotelial, limpa dan hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak
diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue,
komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi sistem
pembekuan darah secara bersamaan atau secara berpisah. Lebih lanjut fungsi
trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis
terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan
gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya
perdarahan pada DBD.

19
3.4.3 Sistem koagulasi dan fibrinolisis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa
perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial
yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk
faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat, terjadi
peningkatan fibrinogen degradation product (FDP). Penelitian lebih lanjut faktor
koagulasi membutikan adanya penurunan aktivitas antitrombin III. Di samping itu
juga dibuktikan bahwa menurunnya aktivitas faktor VII, faktor II dan antitrombin
III tidak sebanyak seperti fibrinogen dan faktor VIII. Hal ini menimbulkan dugaan
bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh
konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan
fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan penurunan aktivitas -2 plasmin
inhibitor dan penurunan aktivitas plasminogen.
Seluruh penelitian di atas membuktikan bahwa (1) pada DBD stadium akut
telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis (2) Diseminated intravascular
coagulation (DIC) secara potensial dapat terjadi juga pada DBD tanpa syok. Pada
masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan
plasma tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka
syok akan memperberat DIC sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC
akan saling memengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok ireversibel
disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya diakhiri
dengan kematian. (3) Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor
kapiler, gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia, sedangkan perdarahan
masif ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks seperti
trombositopenia, gangguan faktor pembekuan, dan kemungkinan besar oleh faktor
DIC, terutama pada kasus dengan syok lama yang tidak dapat diatasi disertai
komplikasi asidosis metabolik. (4) Antitrombin III yang merupakan kofaktor
heparin. Pada kasus dengan kekurangan antitrombin III, respon pemberian heparin
akan berkurang.
3.4.4 Sistem komplemen
Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar
C3, C3 proaktivator, C4, dan C5, baik pada kasus yang disertai syok maupun

20
tidak. Terdapat hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat
penyakit. Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi
komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif. Hasil
penelitian radioisotop mendukung pendapat bahwa penurunan kadar serum
komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan oleh karena
produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan
anafilaktoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast
untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan
peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok
hipovolemik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel,
permukaan trombosit dan limfosit T, yang mengakibatkan waktu paruh trombosit
memendek, kebocoran plasma, syok dan perdarahan. Di samping itu komplemen
juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor necrosis
factor (TNF), interferon gamma, interleukin (IL-2 dan IL-1).
Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita
DBD ialah (1) ditemukannya kadar histamine yang meningkat dalam urin 24 jam,
(2) adanya kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune complex), baik
pada DBD derajat ringan maupun berat, (3) adanya korelasi antara kadar
kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit.
3.4.5 Respon leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat
peningkatan limfosit atopik yang berlangsung sampai hari kedelapan. Suvatte dan
Longsaman menyebutnya sebagai transformed lymphocytes. Dilaporkan juga
bahwa pada sediaan hapus buffy coat kasus DBD dijumpai transformed
lymphocytes dalam presentase yang tinggi (20-50%). Hal ini khas untuk DBD
oleh karena proporsinya sangat berbeda dengan infeksi virus lain (0-10%).
Penelitian yang lebih mendalam dilakukan oleh Sutaryo yang menyebutnya
sebagai limfosit plasma biru (LPB). Pemeriksaan LPB secara seri dari preparat
hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai
puncak pada hari keenam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa di antara hari
keempat sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB
dan DBD dengan demam dengue. Namun, antara hari kedua sampai dengan hari

21
kesembilan demam, tidak terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB dan DBD
syok dan tanpa syok. Berdasarkan uji diagnostik maka dipilih titik potong (cut off
point) LPB 4%. Nilai titik potong itu secara praktis mampu membantu diagnosis
dini infeksi dengue dan sejak hari ketiga demam dapat dipergunakan untuk
membedakan infeksi dengue dan non-dengue. Dari penelitian imunologi
disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran antara limfosit-B dan limfosit-T.
Definisi LPB adalah limfosit dengan sitoplasma biru tua, pada umumnya
mempunyai ukuran lebih besar atau sama dengan limfosit besar, sitoplasma lebar
dengan vakuolisasi halus sampai sangat nyata, dengan daerah perinuklear yang
jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel berbentuk bulat oval atau berbentuk
ginjal. Kromosom inti kasar dan kadang-kadang di dalam inti terdapat nukleoli.
Pada sitoplasma tidak ada granula azurofilik. Daerah yang berdekatan dengan
eritrosit tidak menekuk dan tidak bertambah biru
.
3.5 Patologi
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan
biokimiawi DBD belum diketahui secara pasti karena kesukaran mendapatkan
model binatang percobaan yang dapat dipergunakan untuk menimbulkan gejala
klinis DBD seperti pada manusia. Hingga kini sebagian besar sarjana masih
menganut the secondary heterologous infection hypothesis atau the sequential
infection hypothesis yang menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang
telah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan
virus dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun.

3.5.1 The immunological enhancement hypothesis

Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang
berfungsi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu
enhancing-antibody dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe
antibodi yaitu (1) kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat
menetralisasi tetapi memacu replikasi virus, dan (2) Antibodi yang dapat
menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus.
Perbedaan ini berdasarkan adanya virion determinant specificity. Antibodi non-

22
neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan terbentuknya
kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi virus.
Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi sekunder virus dengue oleh
serotipe dengue yang berbeda cenderung menyebabkan manifestasi berat. Dasar
utama hipotesis ialah meningkatnya reaksi imunologis (the immunological
enhancement hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut:

(a) Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit dan sel
Kupffer merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue
primer.
(b) Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi maupun
yang melekat (sitofilik) pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik
untuk melekatnya virus dengue pada permukaan sel fagosit
mononuklear. Mekanisme pertama ini disebut mekanisme aferen.
(c) Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit
mononuklear yang telah terinfeksi.
(d) Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan
menyebar ke usus, hati, limpa, dan sumsum tulang. Mekanisme ini
disebut mekanisme eferen. Parameter perbedaan terjadinya DBD
dengan dan tanpa renjatan ialah jumlah sel yang terkena infeksi.
(e) Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan
sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya
mediator yang memengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi
sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.

3.5.2 Aktivasi limfosit T


Limfosit T juga memegang peran penting dalam patogenesis DBD. Akibat
rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue, limfosit
dapat mengeluarkan interferon (IFN- dan ). Pada infeksi sekunder oleh virus
dengue (serotipe berbeda dengan infeksi pertama),limfosit T CD4+ berproliferasi
dan menghasilkan IFN-. IFN- selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus
dengue dan mengakibatkan monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4+
dan CD8+ spesifik virus dengue, monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan
mediator yang menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan.

23
Hipotesis kedua patogenesis DBD mempunyai konsep dasar bahwa
keempat serotipe virus dengue mempunyai potensi patogen yang sama dan gejala
berat terjadi sebagai akibat serotipe/galur serotipe virus dengue yang paling
virulen.

3.6 Manifestasi Klinis


3.6.1 Demam dengue (Dengue fever)
Masa tunas berkisar antara 3-5 hari (pada umumnya 5-8 hari). Awal
penyakit biasanya mendadak, disertai gejala prodromal seperti nyeri kepala, nyeri
berbagai bagian tubuh, anoreksia, rasa menggigil, dan malaise. Dijumpai triase
sindrom, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan, dan timbulnya ruam
(rash). Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali, yaitu pada
hari sakit ke 3-5 hari berlangsung 3-4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang
menghilang pada tekanan. Ruam terdapat di dada, tubuh serta abdomen, menyebar
ke anggota gerak dan muka.
Pada lebih dari separuh pasien, gejala klinis timbul dengan mendadak,
disertai kenaikan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri di belakang bola mata,
punggung, otot, sendi dan disertai rasa menggigil. Pada beberapa penderita dapat
dilihat bentuk kurva suhu yang menyerupai pelana kuda atau bifasik, tetapi pada
penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua pasien
sehingga tidak dapat dianggap patognomonik.
Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, di samping itu perasaan tidak
nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering
ditemukan. Pada stadium dini sering timbul perubahan dalam indra pengecap.
Gejala klinis lain yang sering terdapat ialah fotofobia, keringat yang bercucuran,
suara serak, batuk, epistaksis, dan disuria. Demam menghilang secara lisis,
disertai keluarnya banyak keringat. Kelenjar limfa sevikal dilaporkan membesar
pada 67-77% kasus. Beberapa sarjana menyebutnya sebagai Castelanis sign,
sangat patognomonik dan merupakan patokan yang berguna untuk membuat
diagnosis banding. Menifestasi perdarahan tidak sering dijumpai. Rush pada tahun
1789 melaporkan pasien demam dengue dengan perdarahan yang kemudian
meninggal. Bentuk perdarahan lain yang dilaporkan ialah menoragi dan

24
menstruasi dini, abortus atau kelahiran bayi berat badan lahir rendah, mungkin
sekali akibat perdarahan uterus.
Kelainan darah tepi demam dengue ialah leukopenia selama periode pra-
demam dan demam, neutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia
relatif dan linfositosis pada periode puncak penyakit dan pada masa kovalesens.
Eosinofil menurun atau menghilang pada permulaan dan pada puncak penyakit,
hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma
meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan terdapatnya
trombositopenia. Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu.
Kelainan darah tepi demam dengue ialah leukopenia selama periode pra-
demam dan demam, neutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia
relatif dan limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada masa kovalesens.
Eosinofil menurun atau menghilang pada permulaan dan pada puncak penyakit,
hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma meingkat
pada periode memuncaknya penyakit dengan terdapatnya trombositopenia. Darah
tepi menjadi normal kembali dalam 1 minggu.
Komplikasi demam dengue walaupun jarang dilaporkan ialah orkitis atau
ovaritis, keratitis, dan retinitis. Berbagai kelainan neurologis dilaporkan,
diantaranya menurunnya kesadaran, paralisis sensorium yang bersifat sementara,
meningismus, dan ensefalopati. Diagnosis banding mencakup berbagai infeksi
virus (termasuk chikunguya), bakteria dan parasit yang memperlihatkan sindrom
serupa. Menegakkan diagnosis klinis infeksi virus dengue ringan adalah mustahil,
terutama pada kasus-kasus sporadis.
3.6.2 Demam berdarah dengue
Demam berdarah dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam
tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan
peredaran darah (circulatory failure). Fenomena patofisiologi utama yang
menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dari DD ialah peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma,
trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Perbedaan gejala antara DBD dan DD
tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Gejala klinis demam dengue dan demam berdarah dengue

25
Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tourniquet positif, memar, dan
perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Petekia halus yang tersebar di
anggota gerak, muka, aksila seringkali ditemukan pada masa dini demam. Harus
diingat juga bahwa perdarahan dapat terjadi di setiap organ tubuh. Epistaksis dan
perdarahan gusi jarang dijumpai, sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat
lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah renjatan yang tidak dapat diatasi.
Perdarahan lain, seperti perdarahan subkonjungtiva kadang-kadang ditemukan.
Pada masa konvalesens seringkali ditemukan eritema pada telapak tangan atau
telapak kaki.
3.6.3 Sindrom dengue syok
Pada DBD syok, setelah demam berlangsung selama beberapa hari
keadaan umum tiba-tiba memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat atau setelah
demam menurun, yaitu di antara hari sakit ke 3-7. Hal ini dapat diterangkan
dengan hipotesis peningkatan reaksi imunologis (the immunological enhancement
hypothesis). Pada sebagian besar kasus ditemukan kasus tanda kegagalan
peredaran darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi
menjadi cepat dan lembut. Anak tampak lesu, gelisah, dan secara cepat masuk
dalam fase syok. Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum
syok. Fabie (1996) mengemukakan bahwa nyeri perut hebat seringkali

26
mendahului perdarahan gastrointestinal. Nyeri di daerah retrosternal tanpa sebab
yang jelas dapat memberikan petunjuk adanya perdarahan gastrointestinal yang
hebat. Syok yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai prognosis
buruk.
Di samping kegagalan sirkulasi, syok ditandai oleh nadi lembut, cepat,
kecil sampai tidak dapat teraba. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau
kurang dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah. Syok
harus segera diobati, apabila terlambat pasien dapat mengalami syok berat
(profund shock), tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba.
Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis
metabolik, hipoksia, perdarahan gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk.
Sebaliknya, dengan pengobatan yang tepat (termasuk kasus syok berat) segera
terjadi masa penyembuhan dengan cepat. Pasien membaik dalam 2-3 hari. Selera
makan yang membaik merupakan petunjuk prognosis baik.
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan
hemokonsentrasi. Jumlah trombosit <100.000/ul ditemukan antara hari sakit ke 3-
7. Peningkatan kadar hematokrit merupakan bukti adanya kebocoran plasma,
walau dapat terjadi pula pada kasus derajat ringan meskipun tidak sehebat dalam
keadaan syok. Hasil laboratorium lain yang sering ditemukan ialah
hipoproteinemia, hiponatremia, kadar transaminase serum dan urea nitrogen darah
meningkat. Pada beberapa kasus ditemukan asidosis metabolik. Jumlah leukosit
bervariasi antara leucopenia dan leukositosis. Kadang-kadang ditemukan
albuminuria ringan yang bersifat sementara.

3.7 Diagnosis

3.7.1 Demam Berdarah Dengue

Klinis

1. Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari


2. Manifestasi perdarahan, minimal uji tourniquet positif dan salah satu
bentuk perdarahan lain (petekia, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan
gusi), hematemesis dan atau melena.

27
3. Pembesaran hati.
4. Syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi
menurun ( 20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik 80
mmHg) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung
hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah, dan timbul sianosis di sekitar
mulut.

WHO (1975) membagi derajat penyakit DBD menjadi 4 derajat

Derajat Gejala
Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya menifestasi
perdarahan adalah uji tourniquet positif
Derajat II Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan/atau perdarahan
lain
Derajat III Ditemukannya tanda kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan
lembut, tekanan nadi meurun ( 20 mmHg) atau hipotensi
disertai kulit dingin, lembab, dan pasien menjadi gelisah
Derajat IV Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat
diukur
DBD derajat III dan IV disebut juga Sindrom Syok Dengue

Demam
DBD didahului oleh demam mendadak disertai gejala klinik yang tidak
spesifik seperti anoreksia, lemah, nyeri punggung, tulang, sendi, dan kepala.
Demam sebagai gejala utama terdapat pada semua kasus. Lama demam sebelum
dirawat berkisar antara 2-7 hari. Alasan mengapa orang tua membawa anaknya
berobat oleh karena khawatir akan keadaan anak yang demam, menjadi gelisah
dan teraba dingin pada kaki dan tangan, gejala-gejala ini sebenarnya
mencerminkan keadaan pre-syok, atau oleh karena demam dan manifestasi
perdarahan di kulit menjadi nyata.

Manifestasi perdarahan
Uji tourniquet sebagai manifestasi perdarahan kulit paling ringan dapat
dinilai sebagai uji presumtif oleh karena uji ini positif pada hari-hari pertama
demam. Di daerah endemis DBD, uji tourniquet, merupakan pemeriksaan
penunjang presumtif bagi diagnosis DBD apabila dilakukan pada yang menderita

28
demam lebih dari 2 hari tanpa sebab yang jelas. Uji tourniquet seyogyanya
dilakukan sesuai dengan ketentuan WHO. Pemeriksaan dilakukan dengan terlebih
dahulu menetapkan tekanan darah anak. Selanjutnya diberikan tekanan antara
sistolik dan diastolik pada alat pengukur yang dipasang pada lengan di atas siku,
tekanan ini diusahakan menetap selama percobaan. Setelah dilakukan tekanan
selama 5 menit, perhatikan timbulnya petekia di bagian volar lengan bawah. Uji
dinyatakan positif apabila pada satu inci persegi (2,8 x 2,8 cm) didapat lebih dari
20 petekia. Pada DBD, uji tourniquet pada umumnya memberikan hasil positif.
Pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif atau positif lemah selama masa
syok. Apabila pemeriksaan diulangi setelah syok ditanggulangi, pada umumnya
akan didapat hasil positif, bahkan positif kuat.
Pembesaran hati
Hati yang membesar pada umumnya dapat diraba pada permulaan
penyakit dan pembesaran hati tidak sejajar dengan berat penyakit, nyeri tekan
seringkali ditemukan tanpa disertai ikterus. Hati pada anak berumur 4 tahun
dan/atau lebih dengan gizi baik biasanya tidak dapat diraba. Kewaspadaan perlu
ditingkatkan apabila semula hati tidak teraba kemudian selama perawatan
membesar dan/atau pada saat masuk rumah sakit hati sudah teraba dan selama
perawatan menjadi lebih besar dan kenyal, hal ini merupakan tanda terjadinya
syok.
Syok

Manifestasi syok pada anak terdiri atas:

(1) Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan
hidung sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi
yang insufisien yang menyebabkan peninggian aktivitas simpatikus secara
refleks.
(2) Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya
menurun menjadi apatis, sopor dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan
sirkulasi serebral.
(3) Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi cepat
dan lembut sampai tidak dapat diraba oleh karena kolap sirkulasi.
(4) Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang.
(5) Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang.

29
(6) Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi
arteri renalis.

Pada kira-kira sepertiga kasus DBD setelah demam berlangsung beberapa


hari, keadaan umum pasien tiba-tiba memburuk. Hal ini terjadi pada saat atau
setelah demam menurun, yaitu di antara hari sakit ke 3-7. Pasien seringkali
mengeluh nyeri di daerah perut saat sebelum syok timbul. Syok yang terjadi
selama periode demam, biasanya mempunyai prognosis buruk. Tatalaksana syok
harus dilakukan secara tepat, oleh karena bila tidak pasien dapat masuk dalam
syok berat (profound shock), tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak
dapat diraba. Lama syok singkat, pasien dapat meninggal dalam waktu 12-24 jam
atau menyembuh. Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menimbulkan
komplikasi asidosis metabolik, hipoksia, perdarahan gastrointestinal hebat dengan
prognosis buruk. Sebaliknya, dengan pengobatan tepat, (begitu pula pada kasus
syok berat) masa penyembuhan cepat sekali terjadi bahkan seringkali tidak
kelihatan. Pasien menyembuh dalam waktu 2-3 hari dan selera makan yang
membaik merupakan petunjuk prognosis baik.
Gejala klinis lain di luar patokan yang digariskan WHO dapat dilihat pada
tabel 2. Nyeri abdomen seringkali menonjol pada anak besar yang menderita DSS.
Ditemukannya gejala ini pada kasus DSS merupakan tanda bahaya oleh karena
kemungkinan besar terjadi perdarahan gastrointestinal. Terjadinya kejang dengan
hiperpireksia disertai penurunan kesadaran pada beberapa kasus seringkali
mengelabui sehingga ditegakkan diagnosis kemungkinan ensefalitis.

Laboratorium
Trombositopenia (100.000/ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat
dari peningkatan nilai hematokrit 20% dibandingkan dengan nilai hematokrit
pada masa sebelum sakit atau masa kovalesens. Ditemukannya dua atau tiga
patokan klinis pertama disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup
untuk klinis membuat diagnosis DBD. Dengan patokan ini 87% kasus tersangka
DBD dapat didiagnosis dengan tepat, yang dibuktikan oleh pemeriksaan serologis,
dan dapat dihindari diagnosis berlebihan.
Pemeriksaan serologis

30
Setelah satu minggu tubuh terinfeksi virus dengue, terjadi viremia yang
diikuti oleh pembentukan IgM-antidengue. IgM hanya berada dalam waktu yang
relatif singkat dan akan disusul segera oleh pembentukan IgG. Pada kira-kira hari
kelima infeksi terbentuklah antibodi yang bersifat menetralisasi virus
(Neutralizing antibody (NT). Titer antibodi NT akan naik dengan cepat, kemudian
menurun secara lambat untuk waktu yang lama, biasanya seumur hidup. Setelah
antibodi NT, akan timbul antibodi yang mempunyai sifat menghambat
hemaglutinasi sel darah merah angsa (hemaglutination inhibiting antibody=HI).
Titer antibodi HI itu naik sejajar dengan antibodi NT, kemudian turun secara
perlahan-lahan, tetapi lebih cepat daripada antibodi NT. Antibodi yang terakhir,
yaitu antibodi yang mengikat komplemen (complement fixing antibody=CF),
timbul pada sekitar hari keduapuluh. Titer antibodi itu naik setelah perjalanan
penyakit mencapai maksimum dalam waktu 1-2 bulan, kemudian turun secara
cepat dan menghilang setelah 1-2 tahun. Pada dasarnya diagnosis konfirmasi
infeksi virus dengue ditegakkan atas hasil pemeriksaan serologis atau hasil isolasi
virus. Dasar pemeriksaan serologis adalah membandingkan titer antibodi pada
masa akut dengan konvalesen. Teknik pemeriksaan serologi yang dianjurkan
WHO ialah pemeriksaan HI dan CF. kedua cara itu membutuhkan 2 contoh darah.
Contoh darah pertama diambil pada waktu demam akut, sedangkan yang kedua
pada masa konvalesen, 1-4 minggu dalam perjalanan penyakit. Dalam praktik
sukar sekali didapatkan contoh darah kedua karena pasien yang telah sembuh
sehingga tidak bersedia diambil darahnya. Dengan demikian, diambil
kebijaksanaan untuk mengambil darah sebanyak 3 kali. Pertama, sewaktu masuk
rumah sakit, kedua pada waktu meninggalkan rumah sakit, dan ketiga 1-4 minggu
setelah perjalanan penyakit. Apabila hanya diperoleh satu contoh darah,
penafsiran akan sulit atau bahkan sering tidak mungkin dilakukan.
Uji serologi HI
Pemeriksaan serologi HI dapat dilakukan dengan sampel serum atau
mempergunakan kertas saring filter paper disc. Hasil yang diperoleh dengan
menggunakan kertas saring cukup baik, apabila cara pengisian dilakukan dengan
betul. Pada pemeriksaan serologis tes HI, serum diencerkan menjadi kelipatan 2x,
dimulai dengan pengenceran 1:10, 1:20, 1:40, dan seterusnya.

31
Interpretasi hasil pemeriksaan didasarkan atas kriteria WHO, sebagai
berikut:
1. Pada infeski primer, titer antibodi HI pada masa akut, yaitu apabila serum
diperoleh sebelum hari ke-4 sakit adalah kurang dari 1:20 dan titer akan
naik 4x atau lebih pada masa konvalesen, tetapi tidak akan melebihi
1:1280.
2. Pada infeksi sekunder, adanya infeksi baru (recent dengue infection)
ditandai oleh titer antibodi HI kurang dari 1:20 pada masa akut, sedangkan
pada masa konvalesen titer bernilai sama atau lebih besar daripada 1:2560.
Tanda lain infeksi sekunder ialah apabila titer antibodi akut sama atau
lebih besar daripada 1:20 dan titer akan naik 4 kali atau lebih pada masa
konvalesen.
3. Persangkaan adanya infeksi sekunder yang baru terjadi (presumptive
diagnosis) ditandai oleh titer antibodi HI yang sama atau lebih besar
daripada 1:1280 pada masa akut, dalam hal ini tidak diperlukan kenaikan
titer 4x atau lebih pada masa konvalesen. Metode pemeriksaan yang
mampu mendeteksi antibodi anti dengue dalam serum penderita pada masa
akut yang tepat terus dikembangkan. Pada saat ini telah terdapat metode
untuk membuat diagnosis infeksi dengue pada masa akut melalui deteksi
IgM dan antigen virus, baik sendiri-sendiri maupun dalam bentuk
kompleks IgM-antigen, dengan memanfaatkan teknik ELISA mikro. Di
samping itu secara komersial telah beredar dengue blot yang dapat
digunakan sebagai uji diagnostik yang cepat pada masa akut untuk
mengkonfirmasi diagnosis infeksi dengue sekunder.

3.8 Penatalaksanaan
Pada dasarnya penatalaksanaan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan
sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD
dirawat di ruang perawatan biasa, tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi
diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik,
diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai,
cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan.

32
Diagnosis dini dan edukasi untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok,
merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain,
perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk
keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak
tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/DSS terletak pada keterampilan
para dokter untuk dapat, mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase
penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik.
Demam dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam
pasien dianjurkan, tirah baring, selama masih demam, obat antipiretik atau
kompres hangat diberikan apabila diperlukan. Untuk menurunkan suhu menjadi <
39C, dianjurkan pemberian parasetamol. Asetosal/salisilat tidak dianjurkan
(kontraindikasi) oleh karena dapat menyebabkan gastritis, perdarahan atau
asidosis. Pada pasien dewasa, analgetik atau sedatif ringan kadang-kadang
diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri kepala, nyeri otot atau nyeri sendi.
Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, selain
air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari. Tidak boleh dilupakan
monitor suhu, jumlah trombosit serta kadar hematokrit sampai normal kembali.
Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan.
Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang
dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena
kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam.
Perbedaan akan tampak jelas pada saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi
penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi
(syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok.
Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat,
buang air besar hitam, atau terdapat persarahan kulit serta mukosa seperti
mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dan kulit dingin, hal
tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa ke rumah
sakit. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari,
tidak perlu lagi diobservasi. Pada saat kita menjumpai pasien tersangka infeksi
dengue, maka bagan 1 dapat digunakan.

33
Demam berdarah dengue
Ketentuan umum
Perbedaan patofisiologik utama antara DD/DBD/DSS dan penyakit lain,
ialah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan
plasma dan gangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/DSS sangat khas, yaitu
demam tinggi mendadak, diatesis hemoragik, hepatomegali dan kegagalan
sirkulasi. Keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagaimana mendeteksi
secara dini fase kritis, yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang
merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi
klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis.
Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma,
yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit dan penurunan jumlah
trombosit. Fase kritis pada umumnya terjadi pada hari sakit ke-3. Penurunan
jumlah trombosit sampai <100.000/ul atau <1-2 trombosit/LPB (rata-rata hitung
pada 10 LPB) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi
penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% mencerminkan perembesan
plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Pemberian cairan awal
sebagai pengganti volume plasma dapat diberikan larutan garam isotonik atau
ringer laktat, yang kemudian dapat disesuaikan dengan berat ringan penyakit.
Pada DBD derajat I dan II, cairan intravena dapat diberikan selama 12-24 jam.
Perhatikan khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus
dan penurunan jumlah trombosit <50.000/ul. Secara umum pasien DBD derajat I
dan II dapat dirawat di Puskesmas, rumah sakit tipe D, C dan ruang rawat sehari
di rumah sakit B dan A.
Bagan 1 penatalaksanaan

34
Keterangan bagan 1
Pada awal perjalanan penyakit DBD tanda/gejalanya tidak spesifik, oleh
karena itu, masyarakat/orang tua diharapkan untuk waspada jika melihat
tanda/gejala yang mungkin merupakan gejala awal perjalanan penyakit DBD.
Tanda/gejala awal penyakit DBD ialah demam tinggi mendadak tanpa sebab yang
jelas, terus menerus, badan lemah, dan anak tampak lesu. Pertama-tama
ditentukan terlebih dahulu adalah tanda kedaruratan yaitu tanda syok (gelisah,
nafas cepat, bibir biru, tangan dan kaki dingin, kulit lembab), muntah terus
menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, berak hitam, maka pasien
perlu dirawat (tatalaksana disesuaikan). Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan,
periksa uji tourniquet: apabila uji tourniquet positif lanjutkan dengan pemeriksaan

35
trombosit, apabila trombosit 100.000/ul pasien dirawat untuk observasi. Apabila
uji tourniquet positif dengan trombosit >100.000/ul atau normal atau uji
tourniquet negatif, pasien boleh pulang dengan pesan untuk datang kembali setiap
hari sampai suhu turun. Nilai gejala klinis dan lakukan pemeriksaan Hb, Ht, dan
trombosit setiap kali selama anak masih demam. Bila terjadi penurunan kadar Hn
dan/atau peningkatan kadar Ht, segera rawat. Beri nasehat kepada orang tua: anak
dianjurkan banyak minum seperti air teh, susu, sirop, oralit, jus buah, dan lain-
lain, serta diberikan obat antipiretik golongan parasetamol (kontraindikasi
golongan salisilat). Bila klinis menunjukkan tanda-tanda syok seperti anak
menjadi gelisah, ujung kaki/tangan dingin, muntah, lemah, dianjurkan segera
dibawa berobat ke dokter atau ke puskesmas dan rumah sakit.
Fase demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD,
bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah
dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum,
muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu
diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa
antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD. Parasetamol
direkomendasikan untuk mempertahankan suhu di bawah 39C dengan dosis 10-
15 mg/kgBB/kali atau dapat disederhanakan seperti tertera pada Tabel 3. Rasa
haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia
dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, teh manis, sirup,
susu, serta larutan oralit. Pasien yang perlu diberikan minum 50 ml/kgBB dalam
4-6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan
rumatan 80-100 ml/kgBB dalam 24jam berikutnya. Bayi yang masih minum ASI,
tetap harus diberikan di samping larutan oralit. Bila terjadi kejang demam, di
samping antipiretik diberikan antikunvulsif selama masih demam. Pasien harus
diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis adalah
waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam.
Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang
terbaik untuk monitor hasil pengobatan yaitu menggambarkan derajat kebocoran
plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada

36
umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi.
Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu
normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan
hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif.
Penggantian volume plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase
penurunan suhu (fase afebris, fase kritis, fase syok), maka dasar pengobatannya
adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walau demikian penggantian
cairan harus diberikan dengan bijaksana dan hati-hati. Kebutuhan cairan awal
dihitung untuk 2 atau 3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih
sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-48 jam jam berikutnya harus selalu
disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit dan jumlah volume urin.
Penggantian volume cairan harus adekuat. Seminimal mungkin mencukupi
kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan
rumatan ditambah 5-8%.

Cairan intravena diperlukan apabila (1) anak terus menerus muntah, tidak
mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral,
ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadi syok, (2) nilai
hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang
diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan
cairan glukosa 5% di dalam 1/3 larutan NaCl 0,9%. Bila terdapat asidosis, dari
jumlah cairan total dikeluarkan dan diganti dengan larutan yang berisi 0,167
mol/liter natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan NaCl 0,9% + glukosa
ditambah natrium bikarbonat). Apabila terdapat kenaikan hemokonsentrasi
20% atau lebih, maka komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan
plasma. Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai seperti cairan untuk
dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan ditambah defisit
6% (5-8%) seperti tertera pada tabel di bawah ini.

37
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur
dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat
hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan
dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama. Kebutuhan cairan ruamatan
dapat diperhitungkan dari tabel berikut.

Misalnya untuk anak


berat badan 40 kg, maka cairan
rumatan adalah 1500 + (50x20) = 2500 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan
untuk 24 jam. Oleh karena kecepatan perembesan plasma tidak konstan
(permebesan plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume cairan
pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat
diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Perlu mendapat perhatian bahwa
penggantian volume yang berlebihan dan terus menerus setelah perembesan
plasma berhenti akan mengakibatkan distress pernapasan sebagai akibat edema
paru. Demikian pula pada saat fase konvalesens terjadi reabsorbsi cairan
ekstravaskular, akan menyebabkan edema paru dan distress pernapasan apabila
cairan intravena tetap diberikan.
Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok
yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstremitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi
lemah, tekanan nadi menyempit (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan
peningkatan mendadak kadar hematokrit atau kadar hematokrit yang meingkat
terus menerus walaupun telah diberi cairan intravena.
Jenis cairan

Larutan kristaloid yang direkomendasikan oleh WHO adalah larutan ringer


laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL), ringer asetat
(RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA), NaCl 0,9% atau

38
dekstrosa 5% dalam larutan garam faali. Sedangkan larutan koloid adalah
dekstran-40 dan plasma darah.

Sindrom syok dengue


Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan
yang utama, yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien
anak akan cepat mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam
48 jam.
Penggantian volume plasma segera
Pengobatan awal cairan intravena dengan larutan kristaloid 20 ml/kgBB
dengan tetesan secepatnya (diberikan secara bolus selama 30 menit). Apabila syok
belum dapat teratasi dan/atau keadaan klinis memburuk setelah 30 menit
pemberian cairan awal, cairan diganti dengan koloid (dekstran 40 atau plasma)
10-20 ml/kgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/kgBB. Setelah terjadi
perbaikan, segera cairan ditukar kembali dengan kristaloid dengan tetesan 20
ml/kgBB. Apabila setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid syok
masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga telah terjadi perdarahan.
Maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap
>40 vol%, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kgBB/jam), tetapi
apabila terjadi perdarahan masif berikan 20 ml/kgBB. Setelah keadaan klinis
membaik, tetesan cairan dikurangi bertahap sesuai dengan keadaan klinis dan
keadaan hematokrit.
Kadar hematokrit untuk memantau penggantian volume plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah
membaik dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi
10 ml/kgBB/jam, dan kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma
yang terjadi selama 24-48 jam. Pemasangan CVP kadangkala diperlukan pada
pasien DSS berat, untuk mengetahui kebutuhan cairan.
Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, sekitar
40%. Jumlah urin 12 ml/kgBB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaan
sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48
jam sejak syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan pada saat terjadi reabsorpsi
plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunanan kadar hematokrit

39
setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia,
dengan akibat terjadi edema paru dan gagal jantung. Pernurunan hematokrit pada
saat reabsorpsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi
disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, dieresis
cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorpsi.
Keterangan bagan 2
Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari, disertai uji tourniquet positif
(DBD derajat I) atau disertai perdarahan spontan tanpa peningkatan hematokrit
(DBD derajat II) dapat dikelola seperti pada bagan 2. Apabila pasien masih dapat
minum, berikan minum banyak 1-2 liter/hari atau 1 sendok makan setiap 5 menit.
Jenis minuman yang dapat diberikan adalah air putih, teh manis, sirup, jus buah,
susu atau oralit. Obat antipiretik (parasetamol) diberikan bila suhu >38,5C. Pada
anak dengan riwayat kejang dapat diberikan obat antikonvulsif. Apabila pasien
tidak dapat minum atau muntah terus menerus, sebaiknya diberikan infus NaCl
0,9% : Dekstrosa 5% (1:3) dipasang dengan tetesan rumatan sesuai berat badan.
Di samping itu, perlu dilakukan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit setiap 6-12
jam. Pada tindak lanjut, perhatikan tanda syok, raba hati setiap hari untuk
mengetahui pembesarannya oleh karena pembesaran hati yang disertai nyeri tekan
berhubungan dengan perdarahan saluran cerna. Diuresis diukur tiap 24 jam dan
awasi perdarahan yang terjadi. Kadar Hb, Ht dan trombosit diperiksa tiap 6-12
jam. Apabila pada tindak lanjut telah terjadi perbaikan klinis dan laboratories,
anak dapat dipulangkan. Tetapi bila kadar Ht cenderung naik dan trombosit
menurun, maka infus cairan ditukar dengan ringer laktat dan tetesan disesuaikan
seperti pada bagan 3.
Bagan 2

40
Koreksi gangguan metabolik dan elektrolit

Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/DSS,


maka pemeriksaan analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa
pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya DIC
(disseminated intravascular coagulation) sehingga tatalaksana pasien menjadi
lebih kompleks. Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan
secepatnya dan dilakukan koreksi pada asidosis dengan natrium bikarbonat, maka
perdarahan sebagai akibat DIC tidak akan terjadi sehingga heparin tidak
diperlukan.

Sedatif

41
Pada pasien yang gelisah dapat diberikan sedatif untuk menenangkan
pasien. Diusahakan jangan memberikan obat yang bersifat hepatotoksik. Kloral
hidrat diberikan per oral atau per rektal dengan dosis 12,5-50 mg/kgBB (tidak
melebihi 1 gram). Keadaan gelisah sebagai akibat dari keadaan perfusi jaringan
yang kurang baik atau menghilang setelah pemberian cairan secara adekuat.

Pemberian oksigen

Terapi dengan 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien
syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus
diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker
oksigen.

Transfusi darah

Pemeriksaan golongan darah dan cross-matching harus dilakukan pada


setiap pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock).
Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang
nyata. Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal
haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya
dari 50% ke 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang
mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar
dimaksudkan untuk menaikkan konsentrasi sel darah merah. Plasma segar dan
atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan DIC yang menimbulkan
perdarahan masif. DIC biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan
perdarahan masif dan dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi
seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin, dan fibrinogen
degradation products (FDP) harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi
terjadinya dan berat ringannya DIC. Pemeriksaan hematologis tersebut juga
menentukan prognosis.

Kelainan ginjal

Dalam keadaan syok, harus yakin benar bahwa penggantian volume


intravascular telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum

42
mencukupi 2 ml/kgBB/jam, sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai
kebutuhan, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan
tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum dan kreatinin. Tetapi apabila
diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi
dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous pressure) perlu dilakukan
untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya.

Monitoring

Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara
teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada
monitoring adalah nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat
setiap 15-30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi, kadar hematokrit
harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan klinis pasien stabil. Setiap pasien
harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah, dan
tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi,
jumlah serta frekuensi diuresis.

Kriteria memulangkan pasien

Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa


antipiretik, nafsu makan membaik, tampak perbaikan secara klinis, hematokrit
stabil, tiga hari setelah syok teratasi, jumlah trombosit > 50.000/ul dan cenderung
meningkat, serta tidak dijumpai distres pernapasan (disebabkan oleh efusi pleura
atau asidosis).

Ensefalopati dengue

Pada ensefalopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila
syok telah teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO 3-,
dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan ringer laktat dekstrosa segera
ditukar dengan larutan NaCl 0,9% : dekstrose 5% = 3:1. Untuk mengurangi edema
otal diberikan kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna
sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka
diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah

43
diusahakan > 60 mg/dl, mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial
dengan mengurangi jumlah cairan (bila diperlukan diberikan diuretik), koreksi
asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan napas dengan pemberian oksigen yang
adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan
laktulosa. Pada DBD ensefalopati mudah terjadi infeksi bakteri sekunder, maka
untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi ampisilin 100
mg/kgBB/hari + kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari). Usahakan tidak memberikan
obat-obatan yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk
mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi darah segar atau
komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat. Bila diperlukan transfusi
tukar, pada masa penyembuhan dapat diberikan asam amino rantai pendek.

Ruang rawat khusus untuk DBD

Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD


seharusnya dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan
untuk kegawatan. Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas
laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah
trombosit yang tersedia selama 24 jam. Pencacatan merupakan hal yang penting
dilakukan di ruang perawatan DBD. Paramedis dapat dibantu oleh orang tua
pasien untuk mencatat jumlah cairan baik yang diminum maupun yang diberikan
secara intravena, serta menampung urin serta mencatat jumlahnya.

Keterangan bagan 3

Pasien DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus menerus


selama 7 hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan (paling
tersering perdarahan kulit dan mukosa, yaitu petekie atau mimisan), disertai
penurunan jumlah trombosit 100.000/ul, dan peningkatan kadar hematokrit.
Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid ringer laktat/NaCl 0,9% atau
dekstrosa 5% dalam ringer laktat/NaCl 0,9% 6-7 ml/kgBB/jam. Monitor tanda
vital dan kadar hematokrit serta trombosit tiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12-24
jam.

44
1. Apabila selama observasi keadaan umum membaik, yaitu anak tampak
tenang. Tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dan kadar
Ht cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut,
maka tetesan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila dalam observasi
selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3
ml/kgBB/jam dan akhirnya cairan dihentikan pada 24-48 jam.
2. Perlu diingat bahwa sepertiga kasus akan jatuh ke dalam syok. Maka
apabila keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, anak tampak gelisah,
nafas cepat (distres pernapasan), frekuensi nadi meningkat, diuresis
kurang, tekanan nadi < 20 mmHg memburuk, serta peningkatan Ht, maka
tetesan dinaikkan menjadi 10 ml/kgBB/jam. Apabila belum terjadi
perbaikan klinis setelah 12 jam, cairan dinaikkan lagi menjadi 15
ml/kgBB/jam. Kemudian dievaluasi 12 jam lagi. Apabila tampak distres
pernapasan menjadi lebih berat dan Ht naik maka berikan cairan koloid
10-20 ml/kgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/kgBB. Namun bila
Ht turun, berikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB/jam.

Bagan 3

Keterangan bagan 4
Sindrom syok dengue ialah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat, nadi
teraba kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit (misalnya sistolik 90
dan diastolik 80 mmHg, jadi tekanan nadi 20 mmHg), bibir biru, tangan kaki
dingin, dan tidak ada produksi urin.
(1) Segera beri infus kristaloid (ringer laktat atau NaCl 0,9%) 20 ml/kgBB
secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit), dan oksigen 2
liter/menit. Untuk DSS berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi
tidak terukur), diberikan ringer laktat 20 ml/kgBB bersama koloid (lihat
butir 2). Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit
tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah.

45
(2) Apabila
dalam
waktu
30
menit
syok
belum
teratasi,
tetesan
ringer
laktat
belum

dilanjutkan 20 ml/kgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau


koloid (dekstran 40) sebanyak 10-20 ml/kgBB, maksimal 30 ml/kgBB
(koloid diberikan pada jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan
secepatnya). Observasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi setiap
15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit
dan gula darah.
a. Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar
hemoglobin/hematokrit, tekanan nadi > 20 mmHg, nadi kuat, maka
tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ul/kgBB/jam. Volume 10
ml/kgBB/jam dapat dipertahankan sampai 24 jam atau sampai klinis
stabil dan hematokrit menurun <40%. Selanjutnya cairan diturunkan

46
menjadi 7 ml/kgBB sampai keadaan klinis dan hematokrit stabil,
kemudian secara bretahap cairan diturunkan 5 ml dan seterusnya 3
ml/kgBB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam
setelah syok teratasi. Observasi klinis, tekanan darah, nadi, jumlah urin
dikerjakan tiap jam (usahakan urin 1 ml/kgBB/jam, BD urin <
1,020), dan pemeriksaan hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam sampai
keadaan umum baik.
b. Apabila syok belum teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun
tetapi masih > 40vol%, berikan darah dalam volume kecil 10 ml/kgBB.
Apabila tampak perdarahan masif, berikan darah segar 20 ml/kgBB
dan lanjutkan cairan kristaloid 10 ml/kgBB/jam. Pemasangan CVP
(dipertahankan 5-8 cm H2O) pada syok berat kadang-kadang
diperlukan, sedangkan pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan.

47
2.9 Pemberantasan
Strategi pemberantasan penyakit DBD lebih ditekankan pada (1) upaya
preventif, yaitu melaksanakan penyemprotan missal sebelum musim penularan
penyakit di desa/kelurahan endemis DBD, yang merupakan pusat-pusat
penyebaran penyakit ke wilayah lainnya, (2) strategi ini diperkuat dengan
menggalakkan pembinaan peran serta masyarakat dalam kegiatan pemberantasan
sarang nyamuk (PSN), (3) melaksanakan penanggulangan fokus di rumah pasien
dan di sekitar tempat tinggalnya guna mencegah terjadinya kejadian luar biasa
(KLB), dan (4) melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat melalui berbagai
media.

48
Kewajiban pelaporan kasus/tersangka dalam tempo 24 jam ke Dinkes Dati
II/Puskesmas tempat tinggal pasien merupakan keharusan sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesenatan 560 tahun 1989 dengan tujuan kemungkinan terjadinya
penularan lebih lanjut, penyakit DBD dapat dicegah dan ditanggulangi sedini
mungkin. Dengan adanya laporan kasus pada Puskesmas/Dinkes Dati II yang
bersangkutan, dapat dengan segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan
sekitar tempat tinggal kasus untuk melihat kemungkinan risiko penularan.
Apabila dari hasil penyelidikan epidemiologi diperoleh data adanya risiko
penularan DBD, maka Puskesmas/Dinkes Dati II akan melakukan langkah-
langkah upaya penanggulangan berupa (1) foging fokus, (2) abatisasi selektif.
Tujuan abatisasi adalah membunuh larva dengan butir-butir abate sand granule
(SG) 1% pada tempat penyimpanan air dengan dosis ppm (part per million), yaitu
10 gram meter 100 liter air, (3) menggalakkan masyarakat untuk melakukan kerja
bakti dalam PSN.

49
BAB IV
PEMBAHASAN

Teori Fakta
Anamnesis dan Gejala Klinis Anamnesis dan Gejala Klinis
Setelah demam berlangsung selama beberapa Demam sejak 4 hari sebelum MRS.
hari keadaan umum tiba-tiba memburuk, hal Demam bersifat naik turun dan tidak
ini biasanya terjadi pada saat atau setelah disertai mengigau. Turun dengan
demam menurun, yaitu di antara hari sakit ke paracetamol.
3-7. Hal ini dapat diterangkan dengan Sehari sebelum MRS pasien mengalami

hipotesis peningkatan reaksi imunologis (the mimisan dan bibir berdarah disertai
immunological enhancement hypothesis). dengan bintik merah pada bagian dahi,
Pada sebagian besar kasus ditemukan kasus punggung dan dada pasien.
Nyeri perut
tanda kegagalan peredaran darah, kulit teraba
lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut,
nadi menjadi cepat dan lembut. Anak tampak
lesu, gelisah, dan secara cepat masuk dalam
fase syok. Pasien seringkali mengeluh nyeri di
daerah perut sesaat sebelum syok.
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik
D: masa tunas berkisar antara 3-5 hari (pada Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : E4V5M6
umumnya 5-8 hari). Awal penyakit
Tanda Vital :
biasanya mendadak, disertai gejala - Nadi : 110 x/menit,
prodromal seperti nyeri kepala, nyeri ireguler
- Tekanan Darah : 85/50 mmHg
berbagai bagian tubuh, anoreksia, rasa
- RR : 31 x/menit
menggigil, dan malaise. Dijumpai triase - Suhu (axila) : 35,9o C
sindrom, yaitu demam tinggi, nyeri pada Status Gizi: Gizi baik
Kepala/leher : Anemis (-/-), ikterik(-/-),
anggota badan, dan timbulnya ruam
Pembesaran KGB (-)
(rash). Ruam timbul pada 6-12 jam Thoraks : gerakan dinding dada simetris,
sebelum suhu naik pertama kali, yaitu suara nafas vesikuler
pada hari sakit ke 3-5 hari berlangsung 3-4 Abdomen : soefl, bising usus (+) kesan
hari. Ruam bersifat makulopapular yang normal, nyeri tekan (+) seluruh kuadran

50
menghilang pada tekanan. Ruam terdapat abdomen
di dada, tubuh serta abdomen, menyebar Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik,

ke anggota gerak dan muka. ruam (+)

Demam berdarah dengue: ditandai oleh 4


manifestasi klinis, yaitu demam tinggi,
perdarahan, terutama perdarahan kulit,
hepatomegali, dan kegagalan peredaran
darah (circulatory failure). Fenomena
patofisiologi utama yang menentukan
derajat penyakit dan membedakan DBD
dari DD ialah peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah, menurunnya
volume plasma, trombositopenia, dan
diatesis hemoragik.

DSS: Setelah demam berlangsung selama


beberapa hari keadaan umum tiba-tiba
memburuk, hal ini biasanya terjadi pada
saat atau setelah demam menurun, yaitu di
antara hari sakit ke 3-7. Hal ini dapat
diterangkan dengan hipotesis peningkatan
reaksi imunologis (the immunological
enhancement hypothesis). Pada sebagian
besar kasus ditemukan kasus tanda
kegagalan peredaran darah, kulit teraba
lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut,
nadi menjadi cepat dan lembut. Anak
tampak lesu, gelisah, dan secara cepat
masuk dalam fase syok. Pasien seringkali
mengeluh nyeri di daerah perut sesaat
sebelum syok.Di samping kegagalan
sirkulasi, syok ditandai oleh nadi lembut,
cepat, kecil sampai tidak dapat teraba.
Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg

51
atau kurang dan tekanan sistolik menurun
sampai 80 mmHg atau lebih rendah.

Pemeriksaan Penunjang
Labourtmi Leukosit: 10.450/l
Hemoglobin: 11,7g/dl
Trombositopenia (100.000/ul) dan Hematokrit: 37,9%
hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari Trombosit: 187.000/l
Glukosa Sewaktu: 101 mg/dl (normal)
peningkatan nilai hematokrit 20%
IgG: positif
dibandingkan dengan nilai hematokrit
pada masa sebelum sakit atau masa IgM: negatif
kovalesens. Ditemukannya dua atau tiga
patokan klinis pertama disertai
trombositopenia dan hemokonsentrasi
sudah cukup untuk klinis membuat
diagnosis DBD.
Setelah satu minggu tubuh terinfeksi virus
dengue, terjadi viremia yang diikuti oleh
pembentukan IgM-antidengue. IgM hanya
berada dalam waktu yang relatif singkat
dan akan disusul segera oleh pembentukan
IgG.
Penatalaksanaan
DD: Pasien DD dapat berobat jalan, tidak -MRS
- O2 1 lpm nasal kanul
perlu dirawat. Pada fase demam pasien - Infus RL guyur 300 cc
dianjurkan, tirah baring, selama masih - Kateter urin
demam, obat antipiretik atau kompres Konsul dokter Sp.A:
hangat diberikan apabila diperlukan. - Pertahankan RL di 10 cc/kgBB
DBD: penggantian volume plasma yang - Monitoring TTV ketat
- Cek DL tiap 4 jam
bocor. - Rencana masuk PICU
Larutan kristaloid yang direkomendasikan
oleh WHO adalah larutan ringer laktat Terapi saat ini:
-IVFD RLDS/RL 3cc/kgBB/jam
(RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan -Dehaf 3x1 sachet

52
ringer laktat (D5/RL), ringer asetat (RA) -PCT 3x1/4 cth k/p
-Injeksi ranitidin 2x15mg
atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer
-Lasix 1x15mg ekstra 1x
asetat (D5/RA), NaCl 0,9% atau dekstrosa-Minum manis yang banyak.
5% dalam larutan garam faali. Sedangkan
larutan koloid adalah dekstran-40 dan
plasma darah.
DSS: Pengobatan awal cairan intravena
dengan larutan kristaloid 20 ml/kgBB
dengan tetesan secepatnya (diberikan
secara bolus selama 30 menit). Apabila
syok belum dapat teratasi dan/atau
keadaan klinis memburuk setelah 30 menit
pemberian cairan awal, cairan diganti
dengan koloid (dekstran 40 atau plasma)
10-20 ml/kgBB/jam, dengan jumlah
maksimal 30 ml/kgBB. Setelah terjadi
perbaikan, segera cairan ditukar kembali
dengan kristaloid dengan tetesan 20
ml/kgBB.

53
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pasien An. A, perempuan umur 4 tahun 9 bulan datang ke IGD RSUD
Abdul Wahab Sjahrani Samarinda dengan demam. Demam terjadi selama 4 hari.
Demam bersifat naik turun. Secara umum, untuk menegakkan diagnosis dari DSS
dapat berdasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta dilakukan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah
laboratorium darah. Penatalaksaan yang tepat adalah segera ganti volume cairan
plasma yang bocor dengan bijaksana dan hati-hati.

5.2 Saran

Perlunya anamnesis yang mendalam dan pemeriksaan fisik yang lengkap


serta pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan sehingga dapat ditegakkan
diagnosis yang tepat serta dapat ditentukan penatalaksanaan yang tepat.

54
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo, S. S., Garna, H., S.Hadinegoro, S. R., & Satari, H. I. (2012).


Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI.
2. World Health Organization. Guide for diagnosis, treatment and control of
dengue haemorrhagic fever. 2nd ed. WHO Geneva: 1980
3. World Health Organization. Global strategy for dengue Prevention and
Control. WHO Geneva: 2012.
5. Hadinegoro SR. Tatalaksana Demam Dengue (Demam Berdarah Dengue).
Dalam: Demam Berdarah Dengue, Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting.
Edisi cetak ulang 2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
2002.h.80-132.

55

Anda mungkin juga menyukai