Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

DISHARMONISASI UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA


DENGAN UNDANG-UNDANG KEHUTANAN TERKAIT
KEPEMILIKAN HUTAN DI ATAS TANAH ULAYAT

Oleh:
Sahid Husnu Sawab
201410020311005

JURUSAN AKHWAL SYAKHSIYYAH


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehutanan merupakan salah satu sektor terpenting yang perlu
mendapatkan perhatian khusus, mengingat lebih dari 67% luas daratan
Indonesia berupa hutan. Hutan adalah kekayaan alam yang dikuasai oleh
negara sesuai pasal 33 UUD 1945: bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam kenyataannya negara hanya
menjalankan sebagian pasal 33, yakni pengusaan negara atas hutan,
namun mengabaikan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Padahal
sesungguhnya, pasal 33 UUD mengamanatkan agar penguasaan negara
atas hutan secara bersama-sama juga harus mengakomodasikan berbagai
kelompok kepentingan, tidak hanya kepentingan departemen kehutanan
atau sekelompok rimbawan tetapi juga kepentingan petani, peternak,
peramu hasil hutan, masyarakat hukum adat dan lainnya. Akses dan hak
pemanfaatan atas berbagai kategori hutan harus diatur sebaik-baiknya
bagi semua kelompok masyarakat dengan memperhatikan berbagai aspek
sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Kehutanan No.41 Tahun
1999 pasal 2: Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan
lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan
keterpaduan. Dalam pasal selanjutnya disebutkan bahwa
penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk kemakmuran rakyat yang
berkeadilan dan berkelanjutan.

B. Rumusan Masalah
1. Disharmonisasi UUPA DAN UUK tentang status hutan.
2. Apakah ada titik terangnya terkait masalah status hutan ini ?

C. Tujuan
1. Agar dapat memahami disharmonisasi terkait UUPA dan UUK
tentang status hutan dan mengetahui titik terang terkait masalah
status hutan ini

BAB II
PEMBAHASAN

A. DISHARMONISASI UUPA DAN UUK TENTANG STATUS HUTAN.


Terkait tumpang tindih antara UU No. 5/1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) dengan UU No. 41/1999 tentang
Kehutanan (UUK) dapat di indikasikan dalam hal-hal berikut:
Dalam hubungan antara negara dengan tanah menurut UUPA, diakui
keberadaan tiga entitas, yakni tanah negara, tanah (hak) ulayat
masyarakat hukum adat (MHA) dan tanah hak yakni tanah yang dipunyai
dengan sesuatu hak atas tanah menurut UUPA oleh orang perorangan
maupun badan hukum. Namun, dalam hubungan hukum antara negara
dengan hutan, yang muncul hanyalah dua entitas, yakni hutan negara
(hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah)
dan hutan hak. Adapun hutan adat adalah hutan negara yang berada di
wilayah Masyarakat Hukum Adat . Dengan perkataan lain, hutan adat
dimasukkan dalam kategori hutan negara.
Pemahaman tentang status hutan tersebut berimplikasi terhadap
dua hal:
1. UUK tidak mengakui keberadaan hutan adat, yang sejatinya
merupakan bagian dari hak ulayat MHA. Namun demikian, UUK yang
tidak mengakui keberadaan hutan adat itu, mengakui dan
menentukan persyaratan keberadaan MHA; hal ini merupakan suatu
kontradiksi karena UUK tidak mengakui obyeknya (hutan adat)
tetapi mengakui keberadaan subyeknya (MHA) jika memenuhi
persyaratan. Jika terjadi sengketa hak ulayat MHA terkait de- ngan
hutan adat, penyelesaiannya menurut UUPA dan UUK akan berbeda.
2. Terkait status hutan, disebutkan bahwa hutan negara adalah hutan
yang berada pada tanah yang tidak dibebani dengan hak atas
tanah. Dalam konteks UUPA, tanah yang tidak dibebani dengan hak
atas tanah itu adalah tanah negara . Dengan demikian
konsekuensinya adalah tanah-tanah di kawasan hutan negara itu
sejatinya adalah tanah negara. Namun demikian, dalam praktik
administrasi, terjadi hambatan dalam pengadministrasian tanah
negara di kawasan hutan. Sampai dengan saat ini
pengadministrasian tanah negara pada umumnya berlaku di
kawasan non hutan, padahal sesuai dengan pemahaman terkait
hutan negara dalam konteks UUK sendiri, pengadministrasian tanah
negara seharusnya dilakukan di seluruh wilayah RI tanpa
membedakan kawasan hutan atau non hutan, sesuai amanat Pasal
19 UUPA. Jelas dalam hal ini bahwa dampak inkonsistensi tersebut
adalah koordinasi dan kewenangan pengelolaan yang ragu-ragu.
Inilah yang menjadi pertanyaan, hutan negara atau hutan adat ?
Dalam penjelasan Pasal 5 ayat 1 Undang Undang nomor 41 tahun 2009
disebutkan bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan
negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum
adat. Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat ketika dimasukkan di
dalam pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak
menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat
pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pada pasal 4 ayat 2 Penguasaan hutan oleh Negara yang dimaksud
adalah
1. memberi wewenang kepada pemerintah untuk:mengatur dan
mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan
hutan, dan hasil hutan
2. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau
kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan
3. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara
orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum
mengenai kehutanan.

B. APAKAH ADA TITIK TERANGNYA TERKAIT STATUS HUTAN INI ?


Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan dua komunitas
masyarakat adat yaitu Kanegerian Kuntu dan Kasepuhan Cisitu memohn
kepada MK untuk uji materi uu no. 41 tahun 1999 tentang kehutanan dan
di kabulkan oleh MK. Alhasil, puluhan juta hektar hutan adat yang tadinya
diklaim sebagai hutan negara diakui keberadaannya dan dapat dikelola
oleh masyarakat adat yang menempatinya.
Dalam putusannya, MK membatalkan sejumlah kata, frasa dan ayat
dalam UU Kehutanan itu. Misalnya, MK menghapus kata negara dalam
Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan, sehingga Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan
menjadi Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat.
MK juga menafsirkan bersyarat Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan
sepanjang tidak dimaknai Hutan negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat dan menghapus frasa dan
ayat (2) dalam Pasal 5 ayat (3).
Mahkamah berpendapat harus ada pembedaan perlakuan terhadap
hutan negara dan hutan adat, sehingga dibutuhkan pengaturan hubungan
antara hak menguasai negara dengan hutan negara, dan hak menguasai
negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan negara, negara mempunyai
wewenang penuh untuk mengatur peruntukan, pemanfaatan, dan
hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara.
Terhadap hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh mana isi
wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Hutan adat ini berada dalam
cakupan hak ulayat dalam satu kesatuan wilayah (ketunggalan wilayah)
masyarakat hukum adat. Dengan demikian, hutan berdasarkan statusnya
dibedakan menjadi dua yaitu hutan negara dan hutan hak. Adapun hutan
hak dibedakan antara hutan adat (hak ulayat) dan hutan
perseorangan/badan hukum. Ketiga status hutan tersebut pada tingkatan
yang tertinggi seluruhnya dikuasai oleh negara. Setelah dibedakan antara
hutan negara dan hutan hak, maka tidak dimungkinkan hutan hak berada
dalam wilayah hutan negara. Atau sebaliknya hutan negara dalam wilayah
hutan hak seperti dinyatakan Pasal 5 ayat (2) dan hutan hak ulayat dalam
hutan negara.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan terjadinya beberapa sengketa atas status hutan ini, lalu
menghasilkan putusan MK yang menguntungkan masyarakat adat dimana
status hutan tidak lagi menjadi hutan negara. Sehingga masyarakat adat
bisa mengelola hutan tersebut untuk kemajuan ekosistem mereka. Meski
begitu, dengan adanya putusan MK ini bukan serta merta masyarakat
adat berhak mengelola hutannya tanpa adanya aturan dari pemerintah
(Kementerian Kehutanan). Karena itu pemerintah harus segera menindak
lanjuti melihat putusan MK ini dengan membuat peraturan pengelolaan
hutan adat. Jika pemerintah tidak segera mengeluarkan ketentuan yang
mengatur tentang pengelolaan maupun pemetaan hutan adat, akan
muncul masalah baru. Sebab, MK hanya mengembalikan keberadaan
hutan adat seperti dalam UUD 1945, bukan membuat regulasi baru.
DAFTAR PUSTAKA

UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria


UU No. 41/1999 tentang Kehutanan
Wasis Susetio (2013) Disharmonisasi peraturan perundang-undangan di
bidang agraria Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 3, Desember 2013
Agus Sahbani (2013) MK tegaskan hutan adat bukan milik Negara di
akses dari http://www.hukumonline.com, pada tanggal 23 Mar. 17 pada
pukul 20:46

Anda mungkin juga menyukai