Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS ANAK

SEORANG PEREMPUAN DENGAN TETANUS

Pembimbing :
dr. Raden Setiyadi,Sp.A

Disusun oleh :
Yudia pratama
030.10.286
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH
PERIODE 19 DESEMBER-24 FEBRUARI 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi laporan kasus dengan judul


SEORANG ANAK LAKI-LAKI DENGAN INFEKSI SALURAN KEMIH

Penyusun:
Yudia pratama
030.10.286

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU Kardinah Kota Tegal periode 19 desember-24 februari 2017

Tegal, FEBRUARI 2017

dr. Raden Setiyadi, Sp.A


BAB I
STATUS PASIEN
STATUS PASIEN LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL
Nama : Yudia.pratama Pembimbing : dr. Raden Setyadi, Sp.A.
NIM : 030.10.286 Tanda tangan :

I. IDENTITAS PASIEN
Data Pasien Ibu Ayah
Nama An. N Ny A Tn. T
Umur 6 tahun 44 tahun 43 tahun
Jenis Kelamin Perempuan Perempuan Laki-laki
Alamat -

Agama Islam Islam Islam


Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa
Pendidikan - SMA SMA
Pekerjaan - IRT wirausaha
Penghasilan - 1500,000,-
Keterangan Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung
Asuransi -
No. RM 863537
Tanggal masuk RS 9 Februari 2017

II ANAMNESA

Data anamnesis diperoleh alloanamnesis kepada ibu pasien (Ny. A, 44 tahun) pada
tanggal 10 Februari 2017 di Ruang paviliun wijaya kusuma atas RSUD Kardinah pukul 11.00
WIB.

Keluhan Utama
Kaku di seluruh tubuh
Keluhan Tambahan
Sulit membuka mulut.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD kardinah dengan keluhan kaku seluruh tubuh. Keluhan di rasakan sudah
2 hari, orang tua pasien mengatakan awalnya pasien sulit untuk membuka mulut dengan lebar
saat akan makan kemudian pasien menangis dan terasa sakit saat membuka mulut, keesokan
paginya pasien tidak dapta bangun dari kasur karena badan terasa kaku, pasien juga sangat sulit
untuk berjalan dan menggerakan tangan, kemudian orang tua pasien mebelikan obat ke sebuah
apotek, berupa vitamin, namun tidak ada perubahan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami hal serupa.
Riwayat terjatuh, kaki tertusuk paku atau kayu di sangkal. Pasien juga tidak memiliki riwayat
maag,dan asma.
Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah dan Ibu pasien mengatakan tidak memiliki riwayat serupa. Ibu pasien tidak
memiliki riwayat maagh. Penyakit asma,darah tinggi,jantung, dan DM.

Riwayat Lingkungan Rumah


Pasien tinggal bersama dengan ayah, ibu dan ke dua kakanya dirumah pribadi. Rumah
berada di kawasan yang lumayan padat penduduk dengan luas kurang lebih 8 meter x 10 meter.
Tempat tinggal pasien memiliki 3 kamar tidur, 1 kamar mandi, dan 1 dapur. Rumah memiliki 2
jendela yang kadang-kadang selalu dibuka setiap pagi. Penerangan dengan listrik. Air berasal
dari air sumur. Jarak septic tank kurang lebih 10 meter dari sumber air. Air limbah rumah tangga
disalurkan melalui selokan di belakang rumah.
Kesan : keadaan rumah, lingkungan dan ventilasi cukup baik.

Riwayat Sosial Ekonomi


Ayah pasien adalah seorang wirausaha dengan penghasilan 1.500.000,-
Ibu pasien adalah seorang Ibu rumah tangga
Dari penghasilan tersebut cukup untuk menghidupi istri dan 3orang anaknya.
Kesan : Status ekonomi kurang

Riwayat Kehamilan dan Prenatal


Saat mengandung pasien, Ibu pasein rutin memeriksakan kehamilannya secara teratur
satu kali setiap bulan di puskesmas. Ibu tidak mendapatkan suntikan TT. Riwayat tekanan darah
tinggi, kencing manis, perdarahan selama hamil, kejang, trauma maupun infeksi saat hamil
disangkal.
Kesan: riwayat pemeliharaan prenatal cukup baik.

Riwayat Kelahiran
Tempat kelahiran : RS
Penolong persalinan : Bidan
Cara persalinan : Normal Pervaginam
Masa gestasi : G1P2A0 Hamil 39 minggu
Keadaan bayi
Berat badan lahir : 2700 gram
Panjang badan lahir : Ibu Lupa
Lingkar kepala : Ibu lupa
Keadaan lahir : Langsung menangis kuat, tidak pucat, dan tidak biru
Nilai APGAR : Ibu tidak tahu
Kelainan bawaan : Tidak ada
Air ketuban : Jernih
Kesan: neonatus aterm, dengan lahir pervaginam, bayi dalam keadaan bugar.

Riwayat Pemeliharaan Postnatal


Pemeliharaan setelah kehamilan dilakukan di Posyandu tidak secara teratur
Kesan: riwayat pemeliharaan postnatal kurang baik.

Corak Reproduksi Ibu


Ibu P3A0, pasien merupakan anak ke 3 berjenis kelamin perempuan.

Riwayat Keluarga Berencana


Ibu pasien menggunakan KB implant

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Pertumbuhan:
Berat badan lahir 2700 gram. Panjang badan lahir Ibu lupa.
Berat badan sekarang 13 kg. Panjang badan 104 cm.
Perkembangan:
Psikomotor
Senyum : 3 bulan
Tengkurap : 9 bulan
Duduk : 9 bulan
Merangkak : 9 bulan
Berdiri : 12 bulan
Berjalan : 16 bulan
Kesan: Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak baik. Tidak ada
keterlambatan kemampuan psikomotor.

Riwayat Makan dan Minum Anak


Ibu memberikan ASI eksklusif sampai usia 6 bulan. Dan usia 6 sampai 14 bulan diberikan
ASI dan makanan pendamping asi yaitu bubur susu kurang lebih 2x sehari.
Kesan: Asi eksklusif sampai umur 6 bulan, kualitas makanan baik

Riwayat Imunisasi
VAKSIN ULANGAN
DASAR (umur)
(umur)
BCG - - - - - - -
DTP/ DT - - - - - - -
POLIO - - - - - - -
CAMPAK - - - - - - -
HEPATITIS B 0 bulan 1 bulan - - - - -

Kesan : Imunisasi dasar pasien tidak lengkap

Laki laki Perempuan pa Pasien


III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 10 februari 2017 di Ruang paviliun wijaya kusuma
atas RSUD Kardinah pukul 01.00 WIB.
A. Kesan Umum : compos mentis, Tampak sakit sedang.
B. Tanda Vital
Nadi : 100 x/menit, reguler, kuat, isi cukup.
Laju nafas : 24 x/menit, reguler.
Suhu : 36,5C
C. Data Antropometri
Berat badan : 13 kg
Panjang badan : 104 cm
D. Status Generalis
Kepala : normochepali.
Wajah : simetris, risus sardonicus (-)
Rambut : berwarna hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut.
Wajah : simetris
Leher : Simetris, pembesaran KGB (-), kaku kuduk (+),
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : bentuk simetris, septum deviasi (-), sekret (-/-), nafas cuping
hidung (-),
Telinga: bentuk dan ukuran normal, discharge (-/-)
Mulut : bibir kering (+), bibir sianosis (-), trismus (+) ( hanya masuk 1
jari telunjuk), gigi tampak banyak caries dan banyak yang
tanggal. Lock Jaw (+)
Tenggorok : sulit di nilai
Kulit : berwarna kuning langsat, baggy pants (-)
Thorax :
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding toraks kiri-kanan simetris, retraksi (-)
Palpasi : Tidak ada hemitoraks yang tertinggal.
Perkusi : Sonor pada kedua hemitoraks.
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi basah kasar (-/-),
wheezing (-/-).

Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak.
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS IV midklavikula sinistra.
Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, reguler, murmur (-), gallop
(-).
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : keras seperti papan, datar, distensi (+),nyeri tekan (-),
turgor kulit baik, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, ballottement - , CVA
-
Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran abdomen.
Vertebra : Opistotonus (-)
Genitalia : tidak dilakukan pemerikaan.
Anorektal : tidak dilakukan pemeriksaan.
Ekstremitas :
Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
CRT >2 >2
Oedem -/- -/-
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi
Ref. Fisiologis + +
Ref. Patologis - -

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

LAB .
Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 10 Februari 2017 Pukul 01.52 WIB

Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

Hemoglobin 9,6 () g/dL 10,7 14,7


Leukosit 8,2 103/uL 4,5 13,5
Hematokrit 29,9() % 33 41
Trombosit 350 103/uL 150 521
Eritrosit 3,5 () 106/uL 3,8 5,8
RDW 14.0 % 11,5 14,5
MCV 84,5 U 80 96
MCH 27,1 () Pcg 20 33
MCHC 32,1() g/dl 33 36
Hitung Jenis (Diff)
Netrofil 63,4 % 50-70
Limfosit 27,2 % 25-40
Monosit 6,9 % 2-6
Eosinophil 2 % 2-4
Basophil 0,2 % 0-1
V. PEMERIKSAAN KHUSUS
Data Antropometri Pemeriksaan Status Gizi
Anak perempuan usia 6 Pertumbuhan persentil anak menurut CDC sebagai berikut:
tahun 1. BB/U= 13/20 x 100% = 65% (berat badan menurut umur
Berat badan 13 kg buruk)
Panjang badan 104 cm
2. PB/U = 104/115 x 100% = 90,4 % ( normal)

3. BB/PB = 13/17 x 100% = 76% (gizi kurang menurut


berat badan per panjang badan)

Kesan: Perempuan usia 6 tahun dengan gizi kurang

Pemeriksaan Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)


Kesan : LK 48,5 cm Normocephali
Kesan: status gizi kurang
RESUME

Seorang anak perempuan usia 6 tahun datang ke RSUD kardinah dengan keluhan kaku seluruh
tubuh di sertai sulit membuka mulut. Keluhan di rasakan sudah 2 hari, orang tua pasien
mengatakan awalnya pasien sulit untuk membuka mulut dengan lebar saat akan makan kemudian
pasien menangis dan terasa sakit saat membuka mulut, keesokan paginya pasien tidak dapta
bangun dari kasur karena badan terasa kaku, pasien juga sangat sulit untuk berjalan dan
menggerakan tangan, kemudian orang tua pasien mebelikan obat ke sebuah apotek, berupa
vitamin, namun tidak ada perubahan.

Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami hal serupa. Riwayat terjatuh, kaki tertusuk paku atau
kayu di sangkal. Pasien juga tidak memiliki riwayat maag,dan asma

Ayah dan Ibu pasien mengatakan tidak memiliki riwayat serupa. Ibu pasien tidak memiliki
riwayat maagh. Penyakit asma,darah tinggi,jantung, dan DM.

Pada pemeriksaan fisik di dapatkan Kesan Umum : compos mentis, Tampak sakit sedang.
Tanda Vital Nadi: 100 x/menit, reguler, kuat, isi cukup.Laju nafas: 24 x/menit, reguler.Suhu:
36,5C C.Data Antropometri Berat badan : 13 kg Panjang badan : 104 cm Status Generalis
Kepala : normochepali. Wajah : simetris, risus sardonicus (-) Rambut: berwarna hitam, tersebar
merata, tidak mudah dicabut. Wajah : simetris Leher : Simetris, pembesaran KGB (-), kaku
kuduk (+), Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) Hidung: bentuk simetris, septum
deviasi (-), sekret (-/-), nafas cuping hidung (-), Telinga :bentuk dan ukuran normal, discharge
(-/-) Mulut: bibir kering (+), bibir sianosis (-), trismus (+) ( hanya masuk 1 jari telunjuk), gigi
tampak banyak caries dan banyak yang tanggal. Lock Jaw (+) Tenggorok: sulit di nilaiKulit :
berwarna kuning langsat, baggy pants (-) Thorax Paru Inspeksi : Pergerakan dinding toraks
kiri-kanan simetris, retraksi (-) Palpasi Tidak ada hemitoraks yang tertinggal. Perkusi : Sonor
pada kedua hemitoraks. Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi basah kasar (-/-),
wheezing (-/-). Jantung Inspeksi: Iktus kordis tidak tampak. Palpasi: Iktus kordis teraba di ICS
IV midklavikula sinistra. Perkusi: Tidak dilakukan pemeriksaan Auskultasi:Bunyi jantung I dan
II normal, reguler, murmur (-), gallop (-). Abdomen Inspeksi: Datar Auskultasi: Bising usus (+)
Palpasi: keras seperti papan, datar, distensi (+),nyeri tekan (-), turgor kulit baik, hepar tidak
teraba, lien tidak teraba, ballottement - , CVA -Perkusi: Timpani pada seluruh kuadran abdomen.
Vertebra: Opistotonus (-) Genitalia:tidak dilakukan pemerikaan. Anorektal : tidak dilakukan
pemeriksaan. Pada pemeriksaan penujang di dapatkan Hb 9,9,HT 29,9, trombosit 3,5 mch 27,1
mchc 32,1 .

.
VI. MASALAH
Kaku seluruh tubuh
Sulit membuka mulut
Gizi kurang
Caries dentis

VII. DIAGNOSA KERJA


Tetanus
Gizi buruk
VIII. DIAGNOSIS BANDING
1. Kaku seluruh tubuh dan sulit membuka mulut
a. Meningitis
b. Arthralgia temporomandibular yang menyebabkan trismus
c. Keracunan strychinin
2. Gizi kurang
a. Baik
b. Buruk
IX. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa::
Infus Rl 20 Tpm
Tetagam 600 unit IM

Non-medikamentosa
Rawat inap untuk monitor gejala
Awasi keadaan umum, dan tanda vital
Edukasi : menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan, dan
komplikasi yang mungkin dapat terjadi.
Memberikan asupan gizi yang sesuai

X. PROGNOSA
ad vitam : dubia ad bonam
ad sanationam : dubia ad bonam
ad fungsionam : dubia ad bonam
PERJALANAN PENYAKIT
Tanggal 10 Februari 2017 11 Februari 2017
S Os datang dengan keluhan badan kaku pada Badan masih kaku, sulit makan, mulut
pagi hari, mulut sukar untuk di buka. Keluhan sukar di buka. Panas (-) batuk (-) sesak (-)
Mual (-) muntah (-) bab dan bak dalam
sudah di rasakan sejak 2 hari.
Panas (-), Batuk (-), sesak (-), pilek (-) batas normal
Nafsu makan menurun baik, namun mulut Nafsu makan baik
sukar di buka.
O KU: CM, TSS, tampak lemah. KU: CM, TSS, tampak lemah.
Nadi: 141x/m, RR: 28x/m,S: 36,8OC. Nadi: 144x/m, RR: 46x/m,S: 36,0OC.
Kepala : normocepalic Kepala : normocepalic
Wajah : simetris,risus sardonicus (-) Wajah : simetris,risus sardonicus (-)
Mulut : tampak caries dan gigi geligi yang Mulut : tampak caries dan gigi geligi yang
tanggal,trismus (+) tanggal, trismus (+)
Leher : kaku kuduk (+) Leher : kaku kuduk (+)
Mata : CA (-/-), SI (-/-) Mata : CA (-/-), SI (-/-)
Paru : SN Vesikular +/+, Rh -/-, wh -/- Paru : SN Vesikular +/+, Rh -/-, wh -/-
Jantung : S1/S2 regular, M (-), G (-) Jantung : S1/S2 regular, M (-), G (-)
Abdomen: defense muscular (-), BU (+), Abdomen: defense muscular (-), BU (+),
hepar lien ttb hepar lien ttb
Ekstremitas: oedem (-/-/-/-), akral hangat Ekstremitas: oedem (-/-/-/-), akral hangat
(+/+/+/+), CRT < 2, (+/+/+/+), CRT < 2,
Reflek fisiologis (+) Reflek fisiologis (+)
A Tetanus Tetanus
Caries dentis Caries dentis

P Medikamentosa Medikamentosa
KN3A 15 Tpm
KN3 A 15 Tpm
Azitromisin Inj 3 x 400 mg
Azitromisin Inj 3 x 400
Metronidazole Inj 3 x 100
mg Tetagam 600 IM
Metronidazole Inj 3 x Diazepam 4 mg/ 3 jam
100
Konsul gigi dan tht
Tetagam 600 IM
Diazepam 4 mg/ 3 jam
Non Medikamentosa :
Konsul gigi dan tht
Pantau KU dan TTV
Non Medikamentosa :
Pantau KU dan TTV

Tanggal 13 Februari 2017


S Sulit membuka mulut, badan kaku sudah berkurang, demam (-) kejang (-), sesak (-)
Makan minum sulit, BAK dan BAB dalam batas normal
O KU: CM, TSS, tampak lemah.
Nadi: 110x/m, RR: 28x/m,S: 36,2OC.
Kepala : normocepalic
Wajah : simetris,risus sardonicus (-)
Mulut : tampak caries dan gigi geligi yang tanggal, trismus (+)
Leher : kaku kuduk (-)
Mata : CA (-/-), SI (-/-)
Paru : SN Vesikular +/+, Rh -/-, wh -/-
Jantung : S1/S2 regular, M (-), G (-)
Abdomen: defense muscular (-), BU (+), hepar lien ttb
Ekstremitas: oedem (-/-/-/-), akral hangat
(+/+/+/+), CRT < 2,
Reflek fisiologis (+)
A Tetanus
Caries dentis

P Medikamentosa
KN3 A 15 Tpm
Azitromisin Inj 3 x 400 mg
Metronidazole Inj 3 x 100
Tetagam 600 IM
Diazepam 4 mg/ 3 jam
Konsul gigi dan tht

Non Medikamentosa :
Pantau KU dan TTV

Tanggal 13 Februari 2017


S Os sudah bisa membuka mulut, bengkak di pipi kiri sudah berkurang, os sudah bisa
makan sedikit sedikit
O Karies (+)
A Abses gigi

P Pro pencabutan gigi


Control ke poli gigi setelah sehat
Jaga kebersihan gigi dan mulut
ANALISA KASUS

Pasien perempuan umur 6 tahun di diagnosa tetanus. Diagnosa di tegakan berdasarkan


anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Pasien di diagnosa tetanus. Dari anamnesis di dapatkan keluhan sukar membuka mulut dan
badan terasa kaku sejak dua hari yang lalu, hal ini di sebabkan oleh eksotoksin Clostridium
tetani, bakteri bersifat obligat anaerob. Bakter ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di
berbagai lingkungan ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat. Bakteri tersebut
biasanya memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung
potongan umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus, mungkin tidak ditemukan tempat
masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar, infeksi gigi,
tindik telinga, injeksi atau setelah pembedahan abdominal/pelvis, persalinan dan aborsi. Jika
organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan sporanya, akan
berkembang biak dan menghasilkan toksin tetanospasmin dan tetanolysin. Tetanospasmin adalah
neurotoksin poten yang bertanggungjawab terhadap manifestasi klinis tetanus, sedang-kan
tetanolysin sedikit memiliki efek klinis.

Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke susunan saraf pusat:

(1) Toksin diabsorpsi di neuro-muscular junction, kemudian bermigrasimelalui


jaringan perineural ke susunan saraf pusat,

(2) Toksin melalui pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat.

Masih belum jelas mana yang lebih penting, mungkin keduanya terlibat.4

Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction lebih memilih
menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf motorik dan otonom
yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju sistem saraf pusat.1,3
Tetanospasmin yang merupakan zinc-dependent endopeptidase memecah vesicle-associated
membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida tunggal. Molekul
ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pe-mecahan ini mengganggu
transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan -
amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron menghambat motor neuron alpha juga
terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refleks motorik sehingga muncul aktivitas
saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme
otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah
terkena paling awal karena jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena
paling akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada pemeriksaan fisik timbul kaku
kuduk dan trismus. Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot,
spasme otot, dan ketidak stabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot, lebih dahulu
pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek, karena itu yang tampak pada lebih dari 90%
kasus saat masuk rumah sakit adalah trismus, kaku leher, dan nyeri punggung. Keterlibatan otot-
otot wajah dan faringeal menimbulkan ciri khas risus sardonicus, sakit tenggorokan, dan
disfagia. Peningkatan tonus otot-otot trunkal mengakibatkan opistotonus. Kelompok otot yang
berdekatan dengan tempat infeksi sering terlibat, menghasilkan penampakan tidak simetris.

Pada pemeriksaan laboratorium di dapatkan Hb 9,9,HT 29,9, trombosit 3,5 mch 27,1 mchc 32,1 .
Hal ini dapat di sebabkan karena asupan gizi yang kurang baik. Hal ini juga di lihat dari status
gizi yang di ukur menggunakan curva CDC, di dapatkan hasil gizi kurang pada pasien.

Pada pasien di berikan antibiotic metronidazole dan tetagram. Pada penelitian di Indonesia,
metronidazole telah menjadi terapi pilihan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazole
diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam
selama 7-10 hari. Metronidazole efektif mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif.

human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera diinjeksikan intramuskuler dengan dosis total
3.000-10.000 unit, dibagi tiga dosis yang sama dan diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak
ada konsensus dosis tepat HTIG. Rekomendasi British National Formulary adalah 5.000-10.000
unit intravena.

Bila tidak tersedia maka digunakan ATS dengan dosis 100.000-200.000 unit diberikan 50.000
unit intra-muskular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian 60.000 unit dan
40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan ketiga.

Selain itu pada pasien di dapatkan terapi diazepam hal ini di anjurkan untuk Diazepam efektif
mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang di-
rekomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/ kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis,
dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari oral dalam dosis 2-3
mg setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan dengan diazepam 5 mg per rektal untuk berat
badan <10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan berat badan 10 kg, atau diazepam
intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti, pemberian diazepam
dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai keadaan klinis.
BAB II
PENDAHULUAN
Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat signii kan di
negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk, juga penatalaksana-an
tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU) yang jarang tersedia di
sebagian besar populasi penderita tetanus berat.1 Di negara berkembang, mortalitas
tetanus melebihi 50% dengan perkiraan jumlah kematian 800.000-1.000.000 orang per
tahun, sebagian besar pada neonatus.2,3
Kematian tetanus neonatus diperkirakan sebesar 248.000 kematian per tahun. 1 Di bagian
Neurologi RS Hasan Sadikin Bandung, dilaporkan 156 kasus tetanus pada tahun 1999-
2000 dengan mortalitas 35,2%. Pada sebuah penelitian retrospektif tahun 2003-Oktober
2004 di RS Sanglah didapatkan 54 kasus tetanus dengan mortalitas 47%. 4 Tetanus adalah
penyakit yang dapat dicegah. Implementasi imunisasi tetanus global telah menjadi target
WHO sejak tahun 1974. Sayang imunitas terhadap tetanus tidak berlangsung seumur
hidup dan dibutuhkan injeksi booster jika seseorang mengalami luka yang rentan
terinfeksi tetanus. Akses program imunisasi yang buruk dilaporkan menyebabkan
tingginya prevalensi penyakit ini di negara sedang berkembang.3

DEFINISI
Tetanus adalah penyakit infeksi akut di-sebabkan eksotoksin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan kejang-kejang otot
rangka.4
PATOFISIOLOGI
Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat anaerob.
Bakter ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai lingkungan ekstrim dalam
periode lama karena sporanya sangat kuat. Clostridium tetani telah diisolasi dari tanah,
debu jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri tersebut biasanya memasuki tubuh
setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung potongan umbilikus
pada neonatus; pada 20% kasus, mungkin tidak ditemukan tempat masuknya. Bakteri
juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik
telinga, injeksi atau setelah pembedahan abdominal/pelvis, persalinan dan aborsi. Jika
organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan sporanya,
akan berkembang biak dan menghasilkan toksin tetanospasmin dan tetanolysin.
Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang bertanggungjawab terhadap manifestasi
klinis tetanus, sedang-kan tetanolysin sedikit memiliki efek klinis.1,3
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke susunan saraf
pusat:
(1) Toksin diabsorpsi di neuro-muscular junction, kemudian bermigrasimelalui
jaringan perineural ke susunan saraf pusat,
(2)
Toksin melalui pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat.

Masih belum jelas mana yang lebih penting, mungkin keduanya terlibat.4
Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction lebih
memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf motorik
dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju sistem saraf
pusat.1,3 Tetanospasmin yang merupakan zinc-dependent endopeptidase memecah vesicle-
associated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida
tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pe-
mecahan ini mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi,
mencegah pelepasan glisin dan -amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron
menghambat motor neuron alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan
menghambat refleks motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali,
mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba
dan potensial merusak. Hal ini merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena
paling awal karena jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena
paling akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya
penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom, aktivitas
simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neu-ronal toksin
sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru,
sehingga memanjangkan durasi penyakit ini.1,3

GEJALA KLINIS
Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90% penderita,
gejala muncul 1-2 minggu setelah ter-infeksi.3 Selang waktu sejak munculnya gejala
pertama sampai terjadinya spasme pertama disebut periode onset. Periode onset maupun
periode inkubasi secara signifi kan menentukan prognosis. Makin singkat (periode onset
<48 jam dan periode inkubasi <7 hari) menunjukkan makin berat penyakitnya.1 Tetanus
memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot, spasme otot, dan
ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot, lebih dahulu pada
kelompok otot dengan jalur neuronal pendek, karena itu yang tampak pada lebih dari
90% kasus saat masuk rumah sakit adalah trismus, kaku leher, dan nyeri punggung.
Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal menimbulkan ciri khas risus sardonicus, sakit
tenggorokan, dan disfagia. Peningkatan tonus otot-otot trunkal meng akibatkan
opistotonus. Kelompok otot yang berdekatan dengan tempat infeksi sering terlibat,
menghasilkan penampakan tidak simetris.1,3,6,7
Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fisik, visual, auditori,
atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat menyebabkan ruptur tendon,
dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring dapat terjadi segera, mengakibatkan
obstruksi saluran nafas atas akut dan respira-tory arrest. Pernapasan juga dapat
terpengaruh akibat spasme yang melibatkan otot-otot dada; selama spasme yang
memanjang, dapat terjadi hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam nyawa. 3,6 Tanpa
fasilitas ventilasi mekanik, gagal nafas akibat spasme otot adalah penyebab kematian
paling sering. Hipoksia biasanya terjadi pada tetanus akibat spasme atau kesulitan
membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan dan aspirasi. Spasme otot paling berat
terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan dapat berlangsung selama 3 sampai 4
minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi sampai beberapa minggu lagi. 1 Tetanus berat
berkaitan dengan hiperkinesia sirkulasi, terutama bila spasme otot tidak terkontrol baik.
Gangguan otonom biasanya mulai beberapa hari setelah spasme dan berlangsung 1-2
minggu. Meningkatnya tonus simpatis biasanya dominan menyebabkan periode
vasokonstriksi, takikardia dan hiper-tensi. Autonomic storm berkaitan dengan
peningkatan kadar katekolamin. Keadaan ini silih berganti dengan episode hipotensi,
bradikardia dan asistole yang tiba-tiba. Gambaran gangguan otonom lain meliputi
salivasi, berkeringat, meningkatnya sekresi bronkus, hiperpireksia, stasis lambung dan
ileus.1,3 Pada keadaan berat dapat timbul berbagai komplikasi. Intensitas spasme
paroksisma kadang cukup untuk mengakibatkan rupture otot spontan dan hematoma
intramuskular. Fraktur kompresi atau subluksasi vertebra dapat terjadi, biasanya pada
vertebra-
thorakalis.5 Gagal ginjal akut merupakan komplikasi tetanus yang dapat dikenali akibat
dehidrasi, rhabdomiolisis karena spasme, dan gangguan otonom. Komplikasi lain
meliputi atelektasis, penumonia aspirasi, ulkus peptikum, retensi urine, infeksi traktus
urinarius, ulkus dekubitus, thrombosis vena, dan thromboemboli.1

DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat penyakit dan temuan
saat pemeriksaan. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula, dilakukan dengan
menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan
steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter (meng-gigit spatula) dan
hasil negatif berupa refl eks muntah. Laporan singkat The American Journal of Tropical
Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji spatula memiliki spesifisitas tinggi (tidak
ada hasil positif palsu) dan sensitivitas tinggi (94% pasien terinfeksi menunjukkan hasil
positif ). Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal biasanya normal. Kultur C. tetani
dari luka sangat sulit (hanya 30% positif ), dan hasil kultur positif mendukung diagnosis,
bukan konfi rmasi.4 Beberapa keadaan yang dapat disingkir-kan dengan pemeriksaan
cermat adalah meningitis, perdarahan subarachnoid, infeksi orofacial serta arthralgia
temporomandibular yang menyebabkan trismus, keracunan strychnine, tetani
hipokalsemia, histeri, encefalitis, terapi phenotiazine, serum sickness, epilepsi dan
rabies.4

TERAPI
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni:
(3) membuang sumber tetanospasmin;
(4) menetralisasi toksin yang tidak terikat;
(5) perawatan penunjang (suportif ) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan
jaringan telah habis dimetabolisme. 4,5,7-14

Membuang Sumber Tetanospasmin


Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk mengurangi muatan
bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut.1,3,5
Antibiotika diberikan untuk mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk tujuan
pencegahan tetanus secara klinis adalah minimal. Pada pe-nelitian di Indonesia,
metronidazole telah menjadi terapi pilihan di beberapa pelayanan kesehatan.
Metronidazole diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan 30
mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazole efektif mengurangi jumlah
kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan penicillin procain
50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap penicillin
dapat diberi tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun).
Penicillin membunuh bentuk vegetatif C. tetani. Sampai saat ini, pemberian penicillin G
100.000 U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua
kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penicillin mungkin berperan sebagai
agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama
(GABA).3-5,1

Netralisasi toksin yang tidak terikat


Antitoksin harus diberikan untuk menetral-kan toksin-toksin yang belum berikatan.
Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera diinjeksikan
intramuskuler dengan dosis total 3.000-10.000 unit, dibagi tiga dosis yang sama dan
diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak ada konsensus dosis tepat HTIG. Rekomendasi
British National Formulary adalah 5.000-10.000 unit intravena. Untuk bayi, dosisnya
adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal. Sebagian dosis diberikan secara infiltrasi di
tempat sekitar luka; hanya dibutuhkan sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25-30
hari. Makin cepat pengobatan diberikan, makin efektif. Kontraindikasi HTIG adalah
riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobulin
sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan
kontraindikasi pemberian intra muskular.
Bila tidak tersedia maka digunakan ATS dengan dosis 100.000-200.000 unit diberikan
50.000 unit intra-muskular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian
60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan ketiga.1,4,5
Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi immunisasi aktif
dengan toksoid karena seseorang yang sudah sembuh dari tetanus tidak memiliki
kekebalan.1,3,5
Pengobatan suportif

Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin yang telah
terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di ICU agar bisa
diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme paroksismal yang
dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan gelap dan tenang. 3-
5,12
Pasien diposisikan agar men-cegah pneumonia aspirasi. Cairan intravena harus
diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah penting sebagai penuntun
terapi.5
Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot, spasme laring, aspirasi, atau
dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu respirasi. Sekresi bronkus yang
berlebihan memerlukan tindakan suctioning yang sering.1 Trakeostomi dituju-kan untuk
menjaga jalan nafas terutama jika ada opistotonus dan keterlibatan otot-otot punggung,
dada, atau distres pernapasan.6 Kematian akibat spasme laring mendadak, paralisis
diafragma, dan kontraksi otot respirasi tidak adekuat sering terjadi jika tidak tersedia
akses ventilator.3 Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien
tersedasi lebih sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan kecil kemungkinannya
mengalami spasme otot.5
Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal.
Dosis diazepam yang di-rekomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/ kali dengan interval
2-4 jam sesuai gejala klinis, dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8
mg/kgBB/hari oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan
dengan diazepam 5 mg per rektal untuk berat badan <10 kg dan 10 mg per rektal untuk
anak dengan berat badan 10 kg, atau diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali.
Setelah spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai
keadaan klinis. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis awitan
0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40
mg/ kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan
dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda
klinis membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran
membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan. 1,10,13,14 Tambahan efek
sedasi bisa didapat dari barbiturate khusus-nya phenobarbital dan phenotiazine seperti
chlorpromazine, penggunaannya dapat menguntungkan pasien dengan gangguan
otonom.1,3 Phenobarbital diberikan dengan dosis 120-200 mg intravena, dan diazepam
dapat ditambahkan terpisah dengan dosis sampai 120 mg/hari. Chlorpromazine di-
berikan setiap 4-8 jam dengan dosis dari
4-12 mg bagi bayi sampai 50-150 mg bagi dewasa. 5,10 Morphine bisa memiliki efek sama
dan biasanya digunakan sebagai tambahan sedasi benzodiazepine.Jika spasme tidak
cukup terkontrol de ngan benzodiazepine, dapat dipilih pelumpuh otot nondepolarisasi
dengan intermittent positive-pressure ventilation (IPPV). Tidak ada data perbandingan
obat-obat pelumpuh otot pada tetanus, rekomendasi didapatkan dari laporan kasus.
Pancuronium harus dihindari karena efek samping simpa-tomimetik. 1 Atracurium dapat
sebagai pilihan.
Vecuronium juga telah digunakan karena stabil pada jantung. 3,10,14 Pasien tetanus berat
sering kali membutuhkan IPPV selama 2 hingga 3 minggu sampai spasme mereda.
Insiden ventilator-associated pneumonia pada pasien-pasien tetanus sebesar 52,6%.1
Infeksi nosokomial umum terjadi karena lamanya perjalanan penyakit tetanus dan masih
merupakan penyebab penting kematian. Pencegahan komplikasi respirasi meliputi
perawatan mulut sangat teliti, fisioterapi dada dan suction trakea. Sedasi adekuat selama
prosedur invasif mencegah provokasi spasme atau ketidakstabilan otonom. 3,6,7,10
Instabilitas otonom terjadi beberapa hari setelah onset spasme umum dan fatality
ratenya 11-28%. Manifestasi berupa hiper-tensi labil, takikardia, dan demam. Berbagai
gangguan kardiovaskular seperti disritmia
6,7,11
dan infark miokard serta kolaps sirkulasi sering menyebabkan kematian. Tanda
overaktivitas simpatis yaitu takikardia fluktuatif, hipertensi yang kadang diikuti
hipotensi, pucat dan berkeringat sering tampak beberapa hari setelah onset spasme
otot.5,10 Henti jantung tiba-tiba umum terjadi dan dikatakan dapat dipresipitas oleh
kombinasi kadar katekolamin yangtinggi dan kerja langsung toksin tetanus pada
miokardium. Aktivitas simpatis yang memanjang dapat berakhir dengan hipotens dan
bradikardi. Aktivitas parasimpatis ber-lebihan dapat menyebabkan sinus arrest, di-
katakan karena kerusakan langsung nucleus vagus oleh toksin tetanus. 3,6,7 Instabilitas
otonom sulit diobati. Fluktuasi tekanan darahmembutuhkan obat-obat dengan waktu
paruh singkat. Terapi konvensional terdir dari sedasi dalam sebagai terapi lini pertama
menggunakan benzodiazepine dosis besarmorphine, dan/atau chlorpromazine.1
Saat ini, magnesium sulfat intravena dicoba untuk mengendalikan spasme dan disfungs
otonom; dosis loading 5 g (atau 75 mg/kg) IV dilanjutkan 1 sampai 3 g/jam sampa
spasme terkontrol telah digunakan untuk mendapatkan konsentrasi serum 2 sampa 4
mmol/L. Untuk menghindari overdosis dimonitor rel ek patella. 7,13 Beta blocker dapat
menyebabkan hipotensi berat. Episode hipotensi yang tidak membaik dengan
penambahan volume intravaskular mem-butuhkan inotropik.1 Atropin dosis tinggi lebih
dari 100 mg/jam, telah dianjurkan pada keadaan bradikardia. Tidak ada regimen terapi
yang dipercaya efektif secara universal untuk instabilitas otonom.11
Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia menyebabkan aktivitas simpatis berlebihan
dan katabolisme protein sehingga peme-liharaan nutrisi sangat diperlukan. Nutrisi buruk
dan penurunan berat badan terjadi cepat karena disfagia, gangguan fungsi gastrointestinal
dan peningkatan meta-bolisme, menurunkan daya tahan tubuh sehingga memperburuk
prognosis.3,13
Nutrisi parenteral total mengandung glukosa hipertonis dan insulin dalam jumlah cukup
untuk mengendalikan kadar gula darah, dapat menekan katabolisme protein. Formula
asam amino sangat membantu membatasi katabolisme protein.5,12 Pada hari pertama
perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila
sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi
secara parenteral. Setelah spasme
mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian
khusus pada risiko aspirasi.5,12
Emboli paru juga merupakan salah satu penyebab kematian, sehingga banyak di gunakan
antikoagulan secara rutin seperti heparin subkutan; risiko thromboemboli dan perdarahan
harus dipertimbangkan. Gerakan pasif harus terus diberikan jika digunakan pelumpuh
otot.5,12

Terdapat beberapa sistem penilaian tetanus. Skala yang diusulkan Ablett adalah yang
paling banyak digunakan (Tabel 1). Selain skoring Ablett, terdapat sistem skoring untuk
menilai prognosis tetanus seperti Phillips score dan Dakar score. Kedua sistem skoring
ini memasukkan kriteria periode inkubasi dan periode onset, begitu pula manifestasi
neurologis dan kardiak. Phillips score juga memasukkan status imunisasi pasien. Phillips
score <9, severitas ringan; 9-18,
severitas sedang; dan >18, severitas berat. Dakar score 0-1, severitas ringan dengan
mortalitas 10%; 2-3, severitas sedang dengan mortalitas 10-20%; 4, severitas berat
dengan mortalitas 20-40%; 5-6, severitas sangat berat dengan mortalitas >50%.10

Tabel 1 Severitas Tetanus Berdasarkan Klasii kasi Ablett 3,6-9


Grade 1 (ringan)
Trismus ringan, spastisitas menyeluruh, tidak ada yang membahayakan respirasi, tidak
ada spasme, tidak ada disfagia
Grade 2 (sedang)
Trismus sedang, rigiditas, spasme singkat, disfagia ringan, keterlibatan respirasi sedang,
frekuensi pernapasan >30
Grade 3 (berat)
Trismus berat, rigiditas menyeluruh, spasme memanjang, disfagia berat, serangan apneu,
denyut nadi >120, frekuensi pernapasan >40
Grade 4 (sangat berat)
Grade 3 dengan ketidakstabilan otonom berat.

Outcome tetanus tergantung berat penyakit dan fasilitas pengobatan yang tersedia. Jika tidak
diobati, mortalitasnya lebih dari 60% dan lebih tinggi pada neonatus. Difasilitas yang baik, angka
mortalitasnya 13% sampai 25%. Hanya sedikit penelitian jangka panjang pada pasien
yangberhasil selamat. Pemulihan tetanus cenderung lambat namun sering sembuh sempurna,
beberapa pasien mengalami abnormalitas elektroensefalografi yang menetap dan
gangguankeseimbangan, berbicara, dan memori.1,2 Dukungan psikologis sebaiknya tidak
dilupakan.3

Tabel 2 Phillips score4,10


Faktor score
Masa Inkubasi
<48 jam 5
2-5 hari 4
5-10 hari 3
10-14 hari 2
>14 hari 1
Lokasi infeksi
Organ dalam dan umbilicus 5
Kepala, leher, dan badan 4
Perifer proksimal 3
Perifer distal 2
Tidak diketahui 1
Status proteksi
Tidak ada 10
Mungkin ada atau imunisas 8
pada ibu bagi pasien-pasie
neonatus
Terlindungi >10 tahun 4
Terlindungi <10 tahun 2
Proteksi lengkap 0
Faktor-faktor komplikasi
Cedera atau penyakit yang 10
mengancam nyawa
Cedera berat atau penyakit 8
yang tidak segera mengancam
nyawa
Ciedera atau penyakit yang 4
tidak mengancam nyawa
Cedera atau penyakit minor 2
ASA grade I 0
Daftar pustaka

1. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek
PM,editors. Textbook of Critical Care. 5 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2005.p.1401-4.

2. Lipman J. Tetanus. In: Bersten AD, Soni N, eds. Ohs Intensive Care Manual. 6th ed.
Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier; 2009.p.593-7.

3. Taylor AM. Tetanus. Continuing education in anesthesia, critical are & pain. Vol. 6 No.
3. [Internet]. 2006 [cited 2013 Oct 20]. Available from:
http://www.ceaccp.oxfordjournals.org content/6/4/164.3.full.pdf.

4. Mahadewa TGB, Maliawan S. Diagnosis & Tatalaksana Kegawat Daruratan Tulang


Belakang.Jakarta: CV Sagung Seto;2009.

5. Edlich RF, Hill LC, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Horowitz JH, et al. Management
and prevention of tetanus. Niger J Paed. 2003;13(3):139-54.

6. Towey R. Tetanus: a review. Update in Anesthesia. Vol 43 No. 19. [Internet]. 2005 [cited
2013 Oct 20]. Available from: http://www.update.anaesthesiologist.org/wp-
content/tetanus-a-review.pdf.

7. Cook TM, Protheroe RT, Handel JM. Tetanus: a review of the literature. Br J
Anaesth.2001;87(3):477-87.

8. Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus. Neurol India.2002;50:398-407.

9. Quasim S. Management of tetanus.World Anaesthesia Tutorial of the Week. Vol 87 No.


3. [Internet]. 2001 [cited 2013 Oct 20]. Available from: http://www.aagbi.
org/sites/default/i les/17-management-of-tetanus.pdf.

10. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al. Neurological aspects of
tropical disease: tetanus. J Neurol Neurosurg Psychiatry.2000;69:292-301.

11. Torbey MT, Suarez JI, Geocadin R. Less common causes of quadriparesis and respiratory
failure. In: Suarez JI, editor. Critical care neurology and neurosurgery. 1st ed. New
Jersey: Humana Press; 2004.p.493-5.
12. Dawn MT, Elisson RT. Tetanus. In: Irwin RS, Rippe JM, editors. Irwin and Rippes
intensive care medicine. 6thed. Massachusetts: Lippincot Williams & Wilkins.
2008.p.1140-1.

13. WHO. Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian


emergencies. WHO Tech Note. [Internet]. 2010 [cited 2013 Oct 20]. Available at:
http://www.whqlibdoc.who.int/hq/2010/WHO_HSE_GAR_DCE_2010.2_eng.pdf.

14. Witt MD, Chu LA. Infections in the critically ill. In: Bongard FS, Sue DY, eds. Current
critical care diagnosis and treatment. 2nded. California: McGraw-Hill; 2003.p.432-4.

Anda mungkin juga menyukai